PENDAHULUAN
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sitem saraf pusat yang
mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi
biasanya saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui
gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang aerosol virus atau atau
proses pencernaan atau transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat
memulai proses penyakit.
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN
B. SEJARAH EPIDEMIOLOGI
C. ETIOLOGI
Rabies disebut juga lyssa, Tollwut atau penyakit anjing gila.
Penyebabnya dalah virus rabies yang merupakan virion dengan genome
RNA. Berdasarkan struktur genom dan model struktur replikasinya, rabies
diklasifikasikan famili Rhabdoviridae (dalam bahasa Yunani , rhabdo
berarti batang) dalam ordo mononegavirales yang merupakan kelompok
famili dengan genom linear negative ssRNA. Rhabdoviridae dikenal
sebagai virus berbentuk peluru dengan salah satu ujungnya datar.
Ukurannya berkisar 170.180 nm x 65-75 nm dengan berat molekul 3,5-4,6
x 106 Delton atau 13-16 kb. Virion atau virus ini terdiri dari nucleocapsid
helix dan envelope yang tersusun atas 50% protein (Glikoprotein =
protein –G) dan 50% lipid. Virus ini bereplikasi pada sitoplasma sel.
D. EPIDEMIOLOGI
E. PATOGENESIS
Gigitan hewan maupun dapat juga terjadi melalui kulit yang lecet
akibat cakaran hewan penderita hewan. Virus rabies yang ada pada ludah
penderita rabies akan masuk ke host melalui luka. Replikasi awal virion ini
terjadi pada jaringan otot bergaris atau jaringan subepitel dan akan
berlanjut terus sehingga konsentrasi virus mencapai maksimal yang
berakhir sampai ujung saraf yang sensitive atau sampai ke neuron. Virus
rabies ini rupanya mengikat diri pada receptor xel berupa Ach-receptor
(Acetylcholine esterase) pada sel neuron sampai ke daerah axon. Pada
fase berikutnya terjadi perpindahan infeksi pasif asam inti virus secara
centripetal di dalam axon menuju Central Nervus System. Daerah
pertama yang dicapai pada masa perpindahan ini adalah sumsum tulang
dan segera mengadakan replikasi. Apabila hasil dari replikasi ini semakin
banyak pada sel saraf, maka akan terjadi kerusakan sistim saraf terutama
sistem saraf perifer. Perubahan perilaku dapat terjadi pada fase ini, hal ini
kemungkinan karena terjadi kerusakan sel saraf akibat replikasi virus yang
sangat banyak sehingga terjadi pula kerusakan pada sel saraf/cortex yang
mengatur perilaku. Hal ini pula yang dikatakan sebagai ciri spesifik dari
infeksi virus rabies. Pada central nervus system juga terjadi infeksi oleh
virus rabies ini, sehingga kemungkinan dapat terjadi depresi, coma
bahkan kematian. Selain
itu, pada saat yang sama juga terjadi replikasi virus rabies yang
sangat banyak pada sistem saraf perifer, virus ini bergerak secara
centrifugal didalam sistim saraf perifer dan berjalan secara pasif lagi
didalam axon.
F. TRANSMISI
G. STADIUM
- Stadium Prodromal
Stadium prodromal berlangsung 1-4 hari dan biasanya
tidak didapatkan gejala spesifik. Umumnya disertai gejala respirasi
atau abdominal yang ditandai oleh demam, menggigil, batuk,
nyeri menelan, nyeri perut, sakit kepala, malaise, mialgia, mual,
muntah, diare dan nafsu makan menurun. Gejala yang lebih
spesifik yaitu adanya adanya gatal dan parestesia pada luka bekas
gigitan yang sudah sembuh (50%). Stadium ini dapat berlangsung
selama 10 hari. Kemudian penyakit akan berlanjut sebagai gejala
neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik.
Mioedema (mounding of part of the muscle struck with a reflex
hammer which than disappears in the few seconds) dijumpai pada
stadium prodromal dan menetap selama perjalanan penyakit.
- Stadium Neurologik Akut
Dapat berupa gejala furiuos atau paralitik. Pada gejala
furious penderita menjadi hiperaktif, disorientasi, mengalami
halusinasi, atau bertingkah laku aneh. Setelah beberapa jam –
hari, gejala hiperaktif menjadi intermitten setiap 1-5 menit berupa
periode agitasi, ingin lari, menggigil di selingi periode tenang.
Keadaan hiperaktif dapat terjadi karena rangsangan dari luar
seperti suara, cahaya, tiupan udara dan rangsangan lainnya yang
menimbulkan kejang sehingga timbul bermacam-macam fobia
terhadap rangsangan – rangsangan tersebut. Bila penderita diberi
segelas air minum dan mencoba meminumnya akan terjadi
spasme hebat otot-otot faring, akibatnya penderita akan menjadi
takut air, yang khas untuk rabies. Keadaan yang sama dapat
ditimbulkan oleh rangsangan sensorik seperti meniupkan udara ke
muka pasien (aerofobia), atau dengan menjatuhkan sinar ke mata
(fotofobia) atau dengan menepuk tangan didekat telinga pasien.
Tanda-tanda klinis yang lain dapat dijumpai berupa hiperaktifitas,
halusinasi, gangguan kepribadian, meningismus, lesi saraf
kranialis, fasikulasi otot dan gerakan-gerakan involunter, fluktuasi
suhu badan, dilatasi pupil. Lesi pada amigdaloid memberikan
gejala libido yang meningkat, priapismus, dan orgasme yang
spontan. Gejala otonomik pada stadium ini diantaranya adalah
dilatasi pupil yang ireguler, lakrimasi, hipertermia, takikardi,
hipotensi postural, hipersalivasi. Bila stadium ini dapat terlewati,
penderita masuk ke stadium paralitik.
Apabila penderita tidak meninggal, 20% penderita akan
masuk ke stadium paralitik yang ditandai oleh demam dan sakit
kepala, paralisis pada ekstremitas yang digigit, mungkin difus atau
simetri, atau dapat menyebar secara ascenden seperti pada GBS
dan kaku kuduk dapat di jumpai. Seluruh manifestasi neurologik
akut terjadi selama 2-7 hari dengan fase oaralitik lebih panjang.
- Stadium Koma
H. GEJALA KLINIS
Pada hewan ataupun manusia, masa inkubasi rabies umumnya
panjang berkisar dari sekitar satu minggu hingga lebih dari satu tahun
semenjak masuknya virus rabies, umumnya sekitar satu bulan. Pada
intinya masa inkubasi tergantung dari jarak lokasi gigitan dengan Central
Nervus System, semakin jauh lokasi port d’entry dari virus rabies ini dari
otak maka semakin lama masa inkubasinya.
I. DIAGNOSIS
J. TINDAKAN
K. KOMPLIKASI
L. PENCEGAHAN
M. PROGNOSIS