TUGAS IMUNOLOGI 2 - Paper Autoimun
TUGAS IMUNOLOGI 2 - Paper Autoimun
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Autoimun
Autoimun merupakan suatu respon imun terhadap antigen jaringan tubuh sendiri yang
terjadi akibat kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self tolerance
sel B, sel T atau keduanya. Penyakit autoimun terjadi ketika respon imun atau respon sistem
kekebalan tubuh mengalami gangguan kemudian menyerang jaringan tubuh itu sendiri sehingga
memunculkan kerusakan jaringan atau gangguan fisiologis. Sistem imunitas tubuh pada
hakikatnya akan menjaga tubuh dan membantu tubuh melawan organisme atau zat – zat asing
yang membahayakan tubuh seperti virus, parasite dan sel kanker (Robbins, 2007).
Gangguan autoimun dapat dikelompokkan menjadi dua kategori berdasarkan organ yang
diserang, yaitu organ tunggal dan sistemik. Organ tunggal berarti sistem imun menyerang satu
organ tertentu sedangkan sistemik berarti sistem imun menyerang beberapa organ atau sistem
tubuh dengan jangkauan yang lebih luas (Robbins, 2007). Terdapat beberapa penyakit yang
dihasilkan dari kelainan respon kekebalan tubuh ini seperti Coeliac, Diabetes Mellitus Tipe-1,
Systemic Lupus Erythematosus, Sjögren's Syndrome, Churg-Strauss Syndrome, Hashimoto's
Thyroiditis, Graves' Disease, Idiopathic Thrombocytopenic Purpura, dan Rheumatoid Artritis
(RA) (Morrow and Isenberg, 2001).
Kesalahan yang menyebabkan sistem kekebalan melawan suatu individu yang seharusnya
dilindunginya bukanlah hal yang baru. Paul Ehrlich pada awal abad ke 20 mengajukan konsep
horror autotoxicus, dimana jaringan suatu organisme dimakan oleh sistem kekebalannya sendiri.
Perkembangan penyakit autoimun tergantung pada kombinasi faktor genetik dan lingkungan.
Kebanyakan penyakit autoimun ini dianggap sebagai penyakit poligenik yang melibatkan lebih
dari satu gen (Baratawidjaja, 2006).
2.2. Mekanisme Autoimun dalam Tubuh
Penyakit autoimun merupakan kelainan imunitas dalam tubuh yang dapat menyebabkan
imun tersebut menyerang tubuh itu sendiri serta menggangu fungsi fisiologis pada tubuh.
Penyakit autoimun ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu genetik, infeksi, lingkungan,
hormonal, daerah/suku, diet, dan toksik/obat (NIAMSD, 2016; Fairweather, 2007). Patogenesis
autoimun terdiri atas gangguan aktivitas seluler dan protein regulator (Bolon, 2012; Immunol et
al. 2012). Apabila tubuh gagal toleransi self-antigen, maka gangguan aktivitas seluler dapat
terjadi dan hal ini akan mengaktivasi autoreaktif sel imun terhadap self-antigen tersebut. Dalam
berbagai proses, set T perifer memerankan mekanisme kegagalan tersebut. Mekanisme ini dapat
dilihat pada tabel 1 (Immunol et al. 2012).
Selain itu, gangguan aktivitas protein regulator dijelaskan dalam hubungan antara Gen non-HLA
yaitu limfosit T sitotoksik dengan antigen-4 (CTLA4), protein tirosin fosfat nonreseptor tipe 22
(PTPN22), lokasi rentan autoimun (PDCD1, FCRL3, SUMO4, CD25, PADI4 dan SLC22A4),
TNF-a dan FOXP3. Interaksi gen non-HLA dengan protein tersebut akan mengubah aktivitas
regulator dan menyebabkan kekacauan atau defek pada protein terkait. Keadaan tersebut menjadi
target utama dari respon autoimun (Immunol et al. 2012).
Pembagian sel T berdasarkan status fungsional dibagi menjadi sel T naif, efektor, dan
memori. Sementara berdasarkan molekul permukaan coreseptor utamanya, sel T dibagi menjadi
sel T CD4+ dan CD8+. Dalam keadaan teraktivasi, profil sitokin yang dihasilkan oleh sel T
CD4+ mengkategorikan CD4+ menjadi sel T helper conventional (Tcon) dan T regulators
(Tregs) (Broere et al, 2011). Sel Tcon adalah sel T yang dihasilkan timus beredar dalam plasma
darah dan limfe tanpa kemampuan proliferasi, sedangkan Tregs dapat menekan respon Tcon
dalam proliferasi berlebihan yang berpotensi membahayakan tubuh (Liston, 2015). T cell
regulators atau Tregs didefinisikan sebagai sel T yang berpotensi besar dalam menekan aktivitas
kerusakan dari sel T efektor, pengatur homeostasis imun, dan mencegah terjadinya respon imun
terhadap self-antigen (Corthay, 2009; Rifa, 2010). Defisiensi dari sel Tregs berkaitan erat dengan
penyakit autoimun seperti diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus sistemik (SLE),
sindrom Sjogren, sindrom Chrug-Strauss, tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, purpura
trombositopenik idiopatik, rheumatoid arthritis (RA) dan alergi (Widodo, 2012). Mekanisme
kerja dari sel T regulator merupakan proses yang kompleks dan berbeda tergantung pada letak
reaksi imun, tipe aktivasi dari target supresi, dan status aktivasi Tregs. Dalam tingkat molekular,
mekanisme supresi oleh Tregs dibagi menjadi supresi sel T konvensional (Tcon), T cell receptor
(TCR)induced calcium, NFAT, dan NF-κB (Schmidt et al, 2012). Mekanisme kerja Tregs yang
pertama yaitu pengeluaran CTLA4 bertarget antigen presenting cell (APC). CTLA4 akan
menurunkan CD80 dan CD86 APC sehingga menurunkan kemampuan aktivasi Tcon (Dhainaut
dam Moser, 2015). Proses supresi cepat oleh Tregs menekan TCRinduced calcium, sinyal
NFAT, dan NF-κB yang bertujuan untuk menekan aktivasi Tcon baik jangka pendek maupun
panjang. Mekanisme lain yaitu pengeluaran sitokin yang secara langsung bersifat imunosupresif
yaitu IL-10, IL-35, dan TGF-β. Selain itu, Tregs dapat mengaktivasi granzyme sebuah protease
serin dan mengonsumsi IL-2 yang sinergis dalam menginduksi apoptosis sel efektor. (Dapat
dilihat pada Gambar 1) (Schmidt et al, 2012).
Gambar 1. Mekanisme kerja sel T regulator dalam menekan sel T konvensional
Gambar 4. Mekanisme komunikasi antar komponen sistem antibodi dalam kasus SLE
Jalur-jalur ini membuka peluang untuk tritmen pengobatan pada penderita lupus. Selama ini,
tritmen dokter pada penderita SLE biasanya dengan pemberian obat-obatan yang hanya
mengurangi gejalanya saja, tidak pada peyebabnya. Misalnya pemberian obat-obatan
antiinflamasi, antimalaria dan immunosupressant. Kini, sudah ada obat yang dapat digunakan
untuk membantu meringankan serangan SLE yang disebut Lymphostat-B, yang berfungsi
menghambat protein yang menstimulasi limfosit B (BLyS= B lymphocyte stimulator). Limfosit
B adalah sel yang berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Jadi dapat
memulihkan aktivitas autoimun menjadi normal, kemudian menghambat aktivitas protein
tersebut sehingga limfosit B tidak bisa berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi
antibodi. Berkurangnya produksi antibodi menyebabkan aktivitas penyakit lupus mudah
dikontrol (Roviati, 2012).
2.6. Perawatan dan Pencegahan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) belum diketahui pengobatannya, sehingga perawatan
yang dilakukan hanya sebatas mengatasi gejala atau symptom yang timbul, termasuk upaya
menekan gejala yang timbul (pada kadar yang dapat diterima) dan mencegah kerusakan organ
lebih lanjut. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan penggunaan obat-obatan, seperti
corticosteroid dan immnunosuppressant, pengobatan alternatif serta mengubah gaya hidup.
Mengenali gejala dini seperti kelelahan, rasa nyeri, timbul ruam, demam, perut tidak nyaman,
sakit kepala, dan pusing. Komunikasi yang baik dengan dokter ahli dapat mencegah aktifnya
penyakit ini (Dewi, 2009).
Odapus harus menghindari hal-hal yang dapat membuat penyakitnya kambuh, antara lain
dengan cara menghindari stress, menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari, mengurangi
beban kerja yang berlebihan, menghindari pemakaian obat tertentu dan nutrisi yang baik. Gaya
hidup harus diubah, misalnya dengan memakai pakaian yang tertutup dan menggunakan
sunscreen, payung untuk menghindari paparan sinar matahari. Odapus yang mengalami
kelebihan berat badan atau obesitas harus mengurangi berat badan untuk meringankan efek
penyakit ini, khususnya pada persendian. Menghentikan pengobatan secara tiba-tiba, khususnya
penggunaan kortikosteroid harus dihindari karena akan memicu timbulnya gejala.
Mengembangkan sikap mental positif, mengkonsumsi makanan bergizi dan kontrol ke dokter
secara teratur adalah langkah yang perlu dilakukan oleh penderita SLE agar tetap sehat. Menu
makanan sehari-hari dengan asupan gizi yang kaya mineral seperti kalsium, kalium, seng, dan
vitamin A, B, C, dan D yang banyak mengandung zat antioksidan, seperti yang terdapat pada
buah dan sayur (Dewi, 2009).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Autoimun adalah suatu respon imun terhadap antigen jaringan tubuh sendiri yang terjadi
akibat kegagalan mekanisme normal di dalam tubuh.
2. Lupus merupakan merupakan penyakit radang multisistem yang menyerang seluruh organ
tubuh, namun penyebabnya belum diketahui.
3. Penyakit lupus dibagi menjadi tiga, yaitu Cutaneu lupus/discoid, Systemic Lupus
Erythematosus (SLE), dan Drug Induced Lupus.
4. SLE dapat disebabkan oleh faktor keturunan, infeksi virus, stres, diet, toksin, dan
lingkungan.
5. SLE tidak memiliki gejala penyakit khusus.
6. Penyakit lupus ini dapat dicegah dan diminimalisir dengan menghindari stres, menjaga agar
tidak terpapar sinar matahari langsung, mengurangi beban kerja, menghindari pemakaian
obat-obatan tertentu, mengatur asupan nutrisi yang dikonsumsi, dan mengubah gaya hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Bolon, B. 2012. Cellular and Molecular Mechanisms of Autoimmune Disease. Toxicol Pathol.
1(1):216–29.
Broere, F., Apasov SG, Sitkovsky M V, Eden W Van. 2011. T cell subsets and T cell-mediated
immunity. 15–28.
Dewi, H. A. K. 2009. Peningkatan Daya Tahan Tubuh dan Kesehatan Rongga Mulut Anak
Penderita Systemic Lupus Erythematosus Dengan Mengkonsumsi Jus Buah dan Sayur.
Majalah Ilmu Kedokteran Gigi. 11 (1) : 31 – 34.
Hochberg, Mc. 1997. Updating the American College of Rheumatology Revised Criteria for the
Classification of Systemic Lupus Erythematosus. Arthritis Rheum. 40 (9) : 1725.
Immunol, J. C. C., Ray S, Sonthalia N, Kundu S, and Ganguly S. 2012. Autoimmune Disorders :
An Overview of Molecular and Cellular Basis in Today’s Perspective. J Clin Cell
Immunil. 1(1):1–12.
Isbagio, H., Z. Albar, Y. I. Kasjmir, B. Setiyohadi. 2009. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam :
Sudoyo A. W., B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata, dan S. Setiati, editors. Ilmu
Penyakit dalam Jilid III. Edisi Kelima. Jakarta.
Nashori, F. 2004. Peranan Kualitas Tidur yang Baik. Jurnal INSAN. 6 (3).
National Institute of Arthritis and Musculosceletal and Skin Disease. 2016. Understanding
Autoimun disease. National Institutes of Health. United States.
Nelson, W. E. 1996. Lupus Erythematosus Sistemik. Textbook of Pediatrics. 15th Ed. Vol. 3.
EGC. Jakarta.
Oates J.C., Mashmoushi A.K., Shaftman S.R., Gilkeson G.S., 2013. NADPH Oxidase and Nitric
Oxide Synthase-Dependent Superoxide Production is Increased in Proliferative Lupus
Nephritis. Journal Lupus. 22 (13) : 1361-1370.
Phillips, R. H. 2020. Coping with Lupus : Creative Coping Strategies for the Frustrating
Symptoms of this Autoimmune Disease. Penguin Putan Inc. New York.
Rahman, Anisur and David A. Isenberg. 2008, Systemic Lupus Erythematosus. Review Article:
Mechanism of Disease. The New England Journal of Medicine. 358 : 929-939.
Roviati, E. 2012. Systemic Lupus Erithematosus (SLE) : Kelainan Autoimun Bawaan yang
Langka dan Mekanisme Biokimiawinya. Jurnal Scientiae Educatia. 1 (2) : 1 – 16.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2010). Brunner And Suddarth’s Text
Book Of Medical Surgical Nursing. 11th ed. Lippincott Williams & Wilkins, Inc.
Silva C, Isenberg DA. Aetiology and pathology of systemic lupus erythematosus. Hospt Pharm
2001;7:1-7. 15.
Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. J Clin Pathol. 56 : 481-
490.
Manson, J. J and Isenberg DA. 2003. The Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. J
Netherl Med. 61 (11) : 343 - 346.