Anda di halaman 1dari 10

MISYKÂT AL-ANWÂR KARYA AL-GHAZALI:

SEKELUMIT CATATAN KONTROVERSI DAN TEOLOGI


PENCERAHAN SUFISTIKNYA

Salahuddin Sopu
UIN Alauddin Makassar
Jl. Sultan Alauddin No.63, Mangasa, Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan
E-mail: shalah019@gmail.com

Abstract: Misykât Al-Anwâr Al-Ghazali’s Work: Few Controversial Notes and Sufistic Enlightenment Theology.
This paper attempts to discuss the book Misykât al-Anwâr as the other side of a theological and philosophical
Sufism of Al-Ghazali. Different than the Ihya ‘Ulum al-Din and his other works, Misykât al-Anwâr featuring
theological and philosophical sufism in the high level. In this book, it is similar to the doctrine of Wahdat al-wujûd.
Introducing the doctrine that there is no existing in this universe except Allah, because the form of everything
other than Him is a shadow or comes from him. Although the book is thin and small, experts aligned this book
with the magnum opus books of the sufis such as Futuhat al-Makkiyah by Ibn ‘Arabi, Matsnawi by Maulana Rumi,
al-Hikam by Ibn Athaillah and others. Even this book became a milestone in the development of metaphysics of
light by thinker after Al-Ghazali.
Key words: Misykât; Light; Theology; Sufism; Metaphysics.

Abstrak: Misykât Al-Anwâr Karya Al-Ghazali: Sekelumit Catatan Kontroversi dan Teologi Pencerahan Sufistiknya.
Tulisan ini mencoba mengangkat kitab Misykât al-Anwâr sebagai sebuah karya kontroversial dari Al-Ghazali.
Berbeda dengan kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din dan karya-karyanya yang lain, Misykât Al-Anwâr menampilkan pemikiran
teologi sufistik dan filosofis tingkat tinggi. Dalam kitab ini, ia dekat kepada doktrin wahdat al-wujûd. Ia sampai
kepada doktrin bahwa sebenarnya tidak ada yang ada dalam wujud ini kecuali Allah, karena wujud segala sesuatu
selain Dia adalah pinjaman atau berasal dari Dia. Meski kitab ini tipis nan kecil, para ahli menyejajarkannya dengan
kitab-kitab magnum opus para sufi besar lainnya seperti Futuhat al-Makkiyahnya Ibn ‘Arabi, Matsnawinya Rumi,
al-Hikamnya Ibn Athaillah dan lain-lain. Bahkan kitab ini menjadi tonggak pengembangan metafisika cahaya oleh
pemikir setelahnya.
Kata kunci: Misykât; Cahaya; Teologi; Sufistik; Metafisika.

Pendahuluan lain. Dalam kitab ini, ia dekat kepada doktrin


Misykât al-Anwâr adalah sebuah kitab kecil wahdat al-wujûd. Ia sampai kepada doktrin
nan tipis yang secara khusus memfokuskan bahwa sebenarnya tidak ada yang ada dalam
pembahasannya pada ayat cahaya (QS. An- wujud ini kecuali Allah, karena wujud segala
Nûr [24]: 35) dan sebuah hadis tentang hijab. sesuatu selain Dia adalah pinjaman atau berasal
Kitab ini merupakan karya yang sangat menarik dari Dia; wujud pinjaman apa pun berada pada
dari sudut pandang kehidupan batin dan hukum atau sifat apa yang tiada (fî hukm al-
pemikiran esoteris Al-Ghazali, yang memberikan ma‘dûm). Karena itu, alam pada hakikatnya tidak
gambaran yang sangat kental, dan mungkin mempunyai wujud.1
juga unik, terhadap kehidupan dan pemikir­ Melalui karya ini, Al-Ghazali telah merintis
an tersebut. Abû al-‘Ilâ ‘Afîfî menyebutkan teori filosofis iluminasionis 2 (nazharîyâh al-
bahwa kitab ini menggambarkan sikap final
1
Abû al-‘Ilâ ‘Afîfî, “Tashdîr ‘Amm,” dalam Abû Hâmid Al-
Al-Ghazali dalam masalah-masalah yang telah
Ghazali, Misykât al-Anwâr, diedit dan diberi pengantar oleh Abû
dibahasnya dalam karya-karyanya terdahulu. al-‘Ilâ ‘Afîfî, (Kairo: al-Dâr al-Qawmîyah, 1964), h. 7.
Dalam kitab ini, ia dengan berani dan terang-
2
Filsafat Iluminasi adalah suatu persfektif filsafat yang
merupakan sintesis antara mistisisme dan filsafat (pengalaman
terangan mengungkapkan apa yang tidak berani mistis dan pengetahuan rasional). Atau dengan kata lain, ia
diungkapkannya dalam karya-karyanya yang adalah filsafat yang didasarkan pada iluminasi dan perkawinan

151 |
MADANIA Vol. 20, No. 2, Desember 2016

falsafîyah al-isyrâqîyah) sebelum al-Suhrawardî, Salah seorang di antara ilmuwan yang paling
Syekh al-Isyrâq mengembangkan mazhab filsafat sibuk membedah masalah ini adalah seorang
ini dalam bentuk yang lebih sempurna. Dengan orientalis Montgomeri Watt. Watt secara khusus
teorinya ini, Al-Ghazali menakwilkan ayat an-Nûr mengulas keotentikan kitab Misykât al-Anwâr
(QS. An-Nûr [24]: 35) dalam arti tidak mengambil sebagai buah karya Al-Ghazali ini dalam salah satu
makna lahirnya. Di sini Al-Ghazali memiliki tulisannya yang dimuat dalam journal of Royal
pandangan esoterik dan filosofis yang radikal. Asiatic Society. Kesimpulan penelaahan Watt
Sangat sulit untuk menetapkan kapan kitab terhadap karya-karya Al-Ghazali membawanya
ini ditulis oleh Al-Ghazali, tetapi ia termasuk kepada tiga kriteria umum dalam menetapkan
dalam kategori kitab-kitabnya yang akhir, dan keotentikan karya-karya Al-Ghazali. Kriteria ini
mungkin termasuk yang paling akhir. Isyarat pada gilirannya didasarkan atas asumsi bahwa
terpenting kita peroleh dari Al-Ghazali sendiri pandangan Al-Ghazali sesungguhnya cukup
yang menyatakan bahwa kitab ini ditulis setelah diwakili oleh Tahâfut, Ihyâ’, dan Munqidz saja.3
karya terbesarnya, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn. Selain itu, Tiga kriteria itu adalah: (1) Al-Ghazali dalam
karya-karya Al-Ghazali lainnya yang disebutkan priode pasca-Ihyâ’ mengakui keunggulan
dalam kitab ini adalah Mi‘yâr al-‘Ilm, Mahqu an- wahyu kenabian dan “intuisi religius” atas
Nazar, dan Al-Maqshad al-Asnâ’. akal. Konsekwensinya, tidak mungkin ada
karya yang mengakui keutamaan akal yang bisa
Tujuan penulisan kitab ini dijelaskan Al-Ghazali
dianggap berasal dari priode itu; (2) Al-Ghazali
dalam pengantarnya, yakni untuk menguraikan
menyusun karya-karyanya secara teratur dan
sebuah ayat Alquran dan sebuah hadis, atas
logis; (3) kendati terdapat kemungkian “fase
permintaan seorang murid terdekatnya. Ayat
antiortodoks” dan “periode Neoplatonik awal”,
yang dimaksud adalah ayat tentang cahaya yang
sepanjang hayatnya Al-Ghazali berpendidikan
termasyhur (QS. An-Nûr [24]: 35) dan hadis yang
ortodoks sepanjang hayatnya.
dimaksud adalah hadis tentang hijab. Dengan
demikian, tema umum Misykât al-Anwâr adalah Khusus terhadap Misykât al-Anwâr, Watt
metafisika cahaya. mengemukakan tiga argumen utama untuk
mendukung keraguannya terhadap keotentikan
Tulisan ini akan mencoba membahas se­
Misykât: (1) doktrin sifat-sifat ilahi dalam bagian
kelumit segi-segi yang melingkupi kitab ini,
hijab kontradiksi dengan apa yang dikatakan Al-
dimulai dari seputar kontroversi dan keraguan
Ghazali dalam bagian lain dari Misykât dan karya-
ahli tentangnya sebagai karya Al-Ghazali, posisi
karyanya yang muncul belakangan seperti Munqidz;
penting kitab ini dan sufisme Al-Ghazali serta
(2) tidak ada penyebutan tentang kenabian atau
seputar teologi sufistik filosofis yang diusungnya.
ruh kenabian dalam bagian tersebut, walaupun

dalam bagian lain dari Misykât dan Munqidz hal-hal
Kontroversi Kecurigaan dan Pembelaannya
ini menduduki posisi sentral dalam pemikiran Al-
Kitab ini juga merupakan salah satu di Ghazali; dan (3) sementara bagian lain dari Misykât
antara kitab Al-Ghazali yang paling banyak merupakan suatu keseluruhan yang utuh, bagian
mengundang kecurigaan dan bahkan sorotan hijab tampaknya tidak terkait dengannya. Ketiga
tajam dari sebagian ilmuwan modern, meskipun argumen Watt tersebut tidak akan muncul jika
dari kalangan tradisionalis dan banyak dari sarjana saja Watt mempertimbangkan untuk melakukan
modern lainnya tetap mengakuinya sebagai buah pemisahan antara dimensi eksoterik dan dimensi
karya Al-Ghazali. Alasan kecurigaan dari sebagian esoterik dalam tulisan-tulisan Al-Ghazali. Adalah
ilmuwan tersebut adalah karena mereka melihat fakta bahwa Misykât adalah karya esoterik yang
adanya ketidak-konsistenan keilmiahan dalam berhubungan dengan masalah metafisis yang
karya-karya tersebut. sangat halus.

antara pelatihan rasional dengan penyucian diri, lihat Seyyed 3


W.M. Watt, “Keotentikan Karya-karya yang dikaitkan
Hossein Nasr, “Suhrawardi” dalam The Islamic Intellectual kepada Al-Ghazali”, dalam Journal of Royal Asiatic Society, 1952,
Tradition in Persia; Nasr, Three Muslim Sages (Delmar, 1975). h. 26.

| 152
Salahuddin Sopu: Misykât Al-Anwâr Karya Al-Ghazali

Osman Bakar, sarjana asal Malaysia, men­ Basis klasifikasi pertama adalah metodologis,
coba menunjukkan kekurangan basis argumen- berkenaan dengan tiga cara mendasar dalam
argumen Watt dengan menguji kemungkinan menerima kebenaran wahyu. Sebaliknya, basis
adanya kontradiksi antara bagian hijab dan klasifikasi kedua bersifat doktrinal. Kedua basis
bagian lain dari Misykât sebagaimana yang bukannya tak berkaitan, karena basis kedua, yaitu
dituduhkan Watt di atas. Osman Bakar mulai basis doktrinal men­jernihkan dan menjelaskan
dengan klaim terakhir Watt bahwa kedua bagian basis pertama (klasifikasi metodologis). Sebagai
dari Misykât sama sekali tidak berkaitan. Untuk contoh, terdapat berbagai derajat dzauq dan
mendukung klaim ini, Watt berpendapat bahwa setiap derajatnya sesuai dengan beberapa
tradisi hijab, subyek uraian dalam bagian hijab, rumusan doktrinal tertentu dari Tauhîd (keesaan
diinterpretasikan tanpa didahului penjelasan Ilahi). Pada klasifikasi yang dijumpai dalam
tentang bagaimana cahaya bisa menjadi suatu bagian hijab, para pencapai (al-wâshilûn) masuk
hijab (tabir atau selubung). Ini tidak benar. dalam kategori dzauq bagian pertama. Tetapi,
Cara bagaimana dan mengapa suatu cahaya Al-Ghazali membagi mereka menjadi sejumlah
dapat menjadi hijab dengan jelas diuraikan subkelompok yang dibedakan satu sama lain
oleh Al-Ghazali pada bagian awal Misykât. oleh tingkat visi atau realisasi mereka terhadap
Bukan dengan penjelasan logis atau diskursif, keesaan ilahi.8
tetapi dengan kiasan makna-makna simbolis Argumen Watt pertama, dan yang paling
bagi derajat-derajat kecerahan bintang, bulan, penting, adalah bahwa doktrin sifat-sifat ilahi
dan matahari, sebagaimana digambarkan dalam dalam bagian hijab berkontradiksi dengan
kisah masyhur Ibrahim dalam Alquran.4 Melalui bagian lain Misykât. Dalam karya ini, Al-Ghazali
penggambaran simbolik kisah ini, Al-Ghazali sering menyebut “beberapa sifat Tuhan untuk
menyampaikan pesan bahwa cahaya menjadi menjelaskan frase tentang Adam yang diciptakan
hijab ketika manusia tertipu oleh kecerahan “dalam citra Dia Yang Maha Pemurah.”9 Kendati
cahayanya hingga mengira tidak ada lagi cahaya demikian, pengarang bagian hijab ini, dalam cara
yang lebih terang. Al-Ghazali mengungkapkan seperti layaknya kaum Neoplatonis, menyatakan
pesan ini sekali lagi dalam bagian hijab di mana bahwa penyerupaan sifat-sifat tersebut dengan
dia mengemukakan klasifikasi orang-orang yang Tuhan berarti mengingkari keesaan-Nya.10 Ada
terhijab oleh cahaya murni menjadi tiga.5 kontradiksi yang nyata di sini. Tetapi masalahnya
Tentang argumen keduanya, Watt ber­
pendapat bahwa dalam bagian utama Misykât, mereka yang berada dalam klasifikasi kedua memegang dogma
Al-Ghazali membagi manusia menjadi tiga yang berbeda dan mempersoalkan ketidakrelevanan “sikap”
kategori berkenaan dengan “sikap” mereka mereka. Ini merupakan penafsiran yang salah terhadap Misykât.
Al-Ghazali tidak mengatakan bahwa setiap kelompok dalam
terhadap ruh kenabian mereka berada pada klasifikasi pertamanya memegang kepercayaan serupa. Dia
tingkat (1) iman (îmân), (2) rasiosinasi atau hanya berbicara tentang “sikap” mereka yang berbeda terhadap
kebenaran wahyu secara umum. Tafsiran yang mungkin
pengetahuan diskursif (‘ilm), dan (3) pengalaman
lebih baik adalah “cara menerima” daripada “sikap” seperti
suprarasional (dzauq). 6 Dalam bagian hijab, dikemukakan/diistilahkan Watt. Watt lupa bahwa perbedaan
klasifikasi atas kelompok religius yang berbeda “cara memahami” kebenaran wahyu yang sama mengakibatkan
doktrin yang berlainan. Sebagai contoh, kebenaran wahyu,
tidak didasarkan terhadap “sikap” tersebut seperti Keesaan Tuhan misalnya, diterima oleh setiap Muslim,
tetapi atas pandangan mereka terhadap keesaan tetapi doktrin sufi tentang Keesaan tidak sama dengan doktrin
mutakallimûn.
Ilahi. Tetapi berlawanan dengan pendapat
Demikian juga, tidak benar bahwa persoalan “sikap”
Watt, kedua klasifikasi itu tidak bertentangan.7 tidak masuk dalam klasifikasi kedua. Kekhasan masing-masing
golongan dalam “cara memahami” terkait dengan gagasan
tentang Tuhan dari tiap-tiap kelompok”. Penafsiran yang salah
4
Al-Ghazali, Misykât al-Anwâr, h.126-128; untuk kisah ini menyebabkan Watt menyatakan ketidakcocokan kedua
Ibrahim tersebut, lihat al-Qur’an, al-Hijr [15]: 75-78. klasifikasi tersebut.
5
Al-Ghazali, Misykât..., h.169-71. 8
Derajat tertinggi realisasi adalah derajat orang-orang
6
Al-Ghazali, Misykât..., h.148-9. yang disebut Al-Ghazali khawash al-khawashsh (Elite dari Yang
7
Menurut Watt, setiap kelompok dalam klasifikasi pertama Elite), lihat Al-Ghazali, Misykât h. 173.
memegang dogma-dogma yang sama dan hanya berbeda 9
Al-Ghazali, Misykât..., h.134-6.
dalam “sikap” mereka terhadap dogma-dogma itu, sementara 10
Al-Ghazali, Misykât..., h.170-2

153 |
MADANIA Vol. 20, No. 2, Desember 2016

dipecahkan dengan mensintesis dua posisi itu pandangan-pandangan esoterik dan filosofis
sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sufi. Al- radikal Al-Ghazali yang membedakannya
Ghazali mengemukakan kedua konsep sifat ilahi dengan kitab-karyanya yang lain. Abû al-‘Ila
itu dari sudut pandang berbeda. Afîfî misalnya menyimpulkan bahwa kitab
Dalam bagian hijab, Al-Ghazali menaruh Misykât menggambarkan posisi atau sikap
perhatian utamanya pada unsur yang me­ final Al-Ghazali dalam masalah-masalah sufistik
nyelubungi manusia. Secara bertingkat-tingkat, yang telah dibahasnya dalam karya-karyanya
dia menggambarkan unsur yang menyelubungi terdahulu.12 Sementara Schimmel menyebutkan
manusia dari Tuhan bersifat transenden mutlak. bahwa karya Al-Ghazali ini dianggap sebagai
Dengan kata lain, Tuhan berada dalam keesaan pernyataan tentang seperang­k at pandangan
mutlak-Nya. Dari sudut pandang transendensi yang oleh para ahli mistik sempurna “diyaki­ni
(tanzîh) mutlak atau keesaan mutlak (fardânîyah), sebagai rahasia antara dia sendiri dengan Allah,
Tuhan berada di atas setiap kualitas. Karena itu dan tidak pernah menyebut-nyebutnya kecuali
menyandarkan sifat-sifat atau kualitas-kualitas di kalangan terba­tas murid-muridnya.”13
kepada Tuhan, berarti meniadakan transendensi Para ahli kemudian menempatkan karya ini
mutlak-Nya dan realitas-Nya yang hakiki. Dalam dalam maqâm (peringkat) tertinggi karya-karya
uraiannya tentang ayat Cahaya “Tuhan adalah tasawuf bersama beberapa karya lain Al-Ghazali
Cahaya langit dan bumi,” sudut pandang Al- dan magnum opus sufi-sufi besar lainnya, seperti
Ghazali adalah sudut pandang tasybîh (analogi Fushûs al-Hikam14 dan al-Futûhât al-Makkiyah
atau perbandingan). Maksud utamanya di sini karya Ibn Arabi,15 al-Insân al-Kâmil16 karya al-Jîlî17
adalah untuk menjelaskan berbagai derajat cahaya dan beberapa masterpiece lain dalam tasawuf.
sebagai perwujudan dari Tuhan, Cahaya yang Uniknya, Al-Ghazali yang dikenal sangat keras
hakiki.11 Dalam konteks inilah dia menegaskan menentang aliran teosofi Islam, lewat karyanya ini,
sifat-sifat ilahi. Doktrin tentang sifat-sifat ilahi oleh kebanyakan sufi setelahnya dipakai sebagai
tersebut sepenuhnya selaras dengan ajaran titik awal dalam pengembangan aliran ini secara
metafisika sufi yang diterima. penuh. Pengutaraan metafisika cahaya paling jelas
Penulis sendiri meski sangat setuju dengan yang pernah diketahui para sufi sejak awal dan
argumen pembelaan dari Otsman Bakar di atas, yang pertama-tama dinyatakan secara tersurat
penulis memiliki argument lain yang agaknya
dilupakan oleh Watt. Al-Ghazali pastinya sangat 12
Abû al-‘Ilâ ‘Afîfî, “Tasdîr ‘Amm,” dalam Abû Hâmid Al-
akrab dengan Alquran. Ayat cahaya yang dibahas Ghazali, Misykât al-Anwâr, diedit dan diberi pengantar oleh Abû
Al-Ghazali dalam kitabnya ini disusul dengan al-‘Ilâ ‘Afîfî (Kairo: ad-Dâr al-Qawmîyah, 1964), h. 7.
13
Al-Ghazali sendiri di dalam mukaddimah kitab ini
ayat-ayat kebalikannya, ayat kegelapan, bahkan mengemukakan bahwa tujuan penulisan kitab ini adalah untuk
disebut dalam ayat itu sebagai kegelapan yang memberikan penjelasan kepada sekelompok muridnya yang
berlapis-lapis. Al-Ghazali menangkap penjelasan memintanya setelah Al-Ghazali melihat mereka telah berhak
untuk menerimanya.
ayat ini ada pada hadis tentang hijab tersebut, 14
Gairdner, Niche for Lights, h.19; lihat juga A.J. Wensinck,
yang sejatinya sejalan dengannya, yakni melihat Ghazali’s Mishkâh al-Anwâr, Semietische Studien, 1941.
15
Karya ini menyajikan rumusan-rumusan final dari
unsur yang menyelubungi manusia dari Tuhan pendirian tasawuf Ibn ‘Arabî yang paling banyak disyarah. Karya
bersifat transenden mutlak secara bertingkat. ini juga telah ditahqîq oleh Abû al-‘Ilâ ‘Afîfî dan diterbitkan oleh
Oleh karenanya, Al-Ghazali mulai mengelaborasi Dâr al-Kutub, Beirut.
16
Karya ini merupakan usaha untuk mensistematisasi­
contoh-contoh tingkatan orang-orang yang kan pikiran-pikiran Ibn ‘Arabî, meskipun pada beberapa titik
terhijab dalam zamannya. pandang berbeda darinya. Karya ini membicarakan secara
tuntas perbedaan tahap-tahap pengejawantahan raha­sia sufi
(tajallî).
Posisi Penting Misykât al-Anwâr 17
‘Abd al-Karîm al-Jîlî (w. 811/1408), adalah salah seorang
penafsir gagasan Ibn ‘Arabî dan memiliki banyak karya yang
Para ahli menilai karya ini sebagai karya sangat dipengaruhi oleh gaya pemikiran Ibn ‘Arabî. Dia
istimewa. Di dalam kitab ini, ditemukan memadukan dalam dirinya imajinasi puitis dengan kegeniusan
filosofis, namun karya puisinya tidak lebih dari suatu wahana
doktrin metafisis dan mistisnya, lihat M. Iqbal, The Development
11
Al-Ghazali, Misykât..., h.101-3. of Metaphysics in Persia, h. 110.

| 154
Salahuddin Sopu: Misykât Al-Anwâr Karya Al-Ghazali

dalam karya Al-Ghazali ini diketemukan dalam Dan yang tak kalah pentingnya, karya ini
teori-teori mistis Suhrawardî.18 Dengan demikian, dipakai pula sebagai titik awal oleh kebanyakan
dapat dikatakan bahwa melalui karyanya ini, Al- sufi di kemudian hari untuk mengembangkan
Ghazali telah merintis teori filosofis iluminasionis aliran teosofi dalam Islam, terutama sekali
(nazhariyat al-falsafîyah al-isyrâqîyah) sebelum menginspirasi Suhrawardî al-Maqtûl dalam me­
Suhrawardî mengembangkannya dalam bentuk nelorkan teori-teori mistis cahayanya melalui
yang lebih sempurna. Hikmat al-Isyrâq-nya.20 Kenyataan ini membuktikan
Berbeda dengan Ihyâ’ yang merupakan bahwa tesis yang selama ini berkembang di
salah satu dari etika sufi yang paling luas kalangan Intelektual Islam bahwa Al-Ghazali-lah
dan berpengaruh, karya ini lebih merupakan penyebab mundurnya kajian filsafat di dunia Islam
sebuah karya metafisika yang memfokuskan mungkin perlu dikaji ulang kembali.
pembahasannya pada metafisika cahaya, dengan
mengambil titik tolak ayat cahaya (an-Nûr ayat 35). Teologi Sufistik Misykât al-Anwâr
Kalau Ihyâ’ merupakan buah paling menonjol dari Teologi sufistik Al-Ghazali berangkat dari ayat
upaya Al-Ghazali untuk memulihkan keseimbangan cahaya 24: 35 dan hadis tentang hijab. Kerangka
dan keselarasan antara dimensi eksoterik dan dasar yang mendasari teologinya dalam kitab
dimensi esoterik Islam, Misykât merupakan karya ini adalah kerangka epistemik tasawuf filosofis
khusus dimensi esoterik yang juga ditulis khusus Tema cahaya yang dielaborasi Al-Ghazali dalam
atas permintaan murid-muridnya yang terkhusus karyanya, Misykât al-Anwâr dibagi menurut
pula. Karya ini sama sekali tidak dimaksudkan manusia yang mempersepsinya, yakni kaum
untuk disebarluaskan bagi kalangan awam, karena awam, kaum khawâshsh, dan kaum khawâshsh
itu berarti membeberkan ajaran Al-Ghazali yang al-khawâshsh. Kaum khawâshsh mempesepsi
paling esoterik. Karena itulah, karya ini kurang cahaya sebagai sesuatu yang tampak dengan
populer dibandingkan dengan Ihyâ’ maupun karya sendirinya, atau yang bisa menampakkan benda
Al-Ghazali yang lain. Karya ini hanya populer di lainnya, seperti matahari, bulan, api yang menyala,
kalangan para pengkaji dan praktisi sufi tingkat dan pelita. Penampakan ini bagi kaum awam
lanjut. Oleh karena itu pula, tidak salah jika para bersandar sepenuhnya pada panca indera, dan
pengkaji tasawuf menyimpulkan lewat karyanya yang paling kuat dan paling penting dalam hal
ini bahwa tasawuf yang dianut oleh Al-Ghazali ini adalah indera penglihatan. Kaum khawâshsh
secara pribadi adalah tasawuf yang menurut mempersepsinya sebagai “ruh” yang memiliki
klasifikasi para ahli disebut dengan tasawuf daya lihat memiliki sifat kesempurnaan, yang
filosofis.19 adakalanya disebut dengan istilah aql, ruh, atau
jiwa. Sedang kaum khawâshsh al-khawâshsh
18
Lihat Henry Corbin, Sohrawardi d’Alep, Fondateur de mempersepsi cahaya jauh lebih dalam dari hanya
La Doctrine Illuminative (Ishraqi), (Paris, 1939). Pandangan Al- sekedar yang dapat dipersepsi oleh kaum awam
Ghazali dalam mkitab ini, jika dibandingkan dengan beberapa
konsep teosofi isyrâqîyah, membuktikan pengaruh ini. Citra dan kaum khawâshsh. Menurut mereka, yang
yang menunjukkan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah tak berhak menyandang nama cahaya hanyalah Allah
ubahnya seperti gelombang cahaya memancar dari matahari
Swt, dan eksistensi cahaya yang ada pada yang
merupakan pendapat yang sama dalam Al-Ghazali maupun
Suhrawardî. selain-Nya hanyalah pinjaman dari-Nya. Dengan
19
Klasifikasi tasawuf ke dalam tasawuf akhlakî demikian, hakikat cahaya menurut Al-Ghazali
(sunnî) dan tasawuf filosofis sangat bersifat normatif dan
diskriminatif, dan tidak dapat diterima oleh kajian ilmiah adalah Allah Swt. Selanjutnya, hierarki Cahaya-
yang bersifat deskriptif atau non-normatif. Kautsar Azhari Cahaya tersebut ditentukan oleh kedekatannya
Noer mensinyalir bahwa klasifikasi ini sangat disukai oleh
para pendukung tasawuf Sunni, dan kata “Sunni” di sini
bukan tanpa maksud. Paling tidak ada tiga maksud dari kata yang tentu saja sesuai dengan Alquran. Ketiga, kata “Sunni”
Sunni di sini. Pertama, kata “Sunni” menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa tasawuf Sunni, karena sesuai dengan
tasawuf Sunni adalah tasawuf yang diterima dan dianut oleh Alquran, adalah tasawuf yang benar, lihat Kautsar Azhari
orang-orang Sunni (orang-orang yang menganut aliran Ahli Noer, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta:
Sunnah wal-Jamaah), yang mayoritas adalah para penganut Serambi, 2002), h. 190.
aliran Asy’arîyah. Kedua, kata “sunni” menunjukkan bahwa 20
Lihat, Schimmel, Annemarie, Mystical Dimension of
tasawuf Sunni adalah tasawuf yang sesuai dengan sunnah, Islam, (North Carolina, AS.: Chapel Hill, 1975), h. 56.

155 |
MADANIA Vol. 20, No. 2, Desember 2016

dengan sumber cahaya. Semakin dekat ke mengungkap rahasia Ilahi adalah kekufuran; Di
sumber semakin terang nilai kecahayaannya, antara berbagai ilmu ada yang tersembunyi rapat,
dan cahaya-cahaya yang berhierarki lebih tinggi tidak seorangpun mengetahuinya kecuali para
mengayomi cahaya-cahaya yang berhierarki lebih ‘âlim bi Allâh. Apabila mereka menuturkannya,
rendah. Sampai kepada titik kesimpulan ini, Al- tidak seorangpun akan menyanggahnya kecuali
Ghazali kemudian menandaskan bahwa cahaya orang yang terkelabui. Hal ini tentu tidak berarti
dalam hal ini identik dengan wujud. Sedang bahwa pengetahuan dan pengalaman spiritual
kegelapan (ketiadaan cahaya) identik dengan tidak memiliki nilai kebenaran, melainkan karena
‘adam (non-eksisten). Dengan pengidentikkan kesulitan mendapatkan contoh yang obyektif,
ini, maka dengan demikian, dapat dikatakan sehingga sangat sulit untuk diungkapkan dan
bahwa sebagaimana halnya cahaya, yang berhak setiap upaya untuk mengungkapkan pengalaman
menyandang wujud yang sebenarnya hanyalah tersebut pasti membawa kekeliruan. Pada
Allah. Kemaujudan segala sesuatu selain Allah dasarnya, capaian-capaian yang diperoleh
hanyalah pinjaman belaka dari-Nya. Persepsi yang para sufi merupakan anugerah individual dan
dipahami kaum khawâshsh ini bisa dipahami lebih subyektif, sehingga tidak selayaknya didakwahkan
dekat ke paham atau sama dengan pandangan keluar.” Hal ini berbeda misalnya dengan yang
dasar wahdat al-wujûd, yang memandang bahwa dia ungkap di dalam Ihyâ’ misalnya. Al-Ghazali
satu-satunya yang ada (wujûd atau exist) di alam memilih lebih berhati-hati dan menunjukkan
semesta ini hanyalah Allah. Dilihat dari satu perhatian besarnya tentang masalah kemungkinan
sisi, yang lain – manusia, dunia, dan seluruh salah pengertian dalam memahami ungkapan-
keberadaan fenomenal lainnya – tidak benar- ungkapan tersebut. Dalam hal ini, Al-Ghazali
benar ada. Artinya, semuanya itu tak berada menegaskan bahwa cetusan-cetusan syatahât
secara terpisah dari – dan sebaliknya, sepenuhnya tersebut sangat berbahaya bagi orang awam,
tergantung kepada – Allah. Dengan kata lain, karena mereka telah kehilangan kesempatan
kesemuanya itu merupakan bagian dari – atau untuk mendapatkan keselamatan, sejak mereka
berpartisipasi dalam – wujud Allah. Yang selain berpikir bahwa jiwa yang disucikan yang telah
Allah itu tampil sebagai (memiliki) wujud-wujud mencapai keadaan spiritual bisa menyalurkan
terpisah semata-mata hanya karena keterbatasan perbuatan-perbuatan yang diinginkan. Al-Ghazali
kemampuan persepsi manusia. Hanya saja menyimpulkan bahwa “membunuh dia yang
persepsi ini lebih merupakan awal atau pondasi mengucapkan hal seperti itu lebih baik dalam
ke arah pemahaman terhadap wahdat al-wujûd. agama Tuhan daripada kebangkitan sepuluh yang
Berbeda dengan sikap yang diperlihatkan lainnya.” Sikap tegas Al-Ghazali ini adalah untuk
Al-Ghazali di kitabnya yang lain, sikap Al- melindungi orang-orang awam dari kesalahan
Ghazali di dalam kitab ini lebih apresiatif dan kata-kata yang susah dan aneh, meskipun
bisa memahami cetusan-cetusan syatahât yang dia secara mutlak menghormati ungkapan-
dilontarkan oleh para sufi semisal anâ al-Haqq ungkapan tersebut terutama bagi mereka
dari al-Hallaj, subhânî… subhânî dari Abû Yazîd yang memahaminya. Dia menyadari bahaya
dan lain-lain. Ia menyatakan bahwa pernyataan- sesungguhnya dari antomianianisme. Sikap yang
pernyataan itu tidak mungkin keluar kecuali dari diperlihatkan Al-Ghazali dalam Ihyâ’ ini lebih
mulut seorang ‘ârif bî Allâh, meski ia sendiri merupakan sikap yang biasanya melekat pada
sangat menyayangkan dan tidak menyetujui seorang ahli fikih yang memiliki standard istislah,
jika pernyataan tersebut diumbar di depan atau kemaslahatan umum dalam menentukan
khalayak awam. Serentetan alasan dikemukakan atau menilai dan mengambil kesimpulan dari
Al-Ghazali menyangkut ketidaksetujuannya ini sebuah tindakan mistikal yang berlebihan seperti
sebagai berikut: tidak setiap rahasia boleh yang diperlihatkan al-Hallâj di atas.
diungkapkan dan disiarkan; tidak setiap hakikat Selain tema cahaya sebagaimana yang
boleh dikemukakan dan diterangkan; hati orang- telah disebutkan, al-Gazali juga mengelaborasi
orang merdeka adalah kuburan berbagai rahasia; beberapa tema penting tasawuf di dalam kitab

| 156
Salahuddin Sopu: Misykât Al-Anwâr Karya Al-Ghazali

ini. Di antara tema tersebut dapat disebut nabi-nabi yang cahayanya hampir-hampir tak
misalnya prinsip para yang lebih menekankan bergantung pada apa yang dipasok malaikat.
pada aspek substansi daripada hanya sekedar Demikianlah perlambangannya dan pas sekali
istilah-istilah, pendakian ke alam malakut, alam untuk melambangkan jenis ini. “Dan karena
syahâdah sebagai misal untuk alam malakut, ta’bir cahaya diri manusia itu dinilai baris demi
mimpi, manusia citra ar-Rahmân, pemahaman baris, maka cahaya indera yang datang paling
lahiriah dan pemahaman batiniah, kesempurnaan awal, merupakan fondasi dan persiapan untuk
penglihatan para nabi, dan dzauq di balik akal. imajinasi (karena imajinasi hanya mungkin ada
Nampaknya kesemua tema tersebut dimaksudkan dalam perpaduan dengan indera); cahaya akal
Al-Ghazali sebagai pondasi untuk memahami lebih dan nalar diskursif datang setelahnya. Semua
jauh permisalan-permisalan dalam ayat cahaya. menjelaskan mengapa kaca menjadi tempat
Dari sini, Al-Ghazali kemudian mengelaborasi bagi keberadaan pelita dan lubangnya menjadi
perumpamaan-perumpamaan dalam ayat cahaya tempat bagi kaca. Maksudnya, pelita berada di
dengan merujuk kepada daya-daya yang ada dalam kaca dan kaca berada di dalam lubang.
pada manusia menurut konsepsi para filosof. Akhirnya, eksistensi, sebagai urutan cahaya yang
Pertama, daya indriawi yang dimisalkan dengan bertahap, menjelaskan kata-kata cahaya di atas
misykât (ceruk). Kedua, daya khayali (imajinatif), cahaya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
yang berasal dari material alam rendah (alam paparan mengenai penafsiran Al-Ghazali terhadap
dunia) yang pekat yang kemudian dijernihkan, permisalan-permisalan dalam ayat cahaya tersebut
dipoles, didisiplinkan dan dikendalikan, akan berangkat dari istilah-istilah yang dipakai oleh
mendekati batas makna-makna yang dapat para filosof dalam hal daya-daya (ruh-ruh) dalam
dicerap oleh akal, sehingga hampir menyamainya diri manusia lalu memadankannya dengan istilah-
dan tidak menghalangi pancaran cahaya dari istilah permisalan dalam ayat cahaya tersebut
akal, dan sangat diperlukan untuk mengendalikan setelah terlebih dahulu menganalisis ciri-ciri utama
pengetahuan akal agar tidak goyah, tidak yang melekat pada setiap permisalan tadi. Prinsip
terombang-ambing dan tidak bercerai-berai penafsiran seperti ini tidak berbeda dengan
sehingga tak terkendali. Ciri-ciri khas ini tidak penafsiran terhadap mimpi yang lebih menekan­
bisa dijumpai pada benda apapun di alam kasat kan prinsip kelaziman dan kesesuaian. Untuk
mata, dalam kaitannya dengan “cahaya yang me­nafsirkan sesuatu secara tepat, seseorang
melihat”, kecuali pada “kaca”. Ketiga, daya aqli haruslah memahami sifat-sifat yang muncul di
(yang berkaitan dengan akal atau inteligensi). dalam sesuatu tersebut dan kemudian memahami
Akal memberi pengetahuan akan Gagasan bagaimana sifat-sifat sesuatu bersesuaian dengan
Ilahiah. Tujuan perlambangan tentu sudah jelas; sifat sesuatu yang lain yang tersembunyi dari
akal adalah pemberi cahaya untuk pelita, dan persepsi orang yang menafsirkannya. Yang
dari uraian yang lalu diketahui mengapa para terpenting dari penafsiran tersebut adalah bahwa
nabi disebut sebagai “pelita bercahaya” (sirâj Al-Ghazali telah menjelaskan kepada kita maksud
munîr). Keempat daya pemikiran (nalar) yang ayat “Allah membimbing dengan cahaya-Nya,
dilambangkan dengan pohon zaitun tidakdi siapa yang dikehendaki,” bukan hanya berupa
sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah agama, sebagaimana yang sering dipikirkan,
barat-(nya). Kelima, daya suci kenabian yang tetapi juga meliputi semua daya-daya jiwa yang
dinisbahkan kepada para nabi dan kepada para dimiliki manusia seperti indera, akal, imajinasi,
wali dalam keadaan puncak kebenderangan daya pikir, dan intuisi. Dengan demikian dapat
dan kejernihannya digambarkan dengan kata- disimpulkan bahwa Allah membimbing manusia
kata, “nyaris bercahaya (menyala) minyaknya melalui indera, akal, imajinasi, daya fikir, dan
walaupun tak tersentuh api”, karena ada wali- intuisi. Karena itu, kalau kita ingin mendapat
wali yang cahayanya bersinar begitu terang bimbingan dari Allah, kita harus menggunakan
sehingga hampir-hampir tak bergantung pada daya-daya tersebut sebaik-baiknya.
apa yang dipasok para nabi, sementara ada Hubungan antara Tuhan, alam semesta, dan

157 |
MADANIA Vol. 20, No. 2, Desember 2016

manusia dalam kaitannya dengan hadis “Adam sempit.” Pengalaman-pengalaman ini, kata Al-
citra ar-Rahmân” adalah serupa, karena citra Ghazali, dalam realitasnya merupakan “tahap
mereka bersifat analogis. Dengan kata lain, pertama yang dilalui oleh para nabi.
hadis ini dipahami dalam arti bahwa manusia Elaborasi Al-Ghazali mengenai hijab antara
adalah wadah yang di dalamnya nama-nama hamba dengan Tuhannya secara garis besar
Allah mempertontonkan jejaknya sebagai dapat disimpulkan menjadi tiga bagian: Pertama,
sebuah kesatuan yang integral, seperti halnya orang-orang yang terhijab oleh kegelapan murni;
alam semesta memanifestasikan esensi nama- Kedua, orang-orang yang terhijab oleh cahaya
nama dalam kilauan cahaya yang berpendar sekaligus kegelapan; dan yang ketiga, orang-
tanpa batas. Dan karena hubungan ini pula, orang yang terhijab oleh cahaya murni. Al-Ghazali
pengetahuan manusia menuntun pada pe­ dalam bagian ini menaruh perhatian utamanya
ngetahuan tentang Tuhan. Yang harus dicatat pada unsur yang menyelubungi manusia. Secara
adalah bahwa pe­ngetahuan tidak berarti penge­ bertingkat-tingkat, dia menggambarkan unsur
tahuan tentang Dzat-Nya. Al-Ghazali menekankan yang menyelubungi manusia dari Tuhan bersifat
pada perbedaan antara citra Allah dan citra transenden mutlak. Dengan kata lain, Tuhan
ar-Rahmân. Nama-nama Tuhan seharusnya di­ berada dalam keesaan mutlakNya. Dari sudut
bedakan dengan merujuk pada manusia dan alam pandang transendensi (tanzîh) mutlak atau
semesta. “Yang Maha Penyayang” memberikan keesaan mutlak (fardânîyah), Tuhan berada di
pengaruh yang berbeda terhadap manusia dan atas setiap kualitas. Karena itu menyandarkan
alam semesta. Dunia tertinggi adalah kehadiran sifat-sifat atau kualitas-kualitas kepada Tuhan,
dari beberapa Nama Allah. Jadi, manusia yang berarti meniadakan Transendensi mutlak-Nya
mengetahui dirinya, mengetahui kehadiran nama dan realitas-Nya yang hakiki. Hal ini berbeda
Pemilik Otoritas, bukan Dzat Allah. Fakta bahwa dengan uraian sebelumnya ketika mengomentari
manusia memiliki tatanan analogis dengan alam tentang ayat Cahaya “Tuhan adalah Cahaya
semesta adalah karena pengaruh nama-Nya, Lelangit dan Bumi,” sudut pandang Al-Ghazali
nama “Yang Maha Penyayang.” Jadi manusia adalah sudut pandang tasybîh (analogi atau
diciptakan dalam citra Yang Maha Penyayang perbandingan). Maksud utamanya di sini adalah
(ar-Rahmân) untuk menjelaskan pelbagai derajat cahaya
Al-Ghazali menegaskan bahwa menurut akal, sebagai perwujudan dari Tuhan, Cahaya yang
tidaklah aneh posisi dzauq yang berada di atas hakiki. Perbedaan Al-Ghazali dengan para sufi
akal sebagaimana sama tidak anehnya posisi akal lainnya ketika berbicara tentang hijab adalah
di atas posisi tamyiz dan indera. Sebagaimana bahwa Al-Ghazali dalam kitab ini lebih melihat
halnya banyak hal yang tidak terjangkau oleh kepada orang-orang yang terhijab, sementara sufi
keadaan tamyiz dan indera yang bisa dijangkau lainnya lebih menekankan pada hijab itu sendiri.
oleh akal, maka demikian pula, kata Al-Ghazali, Meski demikian, esensi yang menghijab orang-
banyak hal tidak terjangkau oleh akal yang bisa orang yang terhijab yang dibicarakan Al-Ghazali
dijangkau oleh dzauq (hati atau intuisi. Bagi dalam kitab ini, mulai dari yang terhijab oleh
para sufi, kata Al-Ghazali, hati memiliki organ kegelapan murni sampai kepada yang terhijab
penglihatan seperti layaknya badan. Hal-hal lahir oleh cahaya murni, tidak berbeda dengan yang
dilihat dengan mata lahir, dan realitas-realitas dibicarakan oleh para sufi sebelum maupun
batin dengan mata batin. Ketika kaum sufi sesudah Al-Ghazali, yakni keinginan-keinginan
mengalami musyâhadah, mukâsyafah, dan dzauq duniawi dan nafs (ego). Pesan spiritual yang ingin
mereka melihat – bahkan saat terjaga sekalipun disampaikan Al-Ghazali dari paparannya tentang
– “malaikat dan ruh nabi serta mendengar suara hijab adalah bahwa kita akan sampai ke derajat
mereka dan berguru hal-hal yang bermanfaat “cahaya” apabila kita mampu melepaskan semua
dari mereka.” Kemudian keadaan mereka keterikatan dalam bentuk hijab-hijab seperti yang
meningkat dari visi terhadap bentuk menuju dikemukakan di atas. Seluruh jalan hidup sufi
“tahap-tahap di luar cakupan kata-kata yang berkisar pada menghilangkan keterikatan.

| 158
Salahuddin Sopu: Misykât Al-Anwâr Karya Al-Ghazali

Penutup _____, Fadhâ’ih al-Bâthiniyah, diedit oleh ‘Abd


Misykât al-Anwâr adalah salah satu karya Al- ar-Rahmân Badawî, Kairo: Dâr al-Qawmîyah
Ghazali yang menampilkan sisi lain dari pemikiran li ath-Thibâ’ah wa an-Nasyr, 1964.
teologi sufistik filosofisnya yang berbeda dengan _____, Ma‘ârij al-Quds fî Madârij Ma‘rifah an-Nafs,
kitab karyanya yang lain. Kitab ini ditulis khusus Kairo: t.p. 1972.
atas permintaan salah seorang muridnya yang _____, Mi’râj as-Sâlikîn, Kairo: Maktabah al-Jundî,
khusus pula. t. th, h. 298);
_____, Misykât al-Anwâr, diedit dan diberi
Tidak sedikit sarjana yang meragukan
pengantar oleh Abû al-‘I’lâ ‘Afîfî, Kairo: al-
kitab ini sebagai karya intelektual Al-Ghazali.
Dâr al-Qawmîyah, 1964.
Alasan utamanya karena kitab ini memang
--------------, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, Vol. 1, Kairo: Musthafâ
lain dari keseluruhan karya Al-Ghazali yang
al-Bâbî al-Halabî, 1334.
lain. Namun, para sarjana kenamaan Muslim
Hujwîrî, Abû al-Hasan ‘Alî ibn Utsmân ibn ‘Alî al-
berhasil membuktikan bahwa kitab ini adalah
Ghaznawî al-, Kasyf al-Mahjûb, diterjemahkan
karya orisinal Al-Ghazali. Kitab ini oleh para ahli
oleh As’ad Qandîl, Cairo: Al-Majlis al-A’lâ li
disejajarkan dengan karya master piece para sufi
al-Syu’ûn al-Islâmîyah, 1974
kenamaan lainnya. Bahkan, karya Al-Ghazali ini
Izutsu, Toshihiko, The Paradox of Light and Darkness
mengilhami Suhrawardi al-Maqtul, salah seorang
in the Garden of Mystery of Syabistari, dalam
pemikir dan filosof Muslim setelahnya dalam
Anagogic Qualities of Literature, diedit oleh
membangun konsep metafisika cahayanya.
Joseph P. Strelka, University Park, Pa., 1971.
Pembahasan utamanya seputar metafisika cahaya
Madjid, Nurcholish “Tasawuf Sebagai Inti
yang bertolak dari tafsir ayat cahaya, QS. 24:
Keberagamaan”, Pesantren, Vol. II, No. 3,
35. Dalam kitab ini, dilihat dari sudut teologi,
1985.
kerangka dasar yang mendasarinya adalah
McCarthy, Freedom and Fulfillment: An
kerangka epistemik tasawuf filosofis. Ia sangat
Annotated of al-Munqidz min adh-Dhalâl
dekat kepada doktrin wahdat al-wujûd. Ia sampai
and Other Relevant Works of al-Ghazzâlî,
kepada doktrin bahwa sebenarnya tidak ada yang
(Boston, 1980).
ada dalam wujud ini kecuali Allah, karena wujud
Murata, Sachiko & William C. Chittick, Trilogi Islam:
segala sesuatu selain Dia adalah pinjaman atau
Islam, Iman, dan Ihsan, diterjemahkan oleh
berasal dari Dia; wujud pinjaman apa pun berada
Ghufron A. Mas’adi dari buku “The Vision of
pada hukum atau sifat apa yang tiada (fî hukm
Islam”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
al-ma‘dûm). Karena itu, alam pada hakikatnya
Cet. I, 1997.
tidak mempunyai wujud.
Murata, Sachiko The Tao of Islam: A Sourcebook
on Gender Relationship in Islamic Thought,
Pustaka Acuan
New York: State University of New York
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu: Memban­gun Rangka-
Press, 1992.
Pikir Islamisasi Ilmu, Bandung: Penerbit Mizan,
Muslim, Ash-Shahîh, Kairo: Mathba‘ah Muhammad
1997.
‘Ali Shabih, 1334/1915-1916.
Chittick, William C, The Sufi Path of Knowledge:
Nasr, Sayyed Hossein, An Introduction to Islamic
Ibn ‘Arabî’s Metaphisycs of Imagination, State
Cosmological Doctrines, Boulder: Sambhala
University of New York.
Publication Inc., 1978.
Corbin, Henry, Sohrawardi d’Alep, Fondateur de La
Noer, Kautsar Azhari, Ibn al-’Arabi, Wahdat al-
Doctrine Illuminative (Ishraqi), (Paris, 1939).
Wujûd dalam Perdebatan, Jakarta: Para­
Ghazâlî, Abû Hâmid al-, Misykât al-Anwâr fî Tawhîd
madina, 1995.
al-Jabbâr, diedit dan dianotasi oleh Samîh
Rahman, Fazlur, Islam, Second Edition, Chicago:
Dughaim Lebanon: Dâr al-Fikr, 1994.
The University of Chicago Press, 1979.
_____, Sirr al-‘Âlamaini wa Kasyf mâ fî ad-Dâraini.
Schimmel, Annemarie, Mistical Dimension of Islam,
_____, Al-Munqidz min ad-Dhalâl, Kairo: tp.,
Chapel Hill: The University of Carolina Press,
1316.
1975.

159 |
MADANIA Vol. 20, No. 2, Desember 2016

Smith, Margareth, Al-Ghazali The Mistic, London, Watt, W.M., “The Authenticity of the Works
1944. Attributed to Al-Ghazali,” dalam Journal of
Subki, As-, Thabaqât asy-Syâfi’îyah al-Kubrâ, Kairo, the Royal Asiatic Society, 1952.
1324/1906. Wensinck, A.J., Ghazali’s Misykât al-Anwâr,
Suhrawardi Syaikh al-Isyraq (1945), Opera Semietische Studien, 1941.
Metaphysica et Mystica, diedit oleh Henry
Corbin; idem (1970), Oeverres en Persan.

| 160

Anda mungkin juga menyukai