by
R.L. Stine
www.eBuku.us
Dad ingin tahu apakah kijang-kijang rawa Amerika Selatan ini bisa
bertahan hidup di Florida. Beliau merencanakan akan memasang
pemancar radio kecil di tubuh mereka dan melepaskan mereka ke
rawa. Lalu Dad akan mempelajari bagaimana mereka hidup.
Tapi tak lama kemudian Mom sudah berpihak pada Dad. Mom juga
ilmuwan. Mereka sering bekerja sama mengerjakan proyek. Jadi tentu
saja beliau setuju dengan Dad.
“Oh,” seruku ketika melihat ada sepasang mata kelam tampak seperti
membalas tatapanku.
Burung itu berbalik dan berlari ke arah rawa dengan langkah tinggi-
tinggi.
Karena rumah kami jauh sekali dari kantor pos, kami hanya menerima
surat dua kali seminggu. Emily menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk menunggu surat.
Rumput liar yang gatal dan daun-daun semak menggesek kakiku yang
tidak tertutup. Coba tadi aku pakai jins, bukannya celana pendek. Aku
berjalan di dekat kakakku terus ketika kami melalui jalan setapak
yang sempit dan berkelok-kelok. Teropongku yang tergantung di
leherku, mulai terasa berat di dada. Mestinya tadi kutinggalkan saja di
rumah, pikirku.
Ia benar. Hal yang paling mengejutkan tentang rawa ini adalah suara-
suaranya.
Dari atas terdengar kicauan burung yang dibalas burung lain dengan
siulan melengking. Serangga-serangga mengerik keras di sekeliling
kami. Kudengar suara tap-tap-tap yang teratur, seperti suara orang
memukul kayu. Mungkin burung pematuk kayu? Daun palem
7|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
bergeretak ditiup angin. Batang-batang pohon yang kurus berderak-
derak. Sandalku berbunyi plop plop, terbenam di tanah rawa.
Ia menjerit ketakutan.
Aku tertawa. “Kenapa sih kau ini, Em? Itu tadi kan Cuma sejenis
kadal.”
Airnya yang hijau tua tidak datar dan halus. Dengan membungkuk,
aku bisa melihat airnya yang keruh dan kental, seperti sup bubur
kacang. Suaranya berdeguk dan bergelebur, menjijikkan.
10 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
3
“Itu bog. Bog tanah liat,” katanya tidak sabaran. “Kau tidak tahu apa-
apa, ya?”
11 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kelihatannya menjijikkan,” kataku.
Kami berbalik dari bog tanah liat itu dan menuruni bukit. “Hei, lihat”
teriakku menunjuk dua bayangan hitam yang melayang jauh di atas
kami di bawah awan putih.
Aku basah kuyup karena keringat. Tengkukku terasa panas dan gatal.
Kugosok dengan satu tangan, tapi rasanya tidak ada gunanya.
12 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Angin sudah berhenti bertiup. Udara terasa berat. Tidak ada yang
bergerak.
Kuikuti dia, sekujur badanku terasa perih dan gatal. “Coba kita punya
kolam renang di rumah baru kita,” kataku. “Aku bisa langsung
menceburkan diri tanpa membuka baju”
13 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
4
Teriakannya yang keras membuat dua burung hitam tadi terbang dari
dahan pohon. Mereka melayang pergi sambil berkaok-kaok marah.
14 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kurasa di sebelah timur,” gumam Emily. “Atau mungkin di sebelah
barat?”
“Entah kenapa kita bisa segoblok ini,” keluh Emily. “Mestinya kita
menggunakan salah satu pemancar radio itu. Tahu kan. Yang untuk
rusa. Dad nanti jadi bisa melacak kita.”
“Mestinya aku tadi pakai jins,” gumamku, kulihat ada beberapa bintik
merah kecil di betisku. Tanaman beracun? Sejenis ruam?
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Emily tidak sabar, dihapusnya
keringat di dahinya.
“Naik ke bukit lagi, kurasa,” kataku. “Di sana tidak ada pohon.
Matahari bersinar terang. Begitu kita tahu di mana letak matahari, kita
bisa mengira ke arah mana kita harus kembali.”
15 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tapi ke mana jalan ke bukit?” tanya Emily.
Punggungku terasa dingin ketika sadar bahwa aku juga tidak yakin.
“Ayo lewat sini saja,” kata Emily, sambil berjalan pergi. “Aku merasa
ini dia jalannya. Kalau kita sampai di bog tadi, berarti jalan kita
benar.”
Hebat.
Tapi kurasa percuma saja berdebat dengan dia. Jadi kuikuti saja.
16 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bog tadi Tepat di depan kami. Bog tempat kami berhenti tadi.
“Horeee” teriak Emily. “Aku tahu aku benar. Aku sudah merasa kok.”
17 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
5
Mulutku berdarah.
18 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tadi itu konyol juga,” kata Emily pelan. Lalu ditambahkannya, “Kau
baik-baik saja?” Disingkirkannya beberapa daun kering dari
punggung kausku.
Dipegangnya bahuku, dan kami mulai berjalan lagi, lebih pelan dari
tadi, bersisian.
Tak lama kemudian kami sadar kami menuju ke arah yang salah.
“Benda apa yang kelabu besar itu?” tanyaku sambil berjalan pelan-
pelan di belakang Emily.
19 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kami berdua bersamaan melihat gubuk itu.
Aku berbalik pada Emily dan berbisik. “Menurutmu ada yang tinggal
di sini? Di tengah-tengah rawa?”
20 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kami maju dua langkah.
21 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
6
TEPAT ketika aku akan mendorong pintu kayu itu, pintu itu terbuka,
nyaris mengenai kami berdua. Kami melompat mundur ketika seorang
pria menyerbu keluar dari balik pintu pondok.
Ia mengenakan kaus putih longgar yang kotor dan kusut, dan celana
hitam tebal yang menggelembung di atas sandalnya.
Aku ingin bertanya padanya siapa dia, kenapa ia tinggal di rawa. Aku
ingin bertanya apakah ia bisa membantu kami menemukan jalan
pulang.
22 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lalu aku sadar ternyata Emily sudah kabur. Ekor kudanya berkibar-
kibar di belakangnya ketika ia lari menembus rerumputan tinggi.
23 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
7
24 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku berhenti berlari. Napasku terengah-engah.
“Hei, yang ini kelihatannya kukenal,” kataku. Aku merasa lebih baik.
Aku berlari-lari kecil. Kami melewati Segerombolan pohon dan
semak yang kelihatannya tidak asing lagi. Aku bisa melihat jejak
tapak kaki kami di tanah berpasir, menuju ke arah lain.
25 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Emily dan aku keluar dari sela-sela pepohonan pendek dan segera
berlari melintasi lapangan rumput menuju bagian belakang rumah.
Mom mematikan keran sehingga tidak ada air yang keluar dari selang.
“Kalian apa?”
26 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tidak berbahaya?” teriak Emily. “Kalau begitu kenapa ia mengejar-
ngejar kita?”
“Petapa itu mestinya sama sekali tidak berbahaya,” kata Dad lagi. Ia
masih bersusah payah memasang payung ke dasar beton. Setiap kali
ia menurunkan payung itu, tidak masuk ke lubang beton.
®RatuBuku
Saat makan malam kami membicarakan soal rawa itu lagi. Dad
menceritakan kisah-kisah bagaimana mereka memburu dan menjebak
kijang-kijang rawa yang digunakannya untuk percobaannya.
28 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Rawa yang kalian jelajahi tadi siang,” katanya sambil memutar-
mutar spagetinya. “Tahu apa namanya? Fever Swamp, Rawa Demam.
Paling tidak penduduk setempat menyebutnya begitu.”
“Mungkin rawa itu ditemukan orang yang bernama Mr. Fever,” kata
Mom bercanda.
®RatuBuku
Setelah makan malam tiba-tiba aku juga merasa rindu pada rumahku
yang dulu. Kubawa bola tenis ke belakang rumah. Kurasa aku
mungkin bisa me lempar-lemparnya ke dinding dan menangkapnya
lagi seperti waktu di rumah lama.
29 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sambil memandangi kijang-kijang yang berdesak-desakan di ujung
kandang, kusadari aku sangat merindukan teman-temanku. Aku ingin
tahu apa yang sedang mereka lakukan saat ini. Mungkin sedang
bermain-main di halaman belakang rumah Ben.
Dengan sedih, aku berjalan kembali ke dalam dan ingin melihat apa
acara televisi. Tiba-tiba ada tangan mencengkeramku dari belakang.
Si petapa rawa.
30 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
8
IA menemukan aku
31 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sampingnya disisir ke belakang. Ia mengenakan kaus garis-garis biru
putih dan celana pendek jins.
“Di sini ada anak-anak lain seumur kita?” tanyaku, kupandang sekilas
enam rumah yang berderet di sekitar rumahku.
“Yeah. Satu orang,” jawab Will. “Tapi dia anak perempuan. Dan agak
aneh.”
Langit berwarna merah tua. Udara tiba-tiba terasa lebih sejuk. Jauh di
atas langit tampak bulan pucat, hampir purnama.
Ia terkekeh.
“Semuanya?” tanyaku.
33 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ia mengangguk. “Semua yang pernah pergi ke rawa.”
34 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku sudah,” kataku. “Aku dan kakakku tadi siang melihatnya. Kami
menemukan pondoknya.”
“Hei, mungkin kau dan aku bisa pergi menjelajahi rawa itu bersama-
sama,” teriaknya.
Sambil berjalan ke rumah aku teringat Emily. Aku tahu ia pasti iri
karena aku punya teman baru. Emily yang malang benar-benar sedih
tanpa kehadiran Martin goblok itu.
35 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku tidak suka pada Martin. Ia selalu memanggilku “Kiddo”.
Aku ikut menonton sebentar. Lalu aku tersadar badanku terasa tidak
sehat. Kepalaku sakit, pelipisku berdenyut-denyut. Dan aku
menggigil.
36 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
9
“Ini demam rawa” kataku pada orangtuaku tadi. “Tak lama lagi
kelakuanku jadi gila.”
Malam itu aku bermimpi aneh, mimpi yang meresahkan. Aku seperti
kembali ke Vermont, berlari-lari menerobos salju. Ada sesuatu
mengejarku. Kurasa mungkin si petapa rawa. Aku terus berlari-lari.
Aku berbalik untuk melihat siapa yang mengejarku. Tidak ada orang.
Tiba-tiba aku berada di rawa. Aku terbenam di bog tanah liat.
37 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bog itu berdeguk-deguk di sekelilingku, hijau dan kental, suaranya
mengisap-isap menjijikkan.
Aku duduk tegak di tempat tidur dan menatap bulan hamper purnama
di luar jendela. Bulan itu berada tepat di depan jendela, tampak
keperakan dan cemerlang dilatarbelakangi langit biru kehitaman.
Dari rawa? Lolongan itu terdengar sangat dekat. Tepat di luar jendela.
38 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku berjalan dalam kegelapan dan menabrak meja rendah di ruang
tengah. Aku masih belum terbiasa dengan rumah baru ini.
Kakiku sedingin es, tapi kepalaku panas sekali rasanya, seperti ada
apinya. Sambil mengusap-usap lututku yang tertabrak meja tadi,
kutunggu sampai mataku terbiasa menatap dalam kegelapan. Lalu aku
melangkah ke ruang tengah lagi.
Suara menggaruk-garuk.
39 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kudengarkan dengan cermat, berusaha keras mengatasi suara debaran
jantungku.
Kudengarkan.
40 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
10
Sepi.
“Mungkin ia ingin segelas air” seru Emily, dan kami tertawa lagi.
Tawa tidak enak. Tawa gelisah.
Siapa atau apa yang menggaruk-garuk pintu? Ada satu cara tepat
untuk mengetahuinya, buka pintu dan lihat ke luar.
43 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
11
Bulan yang hampir purnama, kuning seperti jeruk lemon, terletak jauh
di langit. Lapisan tipis awan hitam melewatinya.
Terlalu sunyi.
44 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Grady tutup pintunya.”
45 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tidak,” kataku. “Tidak ada apa-apa. Gelap sekali di belakang,
biarpun ada bulan purnama.”
“Ada apa ini?” Suara tegas membuat kami terdiam. Dad masuk ke
dapur, sambil merapikan kerah baju tidur panjang yang selalu
dikenakannya. “Sekarang sudah lewat tengah malam.” Dipandanginya
Emily dan aku bergantian dengan bingung.
“Tadi itu bukan mimpi,” seru Emily pada Dad. “Aku juga mendengar
suara-suara
“Kalau begitu mungkin tadi cuma angin. Atau makhluk di rawa. Sulit
tidur di rumah baru. Suara-suaranya baru semua, begitu asing. Tapi
kalian berdua sebentar lagi pasti sudah terbiasa.”
46 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dad mengukur suhu tubuhku. Hanya sedikit di atas normal.
Aku menggumam dan hampir seketika itu juga langsung tertidur tidak
nyenyak.
®RatuBuku
Ketika bangun dari tempat tidur, aku merasa sehat. Cahaya matahari
pagi masuk dari jendela. Aku bisa melihat langit berwarna biru cerah.
Pagi yang indah itu membuatku lupa pada mimpi burukku.
Aku ingin tahu apakah pagi ini Will ada. Mungkin ia dan aku bisa
pergi menjelajahi rawa.
47 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku cepat-cepat berpakaian, kukenakan jins pudar dan kaus Raiders
berwarna hitam-perak. (Aku bukan penggemar Raiders. Aku cuma
suka warnanya.)
“Aku ingin melihat apa Will ada di rumah,” kataku. “Kami mungkin
akan main-main atau apalah.”
48 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
12
Ketika Mom dan Dad menolongku dan menarik makhluk besar itu
dari dadaku, aku tertawa. “Hei geli Berhenti”
Kuusap ludah anjing itu dari wajahku dan bersusah payah bangun.
“Dari mana asalmu?” tanya Mom pada anjing itu. Ia dan Dad
memegangi makhluk besar itu.
“Ia besar sekali” seru Dad. “Pasti ada keturunan anjing gembalanya.”
49 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Ia hampir membunuhku” seruku. “Lihatlah. Pasti beratnya lebih dari
lima puluh kilo”
“Aku ingin tahu dia milik siapa,” kata Mom, sambil menatap anjing
itu serius. “Grady, periksa kalungnya. Mungkin ada namanya.”
“Tapi aku perlu binatang piaraan” kataku ngotot. “Di sini sepi sekali.
Kalau ada anjing pasti asyik, Mom. Ia bisa menemaniku.”
50 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kau punya binatang piaraan kijang,” kata Dad, dahinya berkerut. Ia
berbalik menatap kandang kijang. Keenam kijang itu berdiri waspada
penuh perhatian, menatap anjing itu.
“Anjing itu mungkin ada yang punya,” kata Mom. “Kau tidak bisa
langsung memiliki anjing yang datang. Lagi pula, ia besar sekali,
Grady. Ia terlalu besar untuk”
Aku terkejut menatapnya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali Emily
dan aku punya pendapat sama dalam masalah keluarga. Perdebatan
berlangsung selama beberapa saat lagi. Semua setuju bahwa anjing itu
kelihatannya manis dan lembut meskipun tubuhnya besar sekali. Dan
ia jelas sangat penyayang. Aku tidak bisa melarangnya menjilatiku.
“Kau pernah melihat anjing ini?” tanya Dad pada Will. “Apa ia anjing
milik orang dari sekitar sini?”
“Yeah. Memang,” kataku setuju. “Kau ya, yang tadi malam melolong
seperti serigala?” tanyaku pada anjing itu. Ia berusaha menjilat
hidungku, tapi aku berhasil mengelak.
“Tidak. Aku tidak dengar apa-apa,” jawab Will. “Aku kalau tidur
nyenyak sekali. Ayahku masuk ke kamarku dan berteriak memakai
pengeras suara untuk membangunkan aku pagi-pagi. Betul”
“Kita namakan dia Wolf saja,” kataku bersemangat. “Itu nama yang
pas untuknya.” Aku berdiri. “Hai, Wolf,” seruku pada anjing itu.
52 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mom dan Dad berpandang-pandangan. “Lihat saja nanti,” kata Mom.
®RatuBuku
Siang itu, Will dan aku pergi menjelajah ke rawa. Aku teringat mimpi
burukku tentang rawa. Tapi sekuat tenaga kulupakan.
Hari itu panas sekali. Matahari bersinar cerah di langit yang bersih tak
berawan. Ketika kami melintasi halaman belakang rumahku, aku
berharap semoga suhu di bawah pepohonan di rawa lebih sejuk.
53 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Menurutmu pernah tidak orang tenggelam di bog itu?” tanya Will
serius. Diusirnya nyamuk dari dahinya, lalu digaruknya rambut
pendeknya yang cokelat tua.
“Aku yakin ada,” kataku. “Aku yakin pasti ada orang tidak sengaja
jatuh ke dalam bog dan terisap. Kalau kita bawa tangkai pancing, kita
bisa memancing tulang-tulang mereka.”
“Jijik,” katanya.
Mata Will yang kelam menyipit karena takut. “Ada yang mengikuti
kita,” gumamnya. “Si petapa rawa.”
54 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
13
“CEPATsembunyi” seruku.
Semakin dekat.
“Wolf” teriakku.
55 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tidak” teriakku.
“Ayo ke bog,” kata Will tidak sabaran. Ia mulai berjalan, tapi Wolf
memaksa melewatinya, nyaris membuat Will terjatuh, dan berlari-lari
kecil menuju bog. Kakinya yang kuat melangkah panjang-panjang
dan mantap.
56 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berbentuk oval itu. Berkas sinar matahari membuat permukaannya
yang hijau jadi berpendar-pendar. Ribuan serangga putih kecil
beterbangan di atasnya, berkilauan seperti berlian karena terkena
cahaya.
57 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
14
“Ya,” akhirnya aku bisa bersuara. “Itu dia. Si petapa rawa.” Aku
cepat-cepat berlutut, berharap semoga tidak kelihatan.
Tapi apa ia sudah melihat kami? Apa dari tadi ia sudah berada di
seberang bog?
Pikiran Will pasti sama dengan pikiranku. “Apa si aneh itu memata-
matai kita?” tanyanya sambil merapat ke sampingku.
58 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kuamati orang aneh itu berjalan menerobos ilalang. Rambutnya yang
panjang dan putih-kelabu tampak berantakan. Ia terus-menerus
menoleh ketika berjalan, seperti ingin memastikan tidak ada yang
mengikutinya. Ia memanggul karung cokelat.
Noda hitam apa yang tampak di bagian depan kemeja kotor petapa
rawa itu? Noda darah?
Aku bergidik.
Petapa rawa itu menghilang di balik ilalang tinggi. Kami tidak bisa
melihatnya, tapi bisa mendengar langkah kakinya menginjak
dedaunan kering dan ranting pohon.
59 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ia berhenti menguik-nguik dan menjilat pergelangan tanganku.
Aku tertawa. Tapi langsung berhenti begitu melihat Will tidak main-
main. “Semua orang bilang ia tidak berbahaya,” kataku.
60 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku bisa mendengar Wolf berjalan di belakang kami. Aku bias
mendengar tubuhnya bergesekan dengan semak-semak dan ilalang.
Kami sudah hampir sampai di tempat yang tidak ada pohonnya lagi di
tepi lapangan rumput yang menuju halaman belakang rumah kami.
Kami sudah hampir keluar dari rawa ketika tiba-tiba Will berhenti.
61 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
15
Lama baru kusadari yang kami lihat itu burung. Burung heron besar.
“Ia cuma orang tua aneh yang tinggal sendirian di rawa,” kataku.
“Bukan ia yang melakukan ini, Will. Sejenis binatang yang
melakukannya. Lihat” Kutunjuk tanah.
62 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kelihatannya seperti jejak kaki anjing,” kataku.
Tepat pada saat itu Wolf mendatangi kami dari sela-sela ilalang. Ia
langsung berhenti di depan bangkai burung itu dan mengendus-
ngendusnya.
“Pergi dari sana, Wolf,” perintahku. “Ayo. Pergi.” Dengan dua tangan
kutarik lehernya yang tegap.
“Ayo pulang,” kata Will. “Tinggalkan saja bangkai ini. Aku pasti
bermimpi buruk. Pasti.”
63 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Beliau mengangkat kepala ketika kupanggil. Dikenakannya celana
pendek denim dan kemeja kuning tanpa lengan. Di kepalanya ada topi
Orlando Magic. “Ada apa, Grady?”
“Bukan, Dad. Ini lain,” kataku ngotot. “Heronnya terkoyak jadi dua.
Maksudku, seperti ada yang menangkapnya, dan-”
64 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mengerikan. Tapi jangan biarkan khayalanmu melantur kemana-
mana.”
®RatuBuku
Aku menonton TV sampai saat makan malam. Setelah itu aku main
catur dengan Emily.
Tapi apa pun yang kulakukan, aku tetap saja teringat terus pada bulu-
bulu putih yang berserakan di tanah itu, pada burung yang terkoyak-
koyak yang tergeletak di jalan setapak.
Jadi sekarang aku merasa lebih tenang ada Wolf tidur di kamarku.
“Kau akan melindungiku, kan, Boy,” bisikku dari tempat tidur.
65 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku tidak tahu seberapa lama aku tidur.
66 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
16
PENCURI?
Langkah kaki.
Aku yang pertama sampai di ruang duduk. Sinar kuning pucat dari
bulan purnama menyinari seluruh ruangan. “Hei” seruku.
67 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Ia-ia berusaha keluar,” kataku tergagap.
“Ia terlalu besar,” tambah Dad. “Ia harus tinggal di luar, Grady.”
69 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tapi paling tidak mereka mengizinkan aku tetap memelihara Wolf.
“Sekarang kita semua bisa tidur dengan tenang,” kata Mom sambil
menguap.
Mom keliru.
70 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
17
Dalam hati aku tahu bisa saja Wolf yang bersuara mengerikan seperti
itu. Tapi aku tidak mau mengakuinya.
Dengan mata terbuka lebar, aku melompat dari tempat tidur, sambil
menyeret selimut. Aku berjalan tersandung-sandung ke jendela kamar
dan mencengkeram tepinya.
Sosok itu hanya kelihatan seperti bayangan hitam yang hilang dalam
kegelapan. Tapi aku bisa melihat betapa besar tubuhnya, dan betapa
cepat larinya.
72 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tapi aku masih bisa mendengar suara lolongan yang naik turun di
udara malam.
73 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
18
KAKIKU yang tidak beralas terasa dingin dan basah waktu aku
berjalan pelan melintasi rumput yang disaput embun. Udara malam
terasa pengap dan diam seakan mati.
Aku tahu aku sedang menatap seekor kelinci. Matanya yang kecil dan
hitam beku terbelalak ketakutan. Salah satu telinganya putus.
®RatuBuku
74 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Begitu kami turun dari teras belakang, Wolf muncul dari samping
rumah. Ekornya segera sibuk mengibas-ngibas. Ia lari penuh
semangat untuk menyambutku, seperti sudah bertahun-tahun tidak
bertemu, melompat ke dadaku, hampir membuatku terjatuh.
“Pasti bukan dia” teriakku tak terkendali. “Kau tidak dengar lolongan
tadi malam? Kau tidak dengar lolongan-lolongan mengerikan itu?
Bukan anjing yang melolong seperti itu. Anjing tidak melolong”
“Tapi aku pasti terkejut kalau di daerah ini ada serigala atau coyote,”
kata Dad lagi, sambil menatap ke arah rawa.
76 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Berhati-hati sajalah kalau berada di dekatnya,” kata Dad. “Ia
kelihatannya manis sekali. Tapi kita tidak terlalu mengenalnyakan?
Jadi berhati-hatilah, oke?”
Dad pergi ke gudang untuk mengambil sekop dan kotak untuk tempat
bangkai kelinci itu.
Aku berlutut dan memeluk leher Wolf yang tegap. “Kau bukan
monster, kan, Boy?” tanyaku. “Emily gila, ya? Kau bukan monster.
Bukan kau yang tadi malam kulihat berlari-lari menuju rawa, kan?”
77 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
19
Wolf tidak ada, mungkin pergi menjelajahi rawa. Aku tahu besok pagi
ia akan berlari-lari menyambutku seperti sahabat yang sudah lama
tidak bertemu.
78 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Wolf berlari-lari mengejar kami. Ia melewati kami, lalu menunggu.
Setelah itu ia lari zigzag tidak keruan di depan dan di belakang kami,
gembira mandi sinar matahari pagi yang panas.
“Siapa?”
“Dari rawa,” kata Will suram. “Tadi pagi Mrs. Warner menelepon
ibuku. Katanya kemarin siang Mr. Warner pergi berburu.
79 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Haa?” teriakku. Menurutku sadis juga.
“Yeah. Kau tahu, kan. Seperti tropi-lah,” kata Will lagi. “Kemarin
siang ia pergi berburu kalkun liar di rawa, dan sampai sekarang belum
pulang.”
80 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
20
“Jangan mengacau dengan cerita itu lagi,” gerutu Will pada Cassie.
“Ceritamu terlalu konyol.”
“Dan aku akan mengepakkan sayap dan terbang ke Mars,” kata Will
kasar.
82 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku tidak melihat ada nyamuk. Jangan macam-macam, Cassie.”
“Entahlah,” kataku.
Ilalang tinggi di seberang bog berdiri tegak. Bog itu berdeguk pelan.
Dua lalat besar terbang di atas permukaan air yang berwarna hijau
tua.
83 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Yang namanya manusia serigala itu tidak ada, Cassie,” gumam Will,
ia mencari-cari sesuatu untuk dilemparkan ke dalam bog. Ia meringis
pada Cassie. “Kecuali kalau salah satunya kau”
Aku mendengar suara gemerisik dari seberang bog berbentuk oval itu.
Tiba-tiba ilalang tinggi tersibak dan Wolf muncul di tepi air.
“Seperti apa, sih, tampang manusia serigala?” tanya Will kasar. “Apa
rambutnya merah dan wajahnya berbintik-bintik?”
84 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
21
“TIDAK” teriakku.
Si petapa rawa.
85 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Apakah ia telah melakukan sesuatu yang mengerikan pada Mr.
Warner dan kalkun liar itu adalah hasilnya?
86 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Terlambat.
Ia mendengar Cassie
87 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dengan napas terengah-engah, aku berusaha lari lebih cepat.
Lengking tawa petapa gila itu bergema di rawa. Lari terus, Grady,
kataku dalam hati. Lari terus. Lalu, sambil berteriak keras, aku
terpeleset.
88 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
22
AKU setengah mati berusaha bangun dari lumpur. Tapi aku terpeleset
dan terjerembap lagi.
89 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Apa?” Suaraku terdengar kecil dan ketakutan.
Tapi ia sudah pergi. Rawa sekarang sepi, yang terdengar hanya suara
serangga mengerik dan suara daun palem saling bergesekan.
90 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dua ngengat putih terbang di atas ilalang. Tidak ada lagi yang
bergerak.
Orang aneh itu melihat Will, Cassie, dan aku takut padanya.
91 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Jadi ia memutuskan untuk mempermainkan kami.
92 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
23
Dari balik tirai warna merah di mataku, kulihat ular itu merayap
masuk semak-semak.
Darah?
93 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku maju selangkah, terpincang-pincang. Lalu selangkah lagi. “Ayo,
Wolf,” kataku. Ia menatapku penuh pengertian.
Aku tahu aku harus cepat-cepat pulang. Kalau ular tadi berbisa, aku
bisa gawat. Aku tidak tahu berapa lama lagi bisanya akan membuatku
lumpuh total atau lebih gawat lagi.
Setiap kali aku melangkah, sakitnya bukan main. Tapi aku terus
berjalan terseret-seret, sambil berbicara dengan Wolf, tidak
kupedulikan rasa sakit yang berdenyut-denyut di pergelangan kakiku.
Anjing itu merasa ada yang tidak beres. Ia tetap berada di sampingku,
padahal biasanya ia berlari-lari zigzag di depan dan di belakangku.
Tampak tepi deretan pepohonan. Aku bisa melihat sinar matahari di
luar rawa.
“Tidak. Aku... aku digigit-” Akhirnya bisa juga aku bicara. “Tolong
panggilkan ayahku-”
94 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mereka berdua lari secepat-cepatnya ke rumahku. Aku duduk di
rerumputan, menjulurkan kakiku, dan menunggu.
®RatuBuku
95 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mom berdecak-decak dari dapur. Di depannya terhampar koran. Aku
tidak tahu apakah ia berdecak-decak karena aku atau karena berita
hari ini.
Di luar pintu kasa kulihat ada Wolf, rebah di atas rerumputan di dekat
teras belakang, tertidur pulas. Emily ada di ruang depan, sedang
menonton TV.
“Jauh lebih baik,” kataku. “Kurasa tadi aku hanya ketakutan saja.”
“Kelihatannya Cassie anak yang manis,” kata Mom pelan. “Aku tadi
berbincang-bincang dengannya waktu ayahmu mengobati lukamu.
Kau beruntung, Grady, bisa mendapat teman yang seusia denganmu
di tepi rawa seperti ini.”
96 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dad mencuci tangan di tempat cuci piring di dapur. Dikeringkannya
tangannya dengan lap piring, lalu berbalik ke arahku. “Petapa rawa
tua itu mestinya tidak berbahaya,” katanya. “Paling tidak, begitulah
kata orang-orang.”
Dad tertawa. “Aku dan ibumu ilmuwan, Grady. Kami tidak boleh
percaya pada hal-hal supernatural seperti manusia serigala.”
“Mom tidak bisa serius, ya?” teriakku kesal. “Mom tahu, lolongan itu
baru terdengar saat bulan purnama.”
97 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku ingat. Lolongan itu baru ada setelah anjing itu datang-” seru
Emily dari ruang depan.
Kami tidak tahu malam nanti akan terjadi peristiwa yang bias
mengubah pendapatnya tentang manusia serigala selamanya.
98 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
24
SETELAH makan malam, Will dan Cassie datang. Mom dan Dad
sedang sibuk memasukkan piring-piring ke mesin pencuci dan beres-
beres. Emily pergi menonton film ke kota.
99 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Ayolah, teman-teman. Kita bicarakan soal lain saja,” kataku. “Kedua
orangtuaku ilmuwan, kata mereka tidak ada bukti manusia serigala itu
ada.”
“Mereka benar,” kata Will. “Manusia serigala cuma ada di film. Kau
goblok sekali, Cassie.”
“Mr. Warner masih belum pulang juga,” kata Cassie pada Will, tidak
dipedulikannya aku. Ditariknya rambut ekor kudanya, lalu
dilemparkannya ke belakang kepala. “Tahu kenapa? Karena ia
dibunuh manusia serigala”
“Oh, diam,” gerutu Cassie. “Kau yang lebih mirip manusia serigala
daripada aku, Will.”
®RatuBuku
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku berguling-guling terus di tempat
tidur. Tidak bisa tenang. Aku menunggu lolongan.
101 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Jendelaku berderak ditiup angin.
Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku harus mengetahui apa atau siapa
yang berbunyi mengerikan begitu.
102 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berada di dalam, pikirku. Berusaha mencegahku memecahkan misteri
lolongan mengerikan.
Aku merunduk melawan angin dan melompat turun dari teras. “Aw”
teriakku ketika kakiku terasa sakit. Sambil menunggu mataku terbiasa
menatap kegelapan, aku mendengar dengan cermat.
103 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
25
Aku maju selangkah lagi. “Dad? Dad?” teriakku tanpa berpikir, tanpa
bisa mendengar suaraku sendiri, tahu Dad tidak bisa mendengarkan.
Tapi aku ingin Dad datang. Aku ingin ada orang menemaniku.
104 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sekali. Dua kali. Berusaha melegakan tenggorokanku yang terasa
tersumbat.
Lalu, tanpa menyadari apa yang kulakukan, aku lari menuju rumah,
sambil menjerit-jerit sekuat tenaga, “Dad Mom Dad Mom”
®RatuBuku
105 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dad tidak menjawab. Beliau menarik napas dalam-dalam, lalu
menghembuskannya pelan-pelan. Mom dan Emily mengamati tanpa
berkata apa-apa dari depan bak cuci.
“Bukan Wolf,” teriakku. “Dad, aku tahu bukan Wolf. Aku mendengar
lolongan-lolongan itu, Dad. Itu lolongan serigala.”
Lalu kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku tidak bisa
mengontrolnya. Mengalir begitu saja. “Itu manusia serigala, Dad. Ada
manusia serigala di rawa. Cassie benar. Itu bukan anjing, dan bukan
serigala. Itu manusia serigala yang telah membunuh binatang-
binatang, yang membunuh kijang Dad.”
106 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tapi aku tidak bisa berhenti. “Aku tahu aku benar, Dad,” teriakku
dengan suara melengking yang tidak kedengaran seperti suaraku.
“Minggu ini bulan purnama, kan? Dan saat itulah lolongan mulai
terdengar. Itu manusia serigala, Dad. Si petapa rawa. Orang gila yang
tinggal di pondok di rawa. Ia manusia serigala. Ia sendiri yang
mengatakannya. Ia mengejar kami dan mengatakan ia manusia
serigala. Betul, Dad. Bukan Wolf. Ia yang membunuh kijang malam
ini. Aku mendengarnya melolong di luar, lalu-lalu-”
Dipegangnya bahuku. “Grady, besok pagi saja kita bicarakan hal ini,
oke? Kita berdua sekarang terlalu lelah untuk berpikir jernih.
Bagaimana?”
®RatuBuku
107 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Keesokan paginya, Dad sudah tidak ada waktu aku bangun. “Ia pergi
ke tempat penebangan kayu,” kata Mom, “untuk membeli pagar
kawat untuk memperbaiki kandang.”
Mataku menatap anjing itu, yang sedang asyik mengunyah bola karet
di luar. Ia tampak begitu manis.
108 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Dad akan membawa Wolf pergi?” tanyaku melengking, suaraku
bergetar.
“Tidak” jeritku.
“Aku tidak punya pilihan lain,” kata Dad, suaranya nyaris berbisik. Ia
maju dan meraih Wolf.
“Tidak” teriakku. “Tidak Lari, Wolf Lari” Kudorong anjing itu. Wolf
menatapku bingung. “Lari” jeritku. “Lari Lari”
109 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
26
Wolf meloloskan diri dan lari menuju rawa. “Hei” seru Dad marah.
Dikejarnya Wolf sampai ke ujung halaman belakang. Tapi anjing
besar itu terlalu cepat larinya.
“Wolf nanti akan kembali,” kata Dad. “Kalau ia kembali, aku harus
membawanya pergi.”
110 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dad berjalan ke mobil. “Tolong aku mengeluarkan pagar kawat ini.
Aku butuh bantuanmu untuk menambal kandang.”
Jangan kembali.
®RatuBuku
Sepanjang hari aku mengamati rawa. Aku merasa gelisah, lemas. Aku
sama sekali tidak bernafsu makan. Setelah membantu Dad memper-
baiki kandang kijang, aku berdiam di kamar. Aku mencoba membaca
buku, tapi tidak bisa.
Aku segera masuk ke kamar. Aku lelah sekali. Karena tegang kurasa.
Dan karena hampir setiap malam terbangun.
111 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tak lama kemudian mulai terdengar lolongan.
112 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku akan mengikuti Wolf, pikirku. Aku akan membuktikan ia bukan
pembunuhatau pun manusia serigala.
Aku takut orangtuaku bisa mendengar kalau aku keluar dari pintu
dapur. Jadi aku keluar dari jendela.
Rumput terasa basah disaput embun. Udara terasa basah juga, dan
hampir sepanas siang hari. Ketika aku terburu-buru membuntuti Wolf,
sepatuku berdecit dan terpeleset di rumput yang lembap.
113 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
27
“HEI”
Mula-mula aku tidak bisa melihat apa-apa, semua gelap. “Hei siapa di
sana?” Suaraku hanya seperti bisikan.
114 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kuceritakan apa yang dikatakan orang-orang di kota. Dan tentang
ayahku yang ingin membawa Wolf ke tempat penampungan.
“Hei, Will?”
115 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku berhentidan mencari-cari. “Oh.” Aku berteriak pelan ketika sadar
aku kehilangan jejaknya. Entah bagaimana, kami jadi terpisah.
Atau Wolf?
“Will?”
Bukan.
Ketika sinar bulan meneranginya, aku tahu yang kulihat itu pondok si
petapa rawa.
116 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Si petapa rawa pikirku. Dialah manusia serigalanya
Kakiku gemetar bukan main, aku tidak tahu bisa berjalan atau tidak.
117 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
28
Ternyata Will.
Meskipun ditumbuhi bulu serigala yang tebal dan bergumpal, aku bisa
mengenali garis-garis wajahnya, matanya yang hitam kecil, lehernya
yang tegap dan pendek.
“Will” jeritku.
“Will lepaskan-”
118 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Didongakkannya wajahnya yang tertutup bulu ke bulan dan
menggeram seperti binatang. Lalu, sambil menggeram marah,
ditundukkannya kepalanya yang mengerikan dan dihunjamkannya
taringnya ke bahuku.
®RatuBuku
119 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Will... Will, ternyata kau... Selama ini ternyata kau...” gumamku,
berusaha berdiri.
120 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
29
“KAU agak demam,” kata Mom. “Tapi sebentar lagi juga sembuh,”
“Oya?” Aku berusaha duduk, tapi bahuku terasa sakit. Aku terkejut
melihatnya terbalut rapat. “Ma- manusia serigala itu Will, ia
menggigitku,” kataku sambil menelan ludah.
121 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku akan memeriksanya sekarang juga,” kata Dad, ditatapnya aku.
“Ceritamu gila, Grady. Gila. Mungkin karena demam. Entahlah. Tapi
aku akan ke rumah temanmu dan melihat ada apa sebenarnya.”
®RatuBuku
Aku juga tidak. Tapi aku tidak peduli. Will sudah tiada. Si manusia
serigala sudah tiada untuk selamanya.
122 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Wolf menyelamatkan nyawaku. Boleh kupelihara dia?”
®RatuBuku
Sejak saat itu, Wolf dan aku bersenang-senang menjelajahi rawa. Aku
jadi tahu setiap sudut Rawa Demam. Seperti rumah keduaku saja
rasanya.
123 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sekarang aku sedang berdiri di dekat jendela kamarku, mengamati
bulan purnama muncul di atas pepohonan di kejauhan.
Tapi aku tidak peduli. Aku tidak marah. Maksudku, karena Will
sudah tidak ada, rawa ini sekarang jadi milikku Milikku seorang.
END
124 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m