Anda di halaman 1dari 19

TUGAS IMUNOLOGI

PENYAKIT KRONIS SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

Disusun Oleh:

Kezia Artanauli Purba 1708531009

Dwi Yulia Eva A. 1708531033

Shania Afrista R. 1708531050

Irma Damayanti 1708531051

Ezra Oktavia Ambarita 1708531053

Sally Nabila R. 1708531056

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Systemic Lupus Erythethematosus adalah suatu penyakit yang menyerang seluruh
organ tubuh mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut, yang disebabkan oleh penurunan
kekebalan tubuh manusia, dan lebih dikenal penyakit sebagai autoimun. Penyakit autoimun
adalah kondisi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang tubuh sendiri. Normalnya,
sistem kekebalan tubuh menjaga tubuh dari serangan organisme asing, seperti bakteri atau
virusLupus adalah salah satu penyakit yang paling dikenal diantara seratusan penyakit
otoimun.  Istilah medisnya adalah lupus eritematosus sistemik (LES), eritema berarti kemerahan
sedangkan sistemik artinya tersebar ke berbagai organ tubuh. Dalam keadaan normal sistem
imun (kekebalan tubuh), bertugas mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar seperti
bakteri, virus, parasit atau jamur tetapi pada penyakit otoimun terjadi sebaliknya. Sistem
imunnya menyerang organ-organ tubuhnya sendiri. Penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) adalah penyakit yang ditandai dengan produksi antibodi yang berlebihan terhadap
komponen inti sel, dan menimbulkan berbagai macam manifestasi klinis pada organ, SLE adalah
hasil dari regulasi sistem imun yang terganggu yang menyebabkan produksi berlebihan dari
autoantibodi. Pada kondisi normal tubuh manusia, antibodi diproduksi dan digunakan untuk
melindungi tubuh dari benda asing (virus, kuman, bakteri, dll). Namun pada kondisi SLE,
antibodi tersebut kehilangan kemampuan untuk membedakan antara benda asing dan jaringan
tubuh sendiri. Secara khusus, sel B dan sel T berkontribusi pada respon imun penyakit SLE ini
(Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).
SLE adalah hasil dari regulasi sistem imun yang terganggu yang menyebabkan produksi
berlebihan dari autoantibodi. Pada kondisi normal tubuh manusia, antibodi diproduksi dan
digunakan untuk melindungi tubuh dari benda asing (virus, kuman, bakteri, dll). Namun pada
kondisi SLE, antibodi tersebut kehilangan kemampuan untuk membedakan antara benda asing
dan jaringan tubuh sendiri. Secara khusus, sel B dan sel T berkontribusi pada respon imun
penyakit SLE ini (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Penyakit SLE masih tergolong
penyakit yang awam di Indonesia. Akan tetapi tidak berarti bahwa tidak ada orang yang
menderita penyakit ini. Prevalensi penyakit SLE ini semakin hari semakin banyak diteliti.
Prevalensi berkisar antara 20–150 kasus per 100.000 penduduk, dengan prevalensi yang tertinggi
terdapat di negara Brazil. Di Amerika Serikat, orang-orang Afrika, Hispanik, atau Asia
keturunan cenderung memiliki angka prevalensi yang tinggi dibandingkan dengan kelompok ras
atau etnis lainnya.
Faktanya, di dunia diperkirakan ada sekitar 5 juta penderita lupus atau yang dikenal dengan
sebutan odapus (orang dengan lupus). Di Amerika Serikat, terdapat 1,2 juta odapus. Data dari
Yayasan Lupus Indonesia (YLI) menyebutkan pertambahan jumlah odapus di Indonesia setiap
tahun mencapai 1.000 orang. Jumlah ini diyakini sebagai puncak gunung es, karena banyak
odapus tidak terdiagnosa. Sedangkan jumlah odapus di Indonesia pada September 2010
berdasarkan data YLI ada sekitar 10.314 odapus dengan rentang umur antara 15-45 tahun. 90
persen di antaranya adalah perempuan muda dan 10 persen sisanya di derita oleh laki-laki dan
anak-anak. Oleh karena itu, berdasar data statistik pengidap lupus, lupus juga disebut sebagai
“penyakit perempuan”. Menurut Tiara Savitri, ketua YLI (dalam Mok, 2003), Jumlah 10.314
odapus tersebut yang telah terdaftar di YLI. Sedangkan di beberapa daerah, YLI masih belum
memiliki jaringan yang luas sehingga masih banyak odapus yang belum terdata dan tertangani.
Odapus harus berhadapan dengan beragai macam keterbatasan aktivitas yang disebabkan oleh
kemungkinan munculnya tanda dan gejala penyakit. Hal ini bukan tidak mungkin dapat
memengaruhi aktifitas kesehariannya (Rahman,2008).
Faktor yang dapat mempengaruhi yaitu belum terpenuhinya kebutuhan Odapus dan
kelurganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Dengan
minimalnya tingkat pengetahuan pasien dengan SLE, maka dikhawatirkan status aktivitas
penyakitnya pun akan berada pada level yang buruk, akibat ketidaktahuan tentang perilaku apa
saja yang harus diperhatikan pada penyakit SLE ini. Maka dari itu, dibutuhkan suatu kajian
mengenai peran self regulation sebagai bagian dari terapi pada SLE yang dapat dilakukan oleh
pasien dengan bantuan perawat, dalam rangka mengurangi efek negatif yang mungkin muncul
dari penyakit SLE ini. Pada awal terkena lupus, odapus seringkali mengalami fase denial atau
penolakan terhadap sakitnya dimana odapus tidak menerima bahwa dirinya terkena lupus dan
berusaha menyangkalnya. Sebagian besar odapus pada awalnya takut akan prognosis (kejadian-
kejadian yang akan mereka alami dikemudian hari). Menghadapi diagnosis lupus bisa menjadi
masalah yang sulit. Secara umum, penderita penyakit kronis yang tidak dapat menerima keadaan
dirinya cenderung untuk mengalami depresi (Nashori,2004). Selain itu pula, dampak lupus
terhadap tubuh odapus adalah sakit pada sendi, sering merasa cepat lelah, sensitif terhadap sinar
matahari sehingga mengurangi aktivitas di siang hari, rambut rontok dan adanya ruam merah
diwajah mereka sehingga membuat odapus tidak percaya diri dan malu (Oates, 2013).
Obat-obatan untuk penyakit ini dari golongan kortikostreoid pun berefek samping
mempengaruhi berat badan mereka dan moonface sehingga muncul anggapan diri sendiri buruk
karena perubahan fisik ini. Karena lupus termasuk dalam kategori penyakit kronis dan
berdampak negatif secara fisik, menyebabkan odapus rentan pula terkena depresi. Depresi yang
dialami oleh odapus ini harus segera ditangani karena salah satu pemicu kambuhnya lupus
(dalam Manson,2003) adalah tekanan emosional dimana tekanan emosional dapat berupa stres
maupun depresi. Karena secara fisiologis, stres dan depresi mengganggu keseimbangan tubuh
dalam hal hormonal serta imunitas sehingga dapat memicu kambuhnya lupus. Selain obat-
obatan, odapus juga memerlukan penyesuaian gaya hidup agar tidak sering kambuh. Odapus
harus mampu mengelola diri, misalnya cukup istirahat ketika sedang kambuh, bekerja normal
ketika lupus sedang terkontrol baik, menghindari (meminimalkan) paparan matahari, mengatur
diet dan nutrisi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian autoimun?
2. Bagaimana mekanisme autoimun dalam tubuh?
3. Apa pengertian Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
4. Apa etiologi dan gejala Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
5. Apa penyebab dan mekanisme Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
6. Bagaimana perawatan dan pencegahan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian autoimun.
2. Untuk mengetahui agaimana mekanisme autoimun dalam tubuh.
3. Untuk mengetahui pengertian Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
4. Untuk mengetahui etiologi dan gejala Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
5. Untuk mengetahui penyebab dan mekanisme Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
6. Untuk mengetahui perawatan dan pencegahan Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Autoimun
Autoimun merupakan suatu respon imun terhadap antigen jaringan tubuh sendiri yang
terjadi akibat kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self tolerance
sel B, sel T atau keduanya. Penyakit autoimun terjadi ketika respon imun atau respon sistem
kekebalan tubuh mengalami gangguan kemudian menyerang jaringan tubuh itu sendiri sehingga
memunculkan kerusakan jaringan atau gangguan fisiologis. Sistem imunitas tubuh pada
hakikatnya akan menjaga tubuh dan membantu tubuh melawan organisme atau zat – zat asing
yang membahayakan tubuh seperti virus, parasite dan sel kanker (Robbins, 2007).
Gangguan autoimun dapat dikelompokkan menjadi dua kategori berdasarkan organ yang
diserang, yaitu organ tunggal dan sistemik. Organ tunggal berarti sistem imun menyerang satu
organ tertentu sedangkan sistemik berarti sistem imun menyerang beberapa organ atau sistem
tubuh dengan jangkauan yang lebih luas (Robbins, 2007). Terdapat beberapa penyakit yang
dihasilkan dari kelainan respon kekebalan tubuh ini seperti Coeliac, Diabetes Mellitus Tipe-1,
Systemic Lupus Erythematosus, Sjögren's Syndrome, Churg-Strauss Syndrome, Hashimoto's
Thyroiditis, Graves' Disease, Idiopathic Thrombocytopenic Purpura, dan Rheumatoid Artritis
(RA) (Morrow and Isenberg, 2001).
Kesalahan yang menyebabkan sistem kekebalan melawan suatu individu yang seharusnya
dilindunginya bukanlah hal yang baru. Paul Ehrlich pada awal abad ke 20 mengajukan konsep
horror autotoxicus, dimana jaringan suatu organisme dimakan oleh sistem kekebalannya sendiri.
Perkembangan penyakit autoimun tergantung pada kombinasi faktor genetik dan lingkungan.
Kebanyakan penyakit autoimun ini dianggap sebagai penyakit poligenik yang melibatkan lebih
dari satu gen (Baratawidjaja, 2006).
2.2. Mekanisme Autoimun dalam Tubuh
Penyakit autoimun merupakan kelainan imunitas dalam tubuh yang dapat menyebabkan
imun tersebut menyerang tubuh itu sendiri serta menggangu fungsi fisiologis pada tubuh.
Penyakit autoimun ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu genetik, infeksi, lingkungan,
hormonal, daerah/suku, diet, dan toksik/obat (NIAMSD, 2016; Fairweather, 2007). Patogenesis
autoimun terdiri atas gangguan aktivitas seluler dan protein regulator (Bolon, 2012; Immunol et
al. 2012). Apabila tubuh gagal toleransi self-antigen, maka gangguan aktivitas seluler dapat
terjadi dan hal ini akan mengaktivasi autoreaktif sel imun terhadap self-antigen tersebut. Dalam
berbagai proses, set T perifer memerankan mekanisme kegagalan tersebut. Mekanisme ini dapat
dilihat pada tabel 1 (Immunol et al. 2012).

Tabel 1. Mekanisme toleransi sel T perifer

Selain itu, gangguan aktivitas protein regulator dijelaskan dalam hubungan antara Gen non-HLA
yaitu limfosit T sitotoksik dengan antigen-4 (CTLA4), protein tirosin fosfat nonreseptor tipe 22
(PTPN22), lokasi rentan autoimun (PDCD1, FCRL3, SUMO4, CD25, PADI4 dan SLC22A4),
TNF-a dan FOXP3. Interaksi gen non-HLA dengan protein tersebut akan mengubah aktivitas
regulator dan menyebabkan kekacauan atau defek pada protein terkait. Keadaan tersebut menjadi
target utama dari respon autoimun (Immunol et al. 2012).

Pembagian sel T berdasarkan status fungsional dibagi menjadi sel T naif, efektor, dan
memori. Sementara berdasarkan molekul permukaan coreseptor utamanya, sel T dibagi menjadi
sel T CD4+ dan CD8+. Dalam keadaan teraktivasi, profil sitokin yang dihasilkan oleh sel T
CD4+ mengkategorikan CD4+ menjadi sel T helper conventional (Tcon) dan T regulators
(Tregs) (Broere et al, 2011). Sel Tcon adalah sel T yang dihasilkan timus beredar dalam plasma
darah dan limfe tanpa kemampuan proliferasi, sedangkan Tregs dapat menekan respon Tcon
dalam proliferasi berlebihan yang berpotensi membahayakan tubuh (Liston, 2015). T cell
regulators atau Tregs didefinisikan sebagai sel T yang berpotensi besar dalam menekan aktivitas
kerusakan dari sel T efektor, pengatur homeostasis imun, dan mencegah terjadinya respon imun
terhadap self-antigen (Corthay, 2009; Rifa, 2010). Defisiensi dari sel Tregs berkaitan erat dengan
penyakit autoimun seperti diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus sistemik (SLE),
sindrom Sjogren, sindrom Chrug-Strauss, tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, purpura
trombositopenik idiopatik, rheumatoid arthritis (RA) dan alergi (Widodo, 2012). Mekanisme
kerja dari sel T regulator merupakan proses yang kompleks dan berbeda tergantung pada letak
reaksi imun, tipe aktivasi dari target supresi, dan status aktivasi Tregs. Dalam tingkat molekular,
mekanisme supresi oleh Tregs dibagi menjadi supresi sel T konvensional (Tcon), T cell receptor
(TCR)induced calcium, NFAT, dan NF-κB (Schmidt et al, 2012). Mekanisme kerja Tregs yang
pertama yaitu pengeluaran CTLA4 bertarget antigen presenting cell (APC). CTLA4 akan
menurunkan CD80 dan CD86 APC sehingga menurunkan kemampuan aktivasi Tcon (Dhainaut
dam Moser, 2015). Proses supresi cepat oleh Tregs menekan TCRinduced calcium, sinyal
NFAT, dan NF-κB yang bertujuan untuk menekan aktivasi Tcon baik jangka pendek maupun
panjang. Mekanisme lain yaitu pengeluaran sitokin yang secara langsung bersifat imunosupresif
yaitu IL-10, IL-35, dan TGF-β. Selain itu, Tregs dapat mengaktivasi granzyme sebuah protease
serin dan mengonsumsi IL-2 yang sinergis dalam menginduksi apoptosis sel efektor. (Dapat
dilihat pada Gambar 1) (Schmidt et al, 2012).
Gambar 1. Mekanisme kerja sel T regulator dalam menekan sel T konvensional

2.3. Definisi Systemic Lupus Erythematosus (SLE)


Lupus adalah penyakit radang multi sistem yang menyerang seluruh organ tubuh, yang
penyebabnya belum diketahui. Penyakit ini telah dikenal sejak jaman Yunani kuno oleh
Hipokrates, namun pengobatan yang tepat belum diketahui. Penyakit lupus dibagi menjadi 3
macam, yaitu Cutaneus Lupus/Discoid yang hanya mempengaruhi kulit; Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) yang menyerang organ tubuh seperti kulit, persendian, paru – paru.; dan
Drug Induced Lupus (DIL) yang timbul karena penggunaan obat – obatan tertentu. Jenis DIL
jarang terjadi karena setelah pemakaian obat dihentikan, umumnya gejala akan hilang (Nelson,
1996).

Sumber : Kuntarti, 2018


Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya
inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan dan dapat menyerang berbagai organ tubuh, tetapi yang paling sering
diserang adalah kulit, persendian, paru – paru, pembuluh darah, jantung, ginjal, limpa, otak, dan
sistim saraf (Isbagio dkk., 2009). SLE adalah suatu kondisi peradangan kulit yang kadang –
kadang disertai dengan gejala sistematik, yaitu demam, nyeri sendi, mudah lelah, anemia,
penurunan berat badan, rambut rontok, luka di mulut, dan sensitif terhadap sinar matahari.
Penyakit ini tidak menular, tetapi didapatkan hampir seluruh penderita adalah perempuan usia
produktif (15 – 45 tahun) dan jarang menyerang laki – laki, anak – anak, serta usia lanjut. LES
lebih banyak ditemukan pada ras Asia, Indian, Amerika, dan Afrika (Phillips, 2010).
Gejala awal penyakit ini sering memberikan keluhan rasa nyeri di persendian. Tak hanya itu,
seluruh organ tubuh terasa sakit bahkan terjadi kelainan pada kulit, serta tak jarang tubuh
menjadi lelah berkepanjangan dan sensitif terhadap sinar matahari. Batasan penyakit ini adalah
penyakit autoimun, sistemik, kronik, yang ditandai dengan berbagai macam antibodi tubuh yang
membentuk komplek imun, sehingga menimbulkan reaksi peradangan di seluruh tubuh. Maksud
dari autoimun adalah tubuh penderita lupus membentuk daya tahan tubuh (antibodi) tetapi salah
arah yaitu dengan merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah dan lain –
lain. Seharusnya antibodi ditujukan untuk melawan bakteri atau virus yang masuk ke dalam
tubuh. Sistemik memiliki arti bahwa penyakit ini menyerang hampir seluruh organ tubuh.
Sementara arti dari kronis yaitu penyakit lupus ini bisa berkepanjangan, terkadang penyakit ini
timbul dan hilang tanpa diduga (Roviati, 2012).
2.4. Etiologi dan Gejala Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dikenal sebagai “Peniru Ulung” karena gejalanya
sangat bervariasi dan seringkali keliru dengan penyakit lainnya. Penyakit ini timbul dan hilang
tanpa diduga. SLE dapat mengenai sebagian besar organ tubuh, tetapi yang paling sering
diserang adalah jantung, persendian, kulit, paru-paru, pembuluh darah, limpa, ginjal, dan sistem
saraf. Penyakit ini tidak menular, dapat menyerang semua tingkatan usia, namun paling banyak
diderita oleh perempuan usia produktif (80%-90%), sedangkan pada anak-anak dan manula lebih
jarang. SLE pada anak bisa lebih parah dibandingkan pada orang dewasa apabila penyakit ini
menyerang ginjal yang dikenal dengan Lupus nephiritis. Adanya transfer antibodi dari ibu
kepada anak, maka bayi yang baru lahirpun dapat menderita lupus, yang disebut sebagai
Neonatal Lupus (Dewi, 2009).
Pada awal perjalanannya, penyakit ini ditandai dengan gejala klinis yang tak spesifik, antara
lain lemah, kelelahan yang sangat, lesu berkepanjangan, panas, demam, mual, nafsu makan
menurun, dan berat badan turun. Gejala awal yang tidak khas ini mirip dengan beberapa penyakit
yang lain. Oleh karena gejala penyakit ini sangat luas dan tidak khas pada awalnya, maka tidak
sembarangan untuk mengatakan seseorang terkena penyakit lupus. Akibat gejalanya mirip
dengan gejala penyakit lainnya, maka lupus dijuluki sebagai penyakit peniru. Julukan lainnya
adalah si penyakit seribu wajah. Karena itu, biasanya pasien melakukan shopping doctor
(berpindah-pindah dokter) sebelum diagnosis penyakitnya dapat ditegakkan (Roviati, 2012).
Menurut Hochberg (1997), diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang
ditetapkan. Adapun penjelasan singkat dari 11 gejala tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada bentukan kupu-kupu,
istilah kedokterannya Malar Rash atau Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai adanya jaringan parut yang
lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya.
3. Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar matahari.
4. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini dijumpai pada
90% odapus.
6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan.
7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
8. Gangguan pada otak/sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-lain.
9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit berkurang. Dan
biasanya terjadi juga anemia.
10. Tes ANA (antinuclear Antibody) positif.
11. Gangguan sistem kekebalan tubuh.
Gejala klinis penyakit lupus ini sangat luas dan tergantung bagian tubuh mana yang terkena.
Mulai dari yang ringan berupa bintik-bintik merah di kulit yang terasa gatal dan sakit,
kerontokan tambut, sensitifitas terhadap cahaya terutama sinar matahari, serta nyeri sendi sampai
yang berat karena menyerang organ tubuh yang vital seperti otak, jantung, paru-paru dan ginjal
(Roviati, 2012).
2.5. Penyebab dan Mekanisme Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Para dokter dan peneliti belum dapat mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan
penyakit ini. Hereditas memegang peranan yang cukup besar, karena jika kita memiliki kerabat
yang menderita SLE ada potensi pada tubuh kita untuk menderita SLE. Namun faktor gen ini
bukan satu-satunya penyebab, karena sepertinya timbulnya penyakit ini dipicu dengan cara yang
belum diketahui. Beberapa pemicu yang banyak diajukan oleh peneliti sebagai pemicu SLE
diantaranya adalah infeksi virus, stress, diet, toksin, termasuk beberapa jenis obat-obatan yang
diresepkan dokter. Pada penderita lupus, sistem imun tubuh memproduksi antibodi yang
melawan tubuhnya sendiri, terutama protein yang terdapat di nukleus. SLE juga dipicu oleh
faktor lingkungan yang tidak diketahui (mungkin termasuk virus) pada orang-orang yang
memiliki kombinasi gen-gen tertentu dalam sistem imunnya (Roviati, 2012).

Gambar 1. Terbentuknya kompleks imun pada peredaran darah penderita SLE


Mekanisme pertama yang dicurigai sebagai penyebab SLE adalah faktor genetis. Beberapa
gen yang paling penting dalam kejadian SLE adalah yang terdapat pada Major
Histocompatibility Complex (MHC). Gen-gen ini berhubungan dengan respons imun pada sel
limfosit T, sel B, makrofag dan sel dendritik, karena mengkode peptida pada molekul reseptor di
permukaan sel (Roviati, 2012).
Akar penyebab lupus adalah disfungsional sistem imun. Pada orang sehat, sel-sel limfositnya
memiliki permukaan yang tertutup molekul glikoform dan protein komplemen yang akan
membentuk struktur glikoprotein. Pada penderita SLE, sel-sel ini kehilangan struktur
glikoprotein tertentu, sehingga bentuk permukaan sel menjadi berbeda dibandingkan dengan sel-
sel sehat yang mengakibatkan sel-sel imun melakukan kesalahan dengan menganggap sel-sel
tubuhnya sendiri sebagai musuh dan melakukan penyerangan terhadapnya. Hal inilah yang
menyebabkan gejala-gejala seperti peradangan kulit dan sendi, kelelahan yang ekstrim,
kerusakan ginjal dan seterusnya (Roviati, 2012).
Organ yang paling banyak terpengaruh pada penderita SLE adalah ginjal dan kulit. Pada
ginjal penderita lupus terdapat antibodi yang mengikat DNA utas ganda yang berasal dari tubuh
sendiri. Reaksi ini adalah reaksi autoimun, dan pentingnya antibodi anti Double-Stranded DNA
(anti DS-DNA) ini telah diteliti dan terdapat pada 70% pasien lupus. Antibodi ini juga yang
menyebakan kerusakan jaringan-jaringan tubug lain, terutama karena sifatnya yang menyerang
inti sel. Kehadiran antibodi anti-Ro dan anti-La menyebabkan komplikasi jantung fetus pada ibu
hamil. Ini yang menyebabkan SLE berbahaya bagi bayi yang dikandung ibu yang menderita
SLE. Selain itu juga, kedua antigen ini bertanggunng jawab pada gejala SLE yang berupa lesi
kulit (Roviati, 2012).
Autoantibodi dapat terjadi pada seseorang yang sehat dengan tidak membahayakan dan justru
memegang peranan dan memproteksi tubuh. Namun autoantibodi pada SLE tidaklah sama dan
menyebabkan kerusakan jaringan. Proses terbentuknya antibodi Ig-G berafinitas tinggi yang
mengikat DS-DNA dengan sangat kuat disebabkan oleh antigen. Permukaan sel yang membawa
antigen (antigen presenting cel-APC), memiliki molekul major histocmpatibility complex
(MHC) yang mengikat antigen, berikatan dengan Sel T pada reseptor sel-T (TCR) (Gambar 2).
Hal ini menstimulasi interaksi antara B7 dan CD28 yang mengakibatkan pelepasan sitokin, sel B
help dan peradangan atau penghambatan interaksi antara B7 dengan CTLA yang menekan
aktivasi (Roviati, 2012).
Gambar 2. Interaksi antara sel T dan sel yang memiliki antigen
Pada penderita lupus, sel B berperan sebagai sel yang memiliki antigen, berikatan dengan sel T
pada situs CD 40. Sel T dan sel B saling mempengaruhi, sel T menghasilkan TNF-α, interferon-γ
dan interleukin-10 yang menstimulasi sel B untuk menghasilkan antibodi terhadap antigen yang
terikat tersebut (Gambar 3). Mekanisme ini diketahui dan membuka peluang untuk
pengembangan pengobatan lupus dengan mencari molekul yang menghambat interaksi kedua sel
tersebut (Roviati, 2012).

Gambar 3. Interaksi antara sel T dan sel B


Pada proses apoptosis yang normal, sel yang rusak mengeluarkan atau mengekspos antigen
untuk dikenali oleh antibodi, yang selama ini terkubur atau tertutup oleh kepingan-kepingan sel
penutup antigen. Pada penderita lupus hal ini terjadi secara tidak normal pada sel sehat yang
yang distimulasi oleh faktor pemicu dari lingkungan, sehingga mengakibatkan pemusnahan sel
sejenis oleh produksi antibodi (Roviati, 2012).

Gambar 4. Mekanisme komunikasi antar komponen sistem antibodi dalam kasus SLE
Jalur-jalur ini membuka peluang untuk tritmen pengobatan pada penderita lupus. Selama ini,
tritmen dokter pada penderita SLE biasanya dengan pemberian obat-obatan yang hanya
mengurangi gejalanya saja, tidak pada peyebabnya. Misalnya pemberian obat-obatan
antiinflamasi, antimalaria dan immunosupressant. Kini, sudah ada obat yang dapat digunakan
untuk membantu meringankan serangan SLE yang disebut Lymphostat-B, yang berfungsi
menghambat protein yang menstimulasi limfosit B (BLyS= B lymphocyte stimulator). Limfosit
B adalah sel yang berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Jadi dapat
memulihkan aktivitas autoimun menjadi normal, kemudian menghambat aktivitas protein
tersebut sehingga limfosit B tidak bisa berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi
antibodi. Berkurangnya produksi antibodi menyebabkan aktivitas penyakit lupus mudah
dikontrol (Roviati, 2012).
2.6. Perawatan dan Pencegahan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) belum diketahui pengobatannya, sehingga perawatan
yang dilakukan hanya sebatas mengatasi gejala atau symptom yang timbul, termasuk upaya
menekan gejala yang timbul (pada kadar yang dapat diterima) dan mencegah kerusakan organ
lebih lanjut. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan penggunaan obat-obatan, seperti
corticosteroid dan immnunosuppressant, pengobatan alternatif serta mengubah gaya hidup.
Mengenali gejala dini seperti kelelahan, rasa nyeri, timbul ruam, demam, perut tidak nyaman,
sakit kepala, dan pusing. Komunikasi yang baik dengan dokter ahli dapat mencegah aktifnya
penyakit ini (Dewi, 2009).
Odapus harus menghindari hal-hal yang dapat membuat penyakitnya kambuh, antara lain
dengan cara menghindari stress, menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari, mengurangi
beban kerja yang berlebihan, menghindari pemakaian obat tertentu dan nutrisi yang baik. Gaya
hidup harus diubah, misalnya dengan memakai pakaian yang tertutup dan menggunakan
sunscreen, payung untuk menghindari paparan sinar matahari. Odapus yang mengalami
kelebihan berat badan atau obesitas harus mengurangi berat badan untuk meringankan efek
penyakit ini, khususnya pada persendian. Menghentikan pengobatan secara tiba-tiba, khususnya
penggunaan kortikosteroid harus dihindari karena akan memicu timbulnya gejala.
Mengembangkan sikap mental positif, mengkonsumsi makanan bergizi dan kontrol ke dokter
secara teratur adalah langkah yang perlu dilakukan oleh penderita SLE agar tetap sehat. Menu
makanan sehari-hari dengan asupan gizi yang kaya mineral seperti kalsium, kalium, seng, dan
vitamin A, B, C, dan D yang banyak mengandung zat antioksidan, seperti yang terdapat pada
buah dan sayur (Dewi, 2009).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Autoimun adalah suatu respon imun terhadap antigen jaringan tubuh sendiri yang terjadi
akibat kegagalan mekanisme normal di dalam tubuh.
2. Lupus merupakan merupakan penyakit radang multisistem yang menyerang seluruh organ
tubuh, namun penyebabnya belum diketahui.
3. Penyakit lupus dibagi menjadi tiga, yaitu Cutaneu lupus/discoid, Systemic Lupus
Erythematosus (SLE), dan Drug Induced Lupus.
4. SLE dapat disebabkan oleh faktor keturunan, infeksi virus, stres, diet, toksin, dan
lingkungan.
5. SLE tidak memiliki gejala penyakit khusus.
6. Penyakit lupus ini dapat dicegah dan diminimalisir dengan menghindari stres, menjaga agar
tidak terpapar sinar matahari langsung, mengurangi beban kerja, menghindari pemakaian
obat-obatan tertentu, mengatur asupan nutrisi yang dikonsumsi, dan mengubah gaya hidup.
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, K. G. 2006. Imunologi Dasar. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Jakarta.

Bolon, B. 2012. Cellular and Molecular Mechanisms of Autoimmune Disease. Toxicol Pathol.
1(1):216–29.

Broere, F., Apasov SG, Sitkovsky M V, Eden W Van. 2011. T cell subsets and T cell-mediated
immunity. 15–28.

Corthay, A. 2009. How do Regulatory T Cells Work?. Scandinavian Journal of Immunology.


70(1):326–36.

Dewi, H. A. K. 2009. Peningkatan Daya Tahan Tubuh dan Kesehatan Rongga Mulut Anak
Penderita Systemic Lupus Erythematosus Dengan Mengkonsumsi Jus Buah dan Sayur.
Majalah Ilmu Kedokteran Gigi. 11 (1) : 31 – 34.

Dhainaut, M., Moser M. 2015. Mechanisms of Surveillance of Dendritic Cells by Regulatory T


Lymphocytes. Progress in Molcular Biology and Translational Science. 136:131-154.

Fairweather, D. 2007. Autoimmune Disease: Mechanisms. Encycl life Sci. (9):1–6

Hochberg, Mc. 1997. Updating the American College of Rheumatology Revised Criteria for the
Classification of Systemic Lupus Erythematosus. Arthritis Rheum. 40 (9) : 1725.

Immunol, J. C. C., Ray S, Sonthalia N, Kundu S, and Ganguly S. 2012. Autoimmune Disorders :
An Overview of Molecular and Cellular Basis in Today’s Perspective. J Clin Cell
Immunil. 1(1):1–12.

Isbagio, H., Z. Albar, Y. I. Kasjmir, B. Setiyohadi. 2009. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam :
Sudoyo A. W., B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata, dan S. Setiati, editors. Ilmu
Penyakit dalam Jilid III. Edisi Kelima. Jakarta.

Kuntarti, N. 2018. Kanker Dapat Disebabkan Oleh Penyakit Lupus


https://www.deherba.com/kanker-lupus.html. Diakses pada tanggal 18 Maret 2020.
Liston, A. 2015. Progress in molecular biologi and translational science. edisi ke-1. Elsevier.
USA.

Morrow, J. and D. A. Isenberg. 2001. Autoimmune Rheumatic Disease. Blackwell Scientific


Publication. Oxford.

Nashori, F. 2004. Peranan Kualitas Tidur yang Baik. Jurnal INSAN. 6 (3).

National Institute of Arthritis and Musculosceletal and Skin Disease. 2016. Understanding
Autoimun disease. National Institutes of Health. United States.

Nelson, W. E. 1996. Lupus Erythematosus Sistemik. Textbook of Pediatrics. 15th Ed. Vol. 3.
EGC. Jakarta.

Oates J.C., Mashmoushi A.K., Shaftman S.R., Gilkeson G.S., 2013. NADPH Oxidase and Nitric
Oxide Synthase-Dependent Superoxide Production is Increased in Proliferative Lupus
Nephritis. Journal Lupus. 22 (13) : 1361-1370.

Phillips, R. H. 2020. Coping with Lupus : Creative Coping Strategies for the Frustrating
Symptoms of this Autoimmune Disease. Penguin Putan Inc. New York.

Rahman, Anisur and David A. Isenberg. 2008, Systemic Lupus Erythematosus. Review Article:
Mechanism of Disease. The New England Journal of Medicine. 358 : 929-939.

Roviati, E. 2012. Systemic Lupus Erithematosus (SLE) : Kelainan Autoimun Bawaan yang
Langka dan Mekanisme Biokimiawinya. Jurnal Scientiae Educatia. 1 (2) : 1 – 16.

Schmidt, A., Oberle N, Krammer P. H. 2012. Molecular mechanisms of Treg-mediated T cell


suppression. Front Immunol. 3(1):1–20.

Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2010). Brunner And Suddarth’s Text
Book Of Medical Surgical Nursing. 11th ed. Lippincott Williams & Wilkins, Inc.

Silva C, Isenberg DA. Aetiology and pathology of systemic lupus erythematosus. Hospt Pharm
2001;7:1-7. 15.
Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. J Clin Pathol. 56 : 481-
490.

Manson, J. J and Isenberg DA. 2003. The Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. J
Netherl Med. 61 (11) : 343 - 346.

Widodo, J. 2012. Penyakit Autoimunitas. L Indonesia Med. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai