Anda di halaman 1dari 3

Bagaimana Jika Proyek Energiewende Jerman Dialihkan Saja Untuk Energi

Nuklir?
by R. Andika Putra Dwijayanto29 Desember 2019
Ancaman perubahan iklim menjadi salah satu isu lingkungan terkuat pada
abad 21. Emisi CO2 dari aktivitas manusia memicu pemanasan global, yang
kemudian akan berimbas pada perubahan iklim. Dengan laju emisi CO2 saat ini,
temperatur permukaan bumi dapat naik hingga 3°C pada akhir abad 21.
Dampaknya adalah bencana iklim; cuaca ekstrem makin merajalela, kekeringan,
kebakaran hutan, penyebaran penyakit, hingga krisis pangan.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) merekomendasikan
untuk mengerem laju kenaikan temperatur permukaan bumi dibawah 2°C, walau
Hansen et al menganggap pembatasan itu masih kurang memadai [4]. Namun,
berapapun tergetnya, untuk mencapai target tersebut, emisi CO2 harus direduksi
dalam jumlah signifikan. Energi fosil, sumber utama emisi CO2, harus direduksi
konsumsinya dan diganti dengan energi bersih. Itulah yang sedang dilakukan oleh
sebagian negara, termasuk Jerman.
Namun, walau lembaga-lembaga seperti IPCC merekomendasikan energi
nuklir sebagai bauran energi bersih untuk reduksi karbon, Jerman memilih untuk
phase out energi nuklir mereka. Jerman berencana untuk menutup PLTN terakhir
mereka pada 2022. Hal ini merupakan bagian dari program Energiewende.
Program ini berencana untuk mencapai bauran 80% energi terbarukan pada 2040
tanpa menggunakan energi nuklir sama sekali.
Sayangnya Jerman tidak berhasil. Walaupun Jerman akan menghabiskan
hingga USD 580 milyar hingga 2025 untuk program Energiewende, mereka
dipastikan gagal memenuhi target reduksi emisi CO2 pada tahun 2020, dengan
margin cukup tinggi. Selain itu, Jerman masih sangat tergantung dengan batubara,
khususnya lignite yang merupakan bentuk batubara paling boros dan paling kotor.
Memang aneh. Alih-alih menutup PLTU batubara terlebih dahulu, justru
PLTN yang pertama-tama ditutup oleh Jerman, dengan dalih reduksi emisi CO2.
Padahal energi nuklir hanya melepaskan emisi CO2 sebesar 12 g/kWh sementara
batubara sebesar 820-1100 g/kWh [10].
Ah, andai saja Jerman tidak anti nuklir. Mungkin mereka akan lebih sukses
dalam mereduksi emisi CO2. Tapi, benarkah?
Mari kita buktikan. Mari kita asumsikan bahwa dana yang akan dihabiskan
oleh Jerman untuk Energiewende dialihkan seluruhnya untuk energi nuklir alih-
alih energi terbarukan.
Sulit untuk memperkirakan berapa biaya membangun PLTN di Jerman.
Mengingat, PLTN paling muda di Jerman mulai beroperasi tahun 1989, 30 tahun
yang lalu. Karena itu, diasumsikan bahwa biaya pembangunan PLTN di Jerman
setara dengan Amerika Serikat. US EIA (Energy Information Administration)
mengestimasikan overnight cost PLTN Amerika Serikat sebesar USD 5.224/kW,
atau sekitar USD 5,2 milyar per GW.
Energiewende akan menghabiskan dana USD 580 milyar hingga 2025.
Kalau dana ini dialihkan untuk membangun PLTN dengan biaya di atas, maka
akan didapatkan PLTN dengan daya total 111,03 GWe. Artinya, ada tambahan
lebih dari 10 kali lipat kapasitas PLTN di Jerman saat ini yang sebesar 9,44 MWe.
Pada tahun 2018, berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy,
Jerman memproduksi listrik sebesar 76,1 TWh dari PLTN [12]. Angka ini setara
dengan faktor kapasitas (capacity factor/CF) sebesar 91,92%. Namun, Fraunhofer
ISE mengajukan data berbeda, yakni hanya 72,1 TWh [8]. Di sini, angka dari BP
Statistical Review of World Energy yang digunakan, untuk menghindari bias
politis.
Menggunakan faktor kapasitas 91,92%, didapatkan bahwa PLTN baru yang
dibangun dari dana Energiewende akan menghasilkan listrik sebesar 894,65 TWh.
Itu belum termasuk dari PLTN yang telah ada sebesar 76,1 TWh. Sehingga, total
energi nuklir menghasilkan 970,75 TWh.
Angka ini lebih besar dari pembangkitan listrik Jerman secara keseluruhan
pada tahun 2018 sebesar 648,7 TWh, atau lebih tinggi 50%. Menilik tren konsumsi
listrik Jerman selama 10 tahun terakhir, kecil kemungkinan konsumsi listrik
Jerman akan naik drastis pada 2025. Jadi, angka ini masih sangat berlebih.
Dengan demikian, dana yang diinvestasikan ke Energiewende dapat
digunakan secara efektif dan efisien seandainya Jerman bersikap lebih “cerdas”
untuk mengalihkannya ke nuklir. Secara praktis, energi nuklir dapat menggantikan
seluruh energi fosil dan energi terbarukan sekaligus dalam pembangkitan listrik
Jerman, itupun masih surplus 50%.
Hal ini berarti emisi CO2 Jerman dari sektor kelistrikan dapat dipangkas
habis-habisan. Mari kita buktikan.
Pertama, hitung berapa emisi CO2 dari sektor kelistrikan Jerman. BP
Statistical Review of World Energy hanya menyediakan data emisi karbon dari
seluruh sektor energi, bukan hanya kelistrikan. Sehingga, emisi dari sektor
kelistrikan perlu dihitung secara manual. Untuk emisi dari energi fosil, data
pembangkitan energi diambil dari BP Statistical Review of World Energy dan
Fraunhofer ISE, yang terakhir untuk pembagian antara lignite dan hard coal.
Faktor emisi untuk energi fosil dan biomassa diambil dari IPCC Guidelines
for National Greenhouse Gas Inventories. Sementara untuk energi nuklir dan
terbarukan diambil dari IPCC Annex III: Technology-specific cost and
performance parameters dari dokumen Climate Change 2014: Mitigation of
Climate Change. Pembagian emisi biomassa diambil dari Bioenergy in Germany:
Facts and Figures 2019.
Total, sektor kelistrikan Jerman melepaskan 127 juta ton CO2 ke atmosfer
pada tahun 2018, sekitar 17,53% dari emisi CO2 total. Menggunakan standar emisi
nuklir dari IPCC, didapatkan bahwa 970,75 TWh listrik energi nuklir melepaskan
11,65 juta ton CO2 ke atmosfer. Dengan demikian, peralihan investasi
Energiewende ke energi nuklir dapat mereduksi emisi CO2 hingga 90,84% dari
level 2018!
Perolehan ini dengan asumsi biaya pembangunan PLTN setara Amerika
Serikat, yang notabene cukup mahal. Pembangunan secara konsisten dan
berkesinambungan, sebagaimana pengalaman Korea Selatan, akan menurunkan
biaya secara cukup signifikan [15-16]. Artinya, dapat dibangkitkan lebih banyak
lagi energi dari nuklir dengan dana yang sama atau lebih sedikit dana yang
dibutuhkan untuk mengganti kapasitas pembangkitan energi Jerman saat ini.
Ah, andai saja Jerman tidak anti nuklir… Andai saja mereka tidak
terkooptasi ideologi Partai Hijau… Jerman sudah pasti jadi panutan dunia dalam
usaha reduksi emisi CO2. Bukannya buang-buang uang untuk usaha yang
diprediksikan gagal memenuhi target

Anda mungkin juga menyukai