113 217 2 PB
113 217 2 PB
Korespondensi:
Iris Rengganis. Divisi Alergi dan Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit
dr. Cipto Mangunkusumo. Jln. Pangeran Diponegoro 71, Jakarta 10430, Indonesia. email: irisrengganis@yahoo.com
ABSTRAK
Alergi obat merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius. Alergi obat dapat didefinisikan sebagai reaksi
simpang obat yang melibatkan mekanisme imunologis. Meskipun demikian, tidak mudah menentukan apakah suatu reaksi
simpang obat merupakan reaksi alergi dan dibutuhkan suatu pendekatan diagnosis yang sistematis. Selain anamnesis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang alergi obat yang terdiri dari pemeriksaan penunjang umum dan khusus
yang dapat dilakukan baik in vivo, in vitro, maupun dengan biopsi. Tata laksana alergi obat adalah menghindari faktor
yang menimbulkan gejala, mengobati reaksi secara benar dan cara-cara khusus seperti threating through, tes dosing,
desensitisasi dan pramedikasi terhadap obat-obat tertentu.
Kata Kunci: alergi, diagnosis,obat, tata laksana
ABSTRACT
Drug allergy is a serious medical problem. Drug allergy can be defined as an adverse drug reaction involving immunological
mechanism. However, it is not easy to decide whether an adverse drug reaction is an allergic reaction, and it requires a
systematically diagnostic approach. Beside a thorough history taking and physical examination, there are general and
specific laboratory examination to investigate drug allergy which can be done in vivo, in vitro, or biopsy. The management
of drug allergy include the avoidance of the precipitating event, and specific methods to reduce the drug reaction which
include threating through, dosing test, desensitization, and the administration of premedication for certain drugs.
Keywords: allergy, diagnostic, drug, management
melakukan tes provokasi oral. Padahal, dilaporkan 7% dari farmakologik dengan reseptor sel T atau molekul Major
75.627.384 penduduk Turki memiliki masalah alergi obat Histocompatibility Complex (MHC) dalam bentuk ikatan
saat dirawat.7,8 reversibel selain ikatan kovalen, yang dapat mengaktifkan
Berdasarkan data tersebut, alergi obat merupakan sel T.2,13,14
salah satu masalah kesehatan yang cukup serius.Artikel Reaksi obat sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor
ini akanmembahas mengenaipendekatan diagnosis dan risiko. Faktor risiko terebut antara lain jenis obat, berat
tatalaksana alergi obat. molekul obat, kimiawi obat, regimen pengobatan, faktor
pejamu, atopi, penyakit tertentu, gangguan metabolisme
DEFINISI dan lingkungan. Obat seperti β-laktam, sulfonamid, obat
Obat merupakansenyawa yang digunakan baik anti-inflamasi non-steroid, trimetoprim dan sulfametoksazol
untuk mencegah maupun mengobati penyakit atau untuk sering menimbulkan reaksi berat. Obat dengan berat
kepentingan diagnosis.Obat juga dapat digunakan pada molekul tinggi lebih sering menimbulkan reaksi imun,
situasi tertentu, misalnya melumpuhkan sementara otot Regimen pemberian oral, intravena, intramuskular,
rangka dalam tindakan pembedahan ataupun membuat subkutan dan topikal secara berurutan menyebabkan
seseorang infertil.2 Sementara itu, reaksi simpang obat induksi alergi meningkat. Usia muda dan jenis kelamin
(RSO) didefiniskan sebagai reaksi yang tidak diinginkan wanita meningkatkan kecenderungan terjadinya alergi
atau pun reaksi yang berbahaya yang muncul pada dosis obat. Klasifikasi reaksi obat pembagiannya menurut
normal.9Alergi obat adalah reaksi simpang obat yang mekanisme digambarkan dalam Tabel 1 dan Gambar 1.2
melibatkan mekanisme imunologis. Dalam spesialisasi Infeksi virus, gangguan metabolisme seperti defisiensi
alergi imunologi, alergi obat merupakan RSO yang terjadi G6PD meningkatkan risiko alergi obat. Sedangkan cahaya
melalui reaksi imun yang terjadi melalui lgE atau reaksi UV dapat mengubah imunoenitas obat tertentu.2,15,16
hipersensitivitas cepat dengan berbagai mekanisme dan
presentasi klinis.2,10 DIAGNOSIS
Reaksi alergi obat bisa menyerupai alergi pada
MEKANISME, FAKTOR RISIKO DAN KLASIFIKASI umumnya seperti urtikaria, anafilaksis, asma dan penyakit
ALERGI OBAT serum. Gejala lain yang dapat muncul diantaranya adalah
Sebagian besar obat merupakan senyawa kimia jenis ruam kulit (terutama eksantema), infiltrasi eosinofil
dengan berat molekul yang rendah.Oleh karena itu,obat ke paru, panas, hepatitis, sindrom lupus dan nefritis
harus terlebih dahulu berikatan secara kovalen dengan interstisial akut. Reaksi ini cenderung bersifat spesifik
makromolekul seperti protein, membentuk konjugat yang tidak bergantung pada dosis dan efek farmakalogi
multivalen yang akan diproses dan dipresentasikan obat. Alergi obat jarang terjadi pada pajanan pertama,
terhadap sel limfosit T oleh sistem imun. Namun, sebagian lebih cenderung terjadi pada pajanan ulang karena reaksi
kecil obat dengan berat molekul yang besar seperti ini memerlukan memori (sensitasi) dengan gambaran
antibodi monoklonal memiliki banyak epitop sehingga reaksi yang terjadi pada pajanan berikutnya yangterjadi
dapat bersifat multivalen.11,12 lebih cepat. Dalam beberapa hari setelah penghentian
Konsep mekanisme alergi obat yang umum diterima obat, reaksi alergi obat biasanya menghilang, kecuali
saat ini adalah konsep hapten, konsep pro-hapten dan pada kondisi yang manametabolit obat berperan sebagai
konsep p-i. Obat dengan molekul yang tidak cukup besar hapten atau sudah terbentuknya kompleks imun. Hal
seperti penisilin, sulfonamide,sefalosporin pelemas otot, yang perlu diingat adalah alergi obat hanya terjadi pada
tiopental,antituberkolosis, sisplatin dan kuinidin perlu sebagian kecil penderita yang mendapat obat.2,17
terlebih dahulu berikatan dengan protein pembawa agar Berdasarkan pengetahuan akan mekanisme, faktor
dapatmenginduksi respon imun spesifik yang disebut risiko dan gejala klinis alergi obat, maka ada beberapa
konsep hapten. Sementara konsep pro hapten sendiri pertanyaan relevan yang perlu ditanyakan secara umum
menggambarkan bahwa ada sebagian obat yang bersifat dalam anamnesis, yaitu deskripsi gejala, penyakit atopi
tidak reaktif dan perlu mengalami konversi dahulu melalui dan penyakit lainnya, serta pemicu dan faktor lingkungan
proses metabolik, baik dengan enzim ataupun non- hidup di sekitar penderita. Ketika ada kecurigaan mengenai
enzim untuk menjadi bentuk yang reaktif. Contoh konsep munculnya reaksi alergi obat, maka harus ditanyakan
pro hapten yaitupada alergi obat sulfametoksazole. riwayat pemakaian obat yang baru saja digunakan dan
Sedangkan, berdasarkan konsep p-i sendiri, ditemukan hubungan waktu antara pemakaian obat dan munculnya
bahwa sebagian obat dapat memiliki interaksi direksi gejala. Alergi obat biasanya muncul setelah pajanan kedua
dan telah disingkirkan kemungkinan penyebab lain dari foot syndrome) biasanya muncul 2 sampai 12 hari setelah
manifestasi klinis yang muncul. Pengetahuan mengenai kemoterapi dengan ciri khas adanya edema dan eritema
farmakologi dan sifat alergen dari obat yang diberikan pada telapak tanan dan kaki yang berkembang menjadi
penting, terutama dalam keadaan dimana ada beberapa lepuh, ulserasi atau nekrosis. Lesi ini paling sering
obat yang diduga menimbulkan reaksi alergi.2,17 disebabkan oleh obat kemoterapi doxorubicin.2,17
Pemeriksaan fisis pada pasien tersangka alergi obat Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan alergi
harus dilakukan secara menyeluruh terhadap semua obat juga diperlukan dalam menegakkan diagnosis.
sistem untuk mencari semua presentasi klinis alergi Pemeriksaan yang penting diantaranya adalah tes kulit
obat. Manifestasi klinis tersering adalah pada organ kulit. untuk reaksi hipersensitivitas cepat (lgE), tes tempel,
Karakteristik dari lesi kulit penting untuk menentukan tes provokasi atau tes dosing, tes RAST, pengukuran
kemungkinan penyebab, pemeriksaan penunjang lanjutan lgG atau lgM yang spesifik untuk obat, pengukuran
dan tatalakasana alergi obat. Sejumlah manifestasi aktivasi komplemen, pengukuran penglepasan histamin
kelainan kulit yang sering muncul pada reaksi alergi obat atau mediator lain dari basophil. Pemeriksaan laiinya
adalah pruritus, eksantema, urtikaria, angioedema, erupsi yaitupengukuran mediator seperti histamin, prostaglandin,
bula, akne, fixed drug eruptions, eritema multiform, leukotrin, triptase, transformasi limfosit, esai toksisitas
eritematosus lupus, psoriasis, purpura dan vaskulitis. leukosit dan evaluasi dengan bantuan komputer.17
Selain itu, juga data berupa reaksi kulit yang mengancam Manifestasi kulit lain yang mungkin muncul adalah
nyawa seperti sindrom Stevens-Johnson erupsi, toxic pustula. Pemfigus yang muncul karena reaksi obat sering
epidermal necrolysis(TEN), dermatitis exfoliatif dan drug disebabkan oleh obat-obatan yang mengandung gugus
rash with eosinophilia and systemic symptoms(DRESS).17 thiol seperti captopril atau penisilin. Sementara pemfigus-
Manifestasi kulit reaksi alergi obat yang tersering bula yang muncul di daerah tungkai, badan maupun
adalah eksantema (erupsi makulopapular). Lesi kulit membran mukosa sering disebabkan oleh obat seperti
biasanya gatal yang pada awalnya makula dan kemudian penghambat angiotensin converting enzyme (ACE),
berkembang menjadi papula dan akhirnya muncul sebagai furosemid, penisilin dan sulfsalazin. Purpura dan petekia
plak. Lesi kulit biasanya muncul mulai dari bagian tengah merupakan stigmata vaskulitis yang disebabkan oleh alergi
badan yang menyebar ke daerah ekstrimitas secara obat. Sementara itu, eritema multiforma merupakan lesi
bilateral. Exantem yang muncul biasanya merupakan makulopapular polimorfik yang menyebar ke arah perifer
manifestasi hipersensitivitas tipe lambat yang muncul dan menimbulkan lesi target yang terdiri dari 3 zona yaitu
beberapa hari setelah penggunaan obat. Exantem yang papul/ lepuh di bagian paling tengah, yang dikelilingi oleh
dipicu obat ini tidak berkembang menjadi reaksi anafilaksis edema dan daerah eritema di wilayah paling luar. Dalam
karena biasanya tidak melibatkan IgE. Beberapa obat yang bentuk yang paling berat, lesi eritema multiforma ini akan
diketahui menimbulkan eksantem adalah allopurinol, membentuk lepuh dan melibatkan membran mukosa.
aminopenisilin, sefalosporin, obat antieplepsi dan Eritema multiforma dapat muncul menyerupai sindrom
antibakteri sulfonamid.2,17,18 Stevens-Johnson (SJS).Namun, pada SJS didapatkan
Manifestasi kulit fixed drug eruption muncul pada karakteristik khusus yaitu adanya penyebaran makula-
sisi mukosa atau kulit yang sama yang terpajan ulang papula dan lepuh di daerah wajah, batang tubuh dan
terhadap penyebab alergi obat. Lesi ini berbentuk bulat, ekstrimitas proksimal. Pada SJS, didapatkan gejala
oval, berbatas tegas, kemerahan, plak yang sedikit konsitusional yang progresif. Gambaran klinis SJS dapat
terangkat, dengan ukuran diameter beberapa milimeter berkembang menjadi toksik epidermal nekrolisis (TEN),
sampai sentimeter. Lesi ini juga dapat muncul dalam yaitu penyakit kulit yang dipicu reaksi alergi obat yang
bentuk vesikel atau bulat. Daerah predileksi pada lesi ini menyebabkan apoptosis sel epidermis dan mengakibatkan
diantaranya adalah pada daerah bibir, tangan dan genital pemisahan yang luas pada daerah dermoepidermal
(terutama pada pria). Lesi fixed drug eruptionsini sering junction, sehingga muncul gambaran kulit yang melepuh.
muncul pada reaksi alergi obat terhadap tetrasiklin, OAINS SJS dan TEN dapat merupakan bagian dari spektum suatu
dan karbamazepin.17,19 penyakit.Pada SJS didapatkan kurang dari 10% bagian
Urtikaria dan angioedema adalah manifestasi yang tubuh yang mengalami epidermal detachment, sementara
paling sering muncul pada alergi obat yang melibatkan pada TEN lebih dari 30% dan 10%-30% dipertimbangkan
IgE. Lesi kulit lupus yang diinduksi obat sering muncul sebagai sindrom overlap.17,19
pada daerah kulit yang terpapar cahaya. Palmar-plantar Reaksi obat yang mengancam nyawa merupakan
erythrodysesthesia (lebih sering dikenal sebagai hand reaksi anafilaktik yang melibatkan organ saluran nafas
atas dan bawah serta sistem kardiovaskuler. Reaksi ini angioedema. Sedangkan tes tempel dapat digunakan
juga dapat muncul sebagai demam yang dapat mencapai sebagai pemeriksaan garis pertama untuk beberapa
40○C. Reaksi obat secara umum dapat menimbulkan gejala kondisi seperti pada eksantema pustulosis akut
yang sangat bervariasi seperti lesi membran mukosa, sistemik, dermatitis kontak, eritema multiforme., erupsi
limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri dan bengkak eksantema, fixed drug eruption, reaksi foto alergi, purpura
pada sendi.2,17 leukositoklasik, vaskulitis, SJS dan TEN. Dibandingkan tes
intradermal, tes tusuk lebih spesifik namun kurang sensitif.
PEMERIKSAAN PENUNJANG UMUM Tes intradermal dipertimbangkan untuk dikerjakan apabila
Pemeriksaan penunjang umum berdasarkan indikasi setelah 20 menit hasil tes tusuk terhadap alergen yang
di antaranya adalah pemeriksaan darah perifer lengkap diduga kuat sebagai penyebab hasilnya negatif. Beberapa
dengan hitung jenis, laju endap darah, c-reactive protein, obat sudah terbukti menunjukkan hasil yang spesifik yaitu
tes autoantibodi, tes imunologis khusus, pemeriksaan antibiotik β-laktam, makrolida, aminoglikosida, rifampisin,
rontgen dan elektrokardiografi. Jika reaksi alergi obat glikopeptida, tetrasiklin, polipeptida, imidazol, nitrufuron,
melibatkan ginjal, maka diperlukan pemeriksaan trimetoprim, sulfonamid, kotrimoksasol, isoniazid,
urinalisis untuk mencari proteinuria, eosinofil dan casts pentamidin, streptogramin dan beberapa obat anestesi
pada urin. Adanya eosinofil pada urin dan peningkatan untuk relaksan otot.2,17,21
kadar total IgE dapat mengarahkan kepada adanya Jika ada kecurigaan adanya reaksi hipersensitivitas
nefritis interstitial.2,20 Jika ada kecurigaan vaskulitis yang lambat (tipe IV) terhadap obat topikal yang diberikan,
disebabkan alergi obat, maka perlu dilakukan pemeriksaan maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan tes tempel. Tes
laju endap darah, C-reactive protein, tes komplemen dan tempel diketahui berguna sebagai penunjang diagnosis
beberapa tes autoantibodi seperti antinuclear antibody untuk eritema multiform, eksantema, eksema, namun
(ANA), antinuclear cytoplasmic antibody (c-ANCA),dan tidak untuk reaksi nonlimfositik. Tes tempel dibaca setelah
perinuclear cytoplasmic antibody (p-ANCA). Hasil tes ANA 12 jam atau 48-72 jam jika ada eritema dan vesikulasi.
yang positif mengarahkan kepada diagnosis dari sindrom Pembacaan tes tempel dilakukan berdasarkan skor dimana
lupus imbas obat.2,17 jika hanya makulopapular yang tidak jelas digambarkan
sebagai reaksi meragukan, jika terdapat eritema, infiltrasi
PEMERIKSAAN PENUNJANG KHUSUS atau papul dianggap sebagai lemah positif (non vesikuler),
Pemeriksaan penunjang yang khusus untuk alergi jika terdapat vesikel dianggap positif kuat, dan jika
obat tebagi menjadi pemeriksaan in vivo dan in vitro. terdapat lepuh maka diintrepretasi sebagi ekstrim positif.2
Beberapa pemeriksaan penunjang khusus yang penting
untuk menunjang diagnosis alergi obat adalah tes kulit Tes In Vitro
untuk reaksi hipersensitivitas cepat (lgE), tes tempel, tes Beberapa kondisi dapat membuat pemeriksaan in
provokasi atau tes dosing, radioallergosorbent test (RAST), vitro lebih dipilih dibanding pemeriksaan in vivo, yaitu
mengukur lgG atau lgM yang spesifik untuk obat, mengukur jika penderita menunjukkan demografisme, iktiosis atau
aktivasi komplemen, mengukur pelepasan histamin atau ekzema sistemik, menggunakan antihistamin kerja panjang
mediator lain dari basofil, mengukur mediator seperti atau antidepresan trisiklik, berisiko jika obat dihentikan,
histamin, prostaglandin, leukotrien, triptase, transformasi penderita menolak tes kulit atau dugaan tinggi resiko
limfosit, uji toksisitas leukosit, evaluasi dengan bantuan anafilaksis dengan tes kulit terhadap alergen tertentu.17,21
komputer.2,17 Pemeriksaan serum triptase, RAST, dan Enzyme-
linked Immunosorbent Assay (ELISA) digunakan pada
Tes In Vivo kondisi alergi obat melalui reaksi tipe I dengan anafilaksis.
Tes kulit yang menunjukkan nilai prediksi yang Ketika terjadi reaksi anafilaksis akibat alergi obat, maka
kuat adalah tes intradermal untuk IgE. Tes kulit hanya perlu dilakukan penulusuran secara restrospektif. Reaksi
dapat dipakai pada sejumlah obat seperti penisilin, anafilaksis dapat dideteksi dengan pemeriksaan histamin
insulin dan kimopapain. Pembacaan tes kulit dilakukan dan atau N-methylhistamin pada urin 24 jam. Pemeriksaan
setelah 15-20 menit dalam reaksi cepat dan setelah 24- RAST dan ELISA dapat mengukur IgE terhadap beberapa
72 jam dalam reaksi lambat. Tes kulit dapat berupa tes obat dalam sirkulasi sehingga dapat dipakai untuk
tusuk, tes intradermal ataupun tes tempel. Beberapa identifikasi penyebab. Pada beberapa obat seperti
indikasi pemeriksaan tes tusuk adalah reaksi anafilaksis, eritromisin, trimetoprim, sulfometoksazol, rifampisin,
bronkospasme, konjungtivitis, rinitis dan urtikaria/ vankomisin dan isoniazid dilaporkan adanya penemuan
IgE yang spesifik. Hasil positif metode pengukuran IgE dari data anamnesis. Tiga hal yang menjadi dasar
ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya tatalaksana alergi obat adalah menghindari faktor yang
risiko pada penederita, namun hasil negatif tidak dapat menimbulkan gejala, pengobatan reaksi yang benar dan
menyingkirkan risiko tersebut. Jika dibandingkan dengan cara-cara khusus.2
tes tusuk, metode ini kurang sensitif.2,21
Tabel 1. Pembagian reaksi obat menurut mekanisme2
Pada alergi obat yang melalui mekanisme Mungkin
Terbukti/diduga kuat Menimbulkan reaksi
hipersensitivitas tipe II, evaluasi tes auto-antibodi seperti menimbulkan
menimbulkan reaksi alergi pseudoalergi
Coombs dan autoantibodi anti-trombosit perlu dilakukan. reaksi alergi
Antibiotik Kuinolon Opiat
Pemeriksaan C3, C4, krioglobulin dan C1q-binding perlu β-laktam (penisilin, Sulfonamid Aspirin dan AINS
dikerjakan jika alergi obat dicurigai melibatkan mekanisme sefalosporin,monobaktam,
karbapenem)
hipersensitivitas tipe III. Tes tempel spesifik, tes proliferasi
Insulin Dilantin Heparin
limfosit dan isolasi klon yang spesifik dikerjakan apabila Kemopapain Protamin Inhibitor ACE
terdapat kecurigaan hipersenitivitas tipe IV.2,17 Streptokinase Pelemas otot Aditif
Serum heterologous Anestesi lokal Larutan protein plasma
Antibodi IgG dan IgM spesifik untuk obat dapat
Tetanus (Toksoid–Tetanus/ Kemoterapi Larutan
diukur dengan ELISA dan radioimmunoassay (RIA). Tes Difteri-Td) penggantiberbahan
Coombs digunakan sebagai penapis untuk tes IgG spesifik gelatin
Lateks Transfusi Tartazin
pada kondisi hemolisis yang diinduksi obat. Pemeriksaan
Agen biologik baru Hemodilaisis Kontras
pelepasan histamin dan mediator lain dari basofil baru (campak, mumps, MMR,
dapat dilakukan pada laboratorium tertentu dan esai ini vaksin asal telur)
terhadap obat-obat tertentu. Dalam keadaan ekstrim, induksi toleransi pada renderita yang mengalami reaksi
yaitu saat obat kausal sangat diperlukan, maka pilihan alergi (melalui IgE), cepat dan sistemik terhadap obat yang
yang dapat diambil adalah obat diteruskan bersamaan dapat dipastikan dengan tes kulit misalnya pada penisilin.
pemberian anthistamin dan kortikosteroid untuk menekan Teknik desenstisasi menggunakan protokol yang prinsip
alergi. Hal ini disebut treating through, namun berisiko dasarnya adalah pemberian bertahap dosis obat yang
potensial mengakibatkan reaksi berkembang menjadi ditingkatkansecara perlahan, mulai dari dosis subalergenik
eksfoliatif atau sindrom SJS dan memicu keterlibatan dan diteruskan sampai dosis penuh. Pada saat dilakukan
organ internal.2 desensitisasi, jika terapi dihentikan, pada 50% penderita
Pada kondisi tes kulit atau RAST terhadap anafilaksis dapat terjadi kembali. Protokol desensitisasi
obat antibiotik tidak dapat dikerjakan dan dipikirkan telah tersedia terhadap berbagai kelas obat, salah satu nya
kemungkinan alergi rendah, tidak disertai reaksi berat seperti pada Tabel 1.2,17,25
dan mengancam nyawa, maka dapat dikerjakan tes dosing Pada obat-obat tertentu yang mekanisme
atau provocative drug challenge/graded drug challenge/ reaksinya tidak melibatkan IgE, desensitisasi telah dapat
incremental drug challenge. Tes ini tidak mengubah respon dilakukan dengan hasil yang baik. Obat-obat tesebut
sistem imun. Prinsip dasar tes ini adalah pemberian obat diantaranyaadalah aspirin, AINS, alopurinol, preparat
secara hati-hati dan bertahap, sehingga reaksi ringan emas, sulfametoksazol dan sulfasalazin. Desensitisasi
yang diketahui mungkin terjadi akan segera diketahui dan cepat pada anafilaksis dilakukan dengan pemberian dosis
dapat dengan mudah diatasi. Tes ini dapat dipakai sebagai bertahap selama beberapa jam seperti pada penisilin.
satu-satunya cara absolut untuk menyatakan ada tidaknya Biasanya dimulai dengan jumlah p/1.000.000 sampai
hubungan etiologi antara obat, sehingga bila penderita 1/100.000 dosis terapeutik. Jika pemberian melalui
menunjukkan toleransi terhadap obat yang diberikan, intravena, dosis yang diberikan intravena dilipatgandakan
berarti tidak ada alergi. Tes ini terbagi menjadi tesdosing setiap 15 menit dengan pemantauan penderita secara
cepat dan lambat. hati-hati. Reaksi ringan, seperti urtikaria atau pruritus,
Pada tes dosing, obat diberikan dengan dosis awal biasanya dapat menghilang spontan, sehingga pra-terapi
yang kecil, kemudian ditingkatkan serial sampai dicapai dosis dengan antihistamin atau steroid pada desensitisasi
penuh. Interval waktu peningkatan dosis yaitu 24-48 jam bila tidak dilakukan agar reaksi ringan dapat diidentifikasi.
dipikirkan reaksi hipersensitivitas lambat dan 20-30 menit Desensitisasi lambat dilakukan dengan carapeningkatan
bila dipikirkan reaksi lgE. Pada tes dosing lambat dikerjakan dosis dan pemberian dengan jarak 24-48 jam, kecuali
bila reaksi yang diduga terjadi adalah reaksi lambat seperti bila pengobatan diperlukan lebih cepat. Prosedur ini
dermatitis. Pada kondisi ini jarak antara pemberian obat memerlukan waktu 2 minggu atau lebih.2,26
dijadikan 24-48 jam, prosedur biasanya selesai dalam 2 Pada penderita yang pernah menunjukan reaksi
minggu. Pemeriksaan tes dosing saat ini semakin sering serupa anafilaksis (non-lgE), misalnya radiokontras,
dikerjakan pada penderita HIV yang akan diberikan premedikasi atau terapi profilaksis atau pra-terapi
trimetoprim/sulfamtoksazole. Saat ini sudah tersedia penting dilakukan sebelum pemberian obat. Premedikasi
beberapa protokol untuk tes dosing terhadap beberapa atau profilaksis dengan pemberian antihistamin dan
obat seperti sulfonamid, relaksan otot, asiklovir, zidovudine, kortikosteroid saja atau dalam kombinasi dengan
pentamidin dan penisilamin, ihinbitor ACE dan heparin. β-adrenergik bertujuan menurunkan insidens dan
Selain itu, termasuk juga obat yang jarang menimbulkan reaksi beratmisalnya reaksi anafilaksis yang ditimbulkan
reaksi alergi seperti β-blocker dan obat-obatan yang dapat zat kontras. Baik tes dosing, desensitisasi, maupun
menimbulkan reaksi serupa alergi (pseudo-alergi) seperti premedikasi memiliki kebahayaan menimbulkan reaksi
opiate, anestesi lokal, aspirin, dan tartazin.2,17,24 alergi yang fatal, reaksi anafilaksis dan reaksi psikiatrik
Desensitisasi adalah pilihan tatalaksana pada non-alergi. Oleh karena itu, perlu diperhatikan aspek
kondisi yangsudah dipastikan terdapat alergi obat.Namun medikolegal dan informed consent dalam melakukan
dmeikian, tidak ada pilihan obat yang lain. Desensitisasi prosedur ini. Hal-hal yang perlu diperhatikan diantaranya
sendiri dapat dikerjakan pada reaksi IgE, pada reaksi adalah obat yang akan diberikan merupakan obat esensial
yang tidak terjadi melalui IgE, desensitisasi cepat pada yang tidak bisa digantikan obat lain, adanya ruang bagi
anafilaksis dan desensitisasi lambat.17 pasien untuk menolak setelah memahami keuntungan
Pada reaksi yang melibatkan IgE, desensitisasi dan risiko tindakan, dan sarana terapi darurat yang harus
dikerjakan dengan tujuan memperoleh reaksi yang ringan disiapkan saat melakukan prosedur.2,17
melalui eliminasi IgE. Terapi ini dilakukan dengan cara
REAKSI
Overdosis Intoleransi
Tipe IV
Tipe I Tipe III -Kerusakan dengan
Tipe II perantaraan sel T
-Perantaraan IgE -ADCC -Kerusakan kompleks imun
-Anafilaksis -IgG/IgM berkatan -Ikatan Ab-Ag dalam jumlah
-Urtikaria dengan Ag pada sel besar
-Angioedema -Komplemen
-Bronkospasme -Fagosit
-Hipotensi
Gambar 1 Klasifikasi reaksi obat2
Gambar 1 .Klasifikasi reaksi obat2
13
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia | Vol. 4, No. 1 | Maret 2017 | 51
Roy Akur Pandapotan, Iris Rengganis
Tiga hal yang menjadi dasar tatalaksana alergi obat 22. Lieberman P, Nicklas RA, Oppenheimer J, et al. The diagnosis and
management of anaphylaxis: 2010 Update. J Allergy Clin Immunol.
adalah menghindari faktor yang menimbulkan gejala, 2010;126(3):477–80.
pengobatan reaksi yang benar dan cara-cara khusus. 23. Frew A. Generalprinciples ofinvestigatingand managingdrug
allergy. Br J Clin Pharmacol. 2011;71(5):642-6.
Cara-cara khusus yang penting dalam tatalaksana alergi 24. Sullivan TJ, Yecies LD, Shatz GS, et al. Desensitization of patients
obat diantaranya adalah threating through, tes dosing, allergic to penicillin using orally administered beta-lactam
antibiotics. J Allergy Clin Immunol. 1982;69(3):275–82.
desensitisasi dan pramedikasi terhadap obat-obat
25. Solensky R. Drug desensitization. Immunol Allergy Clin North Am.
tertentu. 2004;24(3):425–43.
26. Harris AD, Sauberman L, Kabbash L, et al. Penicillin skin testing: a way
to optimize antibiotic utilization. Am J Med. 1999;107)2):166–8.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadreddini HA, Starkey ES. Drug allergy:diagnosis and managemen
tofdrug allergyin adults, children and young people; a look at NICE
guidance. London:National Institute for Health and Care Excellence
(UK);2014.
2. Baratawidjaja, KG., Rengganis, Iris. Alergi Dasar Edisi ke-10. Jakarta:
FKUI; 2009.hal.459-92.
3. Liebhart J,Dobek R,Małolepszy J, et al. ThePrevalenceof Allergic
Diseases in Poland - the Results of the PMSEAD Study in Relation to
Gender Differences. Adv Clin Exp Med.2014;23(5):757-62.
4. Sangasapasviliya A,Prakongwong T, Ayuthaya PK. Drug
hypersensitivity in Phramongkutklao Hospital. J Med Assoc
Thai.2010;93(Suppl 6):S106-11.
5. Bourke J,Pavlos R,James I, Phillips E. Improving the Effectiveness
of Penicillin Allergy De-labeling. J Allergy Clin Immunol
Pract.2015;3(3):334-84.
6. Gamboa PM. The epidemiology of drug allergy-related
consultations in Spanish Allergology Services: Alergológica-2005. J
Investig Allergol Clin Immunol. 2009;19(Suppl2):45-50.
7. England RW, Ho TC, Napoli DC, Quinn JM. Inpatient consultation of
allergy/immunology in a tertiary care setting. Ann Allergy Asthma
Immunol. 2003;90(4):393-7.
8. The Hacettepe Method is an efficient, safe and cost effective
method of drug allergy work-up. Fuat Kalyoncu A. Allergol
Immunopathol (Madr).2015;43(1):103-4
9. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Allergy Asthma Clin
Immunol. 2011;7(Suppl 1):S10.
10. Khan DA, Solensky R: Drug allergy. J Allergy Clin Immunol.
2010;125(2 Suppl 2):S126-37.
11. Pichler WJ, Naisbitt DJ, Park BK. Immune pathomechanism
of drug hypersensitivity reactions. J Allergy Clin Immunol.
2011;127(Suppl):S74-81.
12. McKinnon RP, Wildsmith JA. Histaminoid reactions in anaesthesia.
Br J Anaesth. 1995;74:217-28.
13. Posadas SJ, Pichler WJ. Delayed drug hypersensitivity nreactions -
new concepts. Clin Exp Allergy. 2007;37(7):989-99.
14. Sanderson JP, Naisbitt DJ, Farrell J, Ashby CA, Tucker MJ, Rieder MJ,
et al. Sulfamethoxazole and its metabolite nitroso sulfamethoxazole
stimulate dendritic cell costimulatory signaling. J Immunol.
2007;178(9):5533-42.
15. Barranco P, Lopez-Serrano MC: General and epidemiological aspects
of allergic drug reactions. Clin Exp Allergy. 1998;28(Suppl 4):61-2.
16. Thong BY, Tan TC. Epidemiology and risk factors fordrug allergy.Br J
Clin Pharmacol. 2011;71(5):684-700.
17. Joint Task Force on Practice Parameters; American Academy of
Alergy, Asthma and Immunology; American College of Allergy,
Asthma and Immunology; Joint Council of Allergy, Asthma and
Immunology. Drug allergy: an updated practice parameter. Ann
Allergy Asthma Immunol. 2010;105(4):259-73.
18. McKenna JK, Leiferman KM. Dermatologic drug reactions. Immunol
Allergy Clin North Am. 2004;24(3):399–423.
19. Roujeau JC. Clinical heterogeneity of drug hypersensitivity.
Toxicology. 2005;209(2):123–9.
20. Ooi BS, Pesce AJ, First MR, et al. IgE levels in interstitial nephritis.
Lancet.1974;303(7869):1254–6.
21. Sogn DD, Evans R, Shepherd GM, et al. Results of the National
Institute of Allergy and Infectious Diseases collaborative clinical
trial to test the predictive value of skin testing with major and
minor penicillin derivatives in hospitalized adults. Ann Intern Med.
1992;152(5):1025–32.