Anda di halaman 1dari 18

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH

DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG PASCA


PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012

Novianto M. Hantoro*
Peneliti Bidang Hukum Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR RI
Email: nmhantoro@yahoo.com

Abstract
The Constitutional Court has decided to grant for in part of the petition of the Regional Representative
Council (DPD) with respect to its authority in the field of legislation. By using the framework on
bicameralism and constitutional interpretation, this paper analyzes how the Court to interpret legislative
authority of DPD and how to implement the decision. The Court interpreted DPD has the authority to
discuss Prolegnas, have the same status as the president in terms of submission of the bill to the House,
and not only provides a view but come together to discuss the bill with the President and Parliament. But
according to the Court, the DPD remain not equal with the House because the petition for approval of
the bill and gave authorities more than just giving consideration to the state budget bill, was rejected.
Although the Constitutional Court’s decision executeable or can be implemented directly, but it still need
for coordination with the President and the Parliament to regulate further the mechanism as system.
Ideally, this needs to be formulated in the law, but for the purposes of short-term can be done through the
formation of the Joint Rules.

Kata kunci: DPD, Pembentukan undang-undang, Putusan Mahkamah Konstitusi.

I. PENDAHULUAN pada tingkat yang membahayakan keutuhan


A. Latar Belakang wilayah negara dan persatuan nasional.2 Anggota
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 DPD menggantikan Utusan Daerah sebagai
telah menghasilkan beberapa lembaga negara salah satu unsur dalam komposisi keanggotaan
baru, salah satunya adalah Dewan Perwakilan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Daerah (DPD). Yang menjadi gagasan dasar DPD memiliki fungsi dan kewenangan yang
pembentukan DPD adalah keinginan untuk salah satunya terkait dengan pembentukan
mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus undang-undang. Kewenangan DPD dalam
memberi peran yang lebih besar kepada daerah pembentukan undang-undang telah diatur
dalam proses pengambilan keputusan politik dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
untuk soal-soal yang terutama berkaitan Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Terdapat
langsung dengan daerah.1 Keinginan tersebut tiga kewenangan DPD dalam pembentukan
berangkat dari pemikiran bahwa pengambilan undang-undang yang disebutkan oleh Pasal
putusan yang bersifat sentralistik pada masa lalu 22D UUD 1945, yaitu: “dapat mengajukan
ternyata telah mengakibatkan meningkatnya rancangan undang-undang (RUU) kepada Dewan
ketidakpuasan daerah-daerah yang telah sampai Perwakilan Rakyat (DPR)”, “ikut membahas

1
I Dewa Gede Palguna, Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah, makalah pada Focus Group Discussion “Kedudukan
dan Peranan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia” di Semarang, 25 Maret
2003 dan di Malang, 26 Maret 2003 dalam Janedjri M. Gaffar, et all (editor), Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta; Setjen MPR-UNDP, 2003, hal. 61-62.
2
Ibid.

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 197


RUU”, dan “memberikan pertimbangan kepada Mahkamah Konstitusi telah melakukan
DPR”, terhadap rancangan undang-undang sidang dan telah memutuskan permohonan
tertentu. Ketentuan dalam UUD 1945 memerlukan judicial review tersebut. Putusan Mahhkamah
penjabaran atau pengaturan lebih lanjut. Pada Konstitusi pada dasarnya adalah mengabulkan
saat ini terdapat dua undang-undang yang sebagian permohonan DPD, bukan semua
menjabarkan ketentuan tersebut, yaitu Undang- permohonan. Namun demikian putusan
Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, yang menerima permohonan DPD dapat
DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang dikatakan memberikan perubahan besar
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan pada pelaksanaan fungsi DPD di bidang
Peraturan Perundang-undangan. Penjabaran legislasi. Dengan demikian, menjadi kajian
ketentuan di dalam kedua undang-undang yang menarik, bagaimana memahami putusan
tersebut menerjemahkan ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi tersebut dan bagaimana
beberapa hal, misalnya “DPD mengajukan RUU mengimplementasikannya.
kepada DPR” maka RUU tersebut kemudian Berkenaan dengan fungsi legislasi DPD, Tim
menjadi RUU DPR; “DPD ikut membahas Hukum Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi,
RUU tertentu” maka pembahasan tersebut Sekretariat Jenderal DPR pada tahun 2003 telah
dilakukan sebatas memberikan pandangan melakukan Penelitian mengenai “Ruang Lingkup
dan pendapat. Sedangkan “memberikan dan Mekanisme Pelaksanaan Fungsi Legislasi
pertimbangan” dijabarkan bahwa pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah”. Dilihat dari tahun
tersebut dalam bentuk tertulis dan disampaikan penelitian yang dilakukan, dapat diketahui
sebelum dimulainya pembahasan. undang-undang yang dianalisis adalah UU No.
Ketentuan di dalam kedua undang-undang 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
tersebut memunculkan keberatan DPD yang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Namun demikian,
menganggap ketentuan tersebut mereduksi isu-isu yang terdapat dalam putusan MK tersebut
kewenangan yang seharusnya atau yang telah menjadi obyek penelitian. Penelitian
diberikan oleh UUD 1945. Kemudian DPD juga menggunakan metode historis dengan
mengajukan uji materi terhadap kedua undang- membandingkan keberadaan Senat pada masa
undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Hal berlakunya Konstitusi RIS. Kesimpulan penelitian
yang dimohonkan oleh DPD adalah: juga menemukan kelemahan yang salah satunya
1. Kewenangan DPD dalam mengusulkan adalah kewenangan yang dimiliki DPD tidak
RUU sebagaimana diatur di dalam Pasal seimbang dengan ongkos dan nilai pemilihan
22D ayat (1) UUD 1945, yang menurut umum yang demokratis.3 Sementara analisis
DPD, RUU dari DPD harus diperlakukan dalam kajian ini, meskipun menyinggung juga
setara dengan RUU dari Presiden dan DPR; peraturan yang melandasi mekanisme kerja DPD
2. Kewenangan DPD ikut membahas RUU periode sebelumnya, namun akan lebih dikaitkan
yang disebutkan dalam Pasal 22D UUD dengan peraturan yang berlaku pada DPD
1945 bersama DPR dan Presiden; periode sekarang, yaitu UU No. 27 Tahun 2009
3. Kewenangan DPD memberi persetujuan dan UU No. 12 tahun 2011 yang menjadi obyek
atas RUU yang disebutkan dalam Pasal dalam uji materi yang diajukan oleh DPD kepada
22D UUD 1945; Mahkamah Konstitusi.
4. Keterlibatan DPD dalam penyusunan
Prolegnas yang menurut DPD sama halnya B. Permasalahan
dengan keterlibatan Presiden dan DPR; Dengan adanya putusan Mahkamah
5. Kewenangan DPD memberi pertimbangan Konstitusi tersebut, praktik dan mekanisme
terhadap RUU yang disebutkan dalam pembentukan undang-undang harus disesuaikan.
Pasal 22D UUD 1945;
3
Innosentius Samsul, et all. (Tim Hukum P3DI, Setjen
DPR RI). Ruang Lingkup dan Mekanisme Pelaksanaan Fungsi
Legislasi DPD, Jakarta, P3I Setjen DPR RI, 2003, hal. 82.

198 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


Hal pertama yang paling penting adalah interpretation method). Bobbitt mengidentifikasikan
mengetahui bagaimana memahami putusan 6 (enam) macam metode penafsiran konstitusi
tersebut atau dengan kata lain bagaimana MK (constitutional interpretation), yaitu:5
menafsirkan ketentuan UUD 1945 terkait 1. Penafsiran tekstual;
dengan kewenangan DPD dalam pembentukan Penafsiran tekstual (textualism or literalism)
undang-undang. Permasalahan selanjutnya adalah atau penafsiran harfiah ini merupakan
bagaimana melaksanakan putusan tersebut. Selama bentuk atau metode penafsiran konstitusi
ini masih berkembang pemikiran apakah perlu yang dilakukan dengan cara memberikan
adanya revisi terhadap kedua undang-undang makna terhadap arti dari kata-kata di
tersebut sebelum mengimplementasikan putusan dalam dokumen atau teks yang dibuat oleh
MK atau bagaimanakah mengimplementasikan pembentuk konstitusi (meaning of the words
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seketika in the legislative text).
tanpa melalui perubahan undang-undang. 2. Penafsiran historis (atau penafsiran orisinal);
Tulisan ini akan menganalisa dua hal, pertama Penafsiran historis ini disebut juga dengan
penafsiran MK terhadap kewenangan DPD dalam penafsiran asli (original), yaitu bentuk
pembentukan undang-undang yang tercermin atau metode penafsiran konstitusi yang
di dalam putusannya; Kedua, menganalisa didasarkan pada sejarah konstitusi itu
bagaimana melaksanakan putusan MK tersebut dibahas dan ditetapkan. Pada umumnya
dalam praktik pembentukan undang-undang metode penafsiran ini menggunakan
sekarang ini. pendekatan original intent terhadap norma-
norma hukum konstitusi.
II. KERANGKA PEMIKIRAN 3. Penafsiran doktrinal;
A. Penafsiran Konstitusi Penafsiran doktrinal merupakan metode
Satjipto Rahardjo4 mengemukakan, salah satu penafsiran yang dilakukan dengan cara
sifat yang melekat pada hukum tertulis adalah memahami aturan Undang-Undang melalui
sifat otoritatif dari rumusan-rumusannya. sistem preseden atau melalui praktik
Pengutaraan dalam bentuk tulisan atau litera peradilan.
scripta merupakan bentuk dari usaha untuk 4. Penafsiran prudensial;
menyampaikan sesuatu ide atau pikiran. Ide Penafsiran prudensial merupakan metode
atau pikiran yang hendak dikemukakan tersebut penafsiran yang dilakukan dengan cara
ada disebut sebagai “semangat” dari suatu mencari keseimbangan antara biaya-biaya
peraturan. Usaha untuk menggali “semangat yang harus dikeluarkan dan keuntungan-
dari peraturan tersebut” dengan sendirinya keuntungan yang diperoleh dari penerapan
merupakan bagian dari keharusan yang melekat suatu aturan atau Undang-Undang tertentu.
khusus pada hukum perundang-undangan 5. Penafsiran struktural; dan
yang bersifat tertulis. Usaha tersebut akan Penafsiran struktural merupakan metode
dilakukan oleh kekuasaan pengadilan dalam penafsiran yang dilakukan dengan cara
bentuk interpretasi atau konstruksi. Interpretasi mengaitkan aturan dalam Undang-Undang
atau konstruksi ini adalah suatu proses yang dengan konstitusi yang mengatur tentang
ditempuh oleh pengadilan dalam rangka struktur-struktur ketatanegaraan.
mendapatkan kepastian mengenai arti dari 6. Penafsiran etikal
hukum perundang-undangan. Penafsiran etikal merupakan metode
Di dalam ilmu hukum, selain dikenal penafsiran yang dilakukan dengan cara
metode penafsiran hukum secara umum, dikenal menurunkan prinsip-prinsip moral dan
pula metode penafsiran konstitusi (constitutional
5
Albert H Y Chen, The Interpretation of the Basic Law--
4
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Common Law and Mainland Chinese Perspectives, Hong
Aditya Bakti, 2006, hal. 93-95. Kong: Hong Kong Journal Ltd., 2000, hal. 5.

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 199


etik sebagaimana terdapat dalam konstitusi metode penafsiran originalism, yang menggunakan
atau undang-undang dasar. Metode pendekatan original intent dan non originalism, yang
penafsiran ini dikonstruksi dari tipe menggunakan pendekatan di luar pendekatan
berpikir konstitusional yang menggunakan original intent.
pendekatan falsafati, aspirasi atau moral.
Dengan demikian metode penafsiran B. Bikameralisme
ini dapat digunakan untuk isu-isu yang Terdapat beberapa istilah untuk menyebutkan
menekankan pada pentingnya hak-hak lembaga perwakilan berdasarkan fungsi dan
asasi manusia dan pembatasan terhadap kewenangannya. Lembaga perwakilan disebut
kekuasaan negara atau pemerintahan. parlemen berdasarkan kata Perancis parler yang
Menurut Anthony Mason, interpretasi artinya berbicara. Lembaga perwakilan juga disebut
atau penafsiran ini merupakan penafsiran yang sebagai badan legislatif atau badan pembentuk
sesuai dengan pengertian asli dari teks atau undang-undnag karena tugasnya legislate yang
istilah-istilah yang terdapat dalam konstitusi. artinya 8membentuk atau membuat undang-
Penafsiran ini biasanya digunakan untuk undang. Arend Lijphart mengklasifikasikan
menjelaskan teks, konteks, tujuan dan struktur badan pembentuk undang-undang ke dalam tiga
konstitusi.6 variabel, yaitu: 9

Menurut Arsyad Sanusi7, di Amerika Serikat 1. Bikameral/unikameral (bicameralism/


terdapat pendapat yang menyatakan bahwa dalam unicameralism),
menafsirkan konstitusi, hakim harus berupaya 2. symmetrical/asymmetrical bicameralism (is
untuk menelusuri bagaimana ketentuan- one house dominant, or are they essentially
ketentuan dalam konstitusi itu dari semula diartikan equal), dan
oleh pihak yang merumuskan dan mengesahkan 3. congruent/incongruent bicameralism (do
konstitusi itu. Pendekatan ini menyatakan bahwa the two houses represent essentially the same
semakin dekat dengan pengertian aslinya maka population or does the second chamber reflect
semakin “benar” penafsiran tersebut. Pendekatan a different basis of representation).
ini menekankan pentingnya konsep backward- Sistem bikameral kemudian dapat
looking. Pendekatan semacam ini dikenal diklasifikasikan berdasarkan perbandingan
dengan pendekatan originalisme. Sedangkan, kekuatan antara the lower chamber dan the upper
pada kutub yang lain, terdapat pandangan yang chamber, yaitu sistem bicameral yang lemah
menekankan pentingnya inovasi dan dinamisme, (asymmetric bicameralism atau weak bicameralism/
serta menolak originalisme. Kelompok yang soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah
menghendaki demikian ini berpendapat bahwa satu kamar, jauh lebih dominan atas kamar
konstitusi perlu ditafsirkan secara kreatif karena lainnya. Sistem bicameral yang kuat (symmetric
adanya ketidakpastian bahasa dalam undang- bicameralism  atau strong bicameralism), yaitu
undang (konstitusi). Dengan demikian dari apabila kekuatan antara dua kamarnya nyaris
sekian banyak metode penafsiran, pada dasarnya sama kuat atau sama kuat.10
metode penafsiran konstitusi dapat dibedakan Menurut Lijphart, terdapat beberapa aspek
hanya menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu: yang pada akhirnya akan membedakan apakah
lembaga perwakilan suatu negara menganut
6
Anthony Mason, The Interpretation of a Constitution in a “strong bicameralism” atau “weak bicameralism”.
Modern Liberal Democracy, dalam Charles Sampford and Aspek penting pertama dan yang paling
Kim Preston (Ed.), Interpreting Constitutions- Theories,
Principles and Institutions. Leichhardt, The Federation Press, 8
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta; PT.
1996 hal. 14. Gramedia, 1988, hal. 174.

7
M. Arsyad Sanusi, Legal Reasoning Dalam Penafsiran Konstitusi 9
Arend Lijphart, Patterns of Democracy; Government Forms
dalam http://arfanhy.blogspot.com/2009/03/legal-reasoning- and Performance in Thirty Six Countries. New Haven and
dalam-penafsiran.html diakses pada tanggal 22 Oktober London, Yale University Press, 1999. hal. 201-215.
2013. 10
Ibid.

200 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


utama adalah kewenangan konstitusional yang MK, akan diuraikan terlebih dahulu pengaturan
dimiliki oleh kedua lembaga perwakilan. Pola kewenangan DPD pada DPD periode 2004-
yang umum di beberapa negara, “kamar kedua” 2009 dan DPD periode 2009-2014. Selanjutnya
cenderung subordinat dari “kamar pertama”.11 diuraikan berdasarkan permohonan yang diajukan
Berdasarkan hal tersebut, apabila kedua lembaga DPD (petita), serta bagaimana pertimbangan MK
memiliki kewenangan yang sama, maka disebut dalam amar putusannya.
simetris, namun apabila kewenangan lembaga a. Pengajuan RUU
yang satu lebih tinggi dari lembaga yang lain, Dalam hal pengajuan usul RUU, selain
maka disebut asimetris. ketentuan yang ada di dalam UUD 1945, diatur
Kedua, untuk mengetahui apakah lembaga secara singkat di dalam UU No. 22 Tahun 2003
tersebut mempunyai arti politik yang penting bahwa DPD mengusulkan rancangan undang-
(political important) dapat dilihat dari metode undang untuk hal-hal yang telah disebutkan
pemilihan. Pada umumnya, anggota pada di dalam UUD 1945 kepada DPR dan DPR
“kamar pertama” dipilih secara langsung oleh mengundang DPD untuk membahas sesuai tata
pemilih, sedangkan anggota “kamar kedua” tertib DPR. Pembahasan rancangan undang-
dipilih oleh lembaga legislatif daerah atau diangkat. undang tersebut dilakukan sebelum DPR
Kemudian apakah “kamar kedua” didesain untuk membahas rancangan undang-undang dengan
mewakili golongan-golongan tertentu atau pemerintah.
minoritas. Apabila hal tersebut terjadi, maka Pengaturan mengenai pengajuan RUU
komposisinya disebut incongruent. di dalam UU No. 10 Tahun 2004 dikaitkan
dengan Prolegnas. Undang-Undang menyebutkan
III. ANALISA bahwa RUU baik yang berasal dari Dewan
A. Kewenangan Legislasi DPD berdasarkan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari
Putusan MK Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan
Tulisan ini akan menganalisa dua hal, pertama, Prolegnas. Norma selanjutnya sama dengan
penafsiran MK terhadap kewenangan DPD dalam ketentuan UUD 1945 bahwa DPD hanya
pembentukan undang-undang yang tercermin mengajukan RUU sebagaimana yang telah diatur
di dalam putusannya; Kedua, menganalisa UUD 1945. Namun kemudian terdapat aturan
bagaimana melaksanakan putusan MK tersebut dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden
dalam praktik pembentukan undang-undang dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas.
sekarang ini. Untuk menganalisa kewenangan Penafsirannya (secara a contrario) DPD tidak
DPD dalam fungsi legislasi berdasarkan putusan dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas.
Selanjutnya terkait dengan pengajuan RUU
11
Contoh yang disebutkan: their negative votes on proposed diatur bahwa RUU yang berasal dari DPD dapat
legislation can frequently be overridden by the first chambers,
diajukan oleh DPD kepada DPR. Ketentuan
and in most parliamentary systems the cabinet is responsible
exclusively to the first chamber. In two countries, disagreement lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan
between the two chambers is settled by a joint session: India RUU diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPR
and Venezuela. Here the relative sizes of the two chambers, dan Peraturan Tata Tertib DPD.
discussed in the previous section, do make a difference with
Pengaturan di dalam Tata Tertib DPR
regard to the strength of bicameralism. The Indian second
chamber is almost half the size of the first, whereas the terkait dengan RUU yang berasal dari DPD,
Venezuelan senate has less than one-fourth of the members of adalah sebagai berikut:
the lower house. The only examples of bicameral legislatures 1) RUU beserta penjelasan, keterangan, dan/
with formally equal powers in our set of democracies are the
atau naskah akademis yang berasal dari
legislatures of Colombia, Italy, Switzerland, and the United
States; three countries used to have formally equal chambers- DPD disampaikan secara tertulis oleh
Belgium, Denmark, and Sweden-but the Belgian Senate’s Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR.
power was severely reduced when it was elected in its new 2) Dalam Rapat Paripurna berikutnya, setelah
federal form in 1995, and Denmark and Sweden abolished
RUU diterima oleh Pimpinan DPR,
their second chambers in 1953 and 1970, respectively.

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 201


Pimpinan DPR memberitahukan kepada (DPD periode 2004-2009) terlihat bahwa RUU
Anggota tentang masuknya Rancangan yang diajukan oleh DPD dibahas terlebih dahulu
Undang-Undang tersebut, kemudian oleh alat kelengkapan DPR dengan mengundang
membagikannya kepada seluruh Anggota. alat kelengkapan DPD. Hasil pembahasan
3) Setelah Usul RUU diumumkan dalam Rapat dilaporkan dalam Rapat Paripurna DPR, tanpa
Paripurna, Pimpinan DPR menyampaikan diatur mengenai pengambilan keputusan.
surat pemberitahuan kepada Pimpinan RUU tersebut kemudian disampaikan oleh
DPD mengenai tanggal pengumuman RUU DPR kepada Presiden dengan permintaan agar
yang berasal dari DPD tersebut kepada Presiden menunjuk menteri yang mewakili
Anggota dalam Rapat Paripurna. dalam pembahasan RUU di DPR.
4) Badan Musyawarah selanjutnya Ketiga peraturan perundang-undangan
menunjuk Komisi atau Badan Legislasi tersebut kemudian mengalami perubahan pada
untuk membahas RUU tersebut, serta periode DPR dan DPD sekarang ini (periode
mengagendakan pembahasannya. 2009-2014). UU No. 22 Tahun 2003 telah
5) Komisi atau Badan Legislasi, mengundang diganti dengan UU No. 27 tahun 2009; UU No.
anggota alat kelengkapan DPD sebanyak- 10 Tahun 2004 telah diganti dengan UU No.
banyaknya 1/3 (sepertiga) dari jumlah 12 Tahun 2011; dan Peraturan Tata Tertib DPR
anggota alat kelengkapan DPR, untuk tahun 2005 telah diganti dengan Peraturan Tata
membahas RUU dimaksud. Tertib DPR Tahun 2009. Pengaturan mengenai
6) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pengajuan RUU DPD kepada DPR juga
Komisi atau Badan Legislasi mengundang, mengalami perubahan mekanisme. Perubahan
alat kelengkapan DPD wajib hadir. yang cukup mendasar adalah RUU yang
7) Hasil pembahasan dilaporkan dalam Rapat diusulkan oleh DPD diharmonisasi terlebih
Paripurna. dahulu di Badan Legislasi untuk kemudian
8) RUU yang telah dibahas disampaikan oleh disampaikan ke Rapat Paripurna. Rapat
Pimpinan DPR kepada Presiden dengan Paripurna mengambil keputusan terhadap RUU
permintaan agar Presiden menunjuk tersebut, apakah disetujui, disetujui dengan
Menteri yang akan mewakili Presiden dalam perubahan; atau ditolak. Perubahan tersebut
melakukan pembahasan RUU tersebut memang menjadikan RUU dari DPD disamakan
bersama DPR dan kepada Pimpinan DPD kedudukannya dengan usul RUU yang diajukan
untuk ikut membahas Rancangan Undang- oleh anggota atau alat kelengkapan DPR.
Undang tersebut. Hal tersebut pula yang menjadi dasar
9) Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak pengajuan atau dalil uji material yang dilakukan
diterimanya surat tentang penyampaian oleh DPD sebagai pemohon, bahwa Undang-
RUU dari DPR, Presiden menunjuk Undang telah mereduksi kewenangan legislasi
Menteri yang ditugasi mewakili Presiden DPD sebagai sebuah lembaga negara menjadi
dalam pembahasan RUU bersama DPR. setara dengan kewenangan legislasi anggota,
10) Terhadap pembahasan dan penyelesaian komisi, dan gabungan komisi DPR.12 Selanjutnya
selanjutnya, berlaku ketentuan Pasal juga dikemukakan bahwa UU secara sistematis
136, Pasal 137, dan Pasal 138, dengan mengurangi kewenangan DPD sejak awal proses
memperhatikan ketentuan yang khusus pengajuan RUU dan telah mendistorsi RUU
bagi Rancangan Undang-Undang dari yang diusulkan oleh DPD menjadi RUU usul
DPR. DPR13. Selanjutnya UU No. 12 Tahun 2011
11) Hari kerja yang dimaksud pada ayat (6) juga dianggap telah merendahkan kedudukan
adalah hari kerja DPR pada Masa Sidang.

12
Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e UU No. 27 Tahun
Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan 2009, Pasal 48 ayat (2) dan ayat (4) UU No. 12 Tahun 2011.

13
Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU No. 27 Tahun 2009 Pasal
DPR pada awal pengaturan mengenai DPD
147 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009.

202 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


DPD menjadi lembaga yang sub-ordinat di kemudian dibahas oleh Badan Legislasi DPR,
bawah DPR karena meniadakan kewenangan dan menjadi RUU dari DPR adalah ketentuan
konstitusional DPD untuk dapat mengajukan yang mereduksi kewenangan DPD untuk
RUU.14 mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam
Terhadap dalil permohonan DPD tersebut, Pasal 22D ayat (1) UUD 1945;
menurut Mahkamah Konstitusi kewenangan Di dalam pertimbangannya, Mahkamah
konstitusional DPD mengenai pengajuan Konstitusi menggunakan penafsiran tekstual dan
RUU, telah ditegaskan dalam Pasal 22D ayat struktural. Mahkamah Konstitusi memaknai kata
(1) UUD 1945 yang menyatakan, “Dewan “dapat mengajukan” sebagai sebuah hak dan/atau
Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada kewenangan. Selanjutnya dengan menggunakan
Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang- penafsiran struktural, Mahkamah Konstitusi
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, menyamakan posisi DPD dengan Presiden
hubungan pusat dan daerah, pembentukan yang juga mempunyai hak untuk mengajukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, RUU ke DPR. Sementara rumusan di dalam
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya undang-undang menggunakan konsep bikameral
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan yang asimetrikal, bahwa konsep di UUD 1945
perimbangan keuangan pusat dan daerah”. memang tidak memberikan kewenangan legislasi
Menurut MK, kata “dapat” dalam Pasal 22D yang equal antara DPR dan DPD.
ayat (1) UUD 1945 tersebut merupakan b. Penyusunan, Pembahasan, dan Penetapan
pilihan subjektif DPD “untuk mengajukan” Prolegnas
atau “tidak mengajukan” RUU yang berkaitan Ketentuan mengenai Prolegnas memang tidak
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan diatur di dalam UUD 1945. Ketentuan mengenai
daerah, pembentukan dan pemekaran serta Prolegnas diatur di dalam Undang-Undang
penggabungan daerah, pengelolaan sumber tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, undangan. Di dalam Undang-Undang Nomor 10
serta yang berkaitan dengan perimbangan Tahun 2004 terdapat satu tahapan yang diatur
keuangan pusat dan daerah sesuai dengan yaitu perencanaan. Perencanaan penyusunan
pilihan dan kepentingan DPD. Kata “dapat” Undang-Undang dilakukan dalam suatu
tersebut bisa dimaknai juga sebagai sebuah Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Di dalam
hak dan/atau kewenangan, sehingga analog penyusunan Prolegnas tersebut, tidak disebutkan
atau sama dengan hak dan/atau kewenangan bagaimana keterlibatan DPD. Undang-undang
konstitusional Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) hanya menyebutkan bahwa Penyusunan Program
UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden berhak Legislasi Nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat
mengajukan rancangan undang-undang kepada dan Pemerintah dikoordinasikan oleh Dewan
Dewan Perwakilan Rakyat”. Dengan demikian, Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan
DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani
sama dengan DPR dan Presiden dalam hal bidang legislasi. Penyusunan Program Legislasi
mengajukan RUU yang berkaitan dengan Nasional di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat
otonomi daerah, hubungan pusat dan dikoordinasikan oleh alat kelengkapan Dewan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya legislasi. Penyusunan Program Legislasi Nasional
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi
pusat dan daerah. MK menilai, menempatkan bidang Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan
RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan
pengelolaan Program Legislasi Nasional diatur
14
Pasal 43 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 46 ayat (1) UU No.
dengan Peraturan Presiden.
12 Tahun 2011.

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 203


Seiring dengan penggantian UU No. 10 DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya
Tahun 2004 dengan UU No. 12 Tahun 2011, untuk mengajukan RUU sebagaimana dimaksud
terdapat ketentuan Pasal 21 UU No. 12 Tahun Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, karena dapat saja
2011 menyebutkan bahwa Penyusunan Prolegnas RUU tersebut tidak menjadi prioritas sehingga
antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan tidak akan dibahas. Berdasarkan pertimbangan
oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang tersebut, menurut MK, norma Undang-Undang
khusus menangani bidang legislasi. Penyusunan yang tidak melibatkan DPD dalam penyusunan
Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan Prolegnas telah mereduksi kewenangan DPD
oleh alat kelengkapan DPR yang khusus yang ditentukan oleh UUD 1945. Dengan
menangani bidang legislasi. Penyusunan Prolegnas demikian permohonan DPD beralasan menurut
di lingkungan DPR dilakukan dengan hukum.
mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, Meskipun kewenangan DPD mengenai
anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat. DPD Prolegnas tidak diatur di dalam UUD 1945,
mendalilkan bahwa ketentuan dalam UU No. namun MK melakukan penafsiran struktural,
12 tahun 201115 telah meniadakan kewenangan yaitu dengan mengaitkannya terhadap Pasal
DPD untuk dapat mengajukan RUU, baik 22D ayat (1) UUD 1945 berkenaan dengan
di dalam maupun di luar Program Legislasi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU
Nasional (Prolegnas). tertentu. Tanpa keterlibatan DPD dalam
Terhadap dalil DPD tersebut, menurut penyusunan Prolegnas, maka terdapat
MK, keikutsertaan dan keterlibatan DPD dalam kemungkinan DPD tidak dapat mengajukan
penyusunan Prolegnas seharusnya merupakan RUU mengingat RUU yang akan diajukan
konsekuensi dari norma Pasal 22D ayat (1) UUD kemungkinan tidak masuk dalam daftar
1945 yang menyatakan, “Dewan Perwakilan Prolegnas atau prioritas.
Daerah dapat mengajukan kepada Dewan c. Pembahasan RUU
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang UU No. 22 Tahun 2003 mengatur bahwa
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan dalam hal ikut membahas RUU, DPD diundang
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran oleh DPR untuk melakukan pembahasan
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber rancangan undang-undang bersama dengan
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I
serta yang berkaitan dengan perimbangan sesuai Peraturan Tata Tertib DPR. Pembicaraan
keuangan pusat dan daerah.” Penyusunan Tingkat I yang dimaksud dilakukan bersama
Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program antara DPR, DPD, dan pemerintah dalam
pembentukan undang-undang merupakan hal penyampaian pandangan dan pendapat
bagian yang tidak terpisahkan dari hak dan/ DPD atas rancangan undang-undang, serta
atau kewenangan untuk mengajukan RUU yang tanggapan atas pandangan dan pendapat dari
dimiliki DPD. Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 masing-masing lembaga. Pandangan, pendapat,
UU 12 Tahun 2011, perencanaan penyusunan dan tanggapan tersebut dijadikan sebagai
Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara
yang merupakan skala prioritas program DPR dan pemerintah.
pembentukan Undang-Undang dalam rangka Tambahan pengaturan mengenai
mewujudkan sistem hukum nasional. Dengan pembahasan undang-undang yang terdapat
demikian, RUU yang tidak masuk dalam dalam UU No. 10 Tahun 2004 adalah:
Prolegnas tidak menjadi prioritas untuk dibahas. 1) Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah
Apabila DPD tidak terlibat atau tidak ikut serta dalam pembahasan rancangan undang-
menentukan Prolegnas, maka sangat mungkin undang pada rapat komisi/panitia/alat
15
Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1) dan kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat
ayat (3), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) UU No.
yang khusus menangani bidang legislasi.
12 Tahun 2011.

204 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


2) Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran,
dalam pembahasan rancangan undang- dan penggabungan daerah; pengelolaan
undang diwakili oleh komisi yang sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
membidangi materi muatan rancangan lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
undang-undang yang dibahas. daerah, serta memberikan pertimbangan kepada
Pada periode berikutnya, UU No. 27 Tahun Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
2009 mengatur keikutsertaan DPD dengan undang-undang anggaran pendapatan dan
lebih maju, yaitu dalam pengantar musyawarah belanja negara dan rancangan undang-undang
dan pendapat mini pada tingkat I dan pendapat yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan
mini tersebut disampaikan dalam laporan di agama”. Berdasarkan ketentuan tersebut, DPD
paripurna pada pembicaraan tingkat II sebelum sebagai lembaga negara mempunyai hak dan/
diambil keputusan. atau kewenangan yang sama dengan DPR
DPD mendalilkan beberapa pasal dalam dan Presiden dalam membahas RUU yang
undang-undang16: berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan
1) tidak mengikutsertakan DPD dalam seluruh pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran,
proses pembahasan RUU yang menjadi dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber
kewenangan konstitusional DPD; daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
2) telah meniadakan kewenangan DPD serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
untuk mengajukan dan membahas Daftar Penggunaan frasa “ikut membahas” dalam
Inventarisasi Masalah (DIM) yang justru Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 karena Pasal 20
merupakan “inti” dari pembahasan RUU; ayat (2) UUD 1945 telah menentukan secara
3) telah mereduksi kewenangan DPD dengan tegas bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan
mengatur bahwa pembahasan RUU tetap Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
dilaksanakan meski tanpa keterlibatan Penggunaan frasa “ikut membahas” adalah
DPD; wajar karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 disahkan
4) menghilangkan kewenangan DPD karena pada Perubahan Pertama UUD 1945 tahun
setiap RUU sepanjang yang berkaitan 1999, sedangkan Pasal 22D UUD 1945 disahkan
dengan kewenangan DPD seharusnya pada Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun
dibahas oleh DPR yang diwakili oleh alat 2001. Hal itu berarti bahwa, “ikut membahas”
kelengkapan DPR in casu bukan fraksi, harus dimaknai DPD ikut membahas RUU yang
Presiden yang diwakili oleh menteri yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan
ditunjuk, dan DPD yang diwakili oleh alat pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
kelengkapan DPD; penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
Menurut pertimbangan MK, kewenangan perimbangan keuangan pusat dan daerah, bersama
DPD untuk membahas RUU telah diatur dengan DPR dan Presiden. Dengan demikian, pembahasan
tegas dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 yang RUU harus melibatkan DPD sejak memulai
menyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah ikut pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau
membahas rancangan undang-undang yang panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan
berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pengantar musyawarah, mengajukan, dan
membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM)
16
Pasal 65 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011; Pasal 150 ayat
(3) UU No. 27 Tahun 2009 dan Pasal 68 ayat (3) UU No. serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap
12 Tahun 2011 Pasal 147 ayat (7), Pasal 150 ayat (5) UU akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian
No. 27 Tahun 2009, serta Pasal 68 ayat (5) UU No. 12 DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan
Tahun 2011 Pasal 150 ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1)
Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai
huruf a dan huruf b UU No. 27 Tahun 2009, serta Pasal
68 ayat (2) huruf c dan huruf d, dan ayat (4) huruf a dan dengan sebelum tahap persetujuan. Menurut MK,
Pasal 69 ayat (1) huruf a dan huruf b, serta ayat (3) UU pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan
No. 12 Tahun 2011.

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 205


sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. telah menentukan dengan jelas bahwa DPD
Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan hanya berwenang ikut membahas RUU yang
kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
DPR dan DPD memberikan pandangan. Begitu pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran,
pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber
kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal serta perimbangan keuangan pusat dan daerah
yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dan tidak ikut serta pada pemberian persetujuan
dari DPD, yaitu DPD diberikan kesempatan akhir yang lazimnya dilakukan pada rapat
memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan paripurna DPR pembahasan Tingkat II. Artinya,
Presiden memberikan pandangan. Konstruksi DPD dapat saja ikut membahas dan memberi
UUD 1945 mengenai pembahasan RUU antara pendapat pada saat rapat paripurna DPR yang
Presiden dan DPR, serta DPD (dalam hal membahas RUU pada Tingkat II, tetapi tidak
terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga memiliki hak memberi persetujuan terhadap
negara, sehingga DIM, diajukan oleh masing- RUU yang bersangkutan. Persetujuan terhadap
masing lembaga negara, dalam hal ini bagi DPR RUU untuk menjadi Undang-Undang, terkait
seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan DIM dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD
diajukan oleh fraksi. Walaupun demikian, MK 1945 yang menegaskan bahwa hanya DPR
dapat memahami bahwa mekanisme pembahasan dan Presidenlah yang memiliki hak memberi
RUU dengan membahas DIM yang diajukan persetujuan atas semua RUU. Kewenangan
oleh fraksi adalah praktik pembahasan RUU DPD yang demikian, sejalan dengan kehendak
sebelum perubahan UUD 1945. Selanjutnya awal (original intent) pada saat pembahasan
pembahasan pada tingkat Alat Kelengkapan DPR pembentukan DPD pada Perubahan Ketiga
yang sudah mengundang Presiden dan/atau sudah UUD 1945 yang berlangsung sejak tahun 2000
mengundang DPD, maka DPR dalam pembahasan sampai tahun 2001. Semula, terdapat usulan
DIM hanya diwakili oleh Alat Kelengkapan DPR bahwa kewenangan DPD termasuk memberi
sebagai satu kesatuan kelembagaan; persetujuan terhadap RUU untuk menjadi
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang-Undang, tetapi usulan tersebut ditolak.
menurut MK, Pasal 147, Pasal 150 ayat (2), ayat Pemahaman yang demikian sejalan dengan
(3) UU No. 27 Tahun 2009 dan Pasal 65 ayat (3), penafsiran sistematis17 atas Pasal 22D ayat (2)
Pasal 68 ayat (2), ayat (3) UU 12 Tahun 2011 UUD 1945 dikaitkan dengan Pasal 20 ayat (2)
telah mengurangi kewenangan konstitusional UUD 1945.
DPD untuk membahas RUU sebagaimana yang Bahwa Pasal 20 ayat (2) UUD 1945
ditentukan dalam UUD 1945. mengandung dua kewenangan, yaitu kewenangan
d. Ikut Menyetujui RUU untuk membahas dan kewenangan untuk
Ketentuan ikut menyetujui RUU bukan menyetujui bersama antara DPR dan Presiden,
merupakan kewenangan DPD yang disebutkan 17
Penafsiran sistematis adalah metode interpretasi yang
di dalam UUD 1945. Namun demikian, DPD antara lain diidentifikasikan oleh Sudikno Mertokusumo
dan A. Pitlo. Pengertiannya, terjadinya suatu Undang-
mendalilkan bahwa Pasal 71 huruf a, huruf d, dan
Undang selalu berkaitan dengan peraturan perundang-
huruf e, UU No. 27 Tahun 2009; Pasal 70 ayat undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang
(1) dan ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 telah berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan
mereduksi kewenangan konstitusional DPD sistem perundang-undangan. Setiap Undang-Undang
merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-
untuk ikut serta dalam memberikan persetujuan
undangan. Menafsirkan undang-undang sebagai bagian
sebagai produk dari mekanisme ikut membahas dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan
suatu RUU yang terkait dengan kewenangannya. jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain
Terhadap dalil permohonan tersebut, disebut dengan interpretasi sistematis atau interpretasi
logis. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan
menurut MK, Pasal 22D ayat (2) UUD 1945
Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 19-20.

206 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


sedangkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 hanya Pimpinan DPR menyampaikan surat
menegaskan DPD ikut membahas tanpa ikut kepada Pimpinan DPD untuk memberikan
memberi persetujuan. Berdasarkan pertimbangan pertimbangannya
tersebut, menurut Mahkamah, DPD tidak ikut 3) Apabila Rancangan Undang-Undang,
memberi persetujuan terhadap RUU untuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
menjadi Undang-Undang. Penafsiran ini sesuai berasal dari DPR, setelah Pimpinan DPR
dengan originalism, bahwa pembentukan DPD menyampaikan surat kepada Presiden,
memang dengan kewenangan terbatas dan Pimpinan DPR menyampaikannya juga
unequal dengan DPR. Bahkan Jimly menyebutkan kepada Pimpinan DPD untuk memberikan
dalam bidang legislasi, fungsi DPD hanyalah pertimbangannya.
sebagai co-legislator di samping DPR. Sifat 4) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
tugasnya di bidang legislasi hanya menunjang ayat (2) dan ayat (3), disampaikan secara
(auxiliary agency) tugas konstitusional DPR.18
tertulis melalui Pimpinan DPR paling
e. Memberikan Pertimbangan lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
Dalam hal memberikan pertimbangan, UU diterimanya surat dari Pimpinan DPR,
No. 22 Tahun 2003 mengatur bahwa pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
DPD diberikan dalam bentuk tertulis sebelum ayat (3).
memasuki tahapan pembahasan antara DPR 5) Pada Rapat Paripurna berikutnya, setelah
dan pemerintah. Pertimbangan tersebut menjadi pertimbangan sebagaimana dimaksud
bahan bagi DPR dalam melakukan pembahasan pada ayat (4) diterima Pimpinan DPR,
dengan pemerintah. Dalam UU No. 10 Tahun Pimpinan DPR memberitahukan kepada
2004, tidak ada pengaturan atau penjabaran Anggota perihal diterimanya pertimbangan
lebih lanjut mengenai pemberian pertimbangan. atas rancangan undang-undang dan
Undang-undang hanya mengulang apa yang meneruskannya kepada Badan Musyawarah
disebutkan dalam UUD 1945 bahwa DPD untuk meneruskan kepada alat kelengkapan
memberikan pertimbangan kepada DPR atas yang akan membahasnya.
RUU tentang anggaran pendapatan dan belanja 6) Apabila dalam waktu sebagaimana
negara dan RUU yang berkaitan dengan pajak, dimaksud pada ayat (3), DPD belum juga
pendidikan, dan agama. memberikan pertimbangan, DPD dianggap
Peraturan Tata Tertib DPR yang tertuang tidak memberikan pertimbangan, dan
di dalam Keputusan DPR No.: 08/DPR RI/ pembahasan terhadap Rancangan Undang-
I/2005-2006 mengatur ketentuan pemberian Undang, sebagaimana dimaksud pada ayat
pertimbangan sebagai berikut: (1), dapat dilaksanakan.
1) Terhadap RUU yang berkaitan dengan 7) Hari kerja, sebagaimana dimaksud pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, ayat (4) adalah hari kerja DPR pada Masa
pajak, pendidikan, dan agama, DPR menerima Sidang.
dan menindaklanjuti pertimbangan tertulis Pada periode berikutnya UU No. 27 Tahun
yang disampaikan oleh DPD, sebelum 2009 mengatur hampir sama dengan apa yang
memasuki tahap pembahasan antara DPR diatur oleh Peraturan Tata Tertib, yaitu:
dengan Presiden. 1) DPR menerima dan menindaklanjuti
2) Apabila Rancangan Undang-Undang, pertimbangan tertulis terhadap rancangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), undang-undang tentang APBN dan
berasal dari Presiden, setelah Pimpinan rancangan undang-undang yang berkaitan
DPR menerima Surat Pengantar Presiden, dengan pajak, pendidikan, dan agama yang
disampaikan oleh DPD sebelum memasuki
18
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga tahap pembahasan antara DPR dan
Negara Pasca Reformasi, (cetakan kedua); Jakarta, Setjen
Presiden.
dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hal 83.

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 207


2) Apabila rancangan undang-undang untuk meminta pertimbangan DPD atas RUU
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak,
dari Presiden, pimpinan DPR setelah pendidikan, dan agama.
menerima surat Presiden menyampaikan Berdasarkan uraian di atas, maka MK telah
surat kepada pimpinan DPD agar DPD melakukan penafsiran mengenai kewenangan
memberikan pertimbangannya. legislasi DPD melalui putusannya terhadap uji
3) Apabila rancangan undang-undang materi Undang-Undang No. 27 Tahun 2009
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yang
dari DPR, Pimpinan DPR menyampaikan diajukan oleh DPD. Penafsiran MK melalui
surat kepada pimpinan DPD agar DPD putusan tersebut menjabarkan lebih lanjut
memberikan pertimbangannya. ketentuan mengenai kewenangan legislasi
4) Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud DPD. Beberapa point penting dalam putusan
pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan MK terkait dengan kewenangan DPD adalah:
secara tertulis melalui pimpinan DPR 1. menempatkan RUU dari DPD sebagai
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU usul DPD, kemudian dibahas oleh
diterimanya surat dari pimpinan DPR, Badan Legislasi DPR, dan menjadi RUU
kecuali rancangan undang-undang tentang dari DPR adalah ketentuan yang mereduksi
APBN disampaikan paling lambat 14 (empat kewenangan DPD;
belas) hari sebelum diambil persetujuan 2. Pasal 147, Pasal 150 ayat (2), ayat (3)
bersama antara DPR dan Presiden. UU No. 27 tahun 2009 dan Pasal 65 ayat
5) Pada rapat paripurna berikutnya, pimpinan (3), Pasal 68 ayat (2), ayat (3) UU No. 12
DPR memberitahukan kepada anggota Tahun 2011 telah mengurangi kewenangan
DPR perihal diterimanya pertimbangan konstitusional DPD untuk membahas RUU
DPD atas rancangan undang-undang sebagaimana yang ditentukan dalam UUD
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan 1945;
meneruskannya kepada Badan Musyawarah 3. DPD tidak ikut memberi persetujuan
untuk diteruskan kepada alat kelengkapan terhadap RUU untuk menjadi undang-
yang akan membahasnya. undang;
DPD mendalilkan, Pasal 71 huruf f dan 4. Norma undang-undang yang tidak
huruf g, serta Pasal 107 ayat (1) huruf c UU No. melibatkan DPD dalam penyusunan
27 Tahun 2009 bermakna bias dan mengaburkan Program Legislasi Nasional telah mereduksi
esensi DPD dalam proses pembahasan RUU kewenangan DPD yang ditentukan oleh
yang terkait dengan kewenangannya. Selain itu, UUD 1945;
tugas Badan Anggaran dalam pembahasan RUU 5. “memberikan pertimbangan” sebagaimana
APBN tidak mempertimbangkan pertimbangan yang dimaksud Pasal 22D ayat (2) UUD
DPD. 1945 adalah tidak sama dengan bobot
Terhadap dalil DPD tersebut, menurut kewenangan DPD untuk ikut membahas
MK, makna “memberikan pertimbangan” RUU. Artinya, DPD memberikan
sebagaimana yang dimaksud Pasal 22D ayat (2) pertimbangan tanpa ikut serta dalam
UUD 1945 adalah tidak sama dengan bobot pembahasan dan merupakan kewenangan
kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU. DPR dan Presiden untuk menyetujui atau
Artinya, DPD memberikan pertimbangan tanpa tidak menyetujui pertimbangan DPD
ikut serta dalam pembahasan dan merupakan sebagian atau seluruhnya. Hal terpenting
kewenangan DPR dan Presiden untuk adalah adanya kewajiban dari DPR dan
menyetujui atau tidak menyetujui pertimbangan Presiden untuk meminta pertimbangan.
DPD sebagian atau seluruhnya. Hal terpenting
adalah adanya kewajiban dari DPR dan Presiden

208 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


B. Tindak Lanjut Putusan MK dan pembahasan prolegnas tahunan akan
Adanya putusan MK tersebut, bukan mengalami perubahan apabila mendasarkan
berarti tidak menyisakan permasalahan di dalam putusan MK, yang semula DPD terintegrasi ke
implementasinya. Masih terdapat beberapa hal dalam usulan DPR menjadi pihak tersendiri,
yang perlu disepakati secara politis dan diperjelas sehingga pembahasan akan dilakukan secara
dalam pelaksanaan putusan tersebut. Putusan tripartit, yaitu antara DPR, Presiden, dan
MK memang final and binding dan putusan DPD. Masing-masing lembaga menyiapkan
pengadilan memiliki kekuatan hukum yang usulan dan kemudian usulan tersebut dibahas
sama dengan undang-undang, dengan demikian secara bersama. Pembahasan tetap dilakukan
pada dasarnya putusan MK harus langsung di DPR dengan melibatkan ketiga lembaga
dilaksanakan tanpa perlu melakukan perubahan tersebut. Keputusan juga harus disepakati
terlebih dahulu terhadap undang-undang terkait. oleh ketiga lembaga tersebut. Mengingat
Namun demikian, akan terdapat celah-celah penetapan Prolegnas dengan Keputusan DPR
kekosongan hukum untuk mengatur mekanisme tidak dibatalkan oleh MK, maka pengambilan
pelaksanaannya secara lebih teknis, sebagaimana keputusan dilakukan di Rapat Paripurna
yang akan diuraikan berikut ini: DPR dan ditetapkan dengan bentuk hukum
a. Prolegnas keputusan DPR. Berkenaan dengan format
Berdasarkan undang-undang, Prolegnas daftar Prolegnas, sekarang ini format daftar
ditetapkan untuk satu periode keanggotaan prolegnas tidak sesuai dengan apa yang dimaksud
(5 tahun). Selanjutnya setiap tahunnya dalam UU No. 12 Tahun 2011. Format daftar
ditetapkan Prolegnas Prioritas Tahunan. Prolegnas 5 tahunan hanya terdiri dari 3 kolom,
Menurut ketentuan undang-undang, Prolegnas yaitu Nomor, Judul, dan Keterangan.
prioritas tahunan tersebut seharusnya sudah No. Judul Keterangan
ditetapkan sebelum penetapan RUU APBN
(bulan Oktober), namun ketentuan ini belum Format daftar Prioritas Tahunan terdiri dari
pernah dipenuhi. Prolegnas prioritas tahunan 4 kolom sebagai berikut:
sebelumnya ditetapkan pada akhir tahun.
PENYIAPAN
Terkait dengan putusan MK berkenaan dengan JUDUL
NO RUU DAN KETERANGAN
kewenangan DPD dalam penetapan Prolegnas, RUU
NA
untuk prolegnas 5 tahunan tentunya sudah
tidak dapat dilakukan karena telah ditetapkan
pada awal masa keanggotaan dan putusan Berdasarkan Pasal 19 UU No. 12 Tahun
MK ini tentunya tidak berlaku surut. Dengan 2011, Prolegnas memuat program pembentukan
demikian putusan ini hanya akan diterapkan Undang-Undang dengan judul Rancangan
pada saat penyusunan, pembahasan, dan Undang-Undang, materi yang diatur, dan
penetapan Prolegnas Prioritas Tahun 2014 keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-
atau tahun terakhir periode keanggotaan DPR undangan lainnya. Materi yang diatur dan
dan DPD. Permasalahan muncul mengingat keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-
Prolegnas Prioritas Tahunan itu sendiri undangan lainnya merupakan keterangan
mendasarkan pada Prolegnas yang 5 Tahunan. mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang
Dengan demikian, ada potensi bahwa dalam yang meliputi:
pembahasan Prolegnas prioritas tahun 2014 a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
yang melibatkan DPD, akan terjadi evaluasi b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan
terhadap Prolegnas 5 Tahunan. c. jangkauan dan arah pengaturan.
Selanjutnya terkait dengan masalah
teknis mekanisme pembahasan dan format Dengan demikian, apabila digambarkan
daftar Prolegnas. Mekanisme penyusunan dalam format, maka seharusnya format Prolegnas
adalah sebagai berikut:

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 209


Keterkaitan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai,
dengan “Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan
Judul Materi yang Peraturan atau keterangan dan/atau naskah akademik yang
No. Keterangan
RUU diatur Perundang- berasal dari DPD disampaikan secara tertulis
undangan
oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan
lain
kepada Presiden”
Berisi:
latar belakang Seharusnya DPR yang menyampaikan
dan tujuan
RUU usul DPD tersebut kepada Presiden dan
penyusunan;
sasaran meminta agar Presiden menunjuk Menteri yang
yang ingin mewakilinya dalam pembahasan. Demikian
diwujudkan; pula dengan RUU dari Presiden. Putusan MK
dan
menyatakan:
jangkauan
dan arah
“Pasal 144 bertentangan dengan Undang-
pengaturan. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
Kolom keterangan merupakan tambahan mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Rancangan
yang dapat digunakan untuk memberikan Undang-Undang yang berasal dari Presiden
keterangan sebagaimana yang telah dilakukan diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan
selama ini, yaitu apakah RUU tersebut dan DPR dan kepada pimpinan DPD untuk
Naskah akademiknya disiapkan oleh DPR, Rancangan Undang-Undang yang berkaitan
Pemerintah, dan sesuai dengan keputusan MK dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
ditambah dengan DPD. Dengan demikian, daerah, pembentukan dan pemekaran serta
prolegnas tidak sekedar terlihat sebagai daftar penggabungan daerah, pengelolaan sumber
kumpulan judul RUU, melainkan dapat terbaca daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan
kemana arah pengaturan yang hendak dituju.
daerah”.
Termasuk pula untuk mengantisipasi adanya
perbedaan penafsiran apakah sebuah RUU Apabila MK konsisten dengan penafsiran
terkait dengan kewenangan DPD untuk dapat kewenangan DPD sama dengan kewenangan
mengajukan dan membahas; memberikan Presiden, maka Presiden hanya mengajukan RUU
pertimbangan; atau tidak terkait dengan kepada DPR, dan DPR yang akan menyampaikan
kewenangan DPD. Selama ini masih ada dan mengundang DPD untuk membahas bersama
beberapa RUU yang masuk ranah “abu-abu”, atau memberikan pertimbangan. DPR merupakan
seperti RUU tentang Kepelabuhan. Penetapan muara dari pengajuan RUU, meskipun kemudian
di awal melalui Prolegnas akan mencegah tidak dapat mengambil keputusan terhadap RUU
potensi terjadinya sengketa kewenangan antara tersebut sebelum dibahas secara bersama.
DPD dengan DPR dan Presiden. Apalagi sebelum adanya pemetaan
kewenangan yang tertuang di dalam Prolegnas,
b. Pengajuan RUU
ada potensi terjadinya perbedaan pendapat
UUD 1945 menyebutkan bahwa RUU DPD
mengenai substansi RUU. Ada kemungkinan
diajukan kepada DPR. Berdasarkan putusan
DPD atau Presiden menganggap materi
MK, DPR tidak lagi melakukan pembahasan
muatan RUU tersebut masuk ke dalam
atau pengambilan keputusan terhadap RUU
kewenangan DPD, namun DPR dapat
tersebut. Namun demikian, DPD tidak dapat
berpendapat sebaliknya. Untuk mengantisipasi
secara bersamaan juga “mengajukan RUU”
hal tersebut, maka sebaiknya pemetaan RUU
kepada Presiden, sebagaimana putusan MK
dan keterkaitannya dengan kewenangan DPD
yang menyebutkan:
“Pasal 146 ayat (1) bertentangan dengan Undang-
harus dilakukan terlebih dahulu dan ditetapkan
Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Prolegnas.
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

210 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


c. Ikut membahas Presiden. Sementara apabila RUU dari DPR
Hal penting yang harus dicermati terkait kolom DIM nya adalah: No. DIM; RUU;
dengan putusan MK mengenai kewenangan Usulan Presiden; dan Usulan DPD. Hal yang
DPD ikut membahas RUU bersama dengan perlu diantisipasi berikutnya adalah pengaturan
DPR dan Presiden adalah pada saat pembahasan jadwal atau waktu pembahasan. Perlu ada
DIM. Selama ini Presiden merupakan satu waktu yang cukup bagi DPD untuk menyiapkan
kesatuan lembaga (meskipun dalam pembahasan DIM, mengingat DPD harus menyatukan
terkadang di antara kementerian terdapat pendapat dan aspirasi dari daerah-daerah yang
perbedaan pendapat), demikian pula dengan direpresentasikan oleh anggotanya.
DPD, apakah ada perbedaan pendapat Berdasarkan analisis di atas, terdapat
antardaerah yang direpresentasikan oleh anggota beberapa hal yang langsung dapat diterapkan
DPD, namun permasalahan tersebut harus dan ada beberapa hal yang masih harus
sudah diselesaikan di internal lembaga masing- dikoordinasikan oleh DPR, Presiden, dan DPD.
masing dan ketika pembahasan, kedua lembaga Selain dengan melakukan perubahan terhadap
tersebut satu pendapat. Berbeda dengan DPR yang undang-undang terkait, dapat dilakukan
komposisinya terdiri dari fraksi-fraksi, kecuali pula pembentukan peraturan bersama.
dalam hal RUU berasal dari DPR karena sudah Tuntutan DPD terhadap kewenangannya
melalui pembahasan di internal DPR. Untuk sebenarnya sudah disampaikan bahkan mulai
RUU yang disampaikan oleh Pemerintah dan pada periode sebelumnya. DPR dan DPD
DPD, mekanisme yang berlangsung sekarang sudah pernah bertemu dan satu hal positif
ini, bukan dibahas terlebih dahulu oleh fraksi- yang telah dicapai adalah kesepakatan terkait
fraksi untuk menghasilkan satu pendapat dengan penyelenggaraan Sidang Bersama
DPR, melainkan langsung dibahas dengan DPR dan DPD untuk mendengarkan pidato
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang kenegaraan Presiden bulan Agustus, dan
berisikan pendapat fraksi-fraksi. Tidak mungkin Sidang DPR dalam rangka penyampaian RUU
pembahasan RUU yang diusulkan oleh Presiden APBN dan Nota Keuangannya. Peraturan
dan DPD hanya disandingkan dengan satu DIM, bersama mengenai hubungan mekanisme
pendapat DPR. Pendapat DPR diputuskan kerja antara DPR dan DPD sebenarnya sudah
menjadi satu pada Pembicaraan tingkat II ada dalam bentuk rancangan, namun belum
ketika Pimpinan Rapat Paripurna menanyakan dibahas secara menyeluruh. Muncul pesimisme
persetujuan masing-masing fraksi. Apabila mengingat periode keanggotaan DPR dan DPD
masih terdapat perbedaan pendapat, maka saat ini sudah menjelang akhir, namun demi
keputusan dilakukan melalui suara terbanyak peningkatan kinerja legislasi, upaya tersebut
(voting). Setelah voting di DPR, baru kemudian harus dilakukan. Apabila tidak dapat digunakan
ditanyakan pendapat Presiden. Dalam hal ini, untuk periode ini, paling tidak DPR dan DPD
DPD tidak dimintakan pendapatnya karena periode ini memberikan landasan atau dasar bagi
RUU ditetapkan menjadi undang-undang bekerjanya DPR dan DPD periode berikutnya
hanya dengan persetujuan bersama DPR dan dan juga menjadi bahan untuk penyempurnaan
Presiden. Ada kemungkinan Presiden tidak undang-undang berikutnya.
menyetujui pendapat DPR hasil voting tersebut,
sehingga RUU tidak mendapatkan persetujuan IV. PENUTUP
bersama. A. Kesimpulan
Dengan demikian, untuk RUU dari Presiden Adanya putusan MK terkait dengan
kolom DIM nya adalah No. DIM; RUU; Usulan kewenangan legislasi DPD telah mengubah
Fraksi-Fraksi; dan Usulan DPD. Demikian pula praktek ketatanegaraan, khususnya di bidang
apabila RUU dari DPD kolomnya adalah No. legislasi atau pembentukan undang-undang.
DIM; RUU; Usulan Fraksi-Fraksi; dan Usulan Putusan MK sekaligus juga merupakan

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 211


penafsiran bagaimana menjabarkan ketentuan Meskipun putusan MK langsung berlaku
yang ada di dalam UUD 1945 ke dalam undang- dan dapat dilaksanakan, namun implementasi
undang. Terdapat beberapa penafsiran dalam terhadap putusan tersebut masih memerlukan
undang-undang yang dikoreksi melalui putusan pengaturan mekanisme teknis lebih lanjut.
MK, yaitu: Untuk itu, perlu ada koordinasi antara Presiden,
1. Mengenai kewenangan “dapat mengajukan DPR, dan DPD mengenai mekanisme teknis
RUU kepada DPR”, MK menyamakan pembentukan undang-undang pasca putusan
kewenangan tersebut dengan kewenangan MK tersebut.
Presiden yang berhak mengajukan RUU
kepada DPR. Perbedaannya Presiden B. Saran
berhak mengajukan RUU tanpa dibatasi Salah satu hal penting dari pembentukan
bidang tertentu, sementara DPD dibatasi undang-undang adalah dimulai dari perencanaan
untuk bidang tertentu sebagaimana yang dalam hal ini Prolegnas. Prolegnas
disebutkan dalam UUD 1945. Dengan dapat dikatakan menjadi pintu masuk bagi
persamaan kewenangan tersebut, maka pembentukan undang-undang dan bagaimana
DPR tidak lagi melakukan pembahasan keterlibatan DPD dalam pembentukan
maupun pengambilan keputusan terhadap undang-undang. Selain mengubah mekanisme
RUU yang diusulkan oleh DPD dan penyusunan dan penetapan, hal penting yang
kemudian menjadikan RUU usul DPD harus dilakukan adalah mengubah format daftar
tersebut sebagai RUU dari DPR. prolegnas dengan disesuaikan undang-undang
2. Pengajuan RUU terkait dengan perencanaan dan menambahkan keterangan kapasitas DPD
yang tertuang di dalam Prolegnas. Untuk itu dalam pembentukan RUU tersebut, apakah
DPD juga mempunyai kewenangan untuk dapat mengajukan dan membahas bersama;
mengusulkan, membahas, dan memberikan memberi pertimbangan; atau tidak terkait
persetujuan terhadap Prolegnas. dengan kewenangan DPD. Dengan adanya
3. Mengenai “ikut membahas RUU”, kesepakatan tersebut, akan memudahkan
DPD tidak lagi sekedar menyampaikan tahapan berikutnya, yaitu penyusunan dan
pandangan dan pendapat melainkan pembahasan, karena tidak akan ada lagi
ikut serta dalam pembahasan, yang di perdebatan apakah RUU tersebut terkait
dalam mekanisme DPR dilakukan melalui dengan kewenangan DPD atau tidak.
pembahasan DIM. Selanjutnya, agar pembentukan undang-
4. Namun demikian, meskipun DPD juga undang dapat lebih efektif, diperlukan adanya
meminta dapat memberikan persetujuan peraturan yang mengatur mekanisme teknis
terhadap RUU untuk disahkan menjadi pembentukan undang-undang antara DPR dan
undang-undang, MK memutuskan bahwa DPD. Peraturan tersebut telah dirintis sehingga
kewenangan tersebut tidak dimiliki oleh yang perlu dilakukan berikutnya adalah
DPD, melainkan tetap hanya dimiliki oleh melanjutkan pembahasan peraturan bersama
DPR dan Presiden. tersebut. Meskipun tidak dapat digunakan
5. Terhadap kewenangan memberikan untuk periode sekarang, namun paling tidak
pertimbangan, MK juga tidak memberikan dapat memberikan landasan bagi DPR dan
kewenangan lebih. Ada kewajiban DPR DPD periode berikutnya.
dan Presiden untuk meminta pertimbangan
DPD atas RUU APBN dan RUU yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama, namun pertimbangan tersebut
sifatnya tetap tidak mengikat.

212 NEGARA HUKUM: Vol. 4, No. 2, November 2013


DAFTAR PUSTAKA Internet
M. Arsyad Sanusi, Legal Reasoning dalam
Penafsiran Konstitusi dalam http://arfanhy.
blogspot.com/2009/03/legal-reasoning-
Buku dalam-penafsiran.html diakses pada tanggal
Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan Konsolidasi 22 Oktober 2013.
Lembaga Negara Pasca Reformasi.(cetakan
kedua). Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan Peraturan Perundang-undangan
MKRI, 2006. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Indonesia Tahun 1945.
Jakarta; PT. Gramedia, 1988. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor
Chen, Albert H. Y. The Interpretation of the Basic 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Law-Common Law and Mainland Chinese Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Perspectives. Hong Kong: Hong Kong Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Journal Ltd., 2000. Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Lijphart, Arend. Patterns of Democracy; Rakyat Daerah. (Lembaran Negara
Government Forms and Performance in Thirty Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
Six Countries. Yale University Press, 1999 92; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4310).
Mason, Anthony. The Interpretation of a
Constitution in a Modern Liberal Democracy, Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor
dalam Charles Sampford and Kim Preston 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
(Ed.), Interpreting Constitutions – Theories, Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran
Principles and Institutions. Leichhardt, The Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Federation Press, 1996. Nomor 53; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389).
Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Penemuan
Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993. Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Palguna, I Dewa Gede. Susunan dan Kedudukan Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Dewan Perwakilan Daerah. Makalah pada Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan
Focus Group Discussion “Kedudukan dan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik
Peranan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Indonesia Tahun 2009 Nomor 123;
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia” di Semarang, 25 Maret 2003 dan Indonesia Nomor 5043).
di Malang, 26 Maret 2003 dalam Janedjri
M. Gaffar. et all (editor), Dewan Perwakilan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor
Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Republik Indonesia, Jakarta; Setjen MPR- Peraturan Perundang-undangan. Lembaran
UNDP, 2003. Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82; Tambahan Lembaran Negara
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT Republik Indonesia Nomor 5234).
Citra Aditya Bakti, 2006.
Samsul, Innosentius, et all. (Tim Hukum Putusan Pengadilan
P3DI, Setjen DPR RI). Ruang Lingkup dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Mekanisme Pelaksanaan Fungsi Legislasi Indonesia Nomor 92/PUU-X/2012.
DPD. Jakarta, P3I Setjen DPR RI, 2003.

NOVIANTO M. HANTORO: Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah... 213

Anda mungkin juga menyukai