Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Metode Ushul Al-Masail dan Cara Penggunaannya

      Kata Ushul al-Masail adalah bentuk jamak dari ashal al-masalah, secara sederhana dapat
dianalogikan dengan angka kelipatan persekutuan terkecil. Angka ini secara rinci akan dijelaskan
kemudian.

        Langkah pertama dalam pembagian waris adalah menyeleksi:

1.    Siapa ahli waris yang termasuk dzawi al-arham[1]

2.    Siapa ahli waris yang termasuk ashab al-furudl[2]

3.    Siapa ahli waris yang termasuk ashab al-ashabah[3]

4.    Siapa ahli waris yang mahjub[4]

5.    Menetapkan bagian-bagian tertentu yang diterima oleh masing-masing ashab al-furudl

       Apabila seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari:

1.        Suami

2.        Dua anak perempuan

3.        Cucu perempuan garis perempuan

4.        Ibu

5.        Tiga saudara seibu

6.        Bapak

7.        Nenek garis ibu

8.        Anak laki-laki saudara seibu

9.        Paman

10.    Kakek
      Yang termasuk ahli waris dzawi al-arham adalah:

1.    Cucu perempuan garis perempuan

2.    Anak laki-laki saudara seibu

           Adapun ahli waris yang terhalang (mahjub):

1.    3 saudara seibu, terhalang oleh anak perempuan dan bapak

2.    Nenek garis ibu, terhalang oleh ibu dan bapak

3.    Paman, terhalang oleh bapak

4.    Kakek, terhalang oleh bapak

     Jadi ahli waris yang menerima bagian dan besarnya (ashab al-furudl al-muqaddarah) adalah
sebagai berikut:

1.    Suami                                         ¼   (karena ada anak)

2.    2 anak perempuan                      2/3 (karena dua orang)

3.    Ibu                                             1/6 (karena ada anak)

4.    Bapak                                        1/6 + ‘ashabah (karena bersama anak perempuan)

      Dalam menetapkan angka asal masalah, setelah diketahui bagian masing-masing ahli waris
(ashab al-furudl al-muqaddarah), adalah mencari angka kelipatan persekutuan terkecil, yang dapat
dibagikan oleh masing-masing angka penyebut (menyamakan penyebut) dari bagian ahli waris yang
ada.

1.  Tamatsul atau mumatsalah, yaitu apabila angka penyebut masing-masing bagian ahli waris sama
besarnya. Maka angka asal masalahnya adalah mengambil angka tersebut.

2. Tadakhul atau mudakhalah, yaitu apabila angka penyebut masing-masing bagian ahli waris, yang satu
bisa masuk untuk membagi angka penyebut yang lain yang lebih besar. Angka asal masalahnya
adalah diambil angka penyebut yang besar.

3.  Tawafuq atau muwafaqah, yaitu apabila angka penyebut pada bagian ahli waris tidak sama, angka
penyebut yang kecil tidak dapat untuk membagi angka penyebut yang besar. Tetapi masing-masing
angka penyebut yang ada dapat dibagi oleh angka yang sama. Maka perumusan angka asal
masalahnya adalah mengalikan angka penyebut yang satu dengan hasil bagi angka penyebut yang
lain. 8*(6:2) = 24, atau 6*(8:2) = 24 antara angka 6 dan 8 adalah muwafaqah.

4.  Tabayun atau mubayanah, yaitu apabila angka penyebut pada bagian yang diterima ahli waris
masing-masing tidak sama, angka penyebut yang kecil tidak dapat untuk membagi angka penyebut
yang besar, dan masing-masing angka penyebut yang ada tidak dapat dibagi oleh satu angka yang
sama. Maka menetapkan angka asal masalahnya adalah dengan cara mengalikan angka penyebut
masing-masing.

B.  Metode Tashhih al-Masail dan Penggunaannya

      Tashhih al-masail adalah mencari angka asal masalah yang terkecil agar dapat dihasilkan bagian
yang diterima ahli waris tidak berupa angka pecahan.[5] Metode tashhih al-masail ini hanya
dipergunakan apabila bagian yang diterima ahli waris berupa angka pecahan.

      Adapun langkah-langkah yang harus diambil dalam tashhih al-masail adalah sebagai berikut:

1.  Memerhatikan pecahan pada angka bagian yang diterima ahli waris (yang terdapat dalam satu
kelompok ahli waris)

2. Memerhatikan pada angka bagian yang diterima ahli waris, terdapat pada lebih dari satu kelompok
ahli waris.[6]

      Selanjutnya untuk menetapkan angka tashhih al-masailnya ditempuh dengan cara:

1.    Mengetahui jumlah person (“kepala”) penerima warisan dalam satu kelompok ahli waris.

2.    Mengetahui bagian yang diterima kelompok tersebut.

3.    Mengalikan jumlah person dengan bagian yang diterima kelompoknya.

      Jika misalnya, seseorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri dari: ibu, ayah, 2 anak laki-laki, dan
2 anak perempuan. Maka bagian masing-masing adalah:

      Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa bagian yang diterima anak laki-laki dan perempuan
adalah 6 bagian. Jika bagian laki-laki 2 kali bagian perempuan, maka jumlah person (“kepala”)nya
adalah 2 laki-laki = 4, dan 2 perempuan = 2. Jadi seluruhnya memerlukan 6 bagian.
     Angka 4 tidak bisa dibagi habis oleh angka 6.Oleh karena itu perlu di tashih angka asal
masalahnya.Caranya adalah mencari angka dari hasil bagi antara bagian yang diterima dan jumlah
person dibagi oleh satu angka.Setelah itu dikalikan dengan angka asal masalahnya setelah di tashih
adalah 6*3=18.

A.  Perhitungan Pembagian Warisan dari Ashab al-Furudl dan ‘Ashabah

      Langkah-langkah yang perlu diperhatikan apabila dalam kasus pembagian warisan, ahli waris nya
terdiri dari ashab al-furudl dan ‘ashabah:

1.    Menetapkan beberapa bagian masing-masing ashab al-furudl. (dalam hal ini dilakukan seleksi mana
ahli waris mahjub).

2.  Menetapkan ahli waris ashab al-ashabah  yang lebih dahulu berhak menerima sisa dengan
ketentuan:

a.   Jika masing-masing ahli waris sebagai ashabah binafsih,  maka ahli waris yang terdekatlah yang
menerima bagian sisa.

b. Jika ada ahli waris yang menerima ashabah bi al-ghair,  maka mereka bergabung
menerima ashabah,  seperti anak perempuan bergabung dengan anak laki-laki.

c.   Jika ada ahli waris yang menerima ashabah ma’a al-ghair,   berarti terjadi perubahan yang
semula ashab al-furudl  menjadi penerima ashabah,  tetapi ahli waris penyebab (mu’ashshib)nya,
tetap menerima bagiannya semula. 

3.    Hal lain bahwa kadang-kadang ahli waris ashabah  menerima bagian besar, kadang-kadang juga
menerima bagian sedikit, dan tidak jarang mereka tidak mendapatkan bagian sama sekali, karena
harta warisan telah habis dibagikan kepada ashabah al-furudl.  Hal ini sebagai konsekuensi dari hak
mereka yang menerima dari bagian sisa.

B.  Penyelesaian Pembagian Warisan Apabila Ahli Waris Hanya Terdiri Dari Ashab al-furudl.

      Apabila dalam suatu kasus pembagian warisan, ahli warisnya hanya terdiri dari ashab al-
furudl  saja, ada tiga kemungkinan yang terjadi yaitu :

1.  Terjadi kekurangan harta, yaitu apabila furudl al-muqaddarah  dilaksanakan apa adanya. Oleh karena
itu, cara penyelesaiannya adalah bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris dikurangi
secara proposional menurut besar kecilnya bagian yang mereka terima.

2. Terjadi kelebihan harta, karena ahli waris ashab al-furudl hanya sedikit, dan bagian penerimanya juga
sedikit. Dalam kasus ini, sebagian pendapat mengatakan bahwa kelebihan harta warisan itu
dikembalikan kepada ahli waris. Pendapat lain menghendaki agar sisa harta yang ada diserahkan
kepada bait al-mal. Pendapat yang lain lagi mengatakan, agar sisa harta dikembalikan kepada ahli
waris, tetapi khusus ahli waris selain suami atau istri, yakni ahli waris nasabiyah yang memiliki
hubungan darah dengan si mati. Pembagian harta tersebut dinamakan radd.
3.  Bagian yang diterima ahli waris tepat persis dengan harta warisan yang dibagi. Jika terjadi pembagian
warisan seperti ini disebut dengan   adilah.  Yang terakhir ini tidak menimbulkan persoalan. Oleh
karena itu, uraian berikutnya akan difokuskan pada dua masalah, yaitu masalah aul  dan  radd. 

a.    Masalah ‘Aul

      Secara harfiyah ‘aul artinya bertambah atau meningkat. Dikatakan ‘aul, karena dalam praktik
pembagian warisan, angka asal masalah ditingkatkan atau dinaikkan sebesar angka bagian yang
diterima oleh ahli waris yang ada. Langkah ini diambil, karena apabila pembagian warisan
diselesaikan menurut ketentuan baku secara semestinya, maka akan terjadi kekurangan harta.

      Masalah ‘aul tampak nya belum muncul pada masa Nabi Muhammad Saw. Boleh jadi, karena
secara kebetulan belum atau tidak ada kasus yang menuntut penyelesaian dengan cara ‘aul ini. Para
ulama mengatakan, bahwa kasus ‘aul pertama kali muncul adalah ketika sahabat ‘umar ibn al
khattab ditanya oleh seorang sahabat tentang penyelesaian pembagian warisan dimana ahli
warisnya terdiri dari : suami dan 2 orang saudara perempuan sekandung. Suami menerima
1/2karena tidak ada anak, dan 2 saudara perempuan sekandung menerima 2/3. Jika asal masalahnya
6, maka suami yang menerima bagian 1/2, berarti 1/2 x 6 = 3, dan 2 saudara perempuan sekandung
2/3, berarti 2/3 x 6 = 4. Jadi jumlah seluruhnya 7. Artinya kelebihan 1. 

b.    Masalah Radd

      Masalah radd merupakan kebalikan dari masalah ‘aul. Radd secara harfiyah artinya
mengembalikan. Masalah ini terjadi, apabila dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta
setelah ahli waris ashab al-furudl memperoleh bagiannya. Cara radd ini ditempuh bertujuan untuk
mengembalikan sisa harta kepada ahli waris yang ada seimbang dengan bagian yang diterima
masing-masing secara proporsional.

.  Dasar Hukum Pembagian Waris

     QS. An-Nisa ayat 176


Artinya : “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan.Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu,
”supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu

      Saudarah perempuan seayah akan mendapatkanbagian separoh dari harta warisan peninggalan
pewaris dengan beberapa syarat.

1.    Apabilah tidak mempunyai saudara laki-laki

2.    Apaliha ia hanya seorang sendiri

3.    Pewaris tidak mempunyai sodara kandung perempuan

      Adapun karabat pewaris yang berhak mendapatkan seperempat(1/4) dari harta peninggalan ada
duayaitu suami dan istri , rincihanya sebagai berikut :

      Seorang suami berhak mendapatkan bagian seperempat(1/4) dari harta sepeninggalan istrinya
dengan satu syarat , yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-
lakinya , baik anak atau cucu tesebut darah dagingnya ataupun dari suami lain(sebelumya) hal ini
berdasarka firman allahberikut :

1.    Siapa yang berwenang membagi harta waris

      Adapun yang berwenang membagi harta waris atau yang menentukan bagianya yang berhak
mendapatkan dan yang tidak, bukan;ah orang tua anak, keluarga atau orang lain.

An-Nisa Ayat 11
Artinya : “Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-
bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu.Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana”

       Sebab turun ayat ini , sebagai mana diceritakan oleh sahabat jabir bin Abdullah radhiyallah’anhu
bahwa dia bertanya kepada rasullaluh saw : “ wahai rasulullah apa yang harus aku lakukan dengan
harta yang kutinggalkan ini” ? lalu turun ayat An- Nisa : 11.

      Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata datang istri sa’ad bin Ar-Rabi’ kepada rasulullah
saw dengan membawa kedua putri Sa’ad. Dia ( idtri Sa’ad) bertanya : ‘ wahai rasulullah , ini dua putri
Sa’ad bin Ar-Rabi. Ayahnya telah meninggal dunia ikut perang bersamamu pada waktu perang uhud,
sedangkan pamanya mengambil seluruh hartanya , dan tidak sedikitpun menyisakan utuk dua
putrinya keduanya belum menikah…” beliau bersabda . “ allahlah yang akan memutuskan perkara ini
“ lalu turunlah ayat waris ini .
      Berikut penentuan pembagian harta waris ini untuk kaum laki-laki dan perempuan .allah
berfirman:

Artinya : "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” ( An- Nisa : 7 )

      Adapun barang tidak berhak diwaris, diantaranya :

1.    Peralatan tidur untuk istri dan peralatan yang khusus bagi dirinya , atau pemberian suami kepada
istrinya  semasa hidup.

2.    Harta yang telah diwakafkan oleh mayit, seperti kitab dan lainya.

3.    Barang yang diperoleh dengan cara haram , seperti barang curian , hendaknya dikembalikan kepada
pemiliknya atau diserahkan kepada yang berwajib.

      Berdasarkan keterangan di atas , dijelaskan bahwa yang berwenang dan berhak membagi waris,
tidak lain hanyalah Allah SWT bahkan allah mempertegas dengan firmannya ‫فڔيضةمناهلل‬

BAB III

PENUTUP

      Kata Ushul al-Masail adalah bentuk jamak dari ashal al-masalah, secara sederhana dapat
dianalogikan dengan angka kelipatan persekutuan terkecil. Angka ini secara rinci akan dijelaskan
kemudian.

      Tashhih al-masail adalah mencari angka asal masalah yang terkecil agar dapat dihasilkan bagian
yang diterima ahli waris tidak berupa angka pecahan. Metode tashhih al-masail ini hanya
dipergunakan apabila bagian yang diterima ahli waris berupa angka pecahan, seperti pada
metode  ushul al-masail.
DAFTAR PUSTAKA

Rofiq, Ahmad (2012). Fiqh Mawaris. Jakarta: Rajawali

Hasanain Muhammad Makhluf,  al-Mawarits fi al-Syari’at al-Islamiyah, (Kairo: Lajnah al-Bayan al-‘Arabiyah,
tt),hlm. 118

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm. 448


https://nila-latte.blogspot.com/2019/11/fiqih-mawaris-metode-perhitungan.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai