Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
oleh
Azmy Avi Alizain
NIM 192311101035
____________________________ ______________________________
BAB 1. LAPORAN PENDAHULUAN
1.1.3 Etiologi
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya tumor otak
yakni sebagai berikut (Yueniwati, 2017).:
a. Hereditas
Sindrom hereditas seperti von Recklinghausen’s Disease, tuberous
sclerosis, retinoblastoma, multiple endocrine neoplasma dapat
meningkatkan risiko tumor otak. Gen yang terlibat dikelompokkan dalam
dua jenis yaitu tumor-suppressor genes dan oncogenes. Selain itu,
sindroma seperti Turcot dapat menimbulkan kecenderungan genetika
untuk glioma, tetapi hanya 2%.
b. Radiasi
Radiasi ionizing radiation dapat menyebabkan tumor otak jenis
neuroepithelial tumors, meningiomas, dan nerve sheath tumor. Selain itu,
paparan terhadap sinar X juga dapat meningkatkan risiko tumor otak.
c. Substansi-substansi karsinogenik
Terdapat substansi karsinogenik seperti nitrosamides dan nitrosoureas
yang dapat menyebabkan tumor sistem saraf pusat, diantaranya seperti:
d. Virus
Infeksi virus juga dipercaya dapat menyebabkan tumor otak, contohnya
virus Epstein-barr
e. Gaya hidup
Penelitian telah menunjukkan bahwa makanan yang diawetkan seperti
daging asap atau acar berkorelasi dengan peningkatan risiko tumor otak.
Selain itu, risiko tumor otak menurun pada individu yang mengonsumsi
lebih banyak buah dan sayur
1.1.4 Klasifikasi
a. Berdasarkan lokasi:
1. Tumor supratentorial:
a) Hemisfer otak:
Glioma: gliomablastoma multiforme, astrositoma,
oligodendroglioma
Meningioma: tumor metastasis
b) Tumor struktur median: adenoma hipofisis, tumor grandula
pinealis, kraniofaringioma
2. Tumor infratentorial:
a) Schwannoma akustikus
b) Tumor metastasis
c) Meningioma
d) Hemangioblastoma
3. Tumor medulla spinalis:
a) Ekstadural: metastasis
b) Intradural
c) Ekstramedular: meningioma, neurofibroma
d) Intramedural: ependinoma, astrositoma
b. Berdasakan jenis tumor:
1. Jinak: acoustic neuroma, meningioma
2. Malignant: astrocytoma (grade 2, 3, 4), oligondedroglioma.
1.1.5 Patofisiologi
Karsinogenesis yang diinduksi karsinogen kimia, fisik maupun biologik
memerlukan waktu yang disebut periode laten yaitu waktu dari hari pertama kali
terpapar suatu karsinogen sampat terlihat kanker secara klinis. Fase ini terbagi
menjadi tiga fase yaitu (Yueniwati, 2017):
a. Fase inisiasi
Karsinogen kimia seperti golongan alkilating dapat langsung
menyerang tempat dalam molekul yang banyak elektronnya, yang disebut
karsinogen nukleofilik. Karsinogen golongan lain misalnya golongan
polycyclic aromatic hydrocarbon sebelum menyerang dikonversikan
(diaktifkan) dulu secara metabolik (kimiawi) menjadi bentuk defisit
elektron yang disebut karsinogen elektrofilik reaktif. Tempat yang
diserang adalah asam nukleat (DNA/RNA) atau protein dalam sel
terutama di atom nitrogen, oksigen dan sulfur. Air dan Glutation juga
dapat diserang, dalam beberapa kasus reaksi ini dikatalisasi oleh enzim
seperti glutathione-S-transferase. Ikatan karsinogen dengan DNA
menghasilkan lesi di materi genetik. RNA yang berikatan dengan
karsinogen bermodifikasi menjadi DNA yang dimutasi. Karsinogen kimia
yang berikatan dengan DNA disebut genotoksik dan yang tidak berikatan
dengan DNA disebut epigenetik.
Karsinogen genotoksik dapat juga mempunyai efek epigenetik.
Kokarsinogen dan promotor termasuk dalam karsinogen epigenetik yang
menyebabkan kerusakan jaringan kronis, perubahan sistem imun tubuh,
perubahan hormon atau berikatan dengan protein yang represif terhadap
gen tertentu. Jadi karsinogen epigenetik dapat mengubah kondisi
lingkungan sehingga fungsi sebuah gen berubah, bukan strukturnya.
Waktu yang dibutuhkan dari pertama kali sel diserang karsinogen
sampai berbentuk lesi di materi genetik adalah beberapa menit saja. Sel
berusaha mengoreksi lesi ini dengan detoksifikasi kemudian diekskresi
atau dapat terjadi kematian sel atau reparasi DNA yang rusak oleh enzim
sel menjadi sel yang normal kembali. Karsinogen kima dapat
didetoksifikasi/dinon-aktifkan kemudian dapat langsung diekskresikan.
Tetapi dari proses penon-aktifan ini dapat terbentuk metabolit yang
karsinogenik. Sebelum terjadi reparasi DNA, dapat terjadi replikasi DNA
melalui satu siklus proliferasi sel yang menyebabkan lesi DNA menjadi
permanen dan hal ini disebut fiksasi lesi. Waktu yang dibutuhkan dari
pertama kali saat sel diserang karsinogen sampai terjadinya fiksasi lesi
(terbentuk sel terinisiasi) adalah beberapa hari (1-2 hari). Pada jaringan
yang mengalami peradangan atau sedang berproliferasi (misalnya luka
yang dalam proses penyembuhan) atau jaringan yang berproliferasi terus-
menerus (misalnya sum-sum tulang, epitel saluran pencernaan) tanpa
terangsang dari luar pun dapat terjadi replikasi DNA. Pada peradangan
belum diketahui apakah akibat terjadinya peradangan membantu
pertumbuhan sel atau menyebabkan melemahnya daya tahan tubuh. Sel
yang terinisiasi dapat mengalami kematian, bila tidak, maka sel dapat
masuk ke fase promosi/ pada akhir fase inisiasi belum terlihat perubahan
histologis dan biokimiawi dan hanya terlihat nekrosis sel dengan
meningkatnya proliferasi sel.
b. Fase promosi
Sel yang terinisiasi dapat tetap tenang bila tidak dihidupkan oleh
zat yang disebut promotor. Promotor sendiri tidak dapat menginduksi
perubahan ke arah neoplasma sebelum bekerja pada sel terinisiasi. Jika
promotor ditambahkan pada sel terinisiasi dalam kultur jaringan, sel ini
akan berproliferasi. Jadi, promotor adalah zat proliferatif. Fase promosi
adalah proses yang menyebabkan sel terinisiasi berkembang menjadi sel
preneoplasma oleh stimulus zat lain (pormotr). Berdasarkan percobaan,
fase ini berlangsung selama bertahun-tahun (≥10 tahun) dan terjadi secara
reversibel sebelum terbentuknya sel tumor yang otonom.
Sel preneoplasma dapat tumbuh terus pada kultur jaringan,
sedangkan sel normal akan berhenti tumbuh. Sel preneoplasma lebih tahan
terhadap lingkungan yang tidak mendukung dan kemampuan kloningnya
lebih besar. Kebanyakan sel-sel prenepolasma beregresi menjadi sel
berdiferensiasi normal, tetapi sebagian kecil mengalami perkembangan
progresif menjadi sel-sel neoplasma yang irreversibel. Pada akhir fase
promosi terdapat gambaran histologis dan biokimiawi yang abnormal.
c. Fase progresi
Fase ini berlangsung selama berbulan-bulan. Pada awal fase ini,
sel preneoplasma dalam stadium metaplasia berkembang progresif
menjadi stadium displasia sebelum menjadi neoplasma. Pada populasi sel-
sel terjadi ekspansi secara spontan dan irreversibel. Sel-sel menjadi
kurang responsif terhadap sistem imunitas tubuh dan regulasi sel. Pada
esofagus epitel berlapis gepeng berubah atau metaplasia menjadi epitel
selapis thorak yang kemudian berkembang menjadi jaringan dalam
keadaan displasia hingga berkembang menjadi neoplasma. Pada kolon,
polip adalah bentuk metaplasia. Pada tingkat metaplasia dan permulaan
displasia (ringan sampai sedang) masih bisa terjadi regresi atau remisi
yang spontan ke tingkat lebih awal yang frekuensinya makin menurun
dengan bertambahnya progresifitas lesi tersebut. Batas yang pasti pada
perubahan lesi preneoplasma menjadi neoplasma sulit ditentukan. Pada
akhir fase ini, gambaran histologis dan klinis menunjukkan keganasan.
b. Peningkatan TIK
Terjadi akibat beberapa faktor, diantaranya yaitu: bertambahnya
massa dalam tengkorak, terbentuknya edema sekita tumor, dan perubahan
sirkulasi cairan serebrospinal. Beberapa tumor dapat menyebabkan
perdarahan. Obstruksi vena dan edema yang disebabkan oleh kerusakan
sawar darah otak, semuanya menimbulkan kenaikan volume intrakranial
dan meningkatkan TIK. Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal dari
ventrikel lateral ke ruangan subaraknoid menimbulkan hidrosefalus.
Mekanisme kompensasi bekerja menurunkan volume darah
intrakranial, volume cairan serebrospial, kandungan cairan intra sel dan
mengurangi sel-sel parenkim. Peningkatan TIK yang tidak segera
ditangani mengakibatkan herniasi unkus atau serebellum. Herniasi ulkus
muncul jika girus medialis lobus temporalis tergeser ke inferior melalui
insisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi menekan
menesefalon, menyebabkan hilangnya kesadaran dan saraf kranial III.
Pada herniasi serebellum, tonsil serebellum tergeser ke bawah
melalui foramen magnum oleh suatu massa posterior. Kompresi medulla
oblongata dan henti pernapasan dapat terjadi dengan cepat. Perubahan
fisiologis lainnya yaitu bradikardi progresif, hipertensi sistemik (pelebaran
tekanan nadi) dan gangguan pernapasan.
Glioma
Lobus Cerebello
Lobus Frontal Lobus Temporal Lobus Parietal Batang Serebelum
Oksipital Pontin Angle
Otak
1. Perubahan 1. Hemianopsia, 1. Gangguan 1. Homonymou 1. Nervus VIII Neuropati 1. Gangguan
kepribadian seperti yaitu sensorik dan s yaitu acustic cranial berjalan dan
depresi dan penyempitan motorik yang hemianopsia neurinoma dengan gejala
masalah psikis bidang kontralateral yang 2. Gejala awal gejala- peningkatan
2. Jika jaras motorik penglihatan 2. Homonymou kontralateral berupa gejala TIK seperti
ditekan oleh tumor 2. Gejala s 2. Gangguan gangguan seperti mual,
hemiparese kontra neuropshyciatric hemianopsia penglihatan fungsi diplopia, muntah dan
lateral dapat seperti amnesia, 3. Lesi pada yang pendengaran facial nyeri kepala
menimbulkan hypergraphia lobus berkembang weakness 2. Nyeri
kejang fokal. dan Déjà vu dominan menjadi dan kepala khas
Gejala ini biasanya 3. Lesi pada lobus dapat object dysarthria di daerah
ditemukan pada dominan dapat menimbulkan agnosia oksipital
stadium lanjut menimbulkan gejala yang
3. Jika menekan gejala afasia disfasia menjalar ke
permukaan media 4. Lesi yang leher dan
dapat tidak spasme dari
menyebabkan dominan otot-otot
inkontinensia dapat servikal
4. Pada lobus menimbulkan
dominan dapat geographic
menimbulkan agnosia dan
gejala afasia dressing
apraxia
1.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosa yaitu:
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, hemostasis, LDH, fungsi hati, ginjal, gula
darah, dan elektrolit lengkap
b. Radiologi
CT Scan berguna untuk melihat adanya tumor pada langkah awal
penegakan diagnosis dan sangat baik untuk menentukan klasifikasi, lesi
erosi/destruksi pada tulang tengkorak. MRI dengan kontras dapat melihat
gambaran jaringan lunak dengan lebih jelas dan sangat baik untuk tumor
infratentoral, namun memiliki keterbatasan dalam menentukan
klasifikasi.
c. Pemeriksaan cairan serebrospinal
d. Foto polos
e. Biopsi stereotatik
f. Angiografi serebral
g. Ekoensefalogram
Dapat memberikan informasi mengenai pergeseran kandungan
intraserebral
h. EEG (elektroensefalogram)
Dapat memberikan informasi mengenai perubahan kepekaan neuron
i. Arterigrafi atau ventricolugram
Untuk mendeteksi kondisi patologi pada sistem ventrikel dan cisterna
1.1.9 Penatalaksanaan
a. Farmakologi
b. Non Farmakologi
1. Pembedahan
2. Radiotherapy
Kasus malignant glioma dilanjutkan dengan interstitial
radiotherapy/ brachytherapy dengan radioaktif Irridium192 atau
Iodine-125 langsung ke tumor.
3. Chemotherapy
Temozolomide dilakukan pada kasus Anaplastic
Oliogodendroglioma (grade III)
1.2 Clinical Pathway
Etiologi
Tumor otak
Kompensasi batang otak Statis vena serebral Bergesernya ginus medialis labis temporal
ke inferion melalui insisura tentorial
Iritasi pusat vagal di Obstruksi sistem serebral
medulla oblongata Obstruksi drainage vena Herniasi serebral
retina
Muntah proyektil
Menekan mesensefalon
Papil edema
Risiko gangguan
keseimbangan cairan Kompresi saraf optikus (N.III/IV) Kompresi Hilangnya
dan elektrolit medulla kesadaran
oblongata
Gangguan penglihatan
Defisit nutrisi
Henti Penurunan nervus
Perubahan persepsi napas okulomotorius (NIII)
1.3 Proses Keperawatan
1.3.1 Pengkajian
a. Identitas pasien
Identitas pasien terdiri dari, usia (sering terjadi pada orang dewasa), jenis
kelamin (sering terjadi pada laki-laki), jenis pekerjaan dan alamat rumah
(letak geografis).
b. Keluhan utama
Klien tumor otak biasanya sering mengeluhkan nyeri kepala, mual muntah
c. Riwayat penyakit sekarang
Terdapat massa pada kranial
d. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit tumor sebelumnya yang berpotensi untuk metastase,
cedera kepala dan lainnya
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit anggota keluarga yang pernah mengalami hal serupa
f. Pengkajian Keperawatan:
1) Aktivitas/istrirahat
Kaji tentang pekerjaan yang berhubungan dengan munculnya gejala
Selulitis dan hambatan istirahat/tidur sebelum dan setelah sakit serta
mobilisasi di tempat tidur
2) Sirkulasi
Kaji peningkatan frekuensi pernapasan (RR), adanya syok dan edema
3) Eliminasi
Kaji adanya perubahan pola BAK dan BAB
4) Makanan dan cairan
Kaji adanya mual, muntah, anoreksia, dan kebutuhan cairan serta
nutrisi
5) Aman dan nyaman
Kaji kondisi yang menyebabkan tidak nyaman
g. Pemeriksaan Fisik:
1) Sistem Kardiovaskular
Pasien Tumor otak dapat mengalami bradikadi dan hipertensi
2) Sistem Respirasi
Frekuensi napas dapat meningkat (takipneu) dan dapat menurun
(dipsneu), potensial obstruksi jalan nafas, disfungsi neuromuskuler
3) Sistem Gastrointestinal
Pola makan dapat terganggu, nafsu makan berkurang, dan mual
muntah. Kemungkinan frekuensi BAB menjadi berkurang dari
keadaan sebelumnya. Mukosa bibir kering dapat terjadi sebagai tanda
kurangnya cairan dan nutrisi
4) Sistem Persarafan
Kejang, tingkah laku aneh, disorientasi, afasia, penurunan atau
kehilangan memori, afek tidak sesuai, berdesis
5) Sistem Muskuloskeletal
Klien tumor otak dapat mengalami hiperekstensi, kelemahan sendi
6) Sistem Integumen
Suhu tubuh bisa berubah, pada tahap awal pasien mengeluh demam,
edema, kemerahan dan nyeri tekan pada area kepala.
7) Sistem Urinaria
Kaji pola eliminasi urin warna urin, bau urin dan volume urin output
serta kemampuan BAK
8) Sistem Indra
Klien Tumor otak dapat mengalami penurunan lapang pandang,
penglihatan kabur, tinitus, penurunan pendengaran dan halusinasi
9) Sistem Hormonal
Amenorea, rambut rontok dan DM
1.3.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot
pernapasan
b. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot
pernapasan
c. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan lesi
akibat tumor
d. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan TIK
e. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan
f. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
1.3.3 Intervensi Keperawatan