Anda di halaman 1dari 124

Goosebumps #14

Manusia Serigala Rawa Demam

(The Werewolf of Fever Swamp)

by

R.L. Stine

www.eBuku.us

1|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


1

KAMI pindah ke Florida waktu libur Natal.

Seminggu kemudian, untuk pertama kalinya kudengar lolongan-


lolongan mengerikan dari rawa-rawa.

Selama bermalam-malam lolongan-lolongan itu membuatku terduduk


di tempat tidur. Aku menahan napas dan memeluk diri sendiri supaya
tidak gemetaran.

Kupandangi bulan purnama seputih kapur di luar jendela kamarku.


Kutajamkan pendengaran.

Makhluk macam apa yang melolong begitu? tanyaku dalam hati.

Dan seberapa dekatkah ia? Mengapa kedengarannya makhluk itu


seperti tepat berada di luar jendelaku?

Lolongannya naik-turun seperti suara sirene mobil polisi. Tidak sedih


ataupun meratap. Nadanya mengancam. Marah.

Menurutku terdengar seperti peringatan. Jauhi rawa-rawa ini.

Tempatmu bukan di sini.

Waktu semula pindah ke Florida, ke rumah baru di tepi rawa, aku


tidak sabar ingin menjelajah. Aku berdiri di halaman belakang sambil
memegang teropong hadiah ulangtahunku yang ke-12 dari Dad dan
menatap ke arah rawa.
2|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
Pepohonan berbatang putih langsing saling bersentuhan. Daun-
daunnya yang lebar dan rata seperti membentuk atap, menaungi tanah
rawa dengan bayangan biru.

Di belakangku, kijang-kijang bergerak-gerak gelisah di kandang


kawat mereka. Aku bisa mendengar mereka menginjak-injak tanah
yang lembut dan berpasir, menggosok-gosok tanduk mereka ke
dinding kandang. Kuturunkan teropongku dan berbalik menatap
mereka. Kijang- kijang itulah yang menyebabkan kami pindah ke
Florida.

Tahu tidak, ayahku, Michael F. Tucker, seorang ilmuwan. Beliau


bekerja untuk Universitas Vermont di Burlington, yang, percayalah
padaku, jauuuh sekali dari rawa Florida. Dad mendapat keenam
kijang ini dari sebuah negara di Amerika Selatan. Mereka disebut
kijang rawa. Mereka tidak seperti kijang biasa. Maksudku, mereka
tidak kelihatan seperti Bambi. Misalnya saja, bulu mereka sangat
merah, bukan cokelat. Kukunya besar sekali serta agak berselaput.
Kurasa untuk berjalan di tanah yang basah dan berawa.

Dad ingin tahu apakah kijang-kijang rawa Amerika Selatan ini bisa
bertahan hidup di Florida. Beliau merencanakan akan memasang
pemancar radio kecil di tubuh mereka dan melepaskan mereka ke
rawa. Lalu Dad akan mempelajari bagaimana mereka hidup.

Waktu di Burlington Dad memberitahu bahwa kami akan pindah ke


Florida karena kijang-kijang itu, kami semua jadi kacau bukan main.

3|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Kami tidak mau pindah.

Kakakku Emily, menangis berhari-hari. Usianya 16 tahun, dan ia


tidak mau melewatkan tahun seniornya di SMA. Aku juga tidak mau
meninggalkan teman-temanku.

Tapi tak lama kemudian Mom sudah berpihak pada Dad. Mom juga
ilmuwan. Mereka sering bekerja sama mengerjakan proyek. Jadi tentu
saja beliau setuju dengan Dad.

Mereka berdua berusaha membujuk Emily dan aku dengan


mengatakan ini kesempatan sekali seumur hidup, pasti sangat
mengasyikkan. Petualangan yang tak akan terlupakan.

Jadilah kami di sini, tinggal di rumah putih kecil, bertetangga dengan


empat atau lima rumah putih lainnya. Di belakang rumah kami ada
kandang untuk enam ekor kijang. Matahari Florida yang panas
bersinar cerah. Dan rawa tak berujung terhampar tak jauh dari
halaman belakang rumah kami yang datar dan berumput.

Aku membelakangi kijang lagi dan memandang dari teropong.

“Oh,” seruku ketika melihat ada sepasang mata kelam tampak seperti
membalas tatapanku.

Kujauhkan teropong dan kupicingkan mata menatap rawa. Takjauh


dari tempatku, kulihat ada seekor burung putih berdiri di atas dua kaki
yang panjang dan kurus.

“Itu burung bangau,” kata Emily.

4|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Aku tidak mendengarnya datang. Ia mengenakan kaus putih tanpa
lengan dan celana pendek denim merah. Kakakku tinggi, kurus, dan
sangat pirang. Ia mirip sekali burung bangau.

Burung itu berbalik dan berlari ke arah rawa dengan langkah tinggi-
tinggi.

“Ayo kita ikuti,” kataku.

Emily mencibir, kami sering melihatnya mencibir begitu sejak pindah


kemari. “Tidak mau. Panas.”

“Ah, ayolah.” Kutarik tangannya yang kurus. “Ayo menjelajah,


melihat-lihat rawa.”

Ia menggeleng, buntut kudanya yang pirang-putih bergoyang-goyang.


“Aku tidak mau, Grady.” Dibetulkannya kacamatanya yang melorot
di hidung. “Aku sedang menunggu surat.”

Karena rumah kami jauh sekali dari kantor pos, kami hanya menerima
surat dua kali seminggu. Emily menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk menunggu surat.

“Menunggu surat cinta dari Martin?” tanyaku menyeringai. Ia sebal


kalau kugoda soal Martin, pacarnya di Burlington dulu. Jadi ia
kugoda sesering mungkin.

“Mungkin,” katanya. Diulurkannya kedua tangannya dan diacak-


acaknya rambutku. Ia tahu aku tidak suka rambutku berantakan.

5|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


“Ya?” kataku memelas. “Ayolah, Emily. Cuma jalan-jalan sebentar.
Sangat sebentar.”

“Emily, jalan-jalanlah sebentar dengan Grady,” kata Dad tiba-tiba.


Kami berbalik dan melihatnya ada di dalam kandang kijang. Dad
memegang papan catatan dan mendekati kijang-kijang itu satu per
satu, sambil mencatat. “Pergilah,” desaknya. “Kau toh sedang tidak
melakukan apa-apa.”

“Tapi, Dad...” Emily paling pintar merengek kalau ada maunya.

“Pergilah, Em,” kata Dad. “Pasti menarik. Lebih menarik daripada


panas-panas berdebat dengan adikmu.”

Emily membetulkan lagi kacamatanya yang melorot terus. “Yah...”

“Asyik” teriakku. Aku senang sekali. Aku belum pernah pergi ke


rawa sungguhan. “Ayo kita pergi” Kusambar dan kuseret tangan
kakakku.

Dengan segan-segan Emily ikut, wajahnya cemberut. “Perasaanku


tidak enak,” gumamnya.

Bayanganku tampak condong di belakangku. Aku bergegas berjalan


menuju pepohonan yang rendah dan miring itu. “Emily, bisa ada
masalah apa sih?” tanyaku.

6|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


2

UDARA di bawah pepohonan terasa panas dan lembap.

Rasanya lengket di wajahku. Daun-daun palem yang lebar terjulur


begitu rendah, hanya tinggal berjingkat aku sudah bisa
menyentuhnya.

Daun-daun itu nyaris menutupi sinar matahari, tapi berkas-berkas


cahaya kuning menyelinap, menyinari tanah rawa seperti lampu sorot.

Rumput liar yang gatal dan daun-daun semak menggesek kakiku yang
tidak tertutup. Coba tadi aku pakai jins, bukannya celana pendek. Aku
berjalan di dekat kakakku terus ketika kami melalui jalan setapak
yang sempit dan berkelok-kelok. Teropongku yang tergantung di
leherku, mulai terasa berat di dada. Mestinya tadi kutinggalkan saja di
rumah, pikirku.

“Ribut sekali di sini,” keluh Emily, sambil melangkahi batang pohon


yang sudah membusuk.

Ia benar. Hal yang paling mengejutkan tentang rawa ini adalah suara-
suaranya.

Dari atas terdengar kicauan burung yang dibalas burung lain dengan
siulan melengking. Serangga-serangga mengerik keras di sekeliling
kami. Kudengar suara tap-tap-tap yang teratur, seperti suara orang
memukul kayu. Mungkin burung pematuk kayu? Daun palem
7|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com
bergeretak ditiup angin. Batang-batang pohon yang kurus berderak-
derak. Sandalku berbunyi plop plop, terbenam di tanah rawa.

“Hei, lihat,” kata Emily sambil menuding. Dibukanya kaca mata


hitamnya supaya bisa melihat lebih jelas.

Kami sampai di kolam kecil berbentuk oval. Airnya hijau tua,


setengah tertutup bayangan. Di permukaannya mengapung bunga
teratai, merunduk indah di atas daunnya yang hijau dan datar.

“Cantik,” kata Emily, diusirnya kumbang yang menempel di bahunya.


“Aku akan membawa kamera kemari dan memotret kolam ini.
Lihatlah cahaya yang bagus sekali itu.”

Kuikuti arah pandangannya. Ujung kolam yang di dekat kami gelap


tertutup bayang-bayang panjang. Tapi di ujung lain tampak cahaya
bersinar di sela-sela pepohonan, bentuknya seperti layar terang yang
tertuang ke dalam air kolam yang tenang.

“Memang bagus,” kataku mengakui. Aku tidak terlalu suka kolam.


Aku lebih tertarik pada fauna.

Kubiarkan Emily mengagumi kolam dan teratai itu sebentar. Lalu


kukitari kolam dan berjalan semakin jauh ke dalam rawa. Sandalku
berkecipak di tanah yang basah. Di depan, segerombolan ngengat,
beribu-ribu banyaknya, berputar-putar diterangi cahaya matahari.

“Jijik,” gumam Emily. “Aku benci ngengat. Melihatnya saja sudah


bikin aku gatal.” Digaruknya lengannya.

8|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Kami berbalik dan melihat sesuatu berlari-lari di balik batang pohon
rebah yang tertutup lumut.

“Hei apa itu tadi?” seru Emily, dicengkeramnya sikuku.

“Buaya” teriakku. “Buaya lapar”

Ia menjerit ketakutan.

Aku tertawa. “Kenapa sih kau ini, Em? Itu tadi kan Cuma sejenis
kadal.”

Diremasnya lenganku kuat-kuat, berusaha membuatku tersentak.


“Sialan kau, Grady,” gumamnya. Digaruknya lengannya lagi. “Di
rawa ini terlalu gatal,” keluhnya. “Ayo pulang.”

“Sedikiiit lagi,” kataku memohon.

“Tidak. Ayolah. Aku ingin pulang.” Ia mencoba menarikku, tapi aku


menghindar dari cengkeramannya. “Grady”

Aku berbalik dan berjalan menjauh darinya, masuk semakin dalam ke


rawa. Kudengar suara tap-tap-tap lagi, tepat di atas. Daun-daun palem
saling bergesekan, ditiup angin basah yang lembut. Suara serangga
mengerik terdengar semakin keras.

“Aku mau pulang, biar kau di sini saja,” ancam Emily.

Tidak kupedulikan ancamannya dan terus berjalan. Aku tahu ia cuma


menggertak.

Sandalku berderak menginjak daun-daun palem cokelat kering.

9|R a tu- b uk u.bl ogs p ot.com


Tanpa perlu berbalik, aku bisa mendengar Emily berjalan beberapa
langkah di belakangku.

Seekor kadal melintas lagi, tepat di depan sandalku. Kadal itu


kelihatan seperti anak panah hitam yang melesat ke dalam semak-
semak.

Tiba-tiba tanahnya menanjak. Kami menaiki bukit landai menuju


tempat yang diterangi sinar matahari. Semacam tempat terbuka.

Keringat mengalir di pipiku. Udara begitu lembap, rasanya seperti


sedang berenang saja.

Di puncak bukit kami berhenti untuk melihat sekeliling. “Hei ada


kolam lagi” teriakku sambil berlari menginjak rumput rawa yang
kuning dan gemuk-gemuk, bergegas menuju tepi air.

Tapi kolam yang ini kelihatan lain.

Airnya yang hijau tua tidak datar dan halus. Dengan membungkuk,
aku bisa melihat airnya yang keruh dan kental, seperti sup bubur
kacang. Suaranya berdeguk dan bergelebur, menjijikkan.

Aku semakin membungkuk supaya bisa melihat lebih jelas.

“Itu lumpur isap” Kudengar Emily berteriak ngeri.

Tiba-tiba ada dua tangan mendorongku kuat-kuat dari belakang.

10 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
3

KETIKA aku akan terjatuh ke dalam cairan hijau berdeguk-deguk itu,


tangan tadi menyambar pinggangku dan menarikku.

Emily cekikikan. “Kena kau” serunya, dipeluknya aku supaya tidak


bisa berbalik dan memukulnya.

“Hei lepaskan” teriakku marah. “Kau hampir saja mendorongku


masuk ke lumpur isap Tidak lucu”

Ia tertawa lagi, lalu dilepaskannya aku. “Itu bukan lumpur isap,


goblok,” gumamnya. “Itu bog, tanah berlumpur.”

“Hah?” Aku berbalik dan menatap air hijau kental itu.

“Itu bog. Bog tanah liat,” katanya tidak sabaran. “Kau tidak tahu apa-
apa, ya?”

“Apa itu bog tanah liat?” tanyaku, tidak kupedulikan ejekannya.

Emily Si Sok Tahu. Ia selalu menyombongkan diri tahu segalanya dan


mengatai aku si goblok. Tapi di sekolah nilainya hanya B dan aku
dapat A. Jadi siapa yang pintar, coba?

“Kami mempelajarinya tahun lalu waktu belajar tentang daerah


lembap dan hutan hujan,” jawabnya puas. “Kolam ini kental karena
ada lumut tumbuh di dalamnya. Lumut itu terus tumbuh. Ia menyerap
air sebanyak dua puluh lima kali berat badannya.”

11 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kelihatannya menjijikkan,” kataku.

“Coba saja kau minum sedikit dan rasakan bagaimana rasanya,”


desaknya.

Ia mencoba mendorongku lagi, tapi aku membungkuk dan mengelak.


“Aku tidak haus,” gumamku. Aku tahu jawabanku tidak terlalu
pandai, tapi cuma jawaban itu yang terpikir olehku.

“Ayo jalan terus,” katanya sambil menghapus keringat dari dahinya.


“Aku kepanasan.”

“Yeah. Oke,” kataku segan. “Asyik juga jalan-jalan begini.”

Kami berbalik dari bog tanah liat itu dan menuruni bukit. “Hei, lihat”
teriakku menunjuk dua bayangan hitam yang melayang jauh di atas
kami di bawah awan putih.

“Burung elang,” kata Emily, dilindunginya matanya dengan satu


tangan ketika mendongak. “Kurasa itu burung elang. Susah
melihatnya. Besar sekali.”

Kami mengamati burung-burung itu melayang pergi. Lalu kami


menuruni bukit lagi, berjalan hati-hati di tanah yang lembap dan
berpasir.

Di bawah bayangan gelap pepohonan di kaki bukit, kami berhenti


untuk mengambil napas.

Aku basah kuyup karena keringat. Tengkukku terasa panas dan gatal.
Kugosok dengan satu tangan, tapi rasanya tidak ada gunanya.

12 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Angin sudah berhenti bertiup. Udara terasa berat. Tidak ada yang
bergerak.

Aku mendongak mendengar suara berkaok-kaok keras. Dua burung


hitam yang besar sekali menatap kami dari dahan pohon cypress.
Mereka berkaok-kaok lagi, seperti menyuruh kami pergi.

“Lewat sini,” kata Emily sambil menghela napas.

Kuikuti dia, sekujur badanku terasa perih dan gatal. “Coba kita punya
kolam renang di rumah baru kita,” kataku. “Aku bisa langsung
menceburkan diri tanpa membuka baju”

Kami berjalan selama beberapa menit. Pepohonan semakin rapat.


Cahaya semakin redup. Jalan setapaknya berakhir. Kami terpaksa
menerobos semak-semak tinggi yang rimbun.

“Kukurasa tadi kita tidak lewat sini,” kataku tergagap.

“Kurasa bukan ini jalannya.

Kami berpandangan, melihat wajah masing-masing tampak ketakutan.

Kami. berdua sadar kami tersesat. Betul-betul tersesat.

13 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
4

“AKU heran” jerit Emily.

Teriakannya yang keras membuat dua burung hitam tadi terbang dari
dahan pohon. Mereka melayang pergi sambil berkaok-kaok marah.

“Ngapain aku di sini?” teriaknya. Emily tidak pandai menghadapi


keadaan darurat. Ketika ban mobilnya kempis waktu sedang kursus
menyetir di Burlington dulu, ia melompat keluar dari mobil dan lari
pergi

Jadi aku tidak berharap sekarang ia akan tenang dan kalem.

Karena kami benar-benar tersesat di tengah rawa yang panas dan


lembap ini, aku tahu ia pasti akan panik. Dan memang begitulah
jadinya.

Di keluargaku akulah yang paling tenang. Aku menuruni sifat Dad.


Tenang dan ilmiah. “Mari kita tentukan arah matahari dulu,” kataku,
tidak kupedulikan jantungku yang berdebar-debar.

“Matahari apa?” teriak Emily sambil mengangkat tangan.

Gelap sekali. Pohon-pohon palem dengan daun-daunnya yang lebar


membentuk atap yang lumayan rapat di atas kepala kami. “Yah, kita
bisa memeriksa lumutnya,” usulku. Deburan di dadaku semakin keras.
“Bukankah lumut mestinya tumbuh di sebelah utara pepohonan?”

14 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kurasa di sebelah timur,” gumam Emily. “Atau mungkin di sebelah
barat?”

“Aku lumayan yakin di sebelah utara,” kataku ngotot, sambil


memandang sekelilingku.

“Lumayan yakin? Apa bagusnya lumayan yakin?” teriak Emily


melengking.

“Lupakan lumutnya,” kataku, sambil membelalakkan mata. “Aku


bahkan tidak tahu lumut itu seperti apa.”

Lama kami saling berpandangan. “Biasanya kau kan selalu bawa


kompas ke mana pun kau pergi,” kata Emily, suaranya kedengaran
agak bergetar.

“Yeah. Waktu umur empat tahun,” jawabku.

“Entah kenapa kita bisa segoblok ini,” keluh Emily. “Mestinya kita
menggunakan salah satu pemancar radio itu. Tahu kan. Yang untuk
rusa. Dad nanti jadi bisa melacak kita.”

“Mestinya aku tadi pakai jins,” gumamku, kulihat ada beberapa bintik
merah kecil di betisku. Tanaman beracun? Sejenis ruam?

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Emily tidak sabar, dihapusnya
keringat di dahinya.

“Naik ke bukit lagi, kurasa,” kataku. “Di sana tidak ada pohon.
Matahari bersinar terang. Begitu kita tahu di mana letak matahari, kita
bisa mengira ke arah mana kita harus kembali.”

15 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tapi ke mana jalan ke bukit?” tanya Emily.

Aku berbalik. Apa di belakang kami? Di kanan kami?

Punggungku terasa dingin ketika sadar bahwa aku juga tidak yakin.

Aku mengangkat bahu. “Kita benar-benar tersesat,” gumamku sambil


menarik napas.

“Ayo lewat sini saja,” kata Emily, sambil berjalan pergi. “Aku merasa
ini dia jalannya. Kalau kita sampai di bog tadi, berarti jalan kita
benar.”

“Kalau tidak?” desakku.

“Kita pikirkan cara lain,” jawabnya.

Hebat.

Tapi kurasa percuma saja berdebat dengan dia. Jadi kuikuti saja.

Kami berjalan tanpa berbicara, serangga berdengung-dengung di


sekeliling kami, pekikan burung dari atas membuat kami terkejut.

Sesaat kemudian, kami berjalan menerobos segerombolan alang-alang


yang kaku. “Kita tadi lewat sini?” tanya Emily.

Aku tidak ingat. Kudorong sebatang alang-alang supaya bisa melihat


jalan dan tersadar jadi ada noda lengket di tanganku. “Hii”

“Hei, lihat” Teriakan girang Emily membuatku mengalihkan


pandangan dari cairan hijau lengket yang menempel di tanganku.

16 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bog tadi Tepat di depan kami. Bog tempat kami berhenti tadi.

“Horeee” teriak Emily. “Aku tahu aku benar. Aku sudah merasa kok.”

Kolam hijau yang berdeguk-deguk itu membuat kami berdua jadi


girang. Begitu melewatinya, kami segera lari. Kami tahu kami berada
di jalan yang benar, hampir sampai ke rumah.

“Ayo cepat” teriakku girang, sambil berlari mendahului saudaraku,


jantungku berdebar-debar. “Ayo cepat”

Aku merasa sangat senang lagi.

Lalu ada yang mengulurkan tangan, menyambar pergelangan kakiku,


dan menarikku ke tanah yang berlumpur.

17 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
5

AKU jatuh terbanting, mendarat di atas siku dan lututku.

Jantungku serasa terlompat ke mulut.

Mulutku berdarah.

“Bangun Bangun” jerit Emily.

“Ia- ia menangkapku” teriakku dengan suara tegang dan bergetar.

Debur di dadaku sudah berubah jadi debaran.

Sekali lagi kurasakan mulutku berdarah. Kupandang Emily yang


tertawa-tawa. Tertawa?

“Cuma akar pohon,” katanya sambil menunjuk. Kuikuti arah yang


ditunjukkannyadan langsung sadar aku bukannya ditarik. Aku tadi
tersandung salah satu akar pohon yang mencuat di atas tanah.

Kupandangi akar yang seperti tulang itu. Tengahnya bengkok dan


kelihatan seperti kaki putih yang kurus.

Tapi darah apa yang kurasakan?

Kurasakan bibirku sakit. Ternyata waktu jatuh tadi aku menggigitnya.

Sambil mengerang keras, kupaksa diriku berdiri. Lututku sakit.

Bibirku berdenyut-denyut. Darah mengalir di daguku.

18 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tadi itu konyol juga,” kata Emily pelan. Lalu ditambahkannya, “Kau
baik-baik saja?” Disingkirkannya beberapa daun kering dari
punggung kausku.

“Yeah, begitulah,” jawabku, masih merasa goyah sedikit. “Aku benar-


benar mengira ada yang menyambarku.” Aku tertawa terpaksa.

Dipegangnya bahuku, dan kami mulai berjalan lagi, lebih pelan dari
tadi, bersisian.

Berkas-berkas cahaya bersinar dari sela-sela daun-daun lebat, tanah di


depan kami jadi berbintik-bintik. Semuanya tampak aneh, seperti di
dalam

Beberapa makhluk ribut berlari-lari di balik semak-sema kpendek di


sebelah kanan kami. Emily dan aku tidak mau menoleh untuk
melihatnya. Kami cuma mau pulang.

Tak lama kemudian kami sadar kami menuju ke arah yang salah.

Kami berhenti di pinggir lapangan bulat yang kecil. Di atas kami


burung-burung ribut bersuara. Angin sepoi-sepoi menyebabkan daun
pohon palem berderak-derak.

“Benda apa yang kelabu besar itu?” tanyaku sambil berjalan pelan-
pelan di belakang Emily.

“Kurasa jamur,” jawabnya tenang.

“Jamur sebesar bola,” gumamku.

19 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kami berdua bersamaan melihat gubuk itu.

Tersembunyi di dalam bayangan dua pohon cypress rendah di ujung


lapangan tempat jamur raksasa.

Kami berdua ternganga heran, tanpa berkata apa-apa kami amati.


Kami maju beberapa langkah. Lalu maju lagi.

Gubuk itu kecil, rendah, tidak berbeda jauh daripada tinggiku.


Atapnya dari semacam lalang. Dindingnya dari lapisan-lapisan daun
kelapa kering. Pintunya terbuat dari rangkaian dahan-dahan pohon
dan tertutup rapat. Tidak ada jendela.

Setumpuk abu berbentuk lingkaran terlihat tidak jauh dari pintu.

Bekas api unggun.

Kulihat sepasang sepatu boot butut tergeletak di samping gubuk. Di


sebelahnya berserakan beberapa kaleng kosong dan sebuah botol air
plastik, yang juga kosong, penyok sebagian.

Aku berbalik pada Emily dan berbisik. “Menurutmu ada yang tinggal
di sini? Di tengah-tengah rawa?”

Ia mengangkat bahu, wajahnya tegang ketakutan. “Kalau ada orang


tinggal di sini, mungkin ia bisa memberitahu kita jalan ke rumah,”
usulku.

“Mungkin,” gumam Emily. Matanya menatap lurus ke gubuk kecil


itu, yang tertutup bayangan biru.

20 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kami maju dua langkah.

Kenapa ada orang mau tinggal di gubuk kecil begini di tengah-tengah


rawa? pikirku.

Sebuah jawaban melintas di pikiranku: Karena siapa pun dia, pasti


ingin menyembunyikan diri.

“Itu tempat persembunyian,” gumamku, tidak sadar kalau bicara


keras-keras. “Penjahat. Perampok bank. Atau pembunuh. Ia sembunyi
di sana.”

“Sssst.” Emily menempelkan jarinya ke bibirku supaya aku diam,


jarinya mengenai luka di bibirku. Aku mundur.

“Ada orang, di sini?” teriaknya. Suaranya terdengar rendah dan


bergetar, begitu rendah sehingga aku nyaris tidak bisa mendengarnya.

“Ada orang di sini?” ulangnya, sedikit lebih keras.

Akhirnya aku ikut-ikutan. Kami berteriak bersama, “Ada orang di


rumah? Ada orang di dalam?” Kami mendengarkan.

Tidak ada jawaban. Kami melangkah ke pintu yang rendah.

“Ada orang di dalam?” teriakku sekali lagi.

Lalu kupegang kenop pintu.

21 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
6

TEPAT ketika aku akan mendorong pintu kayu itu, pintu itu terbuka,
nyaris mengenai kami berdua. Kami melompat mundur ketika seorang
pria menyerbu keluar dari balik pintu pondok.

Ditatapnya kami dengan matanya yang hitam liar. Rambutnya putih


kelabu, panjangnya melewati bahu, terikat longgar di punggungnya.

Wajahnya merah cerah, mungkin karena terbakar sinar matahari. Atau


mungkin karena marah. Dipandanginya kami dengan tatapan marah,
ia berdiri membungkuk karena keluar dari pondok yang rendah itu.

Ia mengenakan kaus putih longgar yang kotor dan kusut, dan celana
hitam tebal yang menggelembung di atas sandalnya.

Ketika ia memandangi kami dengan matanya yang sangat hitam,


mulutnya terbuka, menampakkan deretan gigi kuning runcing.

Sambil merapat pada kakakku, aku melangkah mundur.

Aku ingin bertanya padanya siapa dia, kenapa ia tinggal di rawa. Aku
ingin bertanya apakah ia bisa membantu kami menemukan jalan
pulang.

Banyak pertanyaan melintas di kepalaku.

Tapi aku cuma bisa berkata, “Uh... maaf.”

22 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lalu aku sadar ternyata Emily sudah kabur. Ekor kudanya berkibar-
kibar di belakangnya ketika ia lari menembus rerumputan tinggi.

Dan sedetik kemudian, aku lari mengejarnya. Jantungku berdebar-


debar. Sandalku terbenam di tanah yang lunak.

“Hei, Emily, tunggu Tunggu”

Aku lari melintasi hamparan daun dan ranting-ranting mati.

Ketika berusaha menyusulnya, aku menoleh ke belakangdan berteriak


ketakutan. “Emily ia mengejar kita”

23 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
7

LAKI-LAKI dari pondok itu lari mengejar kami sambil membungkuk


rendah, langkahnya panjang-panjang. Tangannya terayun-ayun di
samping badannya. Napasnya terengah-engah, dan mulutnya terbuka,
menampakkan gigi-gigi runcing.

“Lari” teriak Emily. “Lari, Grady”

Kami lari mengikuti jalan setapak sempit di antara ilalang tinggi.


Pohon-pohon semakin jarang. Kami berlari melintasi bayangan, sinar
matahari, dan masuk lagi ke bayangan.

“Emily tunggu” teriakku kehabisan napas. Tapi ia terus saja berlari


kencang.

Di sebelah kiri kami tampak kolam yang panjang dan sempit.

Pohon-pohon aneh tumbuh di tengahnya. Batang-batangnya yang


langsing dibelit akar-akar hitam. Pohon bakau.

Aku ingin berhenti dan melihat pepohonan yang tampak mengerikan


itu. Tapi sekarang bukan saatnya untuk melihat-lihat.

Kami lari di sepanjang tepi kolam, sandal kami terbenam-benam di


tanah lunak. Lalu dengan dada naik-turun serta tenggorokan kering
dan tercekik, kuikuti Emily berbelok menuju ke tengah pepohonan.

Aku berteriak ketika bagian samping tubuhku terasa sakit sekali.

24 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku berhenti berlari. Napasku terengah-engah.

“Hei dia sudah pergi,” kata Emily kehabisan napas. Ia berhenti


beberapa meter di depanku dan bersandar ke batang pohon.

“Kita berhasil meloloskan diri.”

Aku membungkuk, berusaha menghilangkan rasa sakit di bagian


samping tubuhku. Sesaat kemudian napasku kembali normal.

“Aneh,” Aku tidak bisa memikirkan kata-kata lain.

“Yeah. Aneh,” kata Emily setuju. Ia berjalan mendatangiku dan


meluruskan tubuhku. “Kau baik-baik saja?”

“Rasanya.” Paling tidak sudah tidak terasa sakit. Bagian kanan


tubuhku selalu terasa sakit kalau aku lari lama-lama. Yang tadi lebih
parah daripada biasanya. Yah, aku kan tidak terbiasa lari untuk
menyelamatkan diri

“Ayo,” kata Emily. Dilepaskannya aku dan ia berjalan cepat-cepat


mengikuti jalan setapak.

“Hei, yang ini kelihatannya kukenal,” kataku. Aku merasa lebih baik.
Aku berlari-lari kecil. Kami melewati Segerombolan pohon dan
semak yang kelihatannya tidak asing lagi. Aku bisa melihat jejak
tapak kaki kami di tanah berpasir, menuju ke arah lain.

Sesaat kemudian tampak halaman belakang rumah kami.

“Senangnya sampai di rumah” teriakku.

25 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Emily dan aku keluar dari sela-sela pepohonan pendek dan segera
berlari melintasi lapangan rumput menuju bagian belakang rumah.

Mom dan Dad sedang memasang perabotan luar di halaman belakang.


Dad sedang memasang payung di meja payung putih. Mom sedang
menyemprotkan air ke kursi-kursi putih.

“Hei selamat datang,” kata Dad tersenyum.

“Kami kira kalian tersesat,” kata Mom.

“Memang” seruku terengah-engah.

Mom mematikan keran sehingga tidak ada air yang keluar dari selang.
“Kalian apa?”

“Ada orang mengejar kami” seru Emily. “Laki-laki aneh berambut


putih panjang.”

“Ia tinggal di pondok. Di tengah rawa,” kataku, sambil duduk di salah


satu kursi taman. Kursinya basah, tapi aku tidak peduli.

“Hah? Ia mengejar kalian?” Mata Dad terbelalak kaget. Beliau lalu


berkata, “Di kota aku mendengar memang ada petapa di rawa sana.”

“Ya, ia mengejar kita” ulang Emily. Wajahnya yang biasanya pucat


tampak merah manyala. Rambutnya terurai kusut. “Me-menakutkan.”

“Orang di toko bahan bangunan menceritakan tentang dia padaku,”


kata Dad. “Katanya orang itu aneh, tapi sama sekali tidak berbahaya.
Tidak ada yang tahu siapa namanya.”

26 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tidak berbahaya?” teriak Emily. “Kalau begitu kenapa ia mengejar-
ngejar kita?”

Dad mengangkat bahu. “Aku hanya mengatakan apa yang kudengar.


Jelas hampir seumur hidup ia tinggal di rawa. Sendirian. Ia tidak
pernah datang ke kota.”

Mom menjatuhkan selang dan mendekati Emily. Dipegangnya bahu


Emily. Di bawah sinar matahari yang cerah, mereka kelihatan seperti
kakak-beradik. Mereka sama-sama tinggi dan kurus, rambut mereka
pirang, lurus, dan panjang. Aku lebih mirip Dad. Rambut cokelat
berombak. Mata hitam. Agak gemuk.

“Mungkin mereka sebaiknya tidak boleh pergi ke rawa sendirian,”


kata Mom menggigit-gigit bibirnya. Dirapikannya rambut Emily dan
diikatnya jadi ekor kuda.

“Petapa itu mestinya sama sekali tidak berbahaya,” kata Dad lagi. Ia
masih bersusah payah memasang payung ke dasar beton. Setiap kali
ia menurunkan payung itu, tidak masuk ke lubang beton.

“Sini, Dad. Biar kubantu.” Aku masuk ke kolong meja dan


mengarahkan gagang payung ke dasar beton.

“Jangan takut,” kata Emily. “Kalian takkan melihatku pergi ke rawa


itu lagi.” Digaruknya kedua bahunya. “Aku pasti kegatalan seumur
hidupku” erangnya.

“Kami melihat banyak hal-hal hebat,” kataku, perasaanku sudah


mulai normal. “Bog tanah liat dan pohon-pohon bakau...”
27 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku kan sudah bilang ini akan jadi pengalaman menarik,” kata Dad,
diaturnya kursi-kursi putih di sekeliling meja.

“Pengalaman apaan,” gerutu Emily, dibelalakkannya matanya. “Aku


mau masuk dan mandi. Mungkin kalau aku mandi selama satu jam,
rasa gatalnya bisa hilang.”

Mom menggeleng sambil mengamati Emily berjalan menghentak-


hentak menuju pintu belakang. “Tahun ini akan terasa berat bagi Em,”
gumamnya.

Dad mengusapkan kedua tangannya yang kotor ke sisi jins-nya.

“Ikut aku, Grady,” katanya, sambil memberi tanda supaya aku


mengikutinya. “Waktunya untuk memberi makan kijang.”

®RatuBuku

Saat makan malam kami membicarakan soal rawa itu lagi. Dad
menceritakan kisah-kisah bagaimana mereka memburu dan menjebak
kijang-kijang rawa yang digunakannya untuk percobaannya.

Dad dan para pembantunya menjelajahi hutan-hutan Amerika Selatan


selama berminggu-minggu. Mereka menggunakan peluru-peluru
berisi obat penenang untuk menangkap kijang. Lalu mereka harus
menggunakan helikopter untuk membawa kijang-kijang keluar,
padahal kijang-kijang itu tidak suka terbang.

28 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Rawa yang kalian jelajahi tadi siang,” katanya sambil memutar-
mutar spagetinya. “Tahu apa namanya? Fever Swamp, Rawa Demam.
Paling tidak penduduk setempat menyebutnya begitu.”

“Kenapa?” tanya Emily. “Karena di sana panas sekali?”

Dad mengunyah dan menelan spagetinya. Kedua sisi mulutnya


berlepotan dengan noda saus tomat. “Aku tidak tahu kenapa
dinamakan Rawa Demam. Tapi aku yakin akhirnya nanti kita akan
tahu juga.

“Mungkin rawa itu ditemukan orang yang bernama Mr. Fever,” kata
Mom bercanda.

“Aku ingin pulang ke Vermont” ratap Emily.

®RatuBuku

Setelah makan malam tiba-tiba aku juga merasa rindu pada rumahku
yang dulu. Kubawa bola tenis ke belakang rumah. Kurasa aku
mungkin bisa me lempar-lemparnya ke dinding dan menangkapnya
lagi seperti waktu di rumah lama.

Tapi terhalang kandang kijang.

Kuingat-ingat dua teman akrabku di Burlington dulu, Ben dan Adam.


Kami tinggal di blok yang sama dan sehabis makan malam sering
bermain-main bersama. Kami suka lempar-lemparan bola atau
berjalan-jalan ke tempat bermain atau sekadar main-main saja.

29 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sambil memandangi kijang-kijang yang berdesak-desakan di ujung
kandang, kusadari aku sangat merindukan teman-temanku. Aku ingin
tahu apa yang sedang mereka lakukan saat ini. Mungkin sedang
bermain-main di halaman belakang rumah Ben.

Dengan sedih, aku berjalan kembali ke dalam dan ingin melihat apa
acara televisi. Tiba-tiba ada tangan mencengkeramku dari belakang.

Si petapa rawa.

30 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
8

IA menemukan aku

Si petapa rawa menemukan aku Dan sekarang ia menangkapku

Itulah yang langsung ada di pikiranku.

Aku berbalikdan berteriak terkejut waktu melihat ternyata yang


mencengkeramku bukan si petapa rawa. Ternyata anak laki-laki.

“Hai,” katanya. “Kukira kau melihatku. Aku tidak bermaksud


menakut-nakutimu.” Suaranya aneh, serak dan parau.

“Oh. Uh... tidak apa-apa,” kataku tergagap.

“Aku melihatmu di halaman rumahmu,” katanya. “Aku tinggal di


sana.” Ditunjuknya rumah yang berjarak dua rumah dari rumahku.
“Kau baru pindah?”

Aku mengangguk. “Yeah. Namaku Grady Tucker.” Kutangkap bola


tenisku. “Siapa namamu?”

“Will. Will Blake,” katanya dengan suara parau.

Tingginya hampir sama dengan tinggi badanku, tapi ia lebih berisi


dan lebih besar. Bahunya lebih lebar. Lehernya lebih besar. Ia
mengingatkan aku pada pemain football. Rambutnya cokelat tua dan
sangat pendek dengan potongan lurus, seperti atap datar, dan bagian

31 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
sampingnya disisir ke belakang. Ia mengenakan kaus garis-garis biru
putih dan celana pendek jins.

“Berapa umurmu?” tanyanya.

“Dua belas,” jawabku.

“Aku juga,” katanya, diliriknya kijang-kijang di belakangku.

“Kukira umurmu sebelas tahun. Maksudku, kau kelihatan muda.”

Aku merasa terhina mendengarnya tapi tidak kupedulikan.

“Sudah berapa lama kau tinggal di sana?” tanyaku, sambil melempar-


lemparkan bola tenis dari tangan yang satu ke tangan yang lain.

“Beberapa bulan,” kata Will.

“Di sini ada anak-anak lain seumur kita?” tanyaku, kupandang sekilas
enam rumah yang berderet di sekitar rumahku.

“Yeah. Satu orang,” jawab Will. “Tapi dia anak perempuan. Dan agak
aneh.”

Di kejauhan matahari mulai terbenam di balik pepohonan rawa.

Langit berwarna merah tua. Udara tiba-tiba terasa lebih sejuk. Jauh di
atas langit tampak bulan pucat, hampir purnama.

Will berjalan mendekati kandang kijang, aku mengikutinya.


Langkahnya berat, bahunya yang bidang naik-turun setiap ia
melangkah. Diulurkannya tangannya dari sela-sela kawat dan
dibiarkannya telapak tangannya dijilati kijang.
32 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Ayahmu bekerja di Dinas Kehutanan juga?” tanyanya, matanya
mengamati kijang.

“Tidak,” kataku. “Ibu dan ayahku ilmuwan. Mereka mempelajari


kijang-kijang ini.”

“Kijang-kijang aneh,” kata Will. Ditariknya tangannya dari dalam


kandang dan dipandanginya. “Hii. Kotoran kijang.”

Aku tertawa. “Namanya kijang rawa,” kataku. Kulemparkan bola


tenis padanya. Kami menjauh dari kandang kijang dan main lempar-
lemparan bola.

“Kau pernah pergi ke rawa?” tanyanya.

Tangkapanku meleset, aku terpaksa mengejar bola. “Yeah. Tadi


siang,” kataku. “Aku dan kakakku, kami tersesat.”

Ia terkekeh.

“Kau tahu kenapa rawa itu dinamakan Rawa Demam?” tanyaku,


kulempar bola tinggi-tinggi ke arahnya.

Cuaca sudah lumayan gelap, semakin susah untuk melihat. Tapi ia


bisa menangkap bola dengan satu tangan saja.

“Yeah. Ayahku menceritakan riwayatnya,” kata Will. “Kurasa seratus


tahun yang lalu. Mungkin lebih. Semua penduduk kota terserang
demam aneh.”

“Semuanya?” tanyaku.

33 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ia mengangguk. “Semua yang pernah pergi ke rawa.”

Dipegangnya bola dan maju mendekat.

“Kata ayahku demamnya baru sembuh setelah berminggu-minggu,


kadang-kadang malah berbulan-bulan. Dan banyak yang mati karena
demam itu.”

“Mengerikan,” gumamku melirik pepohonan gelap di pinggir rawa di


kejauhan.

“Dan orang-orang yang tidak mati karena demam itu mulai


berkelakuan aneh,” kata Will lagi. Matanya kecil, bulat. Dan ketika
bercerita, matanya berkilat-kilat. “Bicara mereka kacau, tidak bisa
dimengerti, hanya mengucapkan kata-kata tak masuk akal. Dan
mereka tidak bisa berjalan dengan baik. Mereka sering terjatuh atau
berjalan berputar-putar.”

“Aneh,” kataku, mataku masih terpaku menatap rawa. Langit berubah


warna dari merah menjadi ungu tua. Bulan yang hampir purnama
tampak bersinar makin terang.

“Sejak saat itu mereka menamakannya Rawa Demam,” kata Will


mengakhiri ceritanya. Dilemparkannya bola tenis ke arahku.
“Sebaiknya aku pulang.”

“Kau pernah melihat si petapa rawa?” tanyaku.

Ia menggeleng. “Tidak. Aku sudah mendengar tentang dia, tapi belum


pernah melihatnya.”

34 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku sudah,” kataku. “Aku dan kakakku tadi siang melihatnya. Kami
menemukan pondoknya.”

“Hebat” seru Will. “Kau berbicara dengan dia?”

“Tidak mau,” jawabku. “Ia mengejar-ngejar kami.”

“Oya?” Ekspresi wajah Will jadi serius. “Kenapa?”

“Entahlah. Kami lumayan ketakutan,” kataku mengaku.

“Aku harus pergi,” kata Will. Ia segera berlari-lari ke rumahnya.

“Hei, mungkin kau dan aku bisa pergi menjelajahi rawa itu bersama-
sama,” teriaknya.

“Yeah. Asyik” jawabku.

Aku merasa lebih riang sedikit. Aku punya teman baru.

Mungkin tinggal di sini tidaklah terlalu sengsara, pikirku.

Kuamati Will berlari menuju bagian samping rumahnya.

Rumahnya mirip dengan rumahku, tapi tentu saja di belakang


rumahnya tidak ada kandang kijang.

Kulihat di halaman belakang rumahnya ada ayunan, seluncuran kecil,


dan papan jungkat-jungkit. Aku ingin tahu apa ia punya adik.

Sambil berjalan ke rumah aku teringat Emily. Aku tahu ia pasti iri
karena aku punya teman baru. Emily yang malang benar-benar sedih
tanpa kehadiran Martin goblok itu.

35 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku tidak suka pada Martin. Ia selalu memanggilku “Kiddo”.

Kuamati salah satu kijang merunduk ke tanah dan dengan anggun


melipat kakinya. Kijang lain mengikutinya. Mereka bersiap-siap
untuk istirahat malam.

Aku masuk ke rumah dan bergabung bersama keluargaku di ruang


duduk. Mereka sedang menonton acara tentang ikan hiu di Discovery
Channel, saluran televisi khusus tentang alam. Orangtuaku menyukai
Discovery Channel. Tidak mengherankan kan?

Aku ikut menonton sebentar. Lalu aku tersadar badanku terasa tidak
sehat. Kepalaku sakit, pelipisku berdenyut-denyut. Dan aku
menggigil.

Kuberitahu Mom. Ia bangun dan berjalan ke kursiku. “Kau kelihatan


agak merah,” katanya, diamatinya aku dengan penuh perhatian.
Disentuhnya dahiku dengan tangannya yang dingin dan dirasakannya
selama beberapa saat.

“Grady, kurasa kau demam,” katanya.

36 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
9

BEBERAPA malam kemudian, untuk pertama kalinya kudengar


lolongan yang aneh dan menyeramkan itu.

Suhu badanku mencapai 40 C dan tetap begitu seharian. Lalu


demamku sembuh. Lalu datang lagi.

“Ini demam rawa” kataku pada orangtuaku tadi. “Tak lama lagi
kelakuanku jadi gila.”

“Kau sudah berkelakuan gila,” goda Mom. Disodorkannya segelas jus


jeruk. “Minum. Minum terus.”

“Minum tidak menyembuhkan demam rawa,” kataku bersikeras, tapi


kuambil juga gelas itu. “Demam ini tidak ada obatnya.”

Mom menyuruhku diam. Dad melanjutkan membaca majalah ilmu


pengetahuan ilmiahnya.

Malam itu aku bermimpi aneh, mimpi yang meresahkan. Aku seperti
kembali ke Vermont, berlari-lari menerobos salju. Ada sesuatu
mengejarku. Kurasa mungkin si petapa rawa. Aku terus berlari-lari.

Aku sangat kedinginan. Dalam mimpi itu aku menggigil.

Aku berbalik untuk melihat siapa yang mengejarku. Tidak ada orang.
Tiba-tiba aku berada di rawa. Aku terbenam di bog tanah liat.

37 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Bog itu berdeguk-deguk di sekelilingku, hijau dan kental, suaranya
mengisap-isap menjijikkan.

Bog itu mengisapku semakin dalam. Semakin dalam...

Suara lolongan membuatku terbangun.

Aku duduk tegak di tempat tidur dan menatap bulan hamper purnama
di luar jendela. Bulan itu berada tepat di depan jendela, tampak
keperakan dan cemerlang dilatarbelakangi langit biru kehitaman.

Terdengar suara lolongan panjang lagi.

Aku sadar sekujur tubuhku gemetaran. Basah berkeringat.

Piamaku menempel di punggungku.

Sambil mencengkeram selimut dengan dua tangan, aku memasang


kuping.

Lolongan lagi. Lolongan binatang.

Dari rawa? Lolongan itu terdengar sangat dekat. Tepat di luar jendela.

Lolongan yang panjang dan marah.

Kusingkirkan selimut dan kuinjak lantai. Aku masih gemetaran,


kepalaku berdenyut waktu aku berdiri. Kurasa aku masih demam.

Lolongan panjang lagi.

Aku berjalan ke ruang tengah dengan kaki gemetar. Aku harus


mengetahui apakah orangtuaku mendengar lolongan itu atau tidak.

38 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku berjalan dalam kegelapan dan menabrak meja rendah di ruang
tengah. Aku masih belum terbiasa dengan rumah baru ini.

Kakiku sedingin es, tapi kepalaku panas sekali rasanya, seperti ada
apinya. Sambil mengusap-usap lututku yang tertabrak meja tadi,
kutunggu sampai mataku terbiasa menatap dalam kegelapan. Lalu aku
melangkah ke ruang tengah lagi.

Kamar orangtuaku terletak di dekat dapur di bagian belakang rumah.


Aku sudah setengah melewati dapur waktu berhenti tiba-tiba.

Suara apa itu?

Suara menggaruk-garuk.

Napasku tercekat. Aku berdiri diam, tanganku tergantung kaku.

Kudengarkan. Suara itu terdengar lagi.

Kressk. Kressk. Kressk.

Seseorang atau sesuatu menggaruk-garuk pintu dapur.

Lalu lolongan lagi. Begitu dekat. Amat sangat dekat.

Kressk. Kressk. Kressk.

Siapa ya? Sejenis binatang? Tepat di luar rumah? Sejenis binatang


rawa melolong dan menggaruk-garuk pintu?

Aku sadar sudah lama kutahan napas. Kuhembuskan napas, lalu


kuhirup lagi udara.

39 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kudengarkan dengan cermat, berusaha keras mengatasi suara debaran
jantungku.

Lemari es tiba-tiba menyala. Suaranya yang keras hamper membuatku


terlonjak. Kucengkeram permukaan meja. Tanganku sedingin kakiku,
dingin dan basah.

Kudengarkan.

Kressk. Kressk. Kressk.

Aku maju selangkah ke pintu dapur.

Selangkah, aku lalu berhenti.

Bulu romaku meremang.

Aku sadar aku tidak sendirian.

Ada orang bernapas di sampingku, di dapur yang gelap.

40 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
10

AKU terkesiap. Saking kerasnya mencengkeram permukaan meja,


tanganku jadi sakit. “Si-siapa di sana?” bisikku. Lampu dapur
menyala.

“Emily” Karena terkejut dan lega, aku benar-benar meneriakkan


namanya. “Emily”

“Kau dengar lolongan tadi?” tanyanya, suaranya berbisik. Matanya


yang biru menatapku tajam.

“Ya. Aku jadi terbangun,” kataku. “Kedengarannya marah sekali.”

“Seperti lolongan sebelum menyerang,” bisik Emily. “Kenapa kau


kelihatan aneh begitu, Grady?”

“Hah?” Pertanyaannya membuatku kaget.

“Wajahmu merah semua,” katanya. “Dan lihatlahsekujur tubuhmu


gemetaran.”

“Kurasa aku demam lagi,” kataku.

“Demam rawa,” gumamnya, diamatinya aku dengan matanya.


“Mungkin kau terserang demam rawa seperti yang kauceritakan
padaku.”

Aku berbalik ke arah pintu dapur. “Kaudengar suara menggaruk-


garuk?” tanyaku. “Ada yang menggaruk-garuk pintu belakang.”
41 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Ya,” bisiknya. Dipandanginya pintu.

Kami berdua mendengarkan.

Sepi.

“Apa menurutmu ada kijang yang lepas?” tanyanya sambil melangkah


ke arah pintu. Tangannya terlipat di depan mantel merah muda-
putihnya.

“Kaukira kijang bisa menggaruk-garuk pintu?” tanyaku.

Pertanyaan itu konyol sekali, kami berdua jadi tertawa terbahak-


bahak.

“Mungkin ia ingin segelas air” seru Emily, dan kami tertawa lagi.
Tawa tidak enak. Tawa gelisah.

Kami berdua mendadak berhenti tertawa, dan mendengarkan.

Terdengar lagi lolongan di luar, seperti sirene polisi.

Kulihat mata Emily menyipit karena takut. “Itu serigala” serunya


berbisik. Ditutupnya mulutnya dengan satu tangan. “Cuma serigala
yang bersuara seperti itu, Grady.”

“Emily, jangan begitu” kataku.

“Tidak. Aku betul,” katanya bersikeras. “Itu lolongan serigala.”

“Em, hentikan,” kataku, terduduk di kursi dapur. “Tidak ada serigala


di rawa Florida. Kau bisa membacanya di buku petunjuk. Atau lebih
baik lagi, tanya Mom dan Dad. Serigala tidak hidup di rawa.”
42 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ia mulai membantah, tapi suara garukan di pintu membuatnya
terdiam.

Kressk. Kressk. Kressk.

Kami berdua mendengarnya. Kami berdua terkesiap.

“Apa itu?” bisikku. Lalu, ketika melihat ekspresi wajahnya, cepat-


cepat kutambahkan, ''Jangan bilang itu serigala.”

“Aku-aku tidak tahu,” jawabnya, dipegangnya wajahnya dengan


kedua tangan. Aku tahu ia panik. “Ayo kita panggil Mom dan Dad.”

Kupegang pegangan pintu. “Kita lihat saja dulu sebentar.”

Aku tidak tahu dari mana datangnya keberanianku. Mungkin karena


demam. Tiba-tiba aku ingin memecahkan misteri ini.

Siapa atau apa yang menggaruk-garuk pintu? Ada satu cara tepat
untuk mengetahuinya, buka pintu dan lihat ke luar.

“Jangan, Grady tunggu” kata Emily memohon. Tapi kuabaikan


protesnya.

Kuputar kenop pintu dan kutarik pintu dapur sampai terbuka.

43 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
11

UDARA panas dan basah menyerbu masuk melalui pintu yang


terbuka. Terdengar suara cengkerik mengerik.

Sambil berpegangan di pintu, kupandangi halaman belakang yang


gelap.

Tidak ada apa-apa.

Bulan yang hampir purnama, kuning seperti jeruk lemon, terletak jauh
di langit. Lapisan tipis awan hitam melewatinya.

Tiba-tiba cengkerik berhenti mengerik, suasana jadi sunyi senyap.

Terlalu sunyi.

Kupicingkan mata menatap rawa gelap di kejauhan.

Tidak ada yang bergerak. Tidak ada yang bersuara.

Kutunggu sampai mataku menyesuaikan diri dengan kegelapan.

Sinar bulan remang-remang menerangi rumput. Di kejauhan aku bisa


melihat garis deretan pepohonan miring di tepi rawa.

Siapa atau apa yang tadi menggaruk-garuk pintu? Apakah sekarang


mereka bersembunyi dalam kegelapan? Mengamati aku?

Menungguku menutup pintu supaya mereka bisa melolong


menakutkan lagi?

44 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Grady tutup pintunya.”

Kudengar suara kakakku dari belakang. Ia kedengaran takut sekali.

“Gradykau lihat sesuatu? Ya?”

“Tidak,” kataku. “Cuma bulan.”

Aku melangkah ke teras belakang. Udara terasa panas dan pengap,


seperti udara di kamar mandi setelah kau mandi air panas.

“Grady kembalilah. Tutup pintunya.” Suara Emily melengking dan


bergetar.

Kupandang kandang kijang. Aku bisa melihat sosok mereka, tidak


bergerak dan bersuara. Angin panas bergemerisik di rerumputan.

Cengkerik mulai mengerik lagi.

“Ada orang di sana?” seruku. Aku segera merasa tolol.

Tidak ada siapa-siapa.

“Grady tutup pintunya. Sekarang.”

Kurasakan Emily memegang tangan piamaku. Ditariknya aku masuk


ke dapur lagi. Kututup pintu dan kukunci.

Mukaku terasa basah karena terkena udara malam yang lembap.

Aku gemetaran. Lututku bergetar.

“Kau kelihatan tidak sehat,” kata Emily. Diliriknya pintu di


belakangku. “Kau lihat sesuatu?”

45 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tidak,” kataku. “Tidak ada apa-apa. Gelap sekali di belakang,
biarpun ada bulan purnama.”

“Ada apa ini?” Suara tegas membuat kami terdiam. Dad masuk ke
dapur, sambil merapikan kerah baju tidur panjang yang selalu
dikenakannya. “Sekarang sudah lewat tengah malam.” Dipandanginya
Emily dan aku bergantian dengan bingung.

“Kami mendengar suara-suara,” kata Emily. “Ada lolongan di luar.”

“Lalu ada sesuatu menggaruk-garuk pintu,” kataku menambahkan,


berusaha menghentikan getaran lututku.

“Mimpi karena demam,” kata Dad padaku. “Lihatlah. Kau merah


seperti tomat. Dan gemetaran. Coba kuukur suhu tubuhmu. Kau pasti
demam tinggi.” Ia berjalan ke kamar mandi untuk mengambil
termometer.

“Tadi itu bukan mimpi,” seru Emily pada Dad. “Aku juga mendengar
suara-suara

Dad berhenti di pintu. “Sudah kau periksa kijang-kijang?”

“Yeah. Mereka tidak apa-apa,” kataku.

“Kalau begitu mungkin tadi cuma angin. Atau makhluk di rawa. Sulit
tidur di rumah baru. Suara-suaranya baru semua, begitu asing. Tapi
kalian berdua sebentar lagi pasti sudah terbiasa.”

Aku takkan pernah terbiasa dengan lolongan-lolongan menyeramkan


itu, pikirku bersikeras. Tapi aku kembali juga ke kamarku.

46 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dad mengukur suhu tubuhku. Hanya sedikit di atas normal.

“Besok kau sudah sembuh,” katanya, sambil menyelimutiku. “Malam


ini jangan keluyuran lagi, ya?”

Aku menggumam dan hampir seketika itu juga langsung tertidur tidak
nyenyak.

Sekali lagi aku bermimpi aneh dan tidak menyenangkan. Aku


bermimpi sedang berjalan-jalan di rawa. Kudengar lolongan. Aku bisa
melihat bulan purnama di antara batang-batang pohon langsing di
rawa.

Aku mulai berlari. Lalu tiba-tiba aku sudah terbenam sepinggang di


dalam bog yang hijau dan kental. Dan lolongan-lolongan itu terus
berlanjut, susul menyusul, bergema di antara pepohonan sementara
aku tenggelam ke dalam bog suram itu.

®RatuBuku

Ketika terbangun keesokan paginya, aku masih teringat mimpi itu


terus. Aku ingin tahu apakah lolongannya nyata, atau hanya mimpi.

Ketika bangun dari tempat tidur, aku merasa sehat. Cahaya matahari
pagi masuk dari jendela. Aku bisa melihat langit berwarna biru cerah.
Pagi yang indah itu membuatku lupa pada mimpi burukku.

Aku ingin tahu apakah pagi ini Will ada. Mungkin ia dan aku bisa
pergi menjelajahi rawa.

47 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku cepat-cepat berpakaian, kukenakan jins pudar dan kaus Raiders
berwarna hitam-perak. (Aku bukan penggemar Raiders. Aku cuma
suka warnanya.)

Kumakan semangkuk Frosted Flakes, kubiarkan Mom meraba dahiku


untuk memastikan aku sudah tidak demam, dan bergegas pergi ke
pintu belakang.

“Wow. Tunggu dulu,” seru Mom, diletakkannya cangkir kopinya.


“Mau ke mana kau pagi-pagi begini?”

“Aku ingin melihat apa Will ada di rumah,” kataku. “Kami mungkin
akan main-main atau apalah.”

“Oke. Tapi jangan terlalu lama, ya,” katanya. “Janji?”

“Yeah. Janji,” jawabku.

Kubuka pintu dapur, melangkah ke udara luar yang bermandi sinar


mataharidan menjerit ketika monster hitam yang sangat besar
menerjang dadaku dan menjatuhkan aku ke tanah.

48 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
12

“IA- ia menangkapku” jeritku ketika makhluk itu mendorongku ke


tanah dan melompat ke dadaku. “Tolong Ia- ia menjilati mukaku”

Saking terkejutnya, lama baru kusadari yang menyerangku itu


ternyata seekor anjing.

Ketika Mom dan Dad menolongku dan menarik makhluk besar itu
dari dadaku, aku tertawa. “Hei geli Berhenti”

Kuusap ludah anjing itu dari wajahku dan bersusah payah bangun.

“Dari mana asalmu?” tanya Mom pada anjing itu. Ia dan Dad
memegangi makhluk besar itu.

Mereka berdua melepaskannya, dan anjing itu berdiri sambil sibuk


mengibas-ngibaskan ekornya, terengah-engah, lidahnya yang besar
dan merah terjuntai benar-benar sampai tanah.

“Ia besar sekali” seru Dad. “Pasti ada keturunan anjing gembalanya.”

Aku masih membersihkan ludahnya yang licin dari pipiku. “Ia


membuatku ketakutan setengah mati,” kataku mengaku. “Ya kan,
sobat?” Aku membungkuk dan membelai bulu kelabu panjang di
kepalanya. Ekornya yang panjang mulai berkibas-kibas lebih cepat.

“Ia suka padamu,” kata Mom.

49 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Ia hampir membunuhku” seruku. “Lihatlah. Pasti beratnya lebih dari
lima puluh kilo”

“Kau ya yang mengaruk-garuk pintu kami tadi malam?” Emily


muncul di pintu, masih mengenakan kaus panjang yang digunakannya
sebagai baju tidur. “Kurasa ini menyelesaikan misterinya,” katanya
padaku, sambil menguap dan menarik rambut pirangnya ke belakang
bahu dengan kedua tangan.

“Begitulah,” gumamku. Aku berlutut di samping anjing besar itu dan


mengusap punggungnya. Ia menoleh dan menjilat pipiku lagi.

“Hii Hentikan” kataku.

“Aku ingin tahu dia milik siapa,” kata Mom, sambil menatap anjing
itu serius. “Grady, periksa kalungnya. Mungkin ada namanya.”

Kupegang leher tegap anjing itu dan kuraba-raba bulunya untuk


mencari kalungnya. “Tidak ada,” kataku.

“Mungkin ia anjing yang tersesat,” kata Emily dari dalam dapur.


“Mungkin itu sebabnya tadi malam ia menggaruk-garuk pintu.”

“Yeah,” kataku cepat. “Ia perlu tempat tinggal.”

“Wow,” kata Mom, sambil menggeleng. “Kurasa kita sekarang belum


memerlukan anjing, Grady. Kita baru pindah, dan”

“Tapi aku perlu binatang piaraan” kataku ngotot. “Di sini sepi sekali.
Kalau ada anjing pasti asyik, Mom. Ia bisa menemaniku.”

50 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kau punya binatang piaraan kijang,” kata Dad, dahinya berkerut. Ia
berbalik menatap kandang kijang. Keenam kijang itu berdiri waspada
penuh perhatian, menatap anjing itu.

“Aku tidak bisa membawa kijang jalan-jalan” protesku. “Lagi pula,


Dad akan membebaskan kijang-kijang itu, kan?”

“Anjing itu mungkin ada yang punya,” kata Mom. “Kau tidak bisa
langsung memiliki anjing yang datang. Lagi pula, ia besar sekali,
Grady. Ia terlalu besar untuk”

“Ah, biar saja ia memeliharanya,” seru Emily dari dalam rumah.

Aku terkejut menatapnya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali Emily
dan aku punya pendapat sama dalam masalah keluarga. Perdebatan
berlangsung selama beberapa saat lagi. Semua setuju bahwa anjing itu
kelihatannya manis dan lembut meskipun tubuhnya besar sekali. Dan
ia jelas sangat penyayang. Aku tidak bisa melarangnya menjilatiku.

Kulihat Will keluar dari rumahnya dan melintasi halaman belakang


mendatangi kami. Ia mengenakan kaus biru tanpa lengan dan celana
pendek lycra biru. “Hai Lihat apa yang kami temukan” seruku. Ku
perkenalkan Will pada ayah dan ibuku. Emily sudah menghilang lagi
ke kamarnya untuk berganti pakaian.

“Kau pernah melihat anjing ini?” tanya Dad pada Will. “Apa ia anjing
milik orang dari sekitar sini?”

Will menggeleng. “Bukan. Tidak pernah melihatnya.” Dengan hati-


hati dielusnya kepala anjing itu.
51 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Dari mana asalmu, sobat?” tanyaku, kutatap mata makhluk itu.
Matanya sebiru langit.

“Ia lebih mirip serigala daripada anjing,” kata Will.

“Yeah. Memang,” kataku setuju. “Kau ya, yang tadi malam melolong
seperti serigala?” tanyaku pada anjing itu. Ia berusaha menjilat
hidungku, tapi aku berhasil mengelak.

Kupandang Will. “Kau dengar lolongan-lolongan tadi malam? Benar-


benar aneh.”

“Tidak. Aku tidak dengar apa-apa,” jawab Will. “Aku kalau tidur
nyenyak sekali. Ayahku masuk ke kamarku dan berteriak memakai
pengeras suara untuk membangunkan aku pagi-pagi. Betul”

Kami semua tertawa.

“Ia memang kelihatan seperti serigala,” kata Mom sambil menatap


mata biru anjing itu.

“Serigala lebih kurus,” kata Dad. “Moncongnya lebih kecil. Kurasa ia


ada keturunan serigalanya. Tapi di daerah ini rasanya tidak mungkin.”

“Kita namakan dia Wolf saja,” kataku bersemangat. “Itu nama yang
pas untuknya.” Aku berdiri. “Hai, Wolf,” seruku pada anjing itu.

“Wolf Hai, Wolf” Kupingnya berdiri tegak. “Betul kan? Ia suka


namanya” seruku. “Wolf Wolf” Ia menyalak pendek padaku.

“Boleh aku memeliharanya?” tanyaku.

52 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mom dan Dad berpandang-pandangan. “Lihat saja nanti,” kata Mom.

®RatuBuku

Siang itu, Will dan aku pergi menjelajah ke rawa. Aku teringat mimpi
burukku tentang rawa. Tapi sekuat tenaga kulupakan.

Hari itu panas sekali. Matahari bersinar cerah di langit yang bersih tak
berawan. Ketika kami melintasi halaman belakang rumahku, aku
berharap semoga suhu di bawah pepohonan di rawa lebih sejuk.

Kulirik Wolf. Ia sedang tidur menyamping bermandikan sinar


matahari, keempat kakinya terjulur di depannya. Sebelum makan
siang tadi, kami sudah memberinya makan, sisa-sisa daging bekas
makan malam. Ia melahapnya dengan rakus. Lalu, setelah meminum
semangkuk penuh air, ia merebahkan diri ke rumput di depan teras
belakang untuk tidur siang.

Will dan aku mengikuti jalan setapak menuju pepohonan miring.


Kupu-kupu hitam-jingga, empat atau lima ekor, beterbangan di sekitar
rumpun bunga-bunga liar.

“Hei” teriakku ketika kakiku terbenam ke tanah lunak. Ketika kutarik


keluar, sepatuku tertutup pasir basah.

“Kau sudah lihat bog-nya?” tanya Will. “Asyik, lho.”

“Yeah. Ayo kita ke sana,” kataku penuh semangat. “Kita bisa


melempar-lempar ranting dan sebagainya, dan melihatnya terbenam.”

53 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Menurutmu pernah tidak orang tenggelam di bog itu?” tanya Will
serius. Diusirnya nyamuk dari dahinya, lalu digaruknya rambut
pendeknya yang cokelat tua.

“Mungkin,” jawabku sambil mengikutinya ketika ia keluar dari jalan


setapak dan berjalan menerobos serumpun alang-alang tinggi. “Me-
nurutmu bog itu benar-benar bisa mengisapmu, seperti pasir isap?”

“Kata ayahku pasir isap itu tidak ada,” kata Will.

“Aku yakin ada,” kataku. “Aku yakin pasti ada orang tidak sengaja
jatuh ke dalam bog dan terisap. Kalau kita bawa tangkai pancing, kita
bisa memancing tulang-tulang mereka.”

“Jijik,” katanya.

Kami berjalan di atas hamparan daun-daun cokelat kering. Sepatu


kami berderak-derak ketika kami berjalan menuju bog di bawah
pohon palem yang berbelit-belit.

Tiba-tiba Will berhenti. “Sssst.” Ditempelkannya jari ke mulutnya.

Aku juga mendengarnya. Berderak-derak di belakang kami. Suara


langkah kaki. Kami berdiri diam, mendengarkan dengan cermat.
Suara langkah kaki itu semakin dekat.

Mata Will yang kelam menyipit karena takut. “Ada yang mengikuti
kita,” gumamnya. “Si petapa rawa.”

54 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
13

“CEPATsembunyi” seruku.

Will merunduk masuk ke balik serumpun rumput tinggi yang lebat.


Aku berusaha mengikutinya, tapi tempatnya terlalu kecil.

Sambil merangkak-rangkak, aku panik mencari tempat


persembunyian.

Suara derak daun kering terdengar semakin jelas.

Suara langkah kaki semakin dekat.

Aku merangkak ke semak-semak. Tidak. Tidak bisa menutupiku.

Serumpun semak di seberangku juga terlalu rendah.

Suara langkah kaki itu semakin dekat.

Semakin dekat.

“Sembunyi Sembunyi” desak Will.

Tapi aku terjebak di tempat terbuka. Terperangkap.

Aku susah payah bangun tepat ketika pengejar kami muncul.

“Wolf” teriakku.

Ekor anjing besar itu segera sibuk mengibas-ngibas begitu melihatku.


Ia menyalak senangdan melompat.

55 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tidak” teriakku.

Kaki depannya menghantam dadaku. Aku jatuh terduduk ke ilalang


tinggi dan menimpa Will. “Hei” teriaknya dan bangun.

Wolf menyalak gembira dan menindihku, berusaha menjilati mukaku.


“Wolf, turun Turun” teriakku. Aku berdiri dan menyingkirkan daun-
daun kering dari kausku. “Wolf, kau tidak boleh begitu, Boy,” kataku.
“Kau bukan anjing kecil, tahu?”

“Bagaimana caranya ia bisa menemukan kita?” tanya Will, sambil


menarik duri dari bagian belakang celana pendek lycra-nya.

“Kurasa karena penciumannya yang tajam,” jawabku, kupandangi


anjing yang terengah-engah senang itu. “Mungkin ia ada keturunan
anjing pemburu.”

“Ayo ke bog,” kata Will tidak sabaran. Ia mulai berjalan, tapi Wolf
memaksa melewatinya, nyaris membuat Will terjatuh, dan berlari-lari
kecil menuju bog. Kakinya yang kuat melangkah panjang-panjang
dan mantap.

“Wolf sepertinya tahu ke mana kita pergi,” kataku agak terkejut.

“Mungkin ia pernah kemari,” jawab Will. “Mungkin ia anjing rawa.”

“Mungkin,” kataku serius sambil memandangi Wolf. Dari mana


asalmu, Wolf? pikirku. Ia jelas tampak mengenal rawa ini.

Sesaat kemudian, kami sampai di tepi bog tanah liat. Kuhapus


keringat di dahiku dengan punggung tangan dan kutatap kolam

56 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berbentuk oval itu. Berkas sinar matahari membuat permukaannya
yang hijau jadi berpendar-pendar. Ribuan serangga putih kecil
beterbangan di atasnya, berkilauan seperti berlian karena terkena
cahaya.

Will memungut ranting kecil. Dipatahkannya jadi dua. Lalu


dilemparkannya sepotong jauh-jauh.

Ranting itu mengenai permukaan bog dan berbunyi buk, bukannya


byur. Lalu tergeletak begitu saja. Ranting itu tidak terbenam.

“Aneh,” kataku. “Ayo kita coba yang lebih berat.”

Aku segera mencari-cari, tapi perhatianku terpecah waktu mendengar


suara geraman pelan. Aku berbalik ke arah suara itu. Aku terkejut,
asalnya dari Wolf.

Anjing itu merunduk. Sekujur tubuhnya berdiri kaku, seperti dalam


posisi menyerang. Bibirnya yang hitam tertarik ke belakang,
menampakkan dua baris gigi tajam. Ia menggeram-geram pelan.

“Kurasa ia mencium ada bahaya,” kata Will pelan.

57 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
14

WOLF menggeram marah lagi, tampak giginya yang runcing-runcing.


Bulu di punggungnya berdiri kaku. Kakinya menegang seperti
bersiap-siap akan menyerang.

Aku mengangkat kepala ketika mendengar suara ranting patah.

Kulihat ada sosok kelabu melesat di balik ilalang tinggi di seberang


bog.

“Si-siapa itu?” bisik Will.

Aku menatap lurus ke depan, tidak sanggup bicara.

“Apakah” kata Will.

“Ya,” akhirnya aku bisa bersuara. “Itu dia. Si petapa rawa.” Aku
cepat-cepat berlutut, berharap semoga tidak kelihatan.

Tapi apa ia sudah melihat kami? Apa dari tadi ia sudah berada di
seberang bog?

Pikiran Will pasti sama dengan pikiranku. “Apa si aneh itu memata-
matai kita?” tanyanya sambil merapat ke sampingku.

Wolf menggeram pelan, ia masih berdiri kaku di tempatnya, siap


menyerang. Dengan posisi berlutut, kudekati anjing itu. Kurasa
karena ingin dilindungi.

58 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kuamati orang aneh itu berjalan menerobos ilalang. Rambutnya yang
panjang dan putih-kelabu tampak berantakan. Ia terus-menerus
menoleh ketika berjalan, seperti ingin memastikan tidak ada yang
mengikutinya. Ia memanggul karung cokelat.

Ia menatap ke arah kami. Aku semakin merunduk, berusaha


bersembunyi di belakang Wolf, jantungku berdebar-debar.

Wolf tidak bergerak, tapi sekarang sudah tidak menggeram lagi.


Telinganya masih tertekuk ke belakang, mulutnya masih terbuka tak
bersuara.

Noda hitam apa yang tampak di bagian depan kemeja kotor petapa
rawa itu? Noda darah?

Aku bergidik.

Wolf menatap lurus ke depan tanpa berkedip, tanpa menggerakkan


satu otot pun.

Petapa rawa itu menghilang di balik ilalang tinggi. Kami tidak bisa
melihatnya, tapi bisa mendengar langkah kakinya menginjak
dedaunan kering dan ranting pohon.

Kulirik Wolf. Anjing besar itu mengibas-ngibaskan bulunya, seperti


ingin menghilangkan petapa rawa itu dari pikirannya. Ekornya
bergoyang-goyang pelan. Tubuhnya tidak tegang lagi. Ia menguik
pelan, seperti ingin mengatakan padaku betapa takutnya ia tadi.

“Tenang, Boy,” kataku pelan dan kuelus bulu lembut di kepalanya.

59 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Ia berhenti menguik-nguik dan menjilat pergelangan tanganku.

“Orang itu menyeramkan” seru Will seraya pelan-pelan berdiri.

“Ia bahkan bisa membuat anjingku ketakutan,” kataku, sambil


mengelus-elus Wolf. “Kira-kira apa ya, isi karungnya?”

“Mungkin kepala orang” kata Will, matanya yang kelam terbelalak


ngeri.

Aku tertawa. Tapi langsung berhenti begitu melihat Will tidak main-
main. “Semua orang bilang ia tidak berbahaya,” kataku.

“Bagian depan bajunya penuh darah,” kata Will bergidik.

Dengan gelisah digaruknya rambutnya yang hitam pendek.

Sinar matahari segera memudar begitu tertutup awan. Bayang-bayang


panjang merayapi bog. Ranting yang tadi dilempar Will sudah tidak
ada, terisap ke dalam air yang kental dan keruh.

“Ayo pulang,” kataku.

“Yeah. Oke,” kata Will cepat.

Kupanggil Wolf, yang sedang mengendus-ngendus di sela-sela ilalang


tinggi. Kami lalu berbalik dan berjalan pulang di jalan setapak yang
berkelok-kelok.

Angin semilir menggoyang pepohonan, daun-daun pohon palem jadi


bergesekan dan bergemerisik. Semak-semak bergetar ditiup angin.
Bayang-bayang semakin gelap.

60 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku bisa mendengar Wolf berjalan di belakang kami. Aku bias
mendengar tubuhnya bergesekan dengan semak-semak dan ilalang.

Kami sudah hampir sampai di tempat yang tidak ada pohonnya lagi di
tepi lapangan rumput yang menuju halaman belakang rumah kami.
Kami sudah hampir keluar dari rawa ketika tiba-tiba Will berhenti.

Kulihat mulutnya ternganga ngeri.

Kuikuti arah pandangannya.

Aku berteriak terkejut dan menutup mataku supaya tidak melihat


pemandangan mengerikan itu.

61 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
15

WAKTU kubuka mataku, gundukan bulu dan daging berlumuran


darah itu masih tergeletak di kakiku. “A-apa itu?” tanya Will
tergagap.

Lama baru kusadari yang kami lihat itu burung. Burung heron besar.

Burung itu sulit dikenali lagi karena sudah terkoyak-koyak.

Bulu-bulu putih panjang berserakan di tanah yang lembek.

Dada burung malang itu terkoyak lebar.

“Si petapa rawa” teriak Will.

“Hah?” teriakku. Kualihkan pandangan dari pemandangan


mengerikan itu dan berusaha melupakannya.

“Itu sebabnya bajunya berlumuran darah” seru Will.

“Tapi buat apa ia merobek-robek burung ini?” tanyaku pelan.

“Karena... karena ia monster” seru Will.

“Ia cuma orang tua aneh yang tinggal sendirian di rawa,” kataku.
“Bukan ia yang melakukan ini, Will. Sejenis binatang yang
melakukannya. Lihat” Kutunjuk tanah.

Tampak jejak-jejak kaki binatang. Semuanya di sekeliling burung


mati itu.

62 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Kelihatannya seperti jejak kaki anjing,” kataku.

“Anjing tidak mengoyak-ngoyak burung,” jawab Will pelan.

Tepat pada saat itu Wolf mendatangi kami dari sela-sela ilalang. Ia
langsung berhenti di depan bangkai burung itu dan mengendus-
ngendusnya.

“Pergi dari sana, Wolf,” perintahku. “Ayo. Pergi.” Dengan dua tangan
kutarik lehernya yang tegap.

“Ayo pulang,” kata Will. “Tinggalkan saja bangkai ini. Aku pasti
bermimpi buruk. Pasti.”

Kutarik Wolf dengan kedua tanganku.

Kami berhati-hati mengitari bangkai heron itu dan bergegas menuju


tepi rawa. Tidak ada yang bicara. Kurasa kami berdua masih
membayangkan apa yang kami lihat tadi.

Setelah sampai di lapangan rumput di belakang rumah kami, aku


berpisah dengan Will. Kuamati ia bergegas menuju rumahnya.

Wolf mengikutinya sebentar. Ia lalu berbalik dan bergegas


mendatangiku.

Matahari sore bersinar dari balik awan. Kulindungi mataku dari


cahaya terang yang tiba-tiba itu dan kulihat ayahku sedang bekerja di
kandang kijang di belakang rumah.

“Hei, Dad” Aku lari mendatanginya.

63 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Beliau mengangkat kepala ketika kupanggil. Dikenakannya celana
pendek denim dan kemeja kuning tanpa lengan. Di kepalanya ada topi
Orlando Magic. “Ada apa, Grady?”

“Will dan akukami melihat bangkai heron,” kataku terengah-engah.

“Di mana? Di rawa?” tanyanya ringan. Dibukanya topinya,


dihapusnya keringat di dahinya dengan punggung tangan, dan
dikenakannya lagi topinya.

“Dad, bangkai-bangkainya terkoyak” seruku.

Ia tidak bereaksi. “Itulah kehidupan di alam liar,” katanya, sambil


menarik salah satu kuku kijang untuk diamati bagian bawahnya. “Kau
tahu itu, kan, Grady. Di alam luar sana bisa sangat kejam. Kita pernah
membicarakan soal seleksi alam dan sebagainya.”

“Bukan, Dad. Ini lain,” kataku ngotot. “Heronnya terkoyak jadi dua.
Maksudku, seperti ada yang menangkapnya, dan-”

“Mungkin burung lain,” kata Dad, asyik mengamati kuku kijang.


“Burung pemangsa yang lebih besar. Bisa saja”

“Kami melihat si petapa rawa,” selaku. “Bajunya berlumuran darah.


Kami lalu melihat ada jejak kaki binatang di tanah. Di sekeliling
bangkai burung itu.”

“Grady, tenang,” kata Dad, sambil menurunkan kaki kijang. “Kalau


kau menjelajahi rawa, kau akan melihat banyak hal-hal yang tampak

64 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
mengerikan. Tapi jangan biarkan khayalanmu melantur kemana-
mana.”

“Kata Will, monster yang melakukannya” seruku.

Dad mengerutkan kening dan menggaruk-garuk kepalanya. “Ternyata


teman barumu punya daya khayal bagus juga,” katanya tenang.

®RatuBuku

Malam itu aku senang orangtuaku mengizinkan Wolf tidur di


kamarku. Aku merasa jauh lebih aman ada anjing besar itu tidur
melingkar di karpet di samping tempat tidurku.

Aku belum bisa melupakan pemandangan seram bangkai heron tadi.

Aku menonton TV sampai saat makan malam. Setelah itu aku main
catur dengan Emily.

Tapi apa pun yang kulakukan, aku tetap saja teringat terus pada bulu-
bulu putih yang berserakan di tanah itu, pada burung yang terkoyak-
koyak yang tergeletak di jalan setapak.

Jadi sekarang aku merasa lebih tenang ada Wolf tidur di kamarku.
“Kau akan melindungiku, kan, Boy,” bisikku dari tempat tidur.

Ia mendengus pelan. Sinar bulan purnama dari jendela meneranginya.


Kulihat ia tidur dengan kepala terletak di kedua kaki depannya.

Aku lalu tertidur tanpa bermimpi.

65 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku tidak tahu seberapa lama aku tidur.

Beberapa saat kemudian aku terbangun waktu mendengar suara


barang jatuh yang keras sekali.

Aku terkesiap dan duduk tegak di tempat tidur.

Aku tahu suara itu datang dari ruang duduk.

Ada orang masuk.

66 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
16

PENCURI?

Aku turun dari tempat tidur, jantungku berdebar-debar. Pelan-pelan


aku melangkah ke pintu. Suara barang jatuh lagi. Suara bum keras.

Langkah kaki.

“Siapa- siapa di sana?” seruku. Suaraku berbisik tertahan.

Sambil terus bersandar ke dinding, aku berjalan pelan-pelan menuju


ruang duduk. “Siapa di sana?” teriakku.

Mom, Dad, dan Emily berpapasan denganku di ruang tengah yang


gelap. Meskipun gelap aku bisa melihat wajah mereka yang takut dan
bingung.

Aku yang pertama sampai di ruang duduk. Sinar kuning pucat dari
bulan purnama menyinari seluruh ruangan. “Hei” seruku.

Wolf melompat menubruk jendela depan yang besar. Bahunya


berdebum keras ketika mengenai kaca jendela.

“Wolf, berhenti” teriakku.

Dengan diterangi cahaya redup, aku melihat apa yang menyebabkan


suara barang jatuh tadi. Wolf menjatuhkan meja dan lampu yang
terletak di depan jendela.

67 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Ia-ia berusaha keluar,” kataku tergagap.

Kurasakan tangan Dad di bahu piamaku. “Semua jadi berantakan


gara-gara dia,” gumamnya.

“Wolf, berhenti” seruku lagi.

Anjing besar itu berbalik, napasnya terengah-engah. Matanya merah


manyala diterangi sinar bulan dari jendela.

“Kenapa ia ingin sekali keluar?” tanya Emily.

“Kita tidak bisa membiarkannya di dalam rumah kalau setiap malam


kelakuannya begini,” kata Mom, suaranya parau karena baru bangun.

Anjing besar itu merunduk dan menggeram penuh semangat.

Ekornya berdiri tegak.

“Buka pintu depan. Keluarkan dia,” kata Mom. “Sebelum dia


hancurkan seisi rumah.”

Dad bergegas melintasi ruangan dan membuka pintu. Wolf langsung


melesat. Ia menuju pintu dan lari ke luar.

Aku lari ke jendela untuk mengamatinya. Tapi anjing besar itu


menghilang ke samping rumah, lari menuju halaman belakang. “Ia
menuju rawa,” kataku menduga-duga.

“Ia berusaha memecahkan kaca jendela,” kata Mom.

Emily menyalakan lampu. “Ia kuat sekali, bisa saja ia memecahkan


kaca jendela itu,” katanya pelan.
68 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dad menutup pintu depan. Ia menguap. Lalu dipandangnya aku..”Kau
tahu apa artinya ini kan, Grady?”

Aku masih memandangi bulan purnama. “Tidak. Apa?”

“Mulai sekarang Wolf harus tinggal di luar,” kata Dad. Ia


membungkuk dan mulai memunguti pecahan lampu.

“Tapi, Dad” Aku mulai protes.

“Ia terlalu besar dan terlalu bersemangat untuk tinggal di dalam


rumah,” kata Dad lagi. Diserahkannya pecahan lampu pada Emily.

Lalu ditegakkannya meja lagi dan dikembalikannya ke tempatnya


semula di depan jendela.

“Wolf tidak bermaksud memecahkan lampu,” bantahku lemah.

“Ia akan memecahkan semua barang-barang kita,” kata Mom tenang.

“Ia terlalu besar,” tambah Dad. “Ia harus tinggal di luar, Grady.”

“Kenapa ia ingin sekali keluar?” desak Emily.

“Mungkin ia terbiasa di luar,” kata Dad padanya. “Ia akan lebih


bahagia di luar sana,” katanya, sambil berbalik menatapku.

“Yeah. Mungkin,” jawabku suram. Aku suka Wolf tidur di sampingku


di kamar. Tapi aku tahu tidak mungkin aku bias meyakinkan
orangtuaku untuk memberi kesempatan lagi pada Wolf.

Keputusan mereka sudah pasti.

69 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tapi paling tidak mereka mengizinkan aku tetap memelihara Wolf.

Kukeluarkan penyedot debu dari lemari dan kunyalakan. Dad


mengambil mulut pipanya dan, mulai menyedot pecahan-pecahan
kecil kaca dari karpet.

Dasar anjing gila, pikirku, sambil menggeleng-geleng. Ada masalah


apa sih dengan dia?

Setelah Dad selesai, kukembalikan lagi penyedot debunya ke dalam


lemari.

“Sekarang kita semua bisa tidur dengan tenang,” kata Mom sambil
menguap.

Mom keliru.

70 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
17

TAK lama kemudian aku mendengar lolongan menakutkan lagi.

Mula-mula kukira aku cuma bermimpi.

Tapi ketika aku membuka mata dan memandang ke sekeliling


kamarku yang gelap, lolongan itu berlanjut. Dengan masih setengah
tidur, kucengkeram selimut dengan dua tangan dan kutarik sampai
dagu.

Lolongan itu terdengar dekat sekali, seperti berada tepat di luar


jendelaku. Kedengarannya tidak seperti lolongan binatang. Lolongan
itu terlalu marah, terlalu diatur. Terlalu manusia.

Berhentilah menakut-nakuti diri sendiri, pikirku. Itu serigala. Pasti


sejenis serigala rawa.

Dalam hati aku tahu bisa saja Wolf yang bersuara mengerikan seperti
itu. Tapi aku tidak mau mengakuinya.

Buat apa anjing melolong seperti itu?

Anjing menyalak. Anjing tidak melolong kalau tidak sangat sedih


atau bingung.

Kupejamkan mataku, berharap semoga lolongan mengerikan itu


segera berhenti.

Tiba-tiba tidak ada suara. Sepi.


71 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Lalu kudengar suara berdebuk-debuk cepat di tanah. Suara langkah
kaki. Suara orang berkelahi.

Kudengar teriakan pendek yang mengerikan. Baru terdengar sudah


langsung berhenti.

Asalnya tepat dari belakang rumah, pikirku.

Dengan mata terbuka lebar, aku melompat dari tempat tidur, sambil
menyeret selimut. Aku berjalan tersandung-sandung ke jendela kamar
dan mencengkeram tepinya.

Bulan purnama sudah tinggi di langit malam. Halaman belakang


tampak berkilauan disinari cahaya bulan, rumput-rumput berembun
tampak berkilat-kilat.

Kutekan dahiku ke bingkai jendela dan kupandangi rawa gelap di


kejauhan. Aku terkesiap waktu melihat ada sosok berlari menuju
pepohonan. Sosok besar yang berlari di atas empat kaki.

Sosok itu hanya kelihatan seperti bayangan hitam yang hilang dalam
kegelapan. Tapi aku bisa melihat betapa besar tubuhnya, dan betapa
cepat larinya.

Dan aku mendengar lolongannya. Lolongan penuh kemenangan,


pikirku.

Apa itu Wolf? pikirku. Aku memandang ke luar jendela tanpa


bergerak, meskipun makhluk itu sudah menghilang dalam kegelapan.

Aku hanya bisa melihat bayangan pepohonan di kejauhan.

72 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tapi aku masih bisa mendengar suara lolongan yang naik turun di
udara malam.

Apa itu Wolf?

Tidak mungkin Wolf kan?

Kuturunkan arah pandanganku. Napasku tercekat. Aku melihat


sesuatu. Di tengah-tengah halaman belakang. Beberapa meter dari
kandang kijang.

Mula-mula kukira itu tumpukan kain lap. Tanganku gemetar waktu


membuka jendela. Aku harus lebih jelas melihatnya. Aku harus
melihat apa yang tergeletak di halaman belakang itu.

Kutarik bagian bawah piamaku. Lalu kucengkeram tepi jendela dan


melompat ke luar.

Rumput basah terasa dingin di kakiku yang tidak beralas. Aku


berjalan menuju kandang kijang. Keenam kijang rawa itu berdiri
tegang, berdesak-desakan di dekat rumah. Mata mereka mengikutiku
waktu aku pelan-pelan melintasi halaman.

Benda apa itu? pikirku sambil memandang dengan sinar cahaya


bulan. Apa cuma tumpukan kain lap?

Bukan. Apa itu?

73 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
18

KAKIKU yang tidak beralas terasa dingin dan basah waktu aku
berjalan pelan melintasi rumput yang disaput embun. Udara malam
terasa pengap dan diam seakan mati.

Ketika sudah cukup dekat untuk melihat apa yang menumpuk di


rerumputan itu, aku berteriak pelan dan ingin muntah. Kutekan
tanganku ke mulut dan menelan ludah.

Aku tahu aku sedang menatap seekor kelinci. Matanya yang kecil dan
hitam beku terbelalak ketakutan. Salah satu telinganya putus.

Kelinci itu terkoyak lebar, nyaris terbagi dua. Kupaksa mataku


melihat ke arah lain. Dengan perut masih bergejolak, aku bergegas
melintasi rerumputan basah menuju jendela kamarku yang terbuka
dan masuk dengan susah-payah.

Ketika aku setengah mati berusaha menutup jendela, terdengar lagi


lolongan penuh kemenangan dari arah rawa.

®RatuBuku

Setelah sarapan, keesokan paginya kubawa Dad ke halaman belakang


untuk menunjukkan bangkai kelinci tadi malam. Udara cerah dan
panas, tampak matahari di langit yang terang dan bersih.

74 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Begitu kami turun dari teras belakang, Wolf muncul dari samping
rumah. Ekornya segera sibuk mengibas-ngibas. Ia lari penuh
semangat untuk menyambutku, seperti sudah bertahun-tahun tidak
bertemu, melompat ke dadaku, hampir membuatku terjatuh.

“Turun, Wolf Turun” teriakku sambil tertawa-tawa ketika anjing itu


berdiri untuk menjilati mukaku.

“Anjingmu pembunuh,” kata suara di belakangku. Aku berbalik,


ternyata Emily mengikuti kami. Ia mengenakan kaus merah dan
celana pendek putih. Ia bersedekap dan menatap Wolf sebal. “Lihat
perbuatannya pada kelinci malang itu,” katanya sambil menggeleng-
geleng.

“Wow. Tunggu dulu,” kataku, kuelus-elus bulu kelabu Wolf. “Siapa


bilang Wolf yang melakukannya?”'

“Siapa lagi?” tanya Emily. “Ia pembunuh.”

“Oya? Lihat betapa manisnya dia,” kataku bersikeras. Kumasukkan


tanganku ke dalam mulut Wolf. Pelan-pelan Wolf mengatupkan
mulutnya supaya tidak membuatku kesakitan.

“Mungkin Wolf ada keturunan pemburunya sedikit,” kata Dad serius.


Dari tadi ia memandangi bangkai kelinci, tapi sekarang dialihkannya
pandangannya ke kandang kijang.

Kijang-kijang itu berkerumun di ujung kandang dan menatap Wolf


waswas. Kepala mereka merunduk waspada ketika mengamati setiap
gerakan anjingku.
75 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku lega mereka aman di dalam kandang,” kata Dad pelan.

“Dad, anjing itu harus disingkirkan,” kata Emily melengking.

“Tidak bisa” teriakku. Kupandang kakakku dengan marah. “Kau tidak


punya bukti Wolf berbuat jahat” teriakku. “Sama sekali tidak ada
bukti”

“Kau tidak punya bukti ia tidak melakukannya” balas Emily kesal.

“Pasti bukan dia” teriakku tak terkendali. “Kau tidak dengar lolongan
tadi malam? Kau tidak dengar lolongan-lolongan mengerikan itu?
Bukan anjing yang melolong seperti itu. Anjing tidak melolong”

“Kalau begitu apa?” desak Emily.

“Aku juga mendengarnya,” kata Dad sambil melangkah ke tengah-


tengah kami. “Kedengarannya lebih mirip lolongan serigala. Atau
mungkin coyote.”

“Betul, kan?” kataku pada Emily.

“Tapi aku pasti terkejut kalau di daerah ini ada serigala atau coyote,”
kata Dad lagi, sambil menatap ke arah rawa.

Emily masih bersedekap erat. Dipandanginya Wolf dan bergidik. “Ia


berbahaya, Dad. Ia harus disingkirkan.”

Dad berjalan mendekat dan menepuk-nepuk kepala Wolf. Digaruk-


garuknya bagian bawah dagu Wolf. Wolf menjilat tangan Dad.

76 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Berhati-hati sajalah kalau berada di dekatnya,” kata Dad. “Ia
kelihatannya manis sekali. Tapi kita tidak terlalu mengenalnyakan?
Jadi berhati-hatilah, oke?”

“Aku akan berhati-hati,” jawab Emily, dipicingkannya matanya pada


Wolf. “Aku akan menjaga jarak sejauh mungkin dari monster itu.” Ia
berbalik dan lari cepat-cepat ke rumah.

Dad pergi ke gudang untuk mengambil sekop dan kotak untuk tempat
bangkai kelinci itu.

Aku berlutut dan memeluk leher Wolf yang tegap. “Kau bukan
monster, kan, Boy?” tanyaku. “Emily gila, ya? Kau bukan monster.
Bukan kau yang tadi malam kulihat berlari-lari menuju rawa, kan?”

Wolf menatap mataku. Dipandanginya aku tanpa berkedip.

Kelihatannya ia berusaha mengatakan sesuatu padaku.

Tapi aku sama sekali tidak tahu apa.

77 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
19

MALAM itu aku tidak mendengar lolongan.

Tengah malam aku terbangun dan menatap ke luar jendela.

Wolf tidak ada, mungkin pergi menjelajahi rawa. Aku tahu besok pagi
ia akan berlari-lari menyambutku seperti sahabat yang sudah lama
tidak bertemu.

Keesokan paginya Will datang ketika aku sedang memberi makan


Wolf, semangkuk besar makanan anjing kering yang renyah.

“Hei, ada apa?” tanya Will seperti biasa.

“Tidak banyak,” kataku. Kubalikkan kantong besar makanan anjing


itu dan kuseret kembali ke dapur. Wolf berdiri di dekat mangkuknya.
Kepalanya merunduk, mulutnya ribut mengunyah.

Kudorong pintu kasa dan kembali ke Will. Ia mengenakan kemeja


biru tua ketat dan celana pendek lycra hitam. Di kepalanya ada topi
hijau-kuning Dinas Kehutanan.

“Mau menjelajah?” tanyanya dengan suara serak, sambil mengamati


Wolf yang makan sarapannya dengan lahap. “Tahu, kan. Di rawa?”

“Yeah. Tentu,” kataku. Aku berteriak ke dalam untuk memberitahu


orangtuaku ke mana aku pergi. Lalu kuikuti Will melintasi halaman
belakang menuju rawa.

78 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Wolf berlari-lari mengejar kami. Ia melewati kami, lalu menunggu.
Setelah itu ia lari zigzag tidak keruan di depan dan di belakang kami,
gembira mandi sinar matahari pagi yang panas.

“Kau dengar berita tentang Mr. Warner?” tanya Will. Ia berhenti


untuk mencabut sehelai rumput dan menggigit-gigitnya.

“Siapa?”

“Ed Warner,” jawab Will. “Kurasa kau belum berkenalan dengan


keluarga Warner. Mereka tinggal di rumah paling ujung.” Ia berbalik
dan menunjuk rumah putih terakhir di ujung deretan rumah.

“Memangnya dia kenapa?” tanyaku, hampir tersandung Wolf, yang


lari di sela-sela kakiku.

“Ia hilang,” jawab Will sambil menggigit-gigit rumput.

“Kemarin malam ia tidak pulang.”

“Hah? Dari mana?” tanyaku, berbalik dan menatap rumah keluarga


Warner. Gelombang udara panas tampak dari sela-sela rerumputan,
rumah itu jadi kelihatan bengkok dan bergetar.

“Dari rawa,” kata Will suram. “Tadi pagi Mrs. Warner menelepon
ibuku. Katanya kemarin siang Mr. Warner pergi berburu.

Ia senang berburu kalkun liar. Ia pernah mengajakku. Ia pandai


mengejar-ngejar kalkun. Kalau berhasil membunuh seekor, akan
digantungkannya terbalik di dinding dapur.”

79 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Haa?” teriakku. Menurutku sadis juga.

“Yeah. Kau tahu, kan. Seperti tropi-lah,” kata Will lagi. “Kemarin
siang ia pergi berburu kalkun liar di rawa, dan sampai sekarang belum
pulang.”

“Aneh,” kataku, sambil mengamati Wolf yang berhenti di tepi


pepohonan. “Mungkin ia tersesat.”

“Tidak mungkin,” kata Will ngotot, ia menggeleng. “Tidak mungkin


Mr. Warner tersesat. Ia sudah lama tinggal di sini. Ia orang pertama
yang pindah ke mari. Mr. Warner takkan mungkin tersesat.”

“Kalau begitu mungkin ia ditangkap manusia serigala” seru suara


aneh dari belakang kami.

80 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
20

DENGAN terkejut kami berbalik dan melihat anak perempuan kira-


kira seusia kami. Rambutnya yang merah kecokelatan diikat jadi ekor
kuda di samping. Matanya hijau seperti mata kucing, hidungnya
pesek, dan wajahnya penuh bintik-bintik. Ia mengenakan jins denim
merah pudar dan kaus bergambar buaya hijau meringis di bagian
depan.

“Cassie, ngapain kau di sini?” tanya Will.

“Mengikutimu,” jawabnya, sambil mencibir. Ia menatapku. “Kau


Grady, si anak baru, kan? Will menceritakan tentang kau padaku.”

“Hai,” kataku kaku. “Ia mengatakan ada anak perempuan tinggal di


dekat sini. Tapi ia tidak banyak bercerita tentang kau.”

“Apa yang perlu diceritakan?” goda Will.

“Aku Cassie O'Rourke,” katanya. Dijulurkannya tangannya dan


ditariknya rumput dari mulut Will.

“Hei” Will bercanda mendorongnya, tapi tidak kena.

“Apa katamu tadi tentang manusia serigala?” tanyaku.

“Jangan mengacau dengan cerita itu lagi,” gerutu Will pada Cassie.
“Ceritamu terlalu konyol.”

“Alah, kau takut, kan,” tuduh Cassie.


81 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Tidak. Ceritamu yang terlalu konyol,” kata Will bersikeras.

Kami melangkah ke bayangan pepohonan di tepi rawa.

Segerombolan ngengat putih terbang berputar-putar diterangi


seberkas cahaya di antara pepohonan.

“Ada manusia serigala di rawa,” kata Cassie melirihkan suaranya


ketika kami merunduk melewati ngengat-ngengat dan semakin masuk
ke dalam bayangan.

“Dan aku akan mengepakkan sayap dan terbang ke Mars,” kata Will
kasar.

“Tutup mulut, Will” bentak Cassie. “Menurut Grady ceritaku tidak


konyolya, kan?”

Aku mengangkat bahu. “Entahlah,” kataku. “Kurasa aku tidak


percaya manusia serigala itu ada.”

Will tertawa. “Cassie juga percaya Kelinci Paskah memang ada,”


katanya.

Cassie meninju dada Will kuat-kuat.

“Hei” teriak Will marah sambil terhuyung-huyung ke belakang.


“Kenapa kau ini?”

“Nyamuk,” kata Cassie sambil menunjuk. “Nyamuk besar. Berhasil


kubunuh.”

Dengan bersungut-sungut Will memandang ke bawah.

82 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku tidak melihat ada nyamuk. Jangan macam-macam, Cassie.”

Kami berjalan di jalan setapak yang berkelok-kelok. Kemarin dulu


hujan. Tanah lebih lunak daripada biasanya. Kami terpeleset-peleset
terus di lumpur.

“Kau mendengar lolongan kalau malam?” tanyaku pada Cassie.

“Itu manusia serigala,” katanya pelan. Matanya yang hijau seperti


mata kucing menatap mataku. “Aku tidak main-main, Grady. Aku
serius. Lolongan itu bukan lolongan manusia. Lolongan itu berasal
dari manusia serigala yang baru saja membunuh.”

Will mencibir. “Daya khayalmu bagus, Cassie. Kurasa kau sering


menonton film seram di TV, heh?”

“Kehidupan nyata lebih mengerikan daripada film,” katanya


melirihkan suaranya jadi berbisik.

“Uuh, hentikan. Kau membuatku jadi gemetaran” seru Will kasar.

Cassie tidak menjawab. Ia masih terus menatapku sambil kami


berjalan. “Kau percaya padaku, kan?”

“Entahlah,” kataku.

Tampak bog di depan. Udara terasa lebih pengap, lebih basah.

Ilalang tinggi di seberang bog berdiri tegak. Bog itu berdeguk pelan.

Dua lalat besar terbang di atas permukaan air yang berwarna hijau
tua.

83 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Yang namanya manusia serigala itu tidak ada, Cassie,” gumam Will,
ia mencari-cari sesuatu untuk dilemparkan ke dalam bog. Ia meringis
pada Cassie. “Kecuali kalau salah satunya kau”

Cassie melotot. “Lucu sekali.” Mulutnya bergerak-gerak seperti akan


menggigit Will.

Aku mendengar suara gemerisik dari seberang bog berbentuk oval itu.
Tiba-tiba ilalang tinggi tersibak dan Wolf muncul di tepi air.

“Seperti apa, sih, tampang manusia serigala?” tanya Will kasar. “Apa
rambutnya merah dan wajahnya berbintik-bintik?”

Cassie tidak menjawab.

Aku menoleh dan melihat wajahnya ketakutan. Matanya yang hijau


membelalak, bintik-bintik di wajahnya seperti memudar. “I-itu dia
manusia serigalanya” bisiknya tergagap-gagap. Ia menunjuk.

Dengan gemetar ketakutan aku berbalik untuk melihat ke arah yang


ditunjuknya.

Aku ngeri sekali, ia menunjuk tepat ke arah Wolf.

84 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
21

“TIDAK” teriakku.

Ternyata aku salah mengerti. Cassie bukan menunjuk Wolf. Ia


menunjuk sosok yang bergerak menerobos ilalang tinggi di belakang
anjing itu.

Si petapa rawa.

Aku melihatnya berjalan cepat-cepat di balik ilalang, bahunya


membungkuk, kepalanya yang kotor bergerak-gerak sewaktu ia
melangkah.

Ketika ia bergerak memasuki celah kecil di antara ilalang, aku bisa


melihat mengapa ia membungkuk ke depan. Ia menyandang sesuatu
di bahunya. Semacam tas.

Wolf mulai menggeram.

Petapa itu berhenti berjalan.

Kulihat bukan tas yang tersampir di bahunya.

Itu kalkun. Kalkun liar.

Pikiran mengerikan terlintas di benakku: apa ia mengambilnya dari


Mr. Warner?

Apakah Cassie benar mengenai petapa rawa ini?

85 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Apakah ia telah melakukan sesuatu yang mengerikan pada Mr.
Warner dan kalkun liar itu adalah hasilnya?

Aku berusaha menghilangkan pikiran-pikiran mengerikan itu.

Pikiran gila. Tidak mungkin.

Tapi Cassie tampak sangat ketakutan, melotot ke seberang bog hijau


yang berdeguk-deguk ke arah petapa bermata liar itu. Dan aku
teringat kembali pada lolongan-lolongan di malam hari yang begitu
menakutkan, yang terdengar seperti lolongan manusia.

Dan bangkai binatang yang dulu kulihat, terkoyak-koyak


menyedihkan, seperti... seperti dilakukan oleh manusia serigala.

Wolf menggeram lagi. Dipandanginya petapa itu, ekornya berdiri


kaku di belakangnya, bulunya tegak.

Petapa itu bergerak cepat. Kulihat matanya yang hitam tampak


berkilat sebelum ia menghilang di balik ilalang.

“Itu dia” teriak Cassie, masih menunjuk. “Itu si manusia serigala”

“Cassie tutup mulut” bentak Will. “Ia bisa mendengarmu nanti”

Aku menelan ludah, kaku di tempat karena ketakutan. Kulihat ilalang


di seberang bog bergerak-gerak. Kudengar suara gemerisik semakin
dekat.

“Lari” teriak Will, suaranya yang serak melengking dan ketakutan.


“Ayolari”

86 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Terlambat.

Si petapa rawa menyerbu dari balik ilalang tepat di belakang kami.


“Akulah si manusia serigala” teriaknya. Matanya tampak liar dan
bersemangat. Wajahnya yang dikelilingi rambutnya yang panjang dan
kusut, merah padam. “Akulah si manusia serigala”

Ia mendengar Cassie

Sambil tertawa keras sekali, diangkatnya kedua tangannya, lalu


diputar-putarnya kalkunnya di atas kepala. “Akulah si manusia
serigala” teriaknya.

Cassie, Will, dan aku berteriak bersamaan.

Lalu kami segera lari.

Kulirik Wolf. Ia tadi tidak bergerak dari tempatnya di seberang bog.


Tapi sekarang, ketika aku mulai lari, ia mendatangi kami, sambil
menyalak gembira.

“Akulah si manusia serigala” jerit petapa itu. Ia melolong sambil


tertawa, dan terus memutar-mutar kalkun sambil mengejar kami.

“Jangan ganggu kami” teriak Cassie, ia lari di samping Will, beberapa


langkah di depanku. “Kau dengar? Jangan ganggu kami”

Ratapannya membuat petapa itu melolong lagi. Sepatuku terpeleset di


tanah yang berlumpur.

Aku menoleh ke belakang. Ia mendekatiku. Tepat di belakangku.

87 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dengan napas terengah-engah, aku berusaha lari lebih cepat.

Tanaman-tanaman berduri dan daun-daun tebal menampar muka dan


tanganku ketika aku berlari.

Semua kini tampak seperti bayangan. Bayangan cahaya, pepohonan,


semak-semak, ilalang tinggi, dan tanaman berduri.

“Aku si manusia serigala Akulah si manusia serigala”

Lengking tawa petapa gila itu bergema di rawa. Lari terus, Grady,
kataku dalam hati. Lari terus. Lalu, sambil berteriak keras, aku
terpeleset.

Aku jatuh terjerembap ke dalam lumpur, mendarat dengan bertumpu


di tangan dan lutut.

Aku tertangkap, pikirku.

Manusia serigala itu berhasil menangkapku.

88 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
22

AKU setengah mati berusaha bangun dari lumpur. Tapi aku terpeleset
dan terjerembap lagi.

Sekarang ia akan menangkapku, pikirku.

Si manusia serigala telah menangkapku. Aku tidak bisa melarikan


diri.

Aku berbalik, kusangka petapa itu akan mencengkeramku.

Tapi ia berhenti beberapa meter dariku. Kalkunnya tergantung ke


tanah ketika ia menatapku, wajahnya yang kasar meringis aneh.

Mana Wolf? pikirku. Tadi Wolf menggeram-geram marah pada si


petapa rawa. Kenapa Wolf tidak menyerang?

“Tolong Will Cassie” teriakku tak berdaya. Sepi.

Mereka sudah pergi. Mungkin sekarang mereka sudah sampai di luar


rawa, lari ke rumah.

Aku sendirian. Sendirian menghadapi si petapa. Aku bangun dengan


susah payah, mataku terpaku menatap matanya. Kenapa ia meringis
seperti itu padaku?

“Pergilah. Pergi,” gumamnya, sambil menggerak-gerakkan tangannya


yang tidak memegang kalkun. “Aku hanya main-main.”

89 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Apa?” Suaraku terdengar kecil dan ketakutan.

“Pergi. Aku takkan menggigitmu,” katanya. Ia tidak meringis lagi.


Matanya yang hitam tidak tampak berkilat-kilat lagi.

Wolf muncul di belakangnya. Anjing itu menatap si petapa, lalu


menatap bangkai kalkun. Ia menyalak melengking sekali. Tapi aku
bisa melihat Wolf sudah tidak tegang lagi. Ia tidak bermaksud
menyerang si petapa.

“Anjing ini punyamu?” tanya si petapa, dengan waspada


dipandanginya Wolf.

“Yeah,” jawabku, masih terengah-engah. “Aku... menemukannya.”

“Hati-hati menghadapinya,” kata si petapa ketus. Ia lalu berbalik dan,


sambil menyandang bangkai kalkun, menuju ilalang lagi.

“Ha-hati-hati menghadapinya?” tanyaku tergagap. “Apa maksudmu?”

Tapi petapa itu tidak menjawab. Aku bisa mendengarnya berjalan di


sela-sela ilalang kembali menuju rawa.

“Apa maksudmu?” seruku.

Tapi ia sudah pergi. Rawa sekarang sepi, yang terdengar hanya suara
serangga mengerik dan suara daun palem saling bergesekan.

Aku menatap lurus ke arah ilalang tinggi. Kurasa aku menunggu


petapa itu kembali, menerjang, menyerang lagi.

90 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dua ngengat putih terbang di atas ilalang. Tidak ada lagi yang
bergerak.

Ia hanya main-ritain, katanya tadi.

Hanya itu, main-main.

Aku menelan ludah. Lalu kupaksa diriku bernapas normal lagi.

Sesaat kemudian kupandang Wolf. Anjing itu sibuk mengendus-endus


tanah tempat petapa itu berdiri tadi.

“Wolf, kenapa kau tidak melindungi aku?” kataku kesal.

Anjing itu mengangkat kepala sebentar, lalu kembali mengendus-


endus.

“Hei, anjing kau pengecut, ya?” tanyaku, sambil membersihkan tanah


basah dari lutut jins-ku. “Itu sebabnya, ya? Kau kedengarannya hebat
sekali, tapi sebetulnya pengecut?”

Wolf tidak memedulikan aku.

Aku berbalik dan berjalan pulang, sambil memikirkan peringatan si


petapa tadi. Ketika berjalan di jalan setapak sempit, kudengar Wolf
lari menerobos ilalang dan rumput tinggi, mengikutiku.

“Hati-hati menghadapinya,” kata si petapa.

Apa ia main-main juga? Apa ia hanya berusaha menakut-nakuti aku?

Orang aneh itu melihat Will, Cassie, dan aku takut padanya.

91 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Jadi ia memutuskan untuk mempermainkan kami.

Cuma itu kok, pikirku.

Ia mendengar Cassie menyebutnya manusia serigala. Jadi


diputuskannya untuk menakut-nakuti kami sekalian.

Ketika berjalan di tanah lunak di bawah bayangan pepohonan palem


miring, pikiranku sibuk berpikir-pikir tentang Cassie, Will, Wolf, dan
manusia serigala.

Aku tidak melihat ada ular sampai aku menginjaknya.

Aku memandang ke bawah tepat untuk melihat kepalanya yang hijau


terang menerjang ke depan.

Kurasakan rasa sakit yang menusuk ketika taringnya menghunjam


pergelangan kakiku.

Rasa sakit itu menyentakkan kakiku.

Aku berteriak terkejut sebelum jatuh ke tanah.

92 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
23

AKU jatuh ke tanah dan meringkuk ketika rasa sakit berdenyut-


denyut di sekujur tubuhku.

Aku melihat bintik-bintik merah. Semakin lama semakin besar sampai


akhirnya yang kulihat merah semua. Warna itu berkelip-kelip seirama
dengan denyutan rasa sakit.

Dari balik tirai warna merah di mataku, kulihat ular itu merayap
masuk semak-semak.

Kucengkeram pergelangan kakiku, berusaha menahan sakit. Pelan-


pelan warna merah itu memudar lalu hilang. Yang tinggal hanya rasa
sakit.

Tiba-tiba tanganku terasa basah.

Darah?

Aku menunduk dan melihat Wolf menjilati tanganku. Ia sibuk


menjilat-jilat, seperti berusaha mengobatiku, berusaha membuat
segalanya kembali normal.

Meskipun merasa sakit, aku tertawa. “Tenang, Boy,” kataku. “Aku


baik-baik saja.”

Ia terus menjilati tanganku sampai aku berdiri. Kakiku gemetaran.


Kucoba menapakkan kaki yang digigit tadi. Rasanya sudah baikan.

93 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku maju selangkah, terpincang-pincang. Lalu selangkah lagi. “Ayo,
Wolf,” kataku. Ia menatapku penuh pengertian.

Aku tahu aku harus cepat-cepat pulang. Kalau ular tadi berbisa, aku
bisa gawat. Aku tidak tahu berapa lama lagi bisanya akan membuatku
lumpuh total atau lebih gawat lagi.

Wolf terus berada di sampingku ketika aku terpincang-pincang


berjalan di tanah lunak menuju rumah. Napasku terengah-engah.
Dadaku terasa sesak. Tanah seperti berayun-ayun. Apa karena bisa
ular tadi? Atau karena aku sangat ketakutan?

Setiap kali aku melangkah, sakitnya bukan main. Tapi aku terus
berjalan terseret-seret, sambil berbicara dengan Wolf, tidak
kupedulikan rasa sakit yang berdenyut-denyut di pergelangan kakiku.

“Kita hampir sampai, Wolf,” kataku, tersengal-sengal. “Hampir


sampai, Boy.”

Anjing itu merasa ada yang tidak beres. Ia tetap berada di sampingku,
padahal biasanya ia berlari-lari zigzag di depan dan di belakangku.
Tampak tepi deretan pepohonan. Aku bisa melihat sinar matahari di
luar rawa.

“Hei” Ada suara memanggilku. Kulihat Will dan Cassie menungguku


di lapangan rumput. Mereka segera lari mendatangiku. “Kau baik-
baik saja?” seru Cassie.

“Tidak. Aku... aku digigit-” Akhirnya bisa juga aku bicara. “Tolong
panggilkan ayahku-”
94 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mereka berdua lari secepat-cepatnya ke rumahku. Aku duduk di
rerumputan, menjulurkan kakiku, dan menunggu.

Aku berusaha menenangkan diri, tapi rasanya tidak mungkin. Apa


ular tadi berbisa? Apa bisanya langsung mengalir ke jantungku? Apa
sebentar lagi aku mati?

Kujulurkan kedua tanganku dan dengan hati-hati sekali kulepaskan


sepatuku yang berlumuran Lalu, pelan-pelan, kuturunkan kaus kakiku
sampai mata kaki dan kulepaskan.

Pergelangan kakiku bengkak sedikit. Kulitnya merah, tapi di sekitar


bekas gigitan ada lingkaran putih dan berkerut. Di dalam lingkaran
itu, kulihat dua titik kecil, dari tiap lubangnya keluar tetesan darah.

Ketika kualihkan pandangan dari lukaku, kulihat ayahku, ia


mengenakan celana pendek cokelat dan kaus putih, bergegas melintasi
lapangan rumput menuju tempatku, diikuti oleh Will dan Cassie.

“Apa yang, terjadi?” Kudengar ayahku bertanya pada mereka. “Apa


yang terjadi pada Grady?”

“Ia digigit manusia serigala” Kudengar Cassie menjawab begitu.

®RatuBuku

“Tempelkan terus kantong es-nya,” perintah Dad. “Bengkaknya akan


kempis.” Aku mengerang dan menempelkan kantong es ke
pergelangan kakiku.

95 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Mom berdecak-decak dari dapur. Di depannya terhampar koran. Aku
tidak tahu apakah ia berdecak-decak karena aku atau karena berita
hari ini.

Di luar pintu kasa kulihat ada Wolf, rebah di atas rerumputan di dekat
teras belakang, tertidur pulas. Emily ada di ruang depan, sedang
menonton TV.

“Bagaimana rasanya?” tanya Mom.

“Jauh lebih baik,” kataku. “Kurasa tadi aku hanya ketakutan saja.”

“Ular hijau tidak berbisa,” kata Dad mengingatkanku untuk yang


kesepuluh kalinya. “Tapi aku bersiap-siap saja, siapa tahu, kan. Kami
akan membungkusnya rapat-rapat setelah selesai kau tempeli dengan
es.”

“Manusia serigala apa yang kalian ributkan tadi?” tanya Mom.

“Pikiran Cassie penuh dengan manusia serigala,” kataku. “Ia mengira


petapa rawa itu manusia serigala.”

“Kelihatannya Cassie anak yang manis,” kata Mom pelan. “Aku tadi
berbincang-bincang dengannya waktu ayahmu mengobati lukamu.
Kau beruntung, Grady, bisa mendapat teman yang seusia denganmu
di tepi rawa seperti ini.”

“Yeah, begitulah,” jawabku sambil menggerakkan kantong es yang


menempel di pergelangan kakiku. “Tapi dia membuat aku dan Will
jadi gila dengan cerita manusia serigalanya.”

96 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dad mencuci tangan di tempat cuci piring di dapur. Dikeringkannya
tangannya dengan lap piring, lalu berbalik ke arahku. “Petapa rawa
tua itu mestinya tidak berbahaya,” katanya. “Paling tidak, begitulah
kata orang-orang.”

“Yah, ia berhasil menakut-nakuti kami,” kataku. “Ia mengejar-ngejar


kami di rawa, sambil berteriak-teriak, 'Akulah si manusia serigala'-”

“Aneh,” kata Dad serius. Dilemparkannya lap piring ke meja.

“Sebaiknya kau jangan dekat-dekat dengan dia,” kata Mom,


dipandangnya aku.

“Mom dan Dad percaya manusia serigala itu ada?” tanyaku.

Dad tertawa. “Aku dan ibumu ilmuwan, Grady. Kami tidak boleh
percaya pada hal-hal supernatural seperti manusia serigala.”

“Ayahmu itu yang manusia serigala,” kata Mom bercanda. “Setiap


pagi aku harus mencukur punggungnya supaya terlihat seperti
manusia.”

“Ha-ha,” kataku kasar. “Aku serius. Maksudku, Mom dan Dad


mendengar lolongan-lolongan aneh di malam hari itu, kan?”

“Banyak makhluk melolong,” jawab Mom. “Pasti kau melolong


waktu ular itu menggigit pergelangan kakimu.”

“Mom tidak bisa serius, ya?” teriakku kesal. “Mom tahu, lolongan itu
baru terdengar saat bulan purnama.”

97 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku ingat. Lolongan itu baru ada setelah anjing itu datang-” seru
Emily dari ruang depan.

“Emily, jangan macam-macam” teriakku.

“Anjingmu anjing serigala” seru Emily.

“Jangan sebut-sebut soal manusia serigala lagi,” gumam Mom.


“Lihat. Di telapak tanganku tumbuh rambut-” Diangkatnya telapak
tangannya.

“Itu cuma tinta koran,” kata Dad. Ia menatapku. “Lihat? Semuanya


bisa dijelaskan secara ilmiah.”

“Aku ingin dianggap serius,” kataku dengan gigi merapat karena


kesal.

“Yah...” Dad memandang ke luar. Wolf tidur terlentang, keempat kaki


nya tertekuk di atas. “Dua hari lagi bulan purnama berakhir,” kata
Dad padaku. “Nanti malam dan besok. Kalau setelah besok malam
lolongannya berhenti, kita akan tahu ternyata itu manusia serigala,
yang melolong saat bulan purnama.”

Dad tertawa. Dikiranya lucu sekali.

Kami tidak tahu malam nanti akan terjadi peristiwa yang bias
mengubah pendapatnya tentang manusia serigala selamanya.

98 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
24

SETELAH makan malam, Will dan Cassie datang. Mom dan Dad
sedang sibuk memasukkan piring-piring ke mesin pencuci dan beres-
beres. Emily pergi menonton film ke kota.

Aku sudah lumayan bisa berjalan. Pergelangan kakiku sudah tidak


terasa sakit. Kurasa Dad pandai juga mengobati orang.

Kami bertiga duduk-duduk di ruang depan, dan langsung berdebat


tentang manusia serigala.

Cassie bersikeras mengatakan petapa rawa itu tidak main-main, ia


benar-benar manusia serigala.

Will bilang, Cassie goblok sekali. “Ia mengejar kita karena


mendengar kau menyebutnya manusia serigala,” katanya marah-
marah pada Cassie.

“Memangnya menurutmu kenapa ia tinggal sendirian jauh di rawa


begitu?” tanya Cassie pada Will. “Karena ia tahu apa yang terjadi
pada dirinya saat bulan purnama, dan ia tidak mau ketahuan orang
lain”

“Kalau begitu kenapa kemarin siang ia berteriak-teriak pada kita


mengatakan ia manusia serigala?” tanya Will tidak sabaran.

“Karena ia cuma main-main.”

99 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Ayolah, teman-teman. Kita bicarakan soal lain saja,” kataku. “Kedua
orangtuaku ilmuwan, kata mereka tidak ada bukti manusia serigala itu
ada.”

“Ilmuwan memang selalu bicara begitu,” kata Cassie bersikeras.

“Mereka benar,” kata Will. “Manusia serigala cuma ada di film. Kau
goblok sekali, Cassie.”

“Kau yang goblok” balas Cassie.

Aku bisa melihat mereka pasti sering bertengkar seperti ini.

“Bagaimana kalau kita bermain-main saja?” usulku. “Mau main


Nintendo? Di kamarku ada.”

“Mr. Warner masih belum pulang juga,” kata Cassie pada Will, tidak
dipedulikannya aku. Ditariknya rambut ekor kudanya, lalu
dilemparkannya ke belakang kepala. “Tahu kenapa? Karena ia
dibunuh manusia serigala”

“Jangan tolol,” kata Will. “Kok kau tahu?”

“Mungkin kaulah manusia serigalanya” kataku pada Cassie.

Will tertawa. “Yeah. Itu sebabnya kau banyak tahu, Cassie.”

“Oh, diam,” gerutu Cassie. “Kau yang lebih mirip manusia serigala
daripada aku, Will.”

“Kau mirip vampir” kata Will padanya.

“Yah, kau mirip King Kong” teriak Cassie.


100 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Apa yang kalian bicarakan, anak-anak?” sela Mom, kepalanya
terjulur.

“Hanya membicarakan film dan semacamnya,” jawabku cepat.

®RatuBuku

Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku berguling-guling terus di tempat
tidur. Tidak bisa tenang. Aku menunggu lolongan.

Angin kencang bertiup dari Teluk. Aku bisa mendengarnya menderu


melewati rumah kecil kami. Pagar kawat kandang kijang di belakang
jadi berderak-derak. Anginnya berbunyi ssshhhhh. Aku menunggu
suara lolongan.

Aku baru tertidur sebentar waktu mulai terdengar lolongan.

Aku langsung waspada dan melompat berdiri. Pergelangan kaki kiriku


terasa sakit waktu aku melangkah.

Lolongan lagi. Di kejauhan. Sayup-sayup di antara suara deru angin.

Aku terpincang-pincang ke jendela kamar. Pergelangan kakiku sedikit


kaku karena berbaring di tempat tidur tadi. Kutekan wajahku ke kaca
jendela dan memandang ke luar.

Bulan purnama, kelabu seperti tengkorak, tergantung rendah di langit


hitam. Rumput-rumput yang disaput embun berkilauan disinari
cahaya bulan.

101 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Jendelaku berderak ditiup angin.

Aku mundur karena terkejut. Dan mendengarkan.

Lolongan lagi. Lebih dekat. Sekali ini membuatku bergidik.

Kedengarannya dekat sekali. Atau karena dibawa angin dari rawa?


Kupicingkan mata menatap ke luar jendela. Desauan angin membuat
rumput bergoyang-goyang. Tanah tampak seperti berputar, berkilauan
disinari sinar bulan yang pucat.

Lolongan lagi. Semakin dekat.

Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku harus mengetahui apa atau siapa
yang berbunyi mengerikan begitu.

Kupakai jins-ku di atas bagian bawah piama. Dengan susah payah


karena gelap, aku berhasil memakai sandal kamar.

Aku berjalan ke luar kamar, tapi langsung berhenti waktu mendengar


suara memukul. Suara barang jatuh. Suara berdebum. Tepat di luar.

Tepat di luar rumahku.

Dengan jantung berdebar-debar, aku lari melintasi ruang tengah yang


gelap. Pergelangan kakiku terasa sakit, tapi tidak kupedulikan.

Aku bergegas melewati dapur, membuka kunci pintu dapur, dan


mendorongnya sampai terbuka. Angin kencang mendorongku ke
belakang waktu aku membuka pintu kasa. Anginnya panas dan basah.
Aku terdorong lagi. Angin ini berusaha menahanku supaya tetap

102 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
berada di dalam, pikirku. Berusaha mencegahku memecahkan misteri
lolongan mengerikan.

Aku merunduk melawan angin dan melompat turun dari teras. “Aw”
teriakku ketika kakiku terasa sakit. Sambil menunggu mataku terbiasa
menatap kegelapan, aku mendengar dengan cermat.

Tidak terdengar lagi lolongan. Hanya desauan angin yang terus


mendorongku ke arah rumah.

Halaman belakang berkilauan disinari cahaya bulan. Semua tampak


keperakan dan kelabu. Dan sepi.

Kupandangi halaman belakang, pelan-pelan mataku menyapu rumput


yang bergerak-gerak. Kosong.

Tapi apa yang menyebabkan segala keributan yang kudengar di


kamarku tadi? Suara memukul tadi? Suara berdebum? Suara
berderak-derak? Kenapa lolongan itu berhenti ketika aku ke luar?
Misterius sekali, pikirku. Misteri yang aneh sekali.

Angin bertiup di sekelilingku. Wajahku basah kuyup karena udara


lembap sekali. Dengan perasaan kalah aku berbalik menuju rumah.

Dan berteriak terkejut waktu melihat ternyata manusia serigala


ternyata telah membunuh lagi.

103 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
25

AKU maju selangkah menentang angin menuju kandang kijang.

“Dad” seruku. Tapi suaraku terdengar seperti bisikan. “Dad”

Aku berusaha berteriak, tapi tenggorokanku kering dan tercekat


karena takut.

Aku menatap lurus ke depan dan maju selangkah lagi.

Pandanganku sudah jelas sekarang. Pemandangan kematian. Cahaya


pudar dan bayang-bayang. Yang terdengar hanyalah detak jantungku,
deru angin, dan pagar kawat kandang yang berderak-derak.

Aku maju selangkah lagi. “Dad? Dad?” teriakku tanpa berpikir, tanpa
bisa mendengar suaraku sendiri, tahu Dad tidak bisa mendengarkan.

Tapi aku ingin Dad datang. Aku ingin ada orang menemaniku.

Aku tidak ingin sendirian di halaman belakang. Aku tidak mau


menatap lubang menganga di samping kandang. Aku tidak mau
melihat bangkai kijang yang terbaring begitu memelas itu.

Kelima kijang lainnya bergerombol di ujung kandang. Mata mereka


menatapku. Mata yang ketakutan.

Angin bertiup di sekelilingku, panas dan basah. Tapi badanku terasa


dingin. Sekujur tubuhku bergidik ngeri. Aku menelan ludah.

104 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sekali. Dua kali. Berusaha melegakan tenggorokanku yang terasa
tersumbat.

Lalu, tanpa menyadari apa yang kulakukan, aku lari menuju rumah,
sambil menjerit-jerit sekuat tenaga, “Dad Mom Dad Mom”

Teriakanku terdengar di antara deru angin seperti lolongan


mengerikan yang kudengar beberapa saat yang lalu.

®RatuBuku

Dengan piama berkibar-kibar di atas jins-nya, Dad menyeret bangkai


kijang itu ke halaman belakang. Lalu, kuamati dari jendela dapur,
ditambalnya kandang kijang dengan lembaran karton besar.

Ketika Dad bersusah payah kembali ke rumah, angin yang bertiup


kencang hampir melepaskan pintu kasa dari engselnya. Dad menarik
pintu itu sampai tertutup rapat, lalu menguncinya.

Wajahnya basah berkeringat. Di bagian samping salah satu lengan


piamanya ada noda lumpur. Mom menuangkan segelas air dari keran
untuk Dad, Dad langsung meminumnya sampai habis. Lalu
dihapusnya keringat di dahinya dengan lap piring.

“Kurasa anjingmu pembunuh,” katanya pelan padaku.


Dilemparkannya lap itu ke meja lagi.

“Bukan Wolf” teriakku. “Bukan-”

105 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dad tidak menjawab. Beliau menarik napas dalam-dalam, lalu
menghembuskannya pelan-pelan. Mom dan Emily mengamati tanpa
berkata apa-apa dari depan bak cuci.

“Kenapa Dad kira Wolf yang melakukannya?” desakku.

“Kulihat jejak-jejak di tanah,” jawabnya, keningnya berkerut. “Jejak


kaki binatang.”

“Bukan Wolf,” kataku ngotot.

“Besok pagi aku terpaksa membawanya ke tempat pengurungan


binatang,” kata Dad. “Yang di daerah sebelah.”

“Tapi mereka akan membunuhnya” teriakku.

“Anjing itu pembunuh,” kata Dad pelan. “Aku tahu perasaanmu,


Grady. Aku tahu. Tapi anjing itu pembunuh.”

“Bukan Wolf,” teriakku. “Dad, aku tahu bukan Wolf. Aku mendengar
lolongan-lolongan itu, Dad. Itu lolongan serigala.”

“Grady, sudahlah” katanya lelah.

Lalu kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku tidak bisa
mengontrolnya. Mengalir begitu saja. “Itu manusia serigala, Dad. Ada
manusia serigala di rawa. Cassie benar. Itu bukan anjing, dan bukan
serigala. Itu manusia serigala yang telah membunuh binatang-
binatang, yang membunuh kijang Dad.”

“Grady, berhenti” kata Dad tidak sabar.

106 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tapi aku tidak bisa berhenti. “Aku tahu aku benar, Dad,” teriakku
dengan suara melengking yang tidak kedengaran seperti suaraku.
“Minggu ini bulan purnama, kan? Dan saat itulah lolongan mulai
terdengar. Itu manusia serigala, Dad. Si petapa rawa. Orang gila yang
tinggal di pondok di rawa. Ia manusia serigala. Ia sendiri yang
mengatakannya. Ia mengejar kami dan mengatakan ia manusia
serigala. Betul, Dad. Bukan Wolf. Ia yang membunuh kijang malam
ini. Aku mendengarnya melolong di luar, lalu-lalu-”

Suaraku tercekat. Aku batuk-batuk.

Dad mengisi gelas dengan air dan menyerahkannya padaku.

Langsung kuteguk habis.

Dipegangnya bahuku. “Grady, besok pagi saja kita bicarakan hal ini,
oke? Kita berdua sekarang terlalu lelah untuk berpikir jernih.
Bagaimana?”

“Bukan Wolf” teriakku keras kepala. “Aku tahu bukan.”

'''Besok pagi,” kata Dad, tangannya masih di bahuku. Dipegangnya


bahuku untuk menenangkan diriku.

Aku merasa goyah. Napasku tersengal-sengal. Jantungku berdebar-


debar.

“Yeah. Oke,” kataku akhirnya. “Besok pagi.” Pelan-pelan aku jalan


ke kamar, tapi aku tahu aku takkan bisa tidur.

®RatuBuku

107 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Keesokan paginya, Dad sudah tidak ada waktu aku bangun. “Ia pergi
ke tempat penebangan kayu,” kata Mom, “untuk membeli pagar
kawat untuk memperbaiki kandang.”

Aku menguap dan menggeliat. Aku tertidur kira-kira pada pukul


02.30 dinihari. Tapi rasanya tetap capek dan gelisah.

“Wolf ada di luar?” tanyaku cemas. Aku lari ke jendela dapur


sebelum Mom sempat menjawab. Aku bisa melihat Wolf di ujung
jalan masuk. Diantara kedua kaki depannya ada bola karet biru, dan ia
asyik mengunyah-ngunyahnya. “Pasti ia lapar ingin sarapan,”
gumamku.

Kudengar kerikil berderak-derak, mobil Dad masuk ke jalan masuk.


Bagasinya terbuka sedikit, di dalamnya tampak segulungan pagar
kawat. “Selamat pagi,” kata Dad ketika masuk ke dapur. Ekspresi
wajahnya suram.

“Dad akan membawa Wolf?” tanyaku tidak sabaran.

Mataku menatap anjing itu, yang sedang asyik mengunyah bola karet
di luar. Ia tampak begitu manis.

“Orang-orang di kota gelisah,” jawab Dad. Dituangkannya segelas


kopi untuk dirinya sendiri dari mesin pembuat kopi. “Banyak
binatang yang terbunuh minggu ini. Dan orang yang tinggal di ujung
jalan, Ed Warner, telah hilang di rawa. Orang-orang sangat cemas.
Mereka juga mendengar lolongan-lolongan.”

108 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Dad akan membawa Wolf pergi?” tanyaku melengking, suaraku
bergetar.

Dad mengangguk. Ekspresi wajahnya tetap suram. Diteguknya kopi.


“Lihatlah jejak kaki binatang yang di luar kandang sana, Grady,”
katanya, ditatapnya mataku. “Pergilah. Lihat.”

“Aku tidak peduli soal jejak,” ratapku. “Aku cuma tahu-”

“Aku tidak mau menanggung risiko lagi,” kata Dad.

“Aku tidak peduli Ia anjingku” jeritku.

“Grady” Dad meletakkan cangkirnya dan berjalan mendekatiku.

Tapi aku menghambur melewatinya dan lari ke pintu. Kudorong pintu


kasa dan lompat dari teras belakang.

Wolf langsung berdiri begitu melihatku. Ekornya mulai mengibas-


ngibas. Ditinggalkannya bola karet birunya dan lari mendatangiku.

Dad tepat di belakangku. “Aku akan membawa pergi anjing itu


sekarang, Grady,” katanya. “Kau mau ikut?”

“Tidak” jeritku.

“Aku tidak punya pilihan lain,” kata Dad, suaranya nyaris berbisik. Ia
maju dan meraih Wolf.

“Tidak” teriakku. “Tidak Lari, Wolf Lari” Kudorong anjing itu. Wolf
menatapku bingung. “Lari” jeritku. “Lari Lari”

109 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
26

KUDORONG lagi Wolf kuat-kuat. “Lari Lari, Boy Pergi”

Dad merangkul bahu Wolf, tapi rangkulannya tidak kuat.

Wolf meloloskan diri dan lari menuju rawa. “Hei” seru Dad marah.
Dikejarnya Wolf sampai ke ujung halaman belakang. Tapi anjing
besar itu terlalu cepat larinya.

Aku berdiri di belakang rumah, terengah-engah, dan mengamati Wolf


sampai ia menghilang di sela-sela pepohonan pendek di tepi rawa.

Dad berjalan mendekatiku, wajahnya tampak marah.

“Perbuatanmu tadi konyol, “Grady,” gumamnya.

Aku diam saja.

“Wolf nanti akan kembali,” kata Dad. “Kalau ia kembali, aku harus
membawanya pergi.”

“Tapi, Dad” kataku.

“Tidak usah lagi dibicarakan,” katanya tegas. “Begitu anjing itu


kembali, aku akan membawanya ke tempat penampungan.”

“Tidak bisa” jeritku.

“Anjing itu pembunuh, Grady. Aku tidak punya pilihan lain.”

110 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Dad berjalan ke mobil. “Tolong aku mengeluarkan pagar kawat ini.
Aku butuh bantuanmu untuk menambal kandang.”

Aku memandang ke arah rawa sambil mengikuti Dad ke mobil.

Jangan kembali, Wolf, kataku dalam hati.

Jangan kembali.

®RatuBuku

Sepanjang hari aku mengamati rawa. Aku merasa gelisah, lemas. Aku
sama sekali tidak bernafsu makan. Setelah membantu Dad memper-
baiki kandang kijang, aku berdiam di kamar. Aku mencoba membaca
buku, tapi tidak bisa.

Sampai malam Wolf tidak kembali.

Kau aman, Wolf, pikirku. Paling tidak untuk hari ini.

Seluruh keluargaku tegang. Saat makan malam kami nyaris tidak


berbicara. Emily menceritakan film yang kemarin malam ditontonnya,
tapi tidak ada yang berkomentar.

Aku segera masuk ke kamar. Aku lelah sekali. Karena tegang kurasa.
Dan karena hampir setiap malam terbangun.

Kamarku lebih gelap daripada biasanya. Malam ini malam terakhir


bulan purnama, tapi awan tebal menghalangi sinar bulan. Kurebahkan
kepalaku ke bantal dan berusaha tidur. Tapi aku teringat Wolf terus.

111 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Tak lama kemudian mulai terdengar lolongan.

Aku bangun pelan-pelan dari tempat tidur dan bergegas menuju


jendela. Kupicingkan mata menatap kegelapan. Awan hitam, berat,
masih menutupi bulan. Udara tak berangin. Tidak ada yang bergerak.

Kudengar geraman pelan dan Wolf muncul.

Ia berdiri kaku di tengah-tengah halaman belakang, kepalanya


mendongak ke langit, sambil menggeram pelan. Ketika aku
menatapnya, anjing besar itu mulai berjalan hilir-mudik dari satu sisi
halaman ke sisi yang lain.

Ia hilir-mudik seperti binatang yang terkurung, pikirku. Hilir-mudik


dan menggeram, seperti ada yang meresahkannya.

Atau membuatnya takut.

Sambil hilir-mudik begitu, ia terus mendongakkan kepalanya ke arah


bulan purnama di balik awan dan menggeram.

Ada apa, pikirku. Aku harus tahu.

Cepat-cepat aku berganti pakaian dalam kegelapan, kukenakan jins


dan kaus yang seharian tadi kupakai. Kucari-cari sepatuku. Mula-
mula sepatu sebelah kiri kupakai di kaki kanan. Kamarku gelap sekali
karena tidak ada cahaya bulan. Begitu tali sepatuku sudah kuikat, aku
bergegas ke jendela lagi.

Kulihat Wolf meninggalkan halaman belakang. Ia berjalan pelan ke


arah rawa.

112 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku akan mengikuti Wolf, pikirku. Aku akan membuktikan ia bukan
pembunuhatau pun manusia serigala.

Aku takut orangtuaku bisa mendengar kalau aku keluar dari pintu
dapur. Jadi aku keluar dari jendela.

Rumput terasa basah disaput embun. Udara terasa basah juga, dan
hampir sepanas siang hari. Ketika aku terburu-buru membuntuti Wolf,
sepatuku berdecit dan terpeleset di rumput yang lembap.

Aku berhenti di ujung halaman belakang. Wolf tidak kelihatan.

Aku masih bisa mendengarnya jauh di depan. Aku bias mendengar


suara kakinya menginjak tanah yang lunak.

Tapi terlalu gelap untuk melihatnya.

Kuikuti suara langkah kakinya, sambil menatap awan gelap yang


bergerak.

Aku hampir sampai di rawa ketika mendengar suara langkah kaki di


belakangku.

Dengan perasaan ketakutan setengah mati, aku berhenti dan


mendengarkan.

Ya. Suara langkah kaki.

Bergerak cepat ke arahku.

113 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
27

“HEI”

Aku berteriak tertahan dan berbalik.

Mula-mula aku tidak bisa melihat apa-apa, semua gelap. “Hei siapa di
sana?” Suaraku hanya seperti bisikan.

Will keluar dari kegelapan. “Grady, ternyata kau” serunya. Ia


mendekat. Ia mengenakan kaus tangan panjang warna gelap dan jins
hitam.

“Will, ngapain kau di sini?” tanyaku terengah-engah.

“Aku mendengar lolongan-lolongan itu,” jawabnya. “Aku ingin


menyelidikinya.”

“Aku juga. Aku senang sekali melihatmu” seruku. “Kita bisa


menyelidikinya bersama-sama.”

“Aku juga senang melihatmu,” katanya. “Gelap sekali, aku-aku tidak


tahu tadi itu kau. Kukira”

“Aku mengikuti Wolf,” kataku. Aku berjalan mendahului ke rawa.


Ternyata di bawah pepohonan pendek malah lebih gelap.

Sambil berjalan, kuceritakan kejadian kemarin malam pada Will,


tentang bangkai kijang, dan jejak kaki binatang di sekitar kandang.

114 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Kuceritakan apa yang dikatakan orang-orang di kota. Dan tentang
ayahku yang ingin membawa Wolf ke tempat penampungan.

“Aku tahu bukan Wolf pembunuhnya,” kataku. “Pokoknya aku tahu.


Tapi Cassie membuatku jadi ketakutan gara-gara semua cerita
manusia serigalanya, dan-”

“Cassie payah,” gumam Will. Ia menunjuk ilalang. “Lihat itu Wolf-”

Aku bisa melihat bayangannya yang hitam bergerak mantap


menembus kegelapan. “Aku goblok sekali. Mestinya tadi aku bawa
senter,” gumamku.

Wolf menghilang di balik ilalang. Will dan aku mengikuti suara


langkah kakinya. Kami berjalan selama beberapa menit. Tiba-tiba aku
sadar suara langkah kaki anjing itu sudah tidak terdengar lagi.”

“Mana Wolf?” bisikku, mataku mencari-cari di semak-semak gelap


dan pepohonan pendek. “Aku tidak mau kehilangan jejaknya.”

“Ia lewat sini,” seru Will. “Ikuti aku.”

Sepatu kami menginjak tanah yang lembap dan lunak. Kutepuk


nyamuk yang menempel di tengkukku. Terlambat. Terasa ada darah
hangat.

Kami semakin jauh masuk ke rawa. Melewati bog, suasana sangat


sepi sekarang.

“Hei, Will?”

115 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Aku berhentidan mencari-cari. “Oh.” Aku berteriak pelan ketika sadar
aku kehilangan jejaknya. Entah bagaimana, kami jadi terpisah.

Kudengar suara gemerisik di depan. Suara ranting patah. Suara ilalang


terinjak dan terdorong. “Will? Itu kau, ya?”

Atau Wolf?

“Will?”

“Di mana kau?”

Tiba-tiba sinar suram menerangiku, perlahan-lahan menyapu tanah.


Aku mendongak dan melihat awan-awan berat berpencar.

Bulan purnama terlihat tinggi di langit.

Ketika sinar itu pelan-pelan menyinari rawa, tepat di depanku tampak


sosok rendah. Mula-mula aku tidak tahu sosok apa itu. Sejenis
tanaman raksasa?

Bukan.

Ketika sinar bulan meneranginya, aku tahu yang kulihat itu pondok si
petapa rawa.

Aku berhenti, tidak bergerak karena ketakutan. Lalu mulai terdengar


lolongan. Suara menakutkan itu terdengar jelas di kesunyian malam.

Lolongan yang mengerikan, begitu keras, begitu dekat, melengking


dalam kesunyian, semakin melengking, lalu menjadi lirih. Suara itu
begitu menakutkan sehingga kututup telingaku dengan kedua tangan.

116 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Si petapa rawa pikirku. Dialah manusia serigalanya

Aku tahu dialah si manusia serigala

Aku harus pergi dari sini, pikirku. Aku harus pulang.

Aku berbalik dari pondok kecil itu.

Kakiku gemetar bukan main, aku tidak tahu bisa berjalan atau tidak.

Harus pergi Harus pergi Harus pergi Kata-kata itu berputar-putar di


pikiranku.

Tapi sebelum aku sempat bergerak, si manusia serigala menyerbu dari


balik pohon dan sambil melolong menyeramkan, menerjang bahuku
dan menjatuhkan aku ke tanah.

117 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
28

KETIKA cahaya kuning bulan purnama bersinar, kupandang wajah


manusia serigala itu ketika ia menindihku ke tanah.

Matanya yang hitam menatapku dari wajah manusianya, wajah


manusia yang tertutup bulu serigala. Ia melolong marah, moncongnya
menganga lebar, menampakkan dua deret gigi serigala yang berkilat-
kilat.

Ini serigala manusia pikirku ngeri. Manusia serigala

“Lepaskan” jeritku. “Will, lepaskan aku”

Ternyata Will.

Manusia serigalanya Will.

Meskipun ditumbuhi bulu serigala yang tebal dan bergumpal, aku bisa
mengenali garis-garis wajahnya, matanya yang hitam kecil, lehernya
yang tegap dan pendek.

“Will” jeritku.

Aku berusaha mendorongnya, meronta-ronta meloloskan diri dari


tindihannya. Tapi ia terlalu kuat.

Aku tidak bisa bergerak.

“Will lepaskan-”

118 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Didongakkannya wajahnya yang tertutup bulu ke bulan dan
menggeram seperti binatang. Lalu, sambil menggeram marah,
ditundukkannya kepalanya yang mengerikan dan dihunjamkannya
taringnya ke bahuku.

Aku menjerit kesakitan.

Warna merah menyambar-nyambar di mataku. Kuulurkan tanganku,


kakiku menendang-nendangberusaha membebaskan diri.

Tapi kekuatannya seperti binatang. Ia jauh lebih kuat daripada aku...


terlalu kuat...

Warna merah memudar dan berubah jadi hitam. Semuanya memudar


jadi hitam. Aku merasa diriku terbenam, terbenam ke dalam
terowongan hitam, terbenam selamanya ke dalam kegelapan tanpa
batas.

®RatuBuku

Geraman keras membuatku terjaga.

Dengan bingung, kulihat Wolf menerkam Will.

Will menggeram marah dan berbalik untuk melawan anjing yang


menggeram-geram itu. Aku menatap tidak percaya ketika mereka
bergulat di tanah, menggigit dan mencakar, saling menyerang,
menggeram dan mendengus.

119 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Will... Will, ternyata kau... Selama ini ternyata kau...” gumamku,
berusaha berdiri.

Kupegang batang pohon. Tanah kelihatan seperti meluncur di


bawahku.

Kedua makhluk itu terus berkelahi, mendengus dan menggeram


sambil saling mencakar, bergulat di tanah yang basah.

“Aku tahu bukan Wolf,” gumamku keras-keras. “Aku tahu...”

Lalu lengkingan memekakkan telinga membuatku tersentak, dan jatuh


berlutut.

Aku mendongak tepat ketika Will melarikan diri, di atas keempat


kakinya, menerobos ilalang tinggi. Wolf mengikutinya dari dekat,
menyambar pergelangan kaki Will, menerkamnya, menggigit dan
mencakarnya sambil berlari.

Lalu, kudengar Will berteriak kesakitan lagi, teriakan kekalahan.

Ketika suara penuh penderitaan itu menghilang, aku terbenam,


terbenam ke dalam kegelapan berwarna biru-hitam.

120 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
29

“KAU agak demam,” kata Mom. “Tapi sebentar lagi juga sembuh,”

“Demam rawa,” gumamku lemah. Kupandangi Mom, berusaha


menatapnya lebih jelas. Wajahnya tampak kabur, menatapku dengan
diterangi cahaya lembut.

Lama baru kusadari aku berada di kamarku. “Bagaimana- bagaimana


aku sampai di sini?” tanyaku tergagap.

“Si petapa rawaia menemukan kau di rawa dan membawamu pulang,”


kata Mom.

“Oya?” Aku berusaha duduk, tapi bahuku terasa sakit. Aku terkejut
melihatnya terbalut rapat. “Ma- manusia serigala itu Will, ia
menggigitku,” kataku sambil menelan ludah.

Dad mendekat di samping Mom. “Apa katamu, Grady? Kenapa kau


bergumam soal manusia serigala terus?”

Aku bangun sedikit dan menceritakan semuanya pada mereka.

Mereka diam mendengarkan, saling berpandangan berulang kali


ketika aku bicara.

“Will manusia serigala,” kataku menyimpulkan. “Ia berubah wujud.


Di bawah sinar bulan purnama. Ia berubah wujud jadi serigala, dan-”

121 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Aku akan memeriksanya sekarang juga,” kata Dad, ditatapnya aku.
“Ceritamu gila, Grady. Gila. Mungkin karena demam. Entahlah. Tapi
aku akan ke rumah temanmu dan melihat ada apa sebenarnya.”

“Dad, hati-hati,” seruku. “Hati-hatilah.”

®RatuBuku

Sebentar kemudian Dad kembali, wajahnya tampak sedikit bingung.


Aku sedang duduk di ruang tengah, badanku terasa jauh lebih baik, di
pangkuanku ada semangkuk besar popcorn.

“Tidak ada siapa-siapa di sana,” kata Dad, digaruk-garuknya


kepalanya.

“Hah? Apa maksudmu?” tanya Mom.

“Rumah itu kosong,” kata Dad. “Tidak ada penghuninya.


Kelihatannya sudah berbulan-bulan tidak ada yang tinggal di sana”

“Wow, Grady. Teman-temanmu benar-benar aneh” seru Emily,


matanya terbelalak.

“Aku tidak mengerti,” kata Dad sambil menggeleng-geleng.

Aku juga tidak. Tapi aku tidak peduli. Will sudah tiada. Si manusia
serigala sudah tiada untuk selamanya.

“Jadi aku boleh memelihara Wolf?” tanyaku pada Dad, sambil


bangun dari kursi dan melintasi ruangan mendatanginya.

122 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
“Wolf menyelamatkan nyawaku. Boleh kupelihara dia?”

Dad menatapku serius, tapi tidak menjawab.

“Si petapa rawa mengatakan ia melihat anjing itu mengejar sejenis


binatang menjauh dari Grady,” kata Mom.

“Mungkin tupai,” kata Emily bercanda.

“Emily, jangan macam-macam,” erangku. “Wolf betul-betul


menyelamatkan nyawaku,” kataku.

“Kurasa kau boleh memeliharanya,” kata Dad segan-segan.

“ASYIIIK” Kuucapkan terima kasih pada Dad dan bergegas menuju


halaman belakang untuk memeluk Wolf.

®RatuBuku

Itu semua terjadi hampir sebulan yang lalu.

Sejak saat itu, Wolf dan aku bersenang-senang menjelajahi rawa. Aku
jadi tahu setiap sudut Rawa Demam. Seperti rumah keduaku saja
rasanya.

Kadang-kadang Wolf dan aku memperbolehkan Cassie ikut


menjelajah bersama kami. Ia asyik juga, meskipun selalu ketakutan
pada manusia serigala.

Aku benar-benar berharap ia melupakan masalah itu.

123 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m
Sekarang aku sedang berdiri di dekat jendela kamarku, mengamati
bulan purnama muncul di atas pepohonan di kejauhan.

Bulan purnama pertama bulan ini membuatku teringat pada Will.

Will bisa saja telah tiada, tapi ia telah mengubah hidupku.

Aku tahu aku takkan pernah melupakannya.

Aku bisa merasakan bulu bertumbuhan di wajahku. Moncongku


semakin panjang, dan taringku mencuat dari sela-sela bibirku yang
hitam.

Ya, ketika menggigitku, Will memindahkan kutukan itu padaku.

Tapi aku tidak peduli. Aku tidak marah. Maksudku, karena Will
sudah tidak ada, rawa ini sekarang jadi milikku Milikku seorang.

Aku keluar dari jendela kamarku sekarang. Wolf sudah menungguku,


tak sabar untuk menjelajah di malam hari.

Aku mendarat tanpa suara di atas keempat kakiku. Kuangkat wajahku


yang berbulu ke arah bulan dan melolong panjang dengan gembira.

Ayo, Wolf. Ayo cepat ke Rawa Demam.

Aku siap berburu.

END

124 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Anda mungkin juga menyukai