Anda di halaman 1dari 3

Fahrida Amalia Husna (ILMU KOMUNIKASI 2018)

NIM : 14040118120005

Review Buku

“ILMU PENGETAHUAN SEBUAH TINJAUAN FILOSOFIS”

BAB IV

Kebenaran Ilmiah

1. Macam – Macam Teori Kebenaran


a. Teori kebenaran sebagai persesuaian
Menurut Aristoteles, dasar bagi teori kebenaran sebagai persesuaian bahwa
kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan
kenyataan yang sebenarnya.
Pertama, teori ini sangat ditekankan oleh aliran empirisme yang mengutamakan
pengalaman dan pengamatan indrawi manusia sebagai sumber utama pengetahuan
manusia. Yaitu dengan cara kerja dan pengetahuan aposteriori. Kedua, teori ini
cenderung menegaskan dualitas antara subjek dan objek, antara si pengenal dan yang
dikenal. Yang paling berperan bagi kebenaran pengetahuan manusia adalah objek.
Subjek atau akal budi hanya mengolah lebih jauh apa yang diberikan oleh objek. Ketiga,
teori ini sangat menekankan bukti (evidence) bagi kebenaran suatu pengetahuan.
Persoalan yang muncul sehubungan dengan teori ini adalah jika suatu pernyataan
atau proposisi tidak didukung denga bukti empiris dan kenyataan factual apapun, maka
pernyataan tersebut tidak akan dianggap benar.
b. Teori kebenaran sebagai keteguhan
Teori ini mengatakan bahwa kebenaran ditemukan dalam relasi antara proposisi
baru dengan proposisi yang sudah ada. Artinya, suatu proposisi dianggap benar apabila
meneguhkan proposisi sebelumnya yang telah dianggap benar.
Pertama, teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan kebenaran
rasional-logis dan juga cara kerja deduktif. Kebenaran suatu pernyataan atau
pengetahuan sudah diandaikan secara apriori tanpa perlu dicek dengan kenyataan yang
ada. Kedua, teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan kebenaran dan
pengetahuan apriori. Ini berarti pembuktian atau justifikasi sama artinya dengan validasi:
memperlihatkan apakah kesimpulan yang mengandung kebenaran tadi memang
diperoleh secara valid dari proporsi lain yang telah diterima sebagai benar.
Kesulitan dan keberatan teori ini adalah bahwa kebenaran suatu pernyataan
didasarkan pada kesesuaiannya dengan pernyataan sebelumnya, dan jika pernyataan
sebelumnya dipertanyakan maka jawabannya kebenaran akan ditentukan oleh kesesuaian
dengan pernyataan yang sebelumnya lagi sehingga akan gerak mundur tanpa henti
(infinite regress).
c. Teori pragmatis tentang kebenaran
Teori ini dikembangkan oleh filsuf-filsuf pragmatis dari Amerika seperti Charles
S. Peirce dan William James. Teori ini mengatakan bahwa kebenaran sama artinya
dengan kegunaan. Jadi, ide, konsep, pernyataan, atau hipotesis yang benar adalah ide
yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang –
berdasarkan ide itu – melakukan sesuatu yang tepat guna. Dengan kata lain, berhasil dan
berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide benar atau tidak.
Menurut John Dewey dan William James, ide yang benar sesungguhnya adalah
instrument untuk bertindak secara berhasil. Jadi, kebenaran yang ditekankan adalah
kebenaran yang menyangkut “pengetahuan bagaimana”. Kebenaran pragmatis mencakup
pula kebenaran empiris hanya saja bersifat lebih radikal. Karena tidak hanya sesuai
dengan kenyataan melainkan juga dalam kenyataannya berguna bagi manusia. Menurut
William James, kebenaran juga merupakan sebuah nilai moral karena dengan kebenaran
manusia akan sampai pada sesuatu. Dengan kebenaran manusia dibantu untuk
melakukan sesuatu secara berhasil.
d. Teori kebenaran performatif
Teori ini dianut oleh filsuf-filsuf seperti Frank Ramsey, John Austin, dan Peter
Strawson. Menurut teori kebenaran performatif, suatu pernyataan dianggap benar jika
pernyataan tersebut menciptakan realitas. Jadi, pernyataan yang benar bukanlah
pernyataan yang mengungkapkan realitas tetapi justru dengan pernyataan itu tercipta
suatu realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan tersebut.
Secara positif, teori ini membantu seseorang untuk berusaha mewujudkan
sesuatu. Namun teori ini juga dapat dipakai secara negative yaitu orang dapat terlena
dengan pernyataan atau ungkapannya seakan pernyataan atau ungkapan tersebut sama
dengan realitas begitu saja. Contohnya, “Saya bersumpah, saya berjanji akan setia.”
Seakan-akan tercipta realitas seperti yang dinyatakan, padahal apa yang dinyatakan
belum dengan sendirinya menjadi realitas.
2. Sifat Dasar Kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah mempunyai tiga sifat dasar :
1) Memiliki struktur kebenaran ilmiah yang rasional-logis, adalah bahwa kebenaran ilmiah
selalu dicapai berdasarkan kesimpulan yang logis dan rasional dari proposisi atau
premis-premis tertentu. Proposisi ini dapat berupa teori atau hokum ilmiah yang sudah
terbukti benar dan diterima sebagai benar atau dapat mengungkapkan data atau fakta
baru. Kebenaran ilmiah yang rasional-logis adalah kebenaran yang berlaku universal
artinya tidak hanya bagi orang tertentu tetapi benar bagi semua orang.
2) Sifat empiris adalah bahwa bagaimanapun juga kebenaran ilmiah perlu diuji dengan
kenyataan yang ada. Bahkan, sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah
berkaitan dengan kenyataan empiris dalam dunia ini.
3) Sifat pragmatis adalah jika sebuah pernyataan dianggap benar secara logis dan empiris,
pernyataan tersebut juga harus berguna bagi kehidupan manusia dan dapat membantu
manusia memecahkan berbagai persoalan dalam hidup manusia.

TAMBAHAN:
Kebenaran ilmiah bukan soal teori mana yang lebih benar, melainkan teori mana yang lebih
berguna untuk membantu manusia dalam memecahkan persoalannya. Berdasarkan teori-teori
kebenaran ilmiah di atas, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya kebenaran ilmiah
membutuhkan kebenaran logis yang diperoleh melalui penalaran akal budi dan juga
kebenaran empiris yang diperoleh melalui bantuan pancaindra.

Anda mungkin juga menyukai