Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis yang berupa


penyakit viral akut pada Susunan Saraf Pusat dengan gejala berupa
kelumpuhan progresif serta seringkali berakhir dengan kematian.
Penyakit ini ditularkan umumnya melalui gigitan hewan pembawa Rabies.

Berbagai jenis virus dapat menginvasi sistem saraf pusat dan


menimbulkan penyakit. Bab ini membahas mengenai rabies, ensefalitis
viral yang ditakuti sejak dahulu kala yang hingga saat ini masih
merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan , infeksi virus lambat,
dan ensefalopati spongiform yang dapat ditransmisikan kelainan
neurodegeneratif yang jarang yang disebabkan oleh agen yang tidak
konvensional yang disebut “prion.”

Rabies merupakan penyakit virus akut dari sitem saraf pusat yang
mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi
biasanya saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui
gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang aerosol virus atau atau
proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat
memulai proses penyakit.

Virus yang menjadi penyebabnya adalah virus neutropik, yang


hanya dapat berkembang biak didalam jaringan saraf. Ukuran virus antara
100-150 milimikron. Virus ini tahan terhadap kekeringan, akan tetapi
mudah dimatikan dengan menggunakan anticeptik, sinar matahari
langsung, pemanasan, dan radiasi dengan menggunakan sinar ultraviolet.
Masa inkubasi pada hewan sekitar 3-6 minggu setelah gigitan hewan
rabies, sedangkan pada manusia tergantung dari parah tidaknya luka
gigitan, jauh tidaknya luka dengan susunan susunan saraf pusat,
banyaknya saraf pada luka, jumlah virus yang masuk, serta jumlah luka
gigitan.

Secara umum, penularan rabies terjadi diakibatkan infeksi karena


gigitan binatang. Namun rabies juga dapat menular melalui beberapa
cara antara lain melalui cakaran hewan, sekresi yang mengkontaminasi
membran mukosa, virus yang masuk melalui rongga pernapasan, dan
transplantasi kornea. Virus rabies menyerang jaringan saraf, dan
menyebar hingga sistem saraf pusat, dan dapat menyebabkan
encephalomyelitis (radang yang mengenai otak dan medulla spinalis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN

Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada


manusia dan mamalia yang berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh
virus rabies yang termasuk genus lyssa-virus. Famili Rhabdoviridae dan
menginfeksi manusia melalui sekret yang terinfeksi pada gigitan binatang.
Nama lain ialah hydrophobia. La rage (Perancis), la rabbia (Italia). La rabia
(Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia dikenal ssebagai
penyakit anjing gila.

B. SEJARAH EPIDEMIOLOGI

Rabies telah dikenal sejak jaman Raja Hammurabi pada 2300 SM


di Babilonia. Di Inggris dikenal sejak tahun 1026.

Di Indonesia, kasus Rabies pada kerbau pernah ditemukan oleh


Esser di Jawa Barat pada tahun 1889. Dan pada manusia tercatat oleh EV
de Haan pada tahun 1894. Pada kurun waktu 1945-1980 tercatat terjadi
Rabies di Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 1953, di
Sulawesi Utara tahun 1956, di Sumatera Selatan tahun 1959, di Lampung
tahun 1969, di Aceh tahun 1970, di Jambi dan Yogyakarta tahun 1971, di
DKI Jaya dan bengkulu tahun 1972, di Kalimantan Timur tahun 1974, di
Riau tahun 1975, di Kalimantan Tengah tahun 1978, di Kalimantan
Selatan tahun 1983, di Pulau Flores NTT 1977.

Kasus gigitan oleh hewan pembawa Rabies di Indonesia akhir-


akhir ini semakin marak. Bahkan di Bali dalam kurun waktu 2 tahun
terakhir ini terjadi banyak kasus gigitan oleh anjing penderita rabies.
Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa
negara yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia,
Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai,
Selandia Baru, Jepang dan Taiwan. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977
rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi yang dinyatakan bebas rabies
adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya. Data rabies yang akurat jarang
dijumpai pada banyak negara di dunia sehingga sulit untuk menentukan
insidensi penyakit ini secara global. Pada survei tahun 1999, 45 negara
dari 145 negara yang disurvei dilaporkan tidak dijumpai kasus rabies di
tahun tersebut. Jumlah kematian didunia karena penyakit rabies pada
manusia diperkirakan lebih 50.000 orang tiap tahunnya dan terbanyak
pada negara-negara Asia dan Afrika yang merupakan daerah endemis
rabies. Dari tahun 1997 sampai tahun 2003 dilaporkan lebih 86.000 kasus
gigitan binatang tersangka rabies diseluruh Indonesia (rata-rata per tahun
12.400 kasus) dan yang terbukti rabies 538 orang (rata-rata 76 kasus per
tahun). Pada tahun 2000 kasus rabies paling banyak dilaporkan dari
provinsi NTT (59 kasus), Sulawesi Tenggara (14 kasus), Sumatera Barat (8
kasus), Bengkulu dan Sulawesi Selatan (masing-masing 7 kasus). Pada
tahun 2001 kasus terbanyak terjadi di Sumatera Barat (18 kasus),
Sulawesi Tenggara (13 kasus) dan NTT (11 kasus), sedangkan pada tahun
2002 dan 2003 tidak ada provinsi yang melaporkan lebih dari 10 kasus
pertahun. Di Indonesia binatang penggigit yang paling banyak adalah
anjing (90%), kucing (6%), kera dan lain-lain (4%). Di Asia rabies banyak
dijumpai di India, Sri Lanka, Pakistan, Bangladesh, China, Filipina dan
Thailand. Negara lain yang juga banyak dijumpai kasus rabies adalah
Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan, Amerika Serikat.

C. ETIOLOGI
Rabies disebut juga lyssa, Tollwut atau penyakit anjing gila.
Penyebabnya dalah virus rabies yang merupakan virion dengan genome
RNA. Berdasarkan struktur genom dan model struktur replikasinya, rabies
diklasifikasikan famili Rhabdoviridae (dalam bahasa Yunani , rhabdo
berarti batang) dalam ordo mononegavirales yang merupakan kelompok
famili dengan genom linear negative ssRNA. Rhabdoviridae dikenal
sebagai virus berbentuk peluru dengan salah satu ujungnya datar.
Ukurannya berkisar 170.180 nm x 65-75 nm dengan berat molekul 3,5-4,6
x 106 Delton atau 13-16 kb. Virion atau virus ini terdiri dari nucleocapsid
helix dan envelope yang tersusun atas 50% protein (Glikoprotein =
protein –G) dan 50% lipid. Virus ini bereplikasi pada sitoplasma sel.

D. EPIDEMIOLOGI

Sembilan puluh persen kasus rabies ditularkan ke manusia melalui


gigitan anjing. Anjing dan kucing merupakan sumber penularan rabies
yang paling penting, karena dua jenis hewan inilah yang paling dikenal
sebagai pet animal sehingga kedua hewan ini pula yang paling sering
kontak dengan manusia.

Semua mamalia pada dasarnya peka terhadap infeksi virus rabies


tetapi terdapat urutan kepekaan dari berbagai species dari mamalia.
Mamalia yang paling peka dan seringkali merupakan kasus rabies spontan
adalah golongan anjing, misalnya anjing domestikasi (anjing peliharaan),
anjing hutan, serigala dan rubah. Beberapa species lain digolongkan
kedalam kepekaan sedang yaitu raccoon, aigung dan kelelawar vampire.
Sedangkan yang kurang kepekaannya adalah golongan tupai.

Manusia umumnya tertular karena gigitan hewan penderita


rabies, karena virus rabies akan berada dalam kelenjar ludah hewan yang
terinfeksi sekitar lima sampai tujuh hari sebelum gejala klinis terlihat.
Terdapat dua bentuk epizootic rabies yaitu urban rabies yang
terjadi pada jenis mmamalia per animal dan sylvatic rabies yang terjadi
pada jenis mamalia liar.

Kepekaan terhadap infeksi rabies dan masa inkubasinya


tergantung pada latar belakang genetic dari host, jumlah inokulum, serta
jarak antara tempat masuknya virus ke sel host dengan central nervous
system.

E. PATOGENESIS

Gigitan hewan maupun dapat juga terjadi melalui kulit yang lecet
akibat cakaran hewan penderita hewan. Virus rabies yang ada pada ludah
penderita rabies akan masuk ke host melalui luka. Replikasi awal virion ini
terjadi pada jaringan otot bergaris atau jaringan subepitel dan akan
berlanjut terus sehingga konsentrasi virus mencapai maksimal yang
berakhir sampai ujung saraf yang sensitive atau sampai ke neuron. Virus
rabies ini rupanya mengikat diri pada receptor xel berupa Ach-receptor
(Acetylcholine esterase) pada sel neuron sampai ke daerah axon. Pada
fase berikutnya terjadi perpindahan infeksi pasif asam inti virus secara
centripetal di dalam axon menuju Central Nervus System. Daerah
pertama yang dicapai pada masa perpindahan ini adalah sumsum tulang
dan segera mengadakan replikasi. Apabila hasil dari replikasi ini semakin
banyak pada sel saraf, maka akan terjadi kerusakan sistim saraf terutama
sistem saraf perifer. Perubahan perilaku dapat terjadi pada fase ini, hal ini
kemungkinan karena terjadi kerusakan sel saraf akibat replikasi virus yang
sangat banyak sehingga terjadi pula kerusakan pada sel saraf/cortex yang
mengatur perilaku. Hal ini pula yang dikatakan sebagai ciri spesifik dari
infeksi virus rabies. Pada central nervus system juga terjadi infeksi oleh
virus rabies ini, sehingga kemungkinan dapat terjadi depresi, coma
bahkan kematian. Selain
itu, pada saat yang sama juga terjadi replikasi virus rabies yang
sangat banyak pada sistem saraf perifer, virus ini bergerak secara
centrifugal didalam sistim saraf perifer dan berjalan secara pasif lagi
didalam axon.

F. TRANSMISI

Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti


anjing, kucing, kera, serigala, kelelawar, dan ditularkan pada manusia
melalui gigitan binatang atau kontak virus (saliva binatang) dengan luka
pada host ataupun melalui membran mukosa. Kulit yang utuh merupakan
barier pertahanan terhadap infeksi. Transmisi dari manusia ke manusia
belum pernah dilaporkan. Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan
masuknya virus lewat luka pada kulit (garukan, lecet, luka robek) atau
mukosa. Paling sering infeksi terjadi melalui gigitan anjing, tetapi bisa
juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya yang terinfeksi
(serigala, musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui
inhalasi dimana dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang
mengunjungi gua kelelawar tanpa ada gigitan. Dapat pula kontak virus
rabies pada kecelakaan kerja di laboratorium, atau akibat vaksinasi dari
virus rabies yang masih hidup. Terjangkitnya infeksi rabies juga dilaporkan
pada tindakan transplantasi kornea dari donor yang mungkin terinfeksi
rabies.

G. STADIUM
- Stadium Prodromal
Stadium prodromal berlangsung 1-4 hari dan biasanya
tidak didapatkan gejala spesifik. Umumnya disertai gejala respirasi
atau abdominal yang ditandai oleh demam, menggigil, batuk,
nyeri menelan, nyeri perut, sakit kepala, malaise, mialgia, mual,
muntah, diare dan nafsu makan menurun. Gejala yang lebih
spesifik yaitu adanya adanya gatal dan parestesia pada luka bekas
gigitan yang sudah sembuh (50%). Stadium ini dapat berlangsung
selama 10 hari. Kemudian penyakit akan berlanjut sebagai gejala
neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik.
Mioedema (mounding of part of the muscle struck with a reflex
hammer which than disappears in the few seconds) dijumpai pada
stadium prodromal dan menetap selama perjalanan penyakit.
- Stadium Neurologik Akut
Dapat berupa gejala furiuos atau paralitik. Pada gejala
furious penderita menjadi hiperaktif, disorientasi, mengalami
halusinasi, atau bertingkah laku aneh. Setelah beberapa jam –
hari, gejala hiperaktif menjadi intermitten setiap 1-5 menit berupa
periode agitasi, ingin lari, menggigil di selingi periode tenang.
Keadaan hiperaktif dapat terjadi karena rangsangan dari luar
seperti suara, cahaya, tiupan udara dan rangsangan lainnya yang
menimbulkan kejang sehingga timbul bermacam-macam fobia
terhadap rangsangan – rangsangan tersebut. Bila penderita diberi
segelas air minum dan mencoba meminumnya akan terjadi
spasme hebat otot-otot faring, akibatnya penderita akan menjadi
takut air, yang khas untuk rabies. Keadaan yang sama dapat
ditimbulkan oleh rangsangan sensorik seperti meniupkan udara ke
muka pasien (aerofobia), atau dengan menjatuhkan sinar ke mata
(fotofobia) atau dengan menepuk tangan didekat telinga pasien.
Tanda-tanda klinis yang lain dapat dijumpai berupa hiperaktifitas,
halusinasi, gangguan kepribadian, meningismus, lesi saraf
kranialis, fasikulasi otot dan gerakan-gerakan involunter, fluktuasi
suhu badan, dilatasi pupil. Lesi pada amigdaloid memberikan
gejala libido yang meningkat, priapismus, dan orgasme yang
spontan. Gejala otonomik pada stadium ini diantaranya adalah
dilatasi pupil yang ireguler, lakrimasi, hipertermia, takikardi,
hipotensi postural, hipersalivasi. Bila stadium ini dapat terlewati,
penderita masuk ke stadium paralitik.
Apabila penderita tidak meninggal, 20% penderita akan
masuk ke stadium paralitik yang ditandai oleh demam dan sakit
kepala, paralisis pada ekstremitas yang digigit, mungkin difus atau
simetri, atau dapat menyebar secara ascenden seperti pada GBS
dan kaku kuduk dapat di jumpai. Seluruh manifestasi neurologik
akut terjadi selama 2-7 hari dengan fase oaralitik lebih panjang.
- Stadium Koma

Apabila tidak terjadi kematian pada stadium neurologik,


penderita dapat mengalami koma. Koma dapat terjadi selama 10
hari setelah gejala rabies tampak dan dapat hanya berlangsung
beberapa jam sampai berbulan-bulan tergantung dari penanganan
intensif. Pada penderita yang tidak ditangani, penderita dapat
segera meninggal setelah menjadi koma. Dan pada penanganan di
Amerika serikat rata-rata lamanya perawatan sampai 13 hari.
Beberapa komplikasi dapat terjadi dan menjadi penyebab
kematian. Sampai saat ini hampir keseluruhan penderita rabies
meninggal, hanya ada 4 laporan ensefalitis rabies hidup. Dua
penderita diberi vaksin imunoglobulin sesudah gigitan multipel
dan bertahan hidup lama (34 bulan pada 1 kasus0 tetapi dengan
gangguan neurologik yang berat. Dua kasus lain didiagnosis
sebagai sebagai ensefalitis rabies setelah pemberian vaksin
embrio bebek dan suckling mouse vaccume tetapi diagnosis hanya
berdasarkan tes serologi (tidak dijumpai antigen/virus).

H. GEJALA KLINIS
Pada hewan ataupun manusia, masa inkubasi rabies umumnya
panjang berkisar dari sekitar satu minggu hingga lebih dari satu tahun
semenjak masuknya virus rabies, umumnya sekitar satu bulan. Pada
intinya masa inkubasi tergantung dari jarak lokasi gigitan dengan Central
Nervus System, semakin jauh lokasi port d’entry dari virus rabies ini dari
otak maka semakin lama masa inkubasinya.

Pada hewan, khususnya anjing, gejala klinis dapat dikategorikan


dalam fase yaitu fase prodromal yang berupa demam dan terjadi
perubahan perilaku, selanjutnya memasuki fase eksitasi berupa
kegelisahan, respons yang berlebihan terhadap suara ataupun cahaya dan
anjing cenderung menggigit. Fase berikutnya adalah paralitik yang
ditandai dengan kejang, dysphagia, hydrophobia, hipersalivasi,
kelumpuhan otot termasuk otot pernapasan dan diakhiri dengan
kematian.

Beberapa literature mengatakan rabies terdiri dari dua bentuk


yaitu dumb rabies dan furious rabies. Pada dumb rabies umumnya terjadi
gangguan menelan, bersembunyi dan jarang menggigit, selanjutnya
dalam kurun waktu sekitar empat hari akan terjadi paralisa progresif yang
berakhir dengan kematian. Bentuk ini umumnya jarang menular ke
manusia. Sebaliknya bentuk furious umumnya terlihat gejala umum
misalnya menurunnya nafsu makan, gelisah, bersembunyi, sensitive dan
agresif, menyerang segala sesuatu yang berada disekitarnya, kejang-
kejang yang berakibat dysphagia, hidrophobia, hipersalivasi, selanjutnya
terjadi paralisa dan kematian. Bentuk furous ini yang biasanya menular ke
manusia akibat gigitan hewan penderita.

Pada manusia, fase prodromal berlangsung pendek sekitar dua


sampai empat hari yang ditandai dengan malaise, anoreksia, sakit kepala,
nausea, vomit, sakit tenggorokan dan demam. Selanjutnya memasuki
fase sensorik yang berupa terjadinya sensasi abnormal disekitar tempat
infeksi yang kemudian berlanjut ke fase eksitasi berupa ketegangan,
ketakutan, hyperlacrimasi, kaku otot, keinginan melawan, dilatasi pupil,
keringat berlebihan, halusinasi, dysphagia sehingga hipersalivasi dan
hydrophobia. Kematian biasanya diakibatkan karena paralisa otot
pernapasan

I. DIAGNOSIS

Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan observasi laboratorium


berupa pembuatan preparat jaringan otak hewan yang menggigit dengan
pewarnaan seller, untuk menemukan inclusion bodies/ negri bodies yang
terdapat terutama pada medulla spinalis. Cara lain adalah dengan
imunofluoresensi langsung dengan menggunakan serum anti rabies
hamster.

J. TINDAKAN

Pada manusia yang tergigit hewan di didaerah tertular rabies


perlu diwaspadai. Luka gigitan harus sesegera mungkin dicuci dengan
detergent selama 5-10 menit dibawah air yang mengalir sebagai upaya
untuk merusak envelope dari virus rabies. Selanjutnya diberi alcohol 70%
atau iodium tincture. Luka sebaiknya tidak dijahit, bila harus dijahit maka
dilakukan setelah diberi local antiserum dan jahitan tidak boleh terlalu
erat sehingga menghalangi perdarahan atau drainase.

Pencegahan imunologis terhadap rabies pada manusia adalah


dengan memberikan Human Rabies Imunoglobulin (HRIG) secepat
mungkin setelah terpajan untuk menetralisir virus pada luka gigitan,
dengan dosis tunggal 20 IU/kg BB, setengahnya di injeksikan kedalam
dan di sekitar luka dan setengahnya diberikan IM. Selanjutnya diberikan
vaksin pada tempat yang berbeda untuk mendapatkan imunitas akut
dengan HDCV atau RVA dalam 5 dosis 0,5 atau 1,0 cc IM pada dawrah
deltoid. Dosis pertama diberikan segera setelah gigitan (pada saat yang
sama diberikan dosis tunggal HRIG) dan dosis selanjutnya pada hari ke
3,7,14 dan 28 setelah dosis pertama.

K. KOMPLIKASI

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan


biasanya timbul pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa
peningkatan tekanan intra-kranial, kelainan pada hipotalamus berupa
diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD);
disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi,
hipertermia/hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat lokal
maupun generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan
gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi
hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan
depresi pernapasan terjadi fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena
gagal jantung kongestif. Dehidrasi dan gangguan otonomik.

L. PENCEGAHAN

Perlu dilakukan imunisasi dengan vaksin rabies pada hewan


peliharaan yang peka terutama pada anjing, kucing, dan kera.

Perlu pelaporan pada dinas yang terkait apabila terjadi kasus


gigitan hewan tersangka rabies atau diwilayah terpapar rabies.

Imunisasi prapajanan terhadap orang yang beresiko tinggi terkena


rabies mungkin perlu dilakukan dengan HDCV (Human Diploid Cell Rabies
Vaccine), RVA (Rabies Vaccine Adsorbed) atau PCBC (Purified Chick
Embryo Cell Vaccine) misalnya pada orang-orang yang bekerja sebagai
dokter hewan petugas suaka alam pada daerah anzootik atau epizootic,
petugas karantina hewan, petugas laboratorium atau petugas lapangan
yang bekerja dengan rabies atau wisatawan yang berkunjung dalam
waktu lama pada daerah endemis rabies.

M. PROGNOSIS

Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila


virus sudah mencapai sistem saraf. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972
dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun
sejak tahun 1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang
dilaporkan hidup. Prognosis rabies selalu fatal karena sekali gejala rabies
telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai
akibat gagal napas/henti jantung ataupun paralisis generalisata. Berbagai
penelitian dari tahun 1986 sampai 2000 yang melibatkan lebih 800 kasus
gigitan anjing pengidap rabies di negsra endemis yang segera
mendapatkan perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan
angka survival 100%.
DAFTAR PUSTAKA

1. CHIN J.2006.Manual Pemberantasan Penyakit Menular.Infomedika.Edisi


17.Cetakan II,497-507.
2. DEPKES RI, DIRJEN PPM & PL.2000.Petunjuk Perencanaan &
Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka/Rabies di Indonesia
3. Jackson AV, Warrell MJ, Rupprecht VE et al. Management rabies in
human CID 2003;36: 60-63
4. Bleck TP, Rupprecht CE. Rabies virus In : Mendell GL, Bennet JE, Dolin R
(Eds). Mendell, Douglas and Bennett’s Principles and Practice of Infectious
Disease. 5th ed. Churchill Livingstone, philadelphia 2000, pp 1811-1820.
5. Digjen P2M & PLP Depkes RI. Modul pelatihan pemberantasan rabies bagi
kepala Puskesmas. Jakarta 1997, hal. 1-17.
6. Fishbein DB, Bernard KW. Rabies Virus. In : Mendell GL. Bennet JE, Dolin R
(Eds). Mendell, Douglas and Bennet’s Principles and Practice of Infectious
Disease.4th ed. Churchill Livingstone, Philadelphia 1995, pp 1527 – 1541.
7. Hanloon CA, Corey L : Rabies virus and other rhabdoviruses. In : Kasper
DL, Fauci AS, Braunwald E, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL I (Eds).
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed. Vol.1. McGraw Hill,
New York 2004, pp 1155 – 1160
8. Keystone JS, Kozarsky PE. Health advice for international travel. In :
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL (Eds),
Harrison’s Principles of internal Medicine. 16 th ed . Vol. 1. McGraw Hill,
New York 2004, pp 725 – 731.
9. Andrews NJ et al: Deaths from varian Creutzfeldt-Jacob disease in the
U.K. Lancet 2003; 361 : 751.
10. Rabies Vaccines: WHO position paper. Weekly Epidemiol Record 2002,
77:109.

Anda mungkin juga menyukai