Anda di halaman 1dari 10

1.

Ureter
 Suatu tabung/saluran musculorum yang berfungsi untuk mengalirkan urin dari ren
menuju vesica urinaria.
 Panjang 20-30 cm
 Pelvis renalis menyempit saat struktur ini melintas ke inferior melewati hilum renale
dan bersinambungan dengan ureter pada pertemuan ureteropelvica/ ureteropelvic junction.
 Ureter turun dan terletak di retroperitoneale pada aspectus medialis musculus psoas
major.
 Pada tiga titik di sepanjang lintasan ureter terdapat penyempitan-penyempitan
n titik penyempitan pertama di pertemuan ureteropelvica:
n titik penyempitan kedua adalah saat ureter menyilang arteria
iliaca communis di pintu peivis;
n titik penyempitan ketiga adalah saat ureter memasuki dinding vesica urinaria.
 Persarafan ureter berasal dari plexus renalis, aorticus, hypogastricus superior, dan
inferior melalui nervi yang mengikuti pembuluh-pembuluh darah.
 Serabut-serabut efferentes viscerales berasal dari sumber-sumber sympathicum dan
parasympathicum, sedangkan serabut-serabut afferentes viscerales kembali ke medulla
spinalis pada level T11-L2.

2. Vesika Urinaria

Vesica urinaria merupakan elemen yang paling anterior dari viscera pelvis. Meskipun vesica
urinaria sepenuhnya terletak di dalam cavitas pelvis ketika keadaan kosong, vesica urinaria
mengembang ke superior ke dalam cavitas abdominalis ketika keadaan penuh. Vesica
urinaria yang kosong berbentuk seperti sebuah piramida dengan tiga sisi yang memiliki ujung
yang terletak pada salah satu tepinya. Vesica urinaria memiliki sebuah apex, sebuah basis,
dan sebuah permukaan superior, dan dua permukaan inferolateral.
 Apeks vesicae menghadap ke bagian atas symphysis pubica: struktur yang dikenal
sebagai ligamentum umbilicale medianum (sisa chorda urachus/chorda umbilicalis
embryonicum yang berkontribusi pada pembentukan vesica urinarial berlanjut dari bagian
superiornya naik ke dinding anterior abdomen menuju umbilicus.
 Basis vesika urinaria berbentuk seperti sebuah segitiga terbalik dan menghadap ke
posteroinferior. Kedua ureter memasuki vesica urinaria di setiap sudut atas basis vesica
urinaria, dan urethra berjalan ke inferior dari sudut bawah basis vesica urinaria
Di bagian dalam, lapisan mucosa pada basis vesica urinaria halus dan melekat erat pada
lapisan otot polos dinding yang mendasarinya.

3. Uretra
Urethra berawal di basis vesica urinaria dan berakhir dengan sebuah lubang keluar (ostium
urethrae externum) pada perineum. Terdapat perbedaan antara wanita dan pria, antara lain:
 Pada wanita
Pada wanita, urethranya pendek, panjangnya sekitar 4 cm. Uretra melintas dengan sedikit
melengkung ketika berjalan ke inferior melewati dasar pelvis ke dalam perineum, di mana
urethra berjalan melewati spatium perinei profundum dan membrana perinei sebelum
bermuara pada vestibulum vaginae yang terletak di antara kedua labium minus pudendi.
 Pada pria
Memiliki urethra yang panjang. sekitar 20 cm, dan membelok dua kali sepanjang lintasannya.
Berawal di basis vesica urinaria dan berjalan ke inferior melewati prostata, urethra berjalan
melewati spatium perinei profundum
dan membrana perinei dan langsung memasuki radix penis.
Hidrokel
a. Pengertian
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di rongga antara lapisan parietal dan
viseral tunika vaginalis (cavum vaginalis). Dalam keadaan normal, terdapat produksi cairan
di cavum vaginalis yang diimbangi oleh reabsorbsi sistem limfatik sekitarnya.
b. Epidemiologi
Kelainan ini ditemukan pada 80-90% bayi laki-laki, 90 -95% di antaranya akan menghilang
spontan sebelum usia 2 tahun. Hanya sekitar 6% kasus hidrokel memiliki gejala klinis.
Hidrokel juga ditemukan pada satu dari seratus laki-laki dewasa, biasanya terjadi setelah
dekade kedua kehidupan.
c. Etiologi
Penyebab hidrokel adalah kelainan yang didapat pada testis atau epididimis sehingga
menyebabkan terjadinya akumulasi cairan yang berlebihan pada cavum vaginalis. Pada
keadaan ini, tidak terdapat adanya hubungan hidrokel dengan rongga abdomen, disebut juga
dengan hidrokel nonkomunikans. Etiologi hidrokel jenis ini antara lain: tumor, infeksi, atau
trauma pada testis/epididimis,  dan merupakan penyebab hidrokel pada penderita dewasa.
Hidrokel yang disebabkan oleh penumpukan cairan pada bagian prosesus vaginalis yang
tidak mengalami obliterasi, tanpa adanya hubungan dengan rongga abdomen dan tunika
vaginalis testis disebut hidrokel funikulus, namun kelainan ini jarang ditemukan.
d. Klasifikasi
1. Non-communicating hidrokel (tidak ada hubungan antara skrotum dengan rongga
abdomen
2. Communicating hidrokel (terdapat hubungan antara skrotum dengan rongga
abdomen)
3. Hidrokel funikulus (terjadi di funikulus spermatikus)
e. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya kelainan ini adalah belum sempurnanya penutupan prosesus
vaginalis, sehingga terjadi aliran cairan peritoneum ke cavum vaginalis, disertai dengan
proses reabsorbsi oleh sistem limfatik di daerah tersebut yang kurang adekuat. Apabila
terdapat hubungan antara hidrokel dengan rongga abdomen maka disebut hidrokel
komunikans, terutama ditemukan pada anak-anak.
Tidak sempurnanya obliterasi dari processus vaginalis menyebabkan adanya hubungan
dengan rongga peritoneum  akumulasi cairan dari limfatik sekitar. Cairan yang harusnya
berada pada kadar normal namun akibat keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh
limfatik tidak terjadi, maka terjadi akumulasi. Tekanan terus menerus dari akumulasi cairan
menyebabkan terjadinya obstruksi aliran vena di dalam funikulus spermatikus sehingga
menyebabkan terjadinya atrofi testis.
f. Gambaran klinis
- Terdapat benjolan di kantung skrotum namun tidak nyeri
- Konsistensi seperti kista
- Testis seolah-olah tidak teraba akibat akumulasi cairan
g. Tatalaksana
- Konservatif
- Hidrokelektomieksisi dan plikasi
- Aspirasi-skleroterapi
2. Fistula urakus
a. pengertian
Kegagalan obliterasi dari alantois sehingga terdapat hubungan antara apeks buli-buli dengan
umbilikus dan urin dapat keluar melalui umbilikus
b. Epidemiologi
Sekitar 50% dari seluruh kelainan urachal dengan insiden 0,25-15/10.000 kelahiran
Lebih sering terjadi pada laki-laki dengan perbandingan 2:1
c. Etiologi
 Idiopatik
 Teori obstruksi vesika urinaria intrauterin
 Kegagalan proses penurunan vesika urinaria ke dalam pelvis
 Teori re-tubularization
d. Gejala klinis
 Drainase cairan dari umbilikus secara terus menerus atau intermitten seiring dengan
meningkatnya tekanan intraabdomen
 Pembesaran atau udem umbilikus
3. Kista urakus
a. Pengertian
Obliterasi terjadi pada ujung distal dan prokmsimal, namun di bagian tengah gagal
berobliterasi membentuk suatu rongga yang berisi cairan (kista).
b. Epidemiologi
 Terjadi 30% dari keseluruhan kasus urakus
 Ditemukan 1 dari 5000 kelahiran dengan dominan pada laki-laki 3:1
c. Gejala klinis
Pada kista urachal infeksi, ditemukan gejala yaitu berupa:
 Demam
 Nyeri p-erut bawah daerah midline
 Buang air kecil disertai atau tanpa ISK dan terkadang teraba masa lunak di suprapubik
 Kulit eritema
4. Sinus urakus
a. definisi
Patennya urakus disisi proksimal (dekat dengan umbilikus)
b. Epidemiologi
15% dari seluruh kelainan urakus
c. Gejala klinis:
 Drainase intermitten dari umbilikus
 Bengkak periumbilikus
 Umbilikus lembab basah
Hormon androgen
Hormon seks laki laki disebut dengan hormon androgen. Hormon androgen dapat disintesis
di korteks adrenal maupun testis. Di korteks ginjal, androgen atau prekursor androgen utama
yang dihasilkan oleh korteks adrenal adalah dehidroepiandrosteron (DHEA). DHEA ini
merupakan prohormon sehingga akan diubah oleh kerja dari 3 Beta- hidroksisteroid
dehidrogenase (3β-OHSD) dan delta 5,4-isomerase menjadi androstenedion yang lebih poten.
Melalui mekanisme ini akan dihasilkan testosteron. Androgen testis disintesis di jaringan
interstisium oleh sel Leydig. Hormon androgen merupakan hormon steroid yang dibentuk
dari asetil koenzim A dan kolesterol via pregnelonon melalui serangkaian reaksi yang terjadi
di mitokondria atau retikulum endoplasrna sel pembentuk. Pregnenolon juga dapat diubah
menjadi testosteron oleh jalur dehidroepiandrosteron. Perubahan pregnenolon menj adi
testosteron memerlukan kerja lima aktivitas enzim yang terkandung dalam tiga protein:
1. 3β-hidroksisteroid dehidrogenase (3β-OHSD) dan A5'aisomerase;
2. 17-hidroksilase dan 17,20-liase
3. 17B-hidroksisteroid dehidrogenase (l7β-OHSD).
Hormon Reproduksi Pria

Testosteron
Testosteron disekresi oleh sel-sel interstitial Leydig testis yang terletak di celah-celah antar
tubulus seminiferus dan kira-kira merupakan 20 persen masa testis dewasa, penting bagi
pertumbuhan dan pembelahan sel-sel germinal testis, yang merupakan tahap pertama
pembentukan sperma. Sel-sel Leydig hampir tidak ditemukan di testis pada masa kanak-
kanak, saat testis hampir tidak menyekresi testosteron, tetapi hormon tersebut ada dalam
jumlah yang banyak pada bayi laki-laki yang baru lahir selama beberapa bulan pertama
kelahiran. Setelah disekresi oleh testis, kirakira 97 persen testosteron menjadi terikat longgar
dengan albumin plasma atau terikat lebih kuat dengan suatu beta globulin yang disebut sex
hormone-binding globulin dan bersirkulasi di darah dalam bentuk ini selama 30 menit sampai
beberapa jam. Sementara itu, testosteron tersebut dapat dihantarkan ke jaringan atau dipecah
menjadi produk tidak aktif yang selanjutnya dieksresi.
Banyak testosteron yang terikat pada jaringan diubah di dalam sel jaringan menjadi
dihidrotestosteron, terutama di organ-organ target khusus seperti kelenjar prostat pada laki-
laki dewasa dan genitalia eksterna pada janin. Testosteron yang tidak terikat pada jaringan
dengan cepat diubah, terutama oleh hati, menjadi androsteron dan dehidroepiandrosteron
dan secara serentak dikonjugasikan sebagai glukuronida atau sulfat (terutama glukuronida).
Semuanya diekskresi ke dalam usus melalui kanalis biliaris hati atau ke dalam urine melalui
ginjal. Selain berfungsi dalam pembentukan sperma tahap pertama, testosteron ini juga
berfungsi untuk membentuk maskulinasi pada pria dan juga memicu penurunan testis pada
janin.
DAPUS
Richard L. Drake; Wayne Vogl; Adam W M Mitchell. 2014. Gray’s Anatomy: Anatomy of
the Human Body. Elveiser, 2014
Purnomo B.B. Dasar-dasar Urologi.CV. Infomedika. Jakarta,2000.
Murray, R. K., Granner, D.K., & Rodwell, V. W. Biokimia Harper (27 ed.). Jakarta: Buku
Kedokteran EGC; 2009.

Anda mungkin juga menyukai