Anda di halaman 1dari 5

A.

Pendahuluan
I. Latar Belakang
Bahasa merupakan sebuah system alat interaksi sosial yang paling inti dalam
kehidupan karena bahasa tidak pernah lepas dari manusia, bahkan setiap saat pasti digunakan
dalam berbagai macam kegiatan. Karena bahasa digunakan untuk berbagai kegiatan dan
keperluan dalam kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa pun berperan penting sebagai
jembatan pemahaman antara pengguna bahasa. Makna merujuk pada tujuan atau pembicara
ketika mengatakan sesuatu.

Berbicara tentang makna bahasa serta pemahaman, para filsuf terdahulu sudah
membahas dengan berbagai perbedaan pandangan dan gagasan yang mereka bentuk menjadi
sebuah disiplin ilmu yang disebut hermeneutika.

Pada kesempatan kali ini, kita akan melakukan penelusuran mengenai apa
sebenarnya hermeneutika beserta para tokoh filosof yang menggagas disiplin ilmu tersebut.

II. Rumusan Masalah

1. Apa yang disebut dengan hermeneutika?

2. Bagaimana gagasan Hans George Gadamer dan Martin Heidegger tentang


hermeneutika?

3. Bagaimana kedudukan ilmu hermeneutika dari abad ke abad ? apakah ada


perbedaan ?
B. Pembahasan
I. Tokoh-Tokoh Penggagas Hermeneutika Serta Pemikiran dan
Karyanya
Pada jenjang pertamanya terhitung sejak hadirnya gerakan reformasi agama
hingga abad kesembilanbelas Masehi dan munculnya pemikir Friedrich D. E. Schleiermacher.
Masa kedua dari Schleiermacher hingga Martin Heidegger, dan zaman ketiga adalah pasca
Heidegger yang dikenal dengan nama hermeneutik filosofis. Hingga pada zaman
Schleiermacher, hermeneutik hanya difungsikan sebagai  media untuk interpretasi teks-teks
Kitab Suci agama.

Lalu pada abad ke dua puluh Masehi, Hans George Gadamer muncul dengan gagasan-
gagasan filosofisnya yang banyak menarik perhatian orang. Ia adalah seorang filosof Jerman
yang secara umum pemikirannya dilatarbelakangi oleh fenomenologi. Ia belajar filsafat
khususnya fenomenologi dari Martin Heidegger, salah seorang murid Edmund Husserl yang
ternama.

Martin Heidegger berpendapat bahwa apa yang membedakan tentang keberadaan


manusia adalah kesadaran kita memproyeksikan benda-benda dunia dan juga pada waktu yang
sama ditundukkan dunia oleh kodrat (nature) eksistensinya yang sebenarnya di dunia. Kita secara
tak terhindarkan bergabung dengan objek kesadaran kita itu juga. Pemikiran kita selalu dalam
sebuah situasi dan karena itu selalu bersifaat sejarah, meskipun sejarah itu tidak bersifat eksternal
dan sosial, melainkan bersifat personal dan berada di dalam.

Pendekatan situasional dari Martin Heidegger itu telah diaplikasikan dalam teori sastra
oleh Hans George Gadamer dalam karyanya “Truth and Method / Wahrheit und Methode” yang
diterbitkan tahun 1960, salah satu karya filsafat yang paling monumental dalam abad ke-20,
Gadamer menegaskan bahwa sebuah karya sastra tidak muncul ke dunia sebagai seberkas arti
yang selesai dan terbungkus rapi. Makna sangat bergantung pada situasi kesejarahan dari
penafsir.

Buku “Wahrheit Und Methode” pada dasarnya merupakan buku yang berisi tentang
hermeneutika. Lengkapnya adalah “Wahrheit und Method. Grundzuge einer philosophisen
Hermeneutik”. Buku ini merupakan suatu tahapan dalam sejarah hermeneutika. Baik dalam
bidang sejarah filsafat maupun dalam pandangan filsafat bahasa, karya ini memaparkan
pandangan pandangan baru yang menakjubkan. Karya R. Rorty yang berjudul Philosophy and
the mirror of nature pada tahun 1980 yang dianggap revulosioner, sebetulnya banyak yang
berhutang budi pada pandangan Gadamer dalam bidang filsafat bahasa. Dengan buku ini,
Gadamer menjadi filosof terkemuka di bidang hermeneutika di Jerman.1

1
Ahmad Hidayat, Asep, 2009, Filsafat Bahasa, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 167
II. Hermeneutika dan Perubahan Kedudukannya
Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa yunani hermeneuo atau
hermeneuin yang berarti mengartikan, menginterpretasikan, menerjemahkan, dan menafsirkan.
Dengan begitu kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau
interpretasi.2

Hermeneutika semula dalam khazanah filsafat klasik secara umum dan meluas di
kalangan bangsa Yunani kuno. Aristoteles telah menggunakan kata ini untuk menamai salah satu
bagian dari kitabnya yang bernama Arganon yang membahas tentang “Logika Proposisi”, dan ia
menamai bagian tersebut dengan Peri Hermeneias yang berarti “Bagian Tafsir”. Dalam kitabnya
ini, Aristoteles menganalisa tentang struktur gramatikal percakapan manusia. Dikatakan bahwa
dalam percakapan manusia yang biasanya diungkapkan dalam bentuk proposisi dimana untuk
menjelaskan tentang kekhususan sebuah benda maka mesti terjadi penyatuan antara subjek dan
predikat. Meskipun demikian, hingga masa renaisans yaitu hingga dekade ke enambelas Masehi,
hermeneutik belum dikokohkan sebagai salah satu disiplin ilmu.3

Pada periode modern, abad ketujuhbelas dan delapan belas, hermeneutika banyak
digunakan dalam dunia keagamaan untuk menunjukkan ajaran tentang aturan-aturan yang harus
diikuti dalam mengerti dan menafsirkan teks atau ayat – ayat kitab suci klasik. 4 Jadi pada periode
ini, hermeneutika belum dijadikan sebagai kegiatan filosofis.

Lalu pada masa kini, hermeneutika banyak meliputi semua tema filosofis yang
berhubungan erat dengan masalah bahasa, terutama tentang penafsiran dan “mengerti”.
Kemudian basis dari seluruh ilmu adalah metode penafsiran atau interpretasi, dan setiap cabang
dari pengetahuan dan makrifat senantiasa harus meliputi jenis ilmu ini yaitu ilmu tafsir. Rahasia
dari munculnya perspektif ini adalah karena mayoritas persangkaan dan anggapan yang muncul
pada masa itu adalah bahwa seluruh perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi pada cabang-
cabang ilmu dan pengetahuan seperti ilmu hukum, teologi, dan kedokteran senantiasa
membutuhkan suatu bantuan penafsiran atas teks-teks yang berkaitan dengan cabang-cabang
ilmu tersebut, dan konsekuensi dari hal ini adalah kemestian keberadaan suatu ilmu yang
bertanggung jawab terhadap penetapan tolok ukur dan penegasan metode yang berhubungan
dengan interpretasi dan penafsiran pengetahuan-pengetahuan tersebut.

Bagi pengikut ajaran hermeneutika, dunia yang kita tinggali ini merupakan sumber
pengetahuan yang paling mendasar dan terpenting. Bagi intelektual Barat yang mengikuti faham

2
Ahmad Hidayat, Asep, hal. 165
3
https://teosophy.wordpress.com/2009/09/12/apa-itu-hermeneutik
4
Ahmad Hidayat, Asep, hal. 166
empirisme (ilmu filsafat yang menyatakan bahwa semua ilmu pengetahuan berasal dari
pengalaman manusia) justru pengetahuan objektif yang menentukan pemahaman atas dunia yang
kita tinggali itu. Pengikut hermeneutika dalam mempelajari perilaku manusia mencari perspektif
yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang paling mendasar.5

C. Kesimpulan
Hermeneutika dari sebuah paham terkecil yang bahkan belum bisa dijadikan disiplin ilmu
dan kegiatan filosofis di abad keenambelas, kemudian dijadikan suatu aturan untuk menafsirkan
teks atau ayat ayat dari kitab suci di abad ketujuh belas, lalu pada abad dua puluh dengan adanya
revolusi pemikiran dari gadamer dengan karyanya yang monumental pada abad itu, kini
hermeneutika banyak meliputi semua tema filosofis yang berkaitan erat dengan masalah bahasa,
berikut dengan pemahaman dan penafsiran.

5
Alwasilah, Prof. Dr. Chaedar, 2008, Filsafat bahasa dan pendidikan, Remaja Rosadakarya, Bandung, hal. 125
D. Daftar Pustaka
1. Ahmad Hidayat, Asep, 2009, Filsafat Bahasa, Remaja Rosdakarya, Bandung

2. Alwasilah, Prof. Dr. Chaedar, 2008, Filsafat bahasa dan pendidikan, Remaja
Rosadakarya, Bandung

3. https://teosophy.wordpress.com/2009/09/12/apa-itu-hermeneutik

Anda mungkin juga menyukai