Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“Sikap Toleransi Antar Umat Beragama Dalam Upaya Mengatasi Krisis Sosial
Masyarakat Indonesia”

(TEMA J)

Disusun:

Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Intermediate Training (LK II)

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Samarinda

Oleh :

Muhammad Muchlis Sidiq

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)

KOMISARIAT TEKNIK UNIVERSITAS MULAWARMAN

CABANG SAMARINDA

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT. atas segala berkat dan karunia-Nya
penulis dimampukan untuk menyelesaikan makalah ini sebagai salah satu syarat
untuk dapat mengikuti Latihan Kader II Himpunan Mahasiswa Islam di
Samarinda.

Penulis juga ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua dan saudara-saudara penulis yang tercinta, yang penuh
kerelaan hati dan pengertian yang mendalam kepada penulis untuk
melanjutkan jenjang training di HMI.
2. Seluruh Keluarga Besar sehimpun secita Himpunan Mahasiswa Islam
Komisariat Teknik Universitas Mulawarman Cabang Samarinda yang telah
banyak memberikan dorongan serta masukan untuk slalu dapat berproses di
HMI.
3. Terkhusus untuk kanda Ahmad Rifa’i yang telah membantu mengarahkan
saya serta meminjamkan buku-buku referensi yang saya perlukan dalam
penyelesaian makalah ini.
4. Serta calon istriku yang tercinta, atas pengertian, kesabaran dan
dukungannya saya ucapkan terimakasih. Penulis menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun


dari semua pihak sebagai bahan penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
yang besar bagi semua pihak yang membutuhkan.
Samarinda, 10 Desember 2019

Penulis,
Muhammad Muchlis Sidiq

ii
DAFTAR ISI

COVER....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Blakang................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 2
C. Maksud dan Tujuan.......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 4
A. Kondisi Sosial Masyarakat Indonesia Saat ini................................. 4
B. Pengertian Krisis Sosial...................................................................
C. Sikap Toleransi Masyarakat Indonesia Sebagai Bangsa Pluralis.....
D. Sikap Toleransi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Dalam
Menghadapi Krisis Sosial................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................
B. Saran.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
LAMPIRAN................................................................................................
Curiculum Vite Penulis.............................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia mewajibkan setiap warga negaranya untuk memeluk
suatu agama. Hal itu tercantum dalam landasan ideologis Bangsa Indonesia
yaitu Pancasila pada sila pertama. Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, memang secara ideologi,
setiap warga negara Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan yang Maha
Esa dan memeluk suatu Agama.

Keberadaan agama di Indonesia merupakan suatu hal yang kompleks dan


sakral di Indonesia. Setiap warga negara diwajibkan untuk memeluk agama.
Namun dalam kenyataanya, beberapa orang Indonesia tidak sepenuhnya
memaknai agama sebagai pandangan hidup mereka. Bagi mereka, agama
hanya sekedar identitas yang dicantumkan dalam dokumen-dokumen identitas
pribadi. Hanya demi kebutuhan status sosial dan tradisi dalam masyarakat.

Memeluk agama merupakan salah satu Hak Asasi Manusia. Secara


harafiah, setiap manusia memiliki kebebasan untuk memeluk suatu agama.
Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih agamanya. Namun seringkali
dalam kenyataannya, kita tidak memilih suatu agama untuk dianut. Tetapi
lebih dibilang, kita menganut suatu agama karena tradisi keluarga. Hasil
doktrinisasi dan kebiasaan yang muncul dalam lingkungan keluarga. Hal
tersebut mampu membuat kita menerima suatu agama secara mentah-mentah
tanpa adanya pertimbangan. Padahal akan lebih baik jika kita mampu memilih
mana kepercayaan yang paling tepat untuk kita.

Agama merupakan pedoman hidup dan menjadi tolak ukur yang mengatur
tingkah laku penganutnya dalam kehidupan sehari-hari. Baik atau tidaknya
tindakan seseorang tergantung pada seberapa taat dan seberapa dalam

1
penghayatan terhadap agama yang diyakini. Agama berperan sangat penting
dalam mengatur kehidupan manusia dan mengarahkannya kepada kebaikan
bersama. Untuk memperoleh pemahaman tentang peranan agama lebih jauh.

Abul Qosim Al-Khu'i, penulis buku Menuju Islam Rasional mengatakan,


pada dasarnya kita membutuhkan agama dikarenakan agama mampu
melestarikan hubungan yang baik dan harmonis antar manusia. (Nazwar,
2016).

Oleh karena itu, sikap toleransi dan menghargai antar pemeluk agama
dalam kehidupan social masyarakat dapat dipahami bahwa agama
menghidupkan nilai luhur moralitas yang mempunyai agenda untuk dapat
menghidupkan moralitas dalam rangka mengatur kehidupan manusia terlebih
untuk dapat menghadapi krisis social yang terjadi.

B. Rumusan masalah
Dengan bertolak pada latar blakang masalah diatas, maka penulis
mencoba mencoba merumuskan dalam butir-butir masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi sosial Masyarakat Indonesia saat ini?


2. Apa yang dimaksud dengan krisis sosial?
3. Bagaimana sikap Toleransi antar umat beragama di Indonesia?
4. Bagaimana sikap toleransi antar umat beragama dalam meghadapi
krisis sosial masyarakat indonesia?

C. Maksud dan Tujuan


1. Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui kondisi sosial masyarakat Idonesia saat ini.
2. Untuk mengetahui arti krisis sosial.
3. Untuk mengetahui sikap toleransi masyarakat Indonesia sebagai
bangsa pluralis.

2
4. Untuk mengetahui bagaimana sikap toleransi kerukunan umat
beragama di Indonesia dalam menghadapi krisis sosial.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kondisi Sosial Masyarakat Indonesia Saat ini


Melihat fenomena sosial yang ada saat ini, kita melihat kondisi masyarakat
yang rapuh dan memprihatinkan. Banyak terjadi kondisi penyimpangan
dimasyarakat, penyimpangan norma sosial, norma agama, norma hukum, norma
budaya, dan lain sebagainya. Rasa kepedulian untuk hidup berdampingan bersama
dengan saling menghormati dan mengakui perbedaan masing-masing, sudah
menghilang. Maka akibat yang timbul adalah perpecahan di tubuh masyarakat dan
terganggunya rasa aman dalam masyarakat itu sendiri. Bahkan yang lebih parah
adanya perseteruan antar suku, antar ras hingga antar agama yang semakin tajam.
Itu semua semakin memperburuk kondisi bangsa ini, yang tentunya sangat
merugikan citra kita sebagai bagian dari masyarakat dunia.

Perubahan zaman akan selalu menimbulkan perubahan tuntutan pada anggota


masyarakat, berarti akan merubah peran orang per orang yang hidup dalam
perubahan tersebut. Dengan demikian setiap orang dituntut agar mengerti,
memahami dan selanjutnya menyelaraskan kehidupannya dengan situasi, tuntutan
serta irama kehidupan di sekitarnya. Dalam kemajuan zaman yang serba cepat ini,
semua dituntut berbuat dan bertindak cepat agar senantiasa mampu menempatkan
diri secara tepat. Berbagai kemajuan dan perubahan yang telah terjadi memaksa
seseorang mengubah perasaan, pikiran/pola pikir, dan tindakan untuk dapat
menyelaraskan.

Salah satu bentuk kemajuan yang sedang dan sangat pesat saat ini ialah
telekomunikasi (teknologi komunikasi). Hal ini telah menciptakan hubungan luas
antar manusia sehingga melahirkan hubungan yang tanpa batas. Masyarakat
terbuka (open society) lahir sebagai hasil teknologi yang sangat pesat. Dampak
positif yang ditimbulkan bukan berarti tanpa adanya bahaya-bahaya yang dapat
muncul dalam masyarakat. Keadaan ini tentunya memerlukan manusia yang tidak

4
terlempar dan terdampat jauh dari akar kebudayaannya. Manusia harus tetap
berada dalam kehidupannya yang nyata, di tengah-tengah masyarakat yang
mempunyai kebudayaannya sendiri. Dengan kata lain, manusia di dalam
kehidupan modern ini perlu memiliki identitas diri yang kuat (stabil).

Kondisi social di Indonesia jika dilihat dari aspek sosial dan budaya biasa
ditulis secara bersama-sama walaupun secara konseptual masing-masing
sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Aspek social meyangkut masyarakat,
yang berarti mengacu pada orang-orangnya, sedangkan aspek budaya menyangkut
kebudayaannya, Namun pada kenyataannya masyarakat tidak pernah terpisah
dengan aspek budaya.

Struktur sosial masyarakat di ndonesia di tandai oleh dua ciri yang bersifat
unik. Secara horisontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan perbedaan dalam
bidang agama, ras, suku, bangsa, adat istiadat, serta perbedaan kedaerahan. Secara
vertikal struktur masyarakat ndonesia tersusun atas lapisan bawah dan lapisan atas
berdasarkan peranan sosialnya yang cukup tajam. Manusia mengembangkan
kebudayaan adalah upaya untuk mempertahankankelangsungan hidupnya dalam
menghadapi berbagai tantangan yang muncul di dalamlingkungan. Kebudayaan
merupakan wujud tanggapan aktif terhadap tantangan yang datangdari
lingkungannya. Aspek sosial lebih mengacu pada masalah struktur sosial dan
polahubungan sosial yang ada di dalamnya.

Pelapisan sosial tersebut berkaitan dengan berbagai aspek. Dari aspek politik
ada pemegang kekuasaan (elite) dan rakyat biasa(massa) .Dari aspek ekonomi ada
kelompok masyarakat kaya, ekonomi menengah, dan masyarakat miskin. Dari
perbedaan pada beberapa aspek itulah ynag kahirnya menimbulkan pelapisan
sosial di dalam masyarakat Pluralitas masyarakat yang bersifat multi dimensional
telah menimbulkan persoalantentang bagaiman masyarakat ndonesia terintegrasi
secara horisontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana terwujud pada
masyarakat di Indonesia akan memberi bentuk integrasinasional yang bersifat
vertikal atau bertingkat.

5
Perbedaan sosial baik secara vertikal maupun horisontal pada akhirnya harus
juga dilihat sebagai perbedaan kepentingan yang akan membuka kemungkinan
terjadinya benturan serta friksi antar keompok yang mengganggu ketahanan
nasional.

Persoalan yang timbul dari struktur masyarakat Indonesia yang demikian


adalah bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi pada tingkat nasional
sehingga menunjang penciptaan pertahanan keamanan nasional yang mantap.
untuk itu diperlukan adanya kebijakan pemerintah yang dapat melayani serta
mengendalikan berbagai kepentingan dalam masyarakat itu secara berkeadilan
serta menerapkan strategi integrasi yang relevan.

Oleh karena itu ketahanan bidang sosial dan budaya bangsa Indonesia secara
keseluruhan baru sekitar 50% saja hal ini terlihat dari sikap masyarakat bangsa
indonesia yang belum mampu menggambarkan keanekaragaman sosial budaya
yang mantap. Masih kurangnya rasa kepedulian akan budaya yang mereka miliki
sendiri. Dan bahkan mereka belum secara arif dalam menyikapi pengeruh nilai-
nilai budaya yang masuk dari luar dan dijadikan sebagai peningkat serta
memperkaya kebudayaan nasional kita sendiri.

Namun demikian, bermula dilatarbelakangi dari ketegangan antar umat


beragama yang diawali dengan peristiwa “Meulaboh” (Peristiwa pendirian Gereja
di tengah-tengah perkampungan umat Islam), pemerintah mengadakan
Musyawarah antar Umat beragama pada tanggal 30 November 1967.Musyawarah
dihadiri utusan dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Musyawarah
mengusahakan satu pertanyaan, yang antara lain memuat penyataan “Tidak
menjadi umat yang beragama sebagai sasaran penyebaran agama masing-masing”.

Golongan Islam menerima pernyataan tersebut.Namun golongan Kristen


dan Katolik menolaknya.Musyawarah hanya menghasilkan kesepakatan
membentuk Badan Konsultan Antar Agama yang membantu pemerintah dalam
menyelesaikan masalah-masalah agama (Suparman Usman, 1991 : 41).

6
Demikian pula dengan kasus-kasus konfilk antar agama di Era Reformasi
seperti halnya dalam kasus Tolikara, kasus Medan ini sangat kuat. Begitu pula
dengan kasus di Singkil, Aceh. Hal ini menunjukkan bagaimana tekanan umat
Islam terhadap mayoritas Kristen/minoritas Kristen yang ada di sana begitu
kentara. Hal ini terlihat dalam perjanjian yang terjadi di antara kelompok umat
Islam dan Kristen mengenai pembatasan jumlah gereja yang boleh dibangun.
Menurut hemat penulis, dalam hal perjanjian mengenai pembatasan jumlah gereja
yang terjadi sejak 1979 dan diperbarui pada 2001 tidaklah logis. Sebab, dalam
kurun waktu selama itu, jumlah umat Kristen dan luas wilayah yang dihuni oleh
mereka pastilah bertambah. Konsekuansinya, penambahan jumlah gereja sangat
dibutuhkan. Selain itu, dalam melihat kasus ini adanya keterlibatan organisasi
Islam dalam mobilisasi massa pada kasus Singkil semakin menunjukkan peran
agama dalam soal tindak kekerasan ini.

Berdasarkan bukti-bukti tersebut dan beberapa fakta lainnya yang


ditemukan di lapangan, sehingga dapatlah disimpulkan bahwa memang agama
memainkan peran yang sangat penting di dalam dua kasus kekerasan tersebut.
Meskipun demikian, tidak menampik adanya faktor lain yang dapat mengeskalasi
kedua konflik tersebut, misalnya faktor ekonomi dan kekuasaan. Dalam hal ini,
bahwa kemungkinan adanya kecemburuan sosial antara warga asli dan pendatang
di Singkil sangat besar. Semuanya itu disebabkan kebun sawit di Singkil banyak
dimiliki oleh para pendatang dari Tapanuli yang kebanyakan dari mereka
beragama Kristen. Adanya kecemburuan sosial pendatang-pribumi ini tentu saja
tidak dapat dilepaskan dari program transmigrasi oleh pemerintah. Begitu pula,
dominasi gereja baru yang banyak bermunculan di Papua tidak menutup
kemungkinan bagi hadirnya konflik antar-agama di sana.

Oleh karena itu, Indonesia tak kurang memiliki contoh-contoh


keberhasilan penanganan konflik besar dan kecil dari Ambon, Tolikara-Papua,
Medanhingga Sinkil-Aceh atau daerah-daerah lainnya. Namun Papua mungkin
adalah ujian terberat saat ini karena dipicu dari masalah kecil yaitu kelompok
Kristen merasa keberatan dengan pengeras suara. Selain menangani kasus

7
Tolikara hingga tuntas, tugas membangun Papua sebagai Tanah Damai bagi
seluruh masyarakat Papua, terlepas dari latar belakang agamanya merupakan salah
satu tugas besar Indonesia, pemerintah maupun masyarakatnya. Setiap dari kita
berhutang untuk memberikan sumbangan ke arah itu.

Kembali ke kasus Tolikara, sumbangan terkecil adalah tidak memperburuk


situasi dengan menjadikan kasus ini sebagai bahan provokasi. Yang diperlukan
adalah arus informasi yang positif, bukan yang membakar. Khususnya untuk kita
yang berada di luar Papua, baik Muslim ataupun Kristen, klaim-klaim keagamaan
yang dibangkitkan dengan menjadikan kasus Tolikara sebagai pembenaran
mungkin hanya bermanfaat untuk kepentingan kelompok sendiri, bukan untuk
kepentingan saudara-saudara kita di Papua.

Setelah itu, kita dapat membantu mendesak pemerintah untuk lebih serius
berpikir dan bertindak mengenai Papua, dengan satu catatan penting: Papua telah
kerap menjadi arena tindakan kekerasan, maka pendekatan dialogis harus
diprioritaskan. Tanpa itu, sulit bagi kita untuk berbicara mengenai Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan demikian, point terakhir ini mengingatkan kita akan pentingnya


melakukan analisis yang melampaui kategori agama, bahkan dalam konflik-
konflik agama. Di Indonesia yang, menurut Konstitusi, mencita-citakan suatu
masyarakat dimana agama-agama dapat hidup berdampingan dan berperan secara
konstruktif, kesetiaan utama kelompok-kelompok agama tak berhenti pada
agamanya sendiri. Solidaritas pun lebih mudah dibangun di antara kelompok
lintas agama yang memiliki aspirasi keindonesiaan yang sama.

B. Pengertian Krisis Sosial

Menurut para Ahli krisis sosial adalah keadaan tidak kondusif yang
terjadi ditengah-tengah masyarakat, dimana banyak kejadian yang membuat

8
kondisi lingkungan menjadi memburuk yang tidak nyaman serta aman. Krisis
sosial merupakan suatu pristiwa yang terjadi di dalam masyarakat, dimana
semua kalagan atau unsur didalamnya terlibat dalam peristiwa tersebut. Contoh
kasus krisis sosial diantaranya adalah tingginya angka kejahatan dan maraknya
perampokan dikalagan masyarakat atau bahkan adanya perseteruan antara suku
maupun agama.
Sementara definisi kerisis sosial budaya berarti krisis lebih ke arah
budaya masyarakat, contoh maraknya terjadi perseteruan antar suku bahkan ras
agama, dan ada banyak hal yang mempengaruhi serta menjadi sebab tumbuh
berkembang dalam masa yang cukup lama. Diantaranya adalah :
 minimnya rasa peduli terhadap lingkungan dan orang orang sekitar, hal
ini banyak terjadi pada masyarakat yang tinggal diperkotaan
 tidak ada komunikasi antara komunitas atau orang-orang yang bergerak
dibidang sosial.
 Kurangnya rasa toleransi antara sesama kelompok atupun umat beragama
dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.

Tumbuh suburnya budaya kekerasan dalam menyelesaikan suatu


permasalahan yang timbul, serta tidak mau menerima dan memahami kondisi,
kemampuan serta pendapat yang berbeda, dengan saling memperlihatkan fisik
dan kekuasaan merupakan suatu tindakan arogan yang marak terjadi diberbagai
bidang, di seluruh lapisan masyarakat Indonesia saat ini.

C. Sikap Toleransi Masyarakat Indonesia Sebagai Bangsa Pluralis.


Ibnu Rusydi dalam jurnalnya yang berjudul “Makna Toleransi Antar Umat
Beragama Dalam Konteks Keislaman dan Keindonesiaan” mengatakan bahwa:
Istilah kerukunan umat beragama identik dengan istilah toleransi. Istilah toleransi
menunjukkan pada arti saling memahami, saling mengerti, dan saling membuka
diri dalam bingkai persaudaraan. Bila pemaknaan ini dijadikan pegangan, maka
”toleransi” dan “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh
masyarakat manusia.

9
Islam menjunjung tinggi toleransi. Konsep toleransi beragama dalam
Islam bukanlah membenarkan dan mengakui semua agama dan keyakinan yang
ada saat ini, karena ini merupakan persoalan akidah dan keimanan yang harus
dijaga dengan baik oleh setiap pribadi muslim. Toleransi bukan mengakui semua
agama sama, apalagi membenarkan tata cara ibadah umat beragama lain. Tidak
ada toleransi dalam hal akidah dan ibadah. Karena sesungguhnya bagi orang Islam
agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. Toleransi hanyalah dalam
urusan muamalah dan kehidupan sosial (Rusydi, 2018).

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki pluralitas penduduk


yang cukup tinggi. Pluralitas itu meliputi pluralitas suku, etnis, budaya dan
agama, untuk itu diperlukan adanya rasa toleransi antar suku, etnis, budaya dan
agama tersebut, demi menghindari terjadinya konflik yang mengarah pada tindak
kekerasan. Khusus mengenai pluralitas agama, di Indonesia rasa saling toleransi
beragama masih sangat minim. Hal ini didukung dengan hadirnya fakta
munculnya permasalahan-permasalahan yang diikuti dengan Anarkisme atau
kekerasan yang mengatas namakan agama. Hal ini jelas sangat mengkhawatirkan
bagi intregritas bangsa Indonesia sendiri.

Dalam pengertian sehari-hari kata rukun dan kerukunan adalah damai dan
perdamaian. Dengan pengertian ini jelas, bahwa kata kerukunan hanya
dipergunakan dan berlaku dalam dunia pergaulan. Kerukunan antar umat
beragama adalah cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur hubungan
luar antara orang yang tidak seagama atau antara golongan umat beragama dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan.

Istilah kerukunan umat beragama pertama kali dikemukakan oleh Menteri


Agama, K.H. M. Dachlan, dalam pidato pembukaan Musyawarah Antar Agama
tanggal 30 Nopember 1967 antara lain menyatakan: "Adanya kerukunan antara
golongan beragama adalah merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas
politik dan ekonomi yang menjadi program Kabinet AMPERA. Oleh karena itu,
kami mengharapkan sungguh adanya kerjasama antara Pemerintah dan

10
masyarakat beragama untuk menciptakan “iklim kerukunan beragama ini,
sehingga tuntutan hati nurani rakyat dan cita-cita kita bersama ingin mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur yang dilindungi Tuhan Yang Maha Esa itu
benarbenardapat berwujud”. Dari pidato K.H. M. Dachlan tersebutlah istilah
“Kerukunan Hidup Beragama” mulai muncul dan kemudian menjadi istilah baku
dalam berbagai dokumen negara dan peraturan perundang-undangan.
Di Indonesia pada Era Reformasi saat ini ada enam agama yang diakui
oleh Pemerintah. Perbandingan pemeluk keenam agama tersebut, Islam 87,01 %,
Kristen Protestan 6,96%, Khatolik 2,91%, Hindu 1,69%, Budha 0,72 %,
Konghuchu 0,05 %, Aliran lainnya 0,13 %, dan tidak terdeteksi 0,4 %. Untuk
membimbing dan mengarahkan kehidupan umat beragama dibentuksatu
Departemen yaitu Departemen Agama, bertugas untuk menyelenggarakan
sebagian tugas pemerintah dan pembangunan di bidang agama (Najmudin, 2017).

Dan di Indonesia pula ada Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama


diantaranya adalah:
a) Islam : Majlis Ulama Indonesia (MUI)
b) Protestan : Dewan Gereja Indonesia (DGI)
c) Katolik : Majlis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI)
d) Hindu : Parisada Hindu Dharma
e) Budha : Pewalian Umat Budha Indonesia (WALUBI).
f) Konghuchu : Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).

Salah satun unsur-unsur keragaman dalam masyarakat Indonesia adalah


agama dan keyakinan. Agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan
dipatuhi manusia. Ikatan yang dimaksud berasal dari suatu kekuatan yang lebih
tinggi dari manusia sebagai kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan panca
indra, namun mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan
manusia sehari hari (Harun Nasution: 10).

11
Agama sebagaai bentuk keyakinan memang sulit diukur secara tepat dan
rinci. Hal ini pula yang barangkali menyulitkan para ahli untuk memberikan
definisi yang tepat tentang agama, namun apapun bentuk kepercayaan yang
dianggap sebagai agama, tampaknya memang memiliki ciri umum yang hamper
sama, baik dalam agama primitive maupun dalam agama monoteisme. Menurut
Robert H. Thouless fakta menunjukkan bahwa agama berpusat pada Tuhan atau
Dewa-Dewa sebagai ukuran yang menentukan yang tak boleh diabaikan
(Psikologi Agam: 14).
Masalah agama tak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat dalam praktiknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain adalah:
1. Berfungsi edukatif: ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan
melarang.
2. Berfungsi penyelamat.
3. Berfungsi sebagai perdamaian
4. Berfungsi sebagai social control.
5. Berfungsi sebagai memupuk solidaritas.
6. Berfungsi transformative.
7. Berfungsi kreatif.
8. Berfungsi sublimatif
Pada dasarnya agama dan keyakinan merupakan unsur penting yang berfungsi
sebagai social control dan perdamaian merupakan unsur terpenting dalam
berbangsa Indonesia hal ini terlihat dengan banyaknya agama yang diakui di
Indonesia.

D. Sikap Toleransi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Dalam


Menghadapi Krisis Sosial.
Nazmudin dalam jurnalnya yang berjudul ”Kerukunan dan Toleransi Antar
Umat Beragama dalam Membangun Keutuhan NKRI” Mengatakan bahwa:
Supaya kerukunan dan toleransi antar umat beragama bisa menjadi alat pemersatu
bangsa, maka kemajemukan harus dikelola dengan baik dan benar, maka
diperlukan cara yang efektif yaitu dialog antar umat beragama untuk

12
permasalahan yang mengganjal antar masing-masing kelompok umat beragama.
Karena mungkin selama ini konflik yang timbul angtar umat beragama terjadi
karena terputusnya jalinan informasi yang benar di antara pemeluk agama dari
satu pihak ke pihak lain sehingga timbul prasangka-prasangka negatif.

Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makana “baik” dan
“damai”. Hakikatya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan
“bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud,
1985:850). Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan”
adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Kerukunan
(dari buku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopangrumah;
penopang yang memberi kedamaian dan kesejahteraan kepada penghuninya)
secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua
orang walaupun mereka berbeda secara suku, agama, dan golongan.

Pada bagian lain, mengenai istilah kerukunan juga bisa bermakna suatu
proses untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan, serta
kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai
serta tentram. Adapun langkah-langkah untuk mencapai seperti itu, memerlukan
proses waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta
cinta-kasih. Kerukunan antarumat beragama bermakna rukun dan damainya
dinamika kehidupan umat beragama dalam segala aspek kehidupan, seperti aspek
ibadah, toleransi, dan kerja sama antar umat beragama (Nazmudin, 2017).

Dalam Islam pun mengajarkan bahwa manusia ditakdirkan Allah sebagai


makhluk sosial yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama
manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja sama dengan orang
lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun
spiritual. Bahkan ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan
tolong menolong (ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa
saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama (Nazmudin, 2017).

13
Dalam konteks ini juga sebagaimana telah dikemukakan oleh Maftuh
Basuni (2008: 79), bahwa kerukunan antar umat beragama merupakan pilar
kerukunan nasional adalah sesuatu yang dinamis, karena itu haus dipelihara terus
dari waktu ke waktu. Kerukunan hidup antar umat beragama sendiri berarti
keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, menghargai kesetaraan dalam pengmalan ajaran agmanya dan kerja
sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dengan demikian, bahwa kerukunan antar umat beragama itu sendiri juga
bisa diartikan dengan toleransi antar umat beragama. Dalam toleransi itu sendiri
pada dasarnya masyarakat harus bersikap lapang dada dan menerima perbedaan
antar umat beragama. Selain itu masyarakat juga harus saling menghormati satu
sama lainnya misalnya dalam hal beribadah, antar pemeluk agama yang satu
dengan lainnya tidak saling mengganggu.

Dalam konteks kepentingan negara dan bangsa, kerukunan umat beragama


merupakan bagian penting dari kerukunan nasional. Kerukunan umat beragama
adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengalaman ajaran
agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena
itu, kerukunan hidup antarumat beragama merupakan prakondisi yang harus
diciptakan bagipembangunan di Indonesia (Mukti Ali, 1975).

Masalah kerukunan hidup antar umat beragama dalam kaitannya dengan


kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia., Pendeta Weinata Sairin
(1996:183) memberikan komentar sebagai berikut: “Kerukunan antarumat
beragam di Indonesia, merupakan satu-satunya pilihan. Tidak ada pilihan lain,
kecuali harus terus mengusahakannya dan mengembangkannya. Sebagai bangsa
kita bertekan untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Kita juga telah bertekad untuk terus

14
membangun masyarakat, bangsa dan negara kita, agar menjadi bangsa yang maju
dan modern tanpa kehilangan kepribadian kita.Dalam konteks itu, agama-agama
mempunyai tempat dan perananyang vital dan menentukan dalam kehidupan kita
bermasyarakat berbangsa dan bernegara”.

Menurut Mukti Ali (1975 : 4), ada beberapa pemikiran untuk mencapai
kerukunan hidup beragama. Pemikiran itu mengemukakan bahwa kerukunan
tersebut dapat dicapai melalui (1) Sinkritisme = semua agama adalah sama, (2)
Reconception = Meninjau kembali agama sendiri dalam menghadapi orang lain,
(3) Sintesa = menciptakan agama baru dari elemen-elemen berbagai agama, (4)
Penggantian = Agama lain diganti dengan agama yang ia peluk, (5) Agree in
Disagreement = Setuju dalam perbedaan.

Jadi, cara Agree in Disagreement-lah yang paling baik untuk mencapaii


kerukunan hidup umat beragama. Menurut cara ini orang harus percaya bahwa
agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik dan benar. Namun harus
diakui bahwa di samping terdapat perbedaan antar agama, banyak pula
persamaannya. Berdasarkan pengertian itulah sikap saling hormat-menghormati
ditimbulkan, serta tidak boleh paksa-memaksa satu sama lain. Dengan dasar
inilah, maka kerukunan dalam kehidupan umat beragama dapat diciptakan.

Terlepas dari seumua hal diatas, untuk menjaga kerukunan hidup antar
umat beragama salah satunya dengan dialog antar umat beragama. Salah satu
prasyarat terwujudnya masyarakat yang modern yang demokratis adalah
terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan (pluarlitas) masyarakat
dan bangsa serta mewujudkannya dalam suatu keniscayaan. Untuk itulah kita
harus saling menjaga kerukunan hidup beragama. Secara historis, banyak terjadi
konflik antar umat beragama pada Era Reformasi, misalnya konflik horizontal di
Poso antar umat Islam dan Kristen, konflik ahmadiyah dengan warga banten.
Begitupun konflik vertikal-horizontal yang dilakukan oleh salah satu pejabat
Cagub DKI Jakarta periode 2017-2022 Basuki Tjahya Purnama (Ahok) yang telah

15
menyinggung tafsir agama lain yaitu agama Islam atau kasus penodaan agama
sehingga mengundang reaksi dari jutaan umat Islam Indonesia yang biasa disebut
dengan aksi Bela Islam 212. Jadi jelasnya, agama di sini terlihat sebagai pemicu
atau sumber dari konflik tersebut. Sangatlah ironis konfik yang terjadi tersebut
padahal suatu agama pada dasarnya mengajarkan kepada para pemeluknya agar
hidup dalam kedamaian, saling tolong menolong dan juga saling menghormati.
Untuk itu marilah kita jaga tali persaudaraan antar sesama umat beragama.

Menurut Muchoyar H.S. (2008), dalam menyikapi perbedaan agama


terkait dengan toleransi antar umat beragama agar dialog antar umat beragama
terwujud maka memerlukan 3 konsep yaitu:

1. Setuju tidak setuju, maksudnya setiap agama memiliki akidah masing-masing


sehingga agama saling bertoleransi dengan perbedaan tersebut.

2. Setuju untuk setuju, konsep ini berarti meyakini semua agama memiliki
kesamaan dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan matabat umatnya.

3. Setuju untuk berebda, maksudnya dalam hal perbedaan disikapi dengan damai
bukan untuk saling menghancurkan.

Oleh karena itu, tema dialog antar umat beragama sebaiknya bukan
mengarah pada masalah peribadatan tetapi lebih baik ke masalah kemanusiaan
seperti moralitas, etika, dan nilai spiritual, supaya efektif dalam dialog antar umat
beragama juga menghindari latar belakang agama dan kehendak untuk
mendominasi pihak lain.

Dengan demikian dalam buku “Materi Sosilalisasi Empat Pilar MPR RI”
Halaman 47 dalam ungkapan sukarno dinyatakan, “ bukan saja bangsa Indonesia
ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan.
Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-
Masih, yang Islam menurut petukjuk Nabi Muhammad SAW. Orang buda
menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah

16
semuanya kita bertuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap
orang-oranya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap
rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni denga tiada ‘Egoisme-
Agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan”. (Pidato
Soekarno 1 juni 1945)

Maka berdasarkan itulah, setiap warga Negara Indonesia dianjurkan untuk


menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan menurut agama dan keyakinannya masing
masing. Terdapat kepercayaan yang positif bahwa meskipun terdapat
bebagaimacam agama dan keyakinan, misi profetis agama-agama memiliki
pertautan etis-religius dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan, yang mendorong warga Negara untuk mengembangkan
nilai-nilai ketuhanan yang lapang dan toleran.

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Melihat
fenomena sosial atau krisis sosial yang ada saat ini. Banyak terjadi kondisi
penyimpangan dimasyarakat, penyimpangan norma sosial, norma agama dan
lain sebagainya. Rasa kepedulian untuk hidup berdampingan bersama dengan
saling menghormati dan mengakui perbedaan masing-masing, sudah
menghilang. Maka akibat yang timbul adalah perpecahan di tubuh masyarakat.
Bahkan yang lebih parah adanya perseteruan antar suku, antar ras hingga antar
agama yang semakin tajam. Itu semua semakin memperburuk kondisi bangsa
ini, yang tentunya sangat merugikan citra kita sebagai bagian dari masyarakat
dunia.
Sikap toleransi antar umat beragama dalam meghadapi krisis sosial
masyarakat Indonesia adalah sebuah formulasi yang tepat untuk dapat
menghadapi kerisis sosial yang terjadi saat ini, kerukunan hidup antar umat
beragama dapat kita bangun dengan dialog antar umat beragama. Yang
merupakan salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat yang modern yang
demokratis untuk dapat terwujudnya masyarakat yang menghargai
kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya dalam
suatu keniscayaan.

B. Saran
Sebaiknya kita sebagai warga Negara Indonesia terlebih sebaga anggota
tau kader HMI maka kita harus memiliki sikap Disagreement yang berarti Setuju
dalam perbedaan. Jadi, sikap Agree in Disagreement-lah yang paling baik untuk
mencapaii kerukunan hidup umat beragama. Menurut cara ini kita harus percaya
bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik dan benar. Namun
harus diakui bahwa di samping terdapat perbedaan antar agama, banyak pula
persamaannya.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Ansari, Muhammad Faiz-Ur-Rahman. Konsepsi Masyarakat Islam


Modern. Bandung: Risalah, 1983.

2. Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung:


Penerbit Mizan, 1997.

3. Prasetyo, Hendro. Munhanif, Ali. dkk, Islam & Civil Society. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002.

4. Sitompul, Agussalim. 44 INDIKATOR KEMUNDURAN HMI. Jakarta: CV


Misaka Galiza, 2005.

5. Srijanti, Purwanto S. K, Wahyudi Pramono, Etika Membangun


Masyarakat Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.

19

Anda mungkin juga menyukai