Anda di halaman 1dari 37

IMPLEMENTASI HAK DAN KEDUDUKAN PENYANDANG

DISABILITAS SEBAGAI KONSUMEN DALAM MENGGUNAKAN


TRANSPORTASI UMUM MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN
1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Latar Belakang Masalah

Ada tiga hal yang membuat sebuah bangsa menjadi besar dan makmur,

yakni tanah yang subur, kerja keras dan kelancaran transportasi orang dan barang

dari satu bagian negara ke negara bagian lainnya. Peranan transportasi amat

sangat penting untuk saling menghubungkan daerah sumber bahan baku, daerah

produksi, daerah pemasaran dan daerah pemukiman sebagai tempat tinggal

konsumen.1

Di negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki tingkat kepadatan

penduduk yang besar, kegiatan perekonomian yang terus berkembang, dan arus

perpindahan orang dan barang yang terus meningkat, pengembangan sarana dan

prasarana transportasi sangat berperan penting sebagai penghubung wilayah untuk

menunjang, mendorong, dan menggerakkan pembangunan nasional guna

meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tanpa adanya transportasi sebagai sarana

penunjang tidak dapat diharapkan tercapainya hasil yang memuaskan dalam usaha

pengembangan ekonomi suatu negara.2

Transportasi sebagai dasar untuk pembangunan ekonomi dan perkembangan

masyarakat serta pertumbuhan industrialisasi. Dengan adanya transportasi

menyebabkan adanya spesialisasi atau pembagian pekerjaan menurut keahlian

sesuai dengan budaya, adat-istiadat, dan budaya suatu bangsa atau daerah.

1
H. M. Nasution, Manajemen  Transportasi, Ghalia Indonesia,Jakarta: 1996, hlm. 11.
2
H. A. Abbas Salim,  Manajemen  Transportasi,PT Raja Grafindo, Jakarta: 1993, hlm, 1.

1
Pertumbuhan ekonomi suatu Negara atau bangsa tergantung pada tersedianya

pengangkutan dalam Negara atau bangsa yang bersangkutan.3

Untuk wilayah perkotaan, transportasi memegang peranan yang cukup

menentukan. Suatu kota yang baik dapat ditandai, antara lain dengan melihat

kondisi transportasinya. Transportasi yang baik, aman, dan lancar selain

mencerminkan keteraturan kota, juga memperlihatkan kelancaran kegiatan

perekonomian kota. Kebutuhan lahan yang sangat luas untuk sistem transportasi

(terutama transportasi darat) ini mempunyai pengaruh besar terhadap pola tata

guna lahan, terutama di daerah perkotaan. Disini masalah lingkungan perlu

diperhatikan. Perubahan tata guna lahan akan berpengaruh terhadap kondisi fisik

tanah (terutama muka air tanah).4

Sebagai pelaku usaha dalam pelayanan publik di bidang jasa transportasi,

beberapa transportasi umum dalam pelayanannya mempunyai tanggung jawab

atas kewajiban untuk menjamin hak-hak dari konsumen yang menggunakan jasa

transportasi mereka. Konsumen sebagai pemakai barang atau jasa, memiliki

sejumlah hak dan kewajiban. Mengetahui tentang hak-hak konsumen sangat

penting agar kita sebagai konsumen dapat bertindak kritis dan mandiri, sehingga

konsumen dapat bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya apabila

telah terjadi pelanggaran hak oleh pelaku usaha.5 Seperti yang tercantum dengan

3
Ibid. hlm. 6.
4
http://soef47.wordpress.com/2009/11/01/pentingnya-peranan-transportasi-perkotaan-dan-
lingkungan/, diakes, tanggal, Kamis, 10 Oktober 2019, pukul 11.30
5
Oktarina, Neneng, Linda Elmis dan Misnar Syam, “Perlindungan Hukum Terhadap
Konsumen Pemakai Pangan Segar di Provinsi Sumatera Barat”, Jurnal Ilmu Hukum Yustisia,
Volume 22 No 2 (Juli – Desember) 2015, hlm 103.

2
jelas pada pasal 4 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen ( Selanjutnya disebut Undang-undang Perlindungan Konsumen) yaitu:

Hak Konsumen adalah :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengna perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentunan peraturan perundang-undangan

lainnya.

3
Pembentukan Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan unutk

memposisikan antara pelaku usaha dengan konsumen dalam posisi yang

seimbang, sehingga terlahirlah pelaku usaha yang tangguh dan kompetitif serta

akan munculnya konsumen yang cerdas dan bermatabat dalam menyongsong

perdagangan bebas.6

Namun apabila diperhatikan justru yang terjadi dalam kenyataannya adalah

bahwa konsumen pengguna bus transportasi umum masih banyak yang belum

menerima pelayanan yang tidak sesuai dengan tujuan semula dibentuknya sistem

transportasi ini. Pelaksanaan sistem transportasi umum kerap mendapat kritikan

dan keluhan tentang pelayanan dari masyarakat yang merupakan konsumen

pengguna transportasi umum tersebut. Belum optimalnya Transportasi umum

memposisikan diri sebagai transportasi umum massal yang aman, nyaman,

terjadwal, handal dan berkelanjutan.

Transportasi umum memberikan beragam pilihan bagi mayarakat. Namun

hal ini akan menimbulkan kebingungan dan rasa khawatir kepada masyarakat.

Pelayanan dan fasilitas yang ditawarkan mungkin saja tidak diimbangi dengan

kualitas layanan kepada penumpang. Kualitas layanan yang belum mencukupi

untuk sebagian konsumen masih bisa dimaklumi. Namun, untuk sebagian

konsumen lainnya membutuhkan fasilitas khusus seperti penyandang cacat, ibu-

ibu hamil, anak-anak dibawah umur, orang sakit serta orang lanjut usia. Hal ini

merupakan masalah yang serius. Apabila tidak ditangani dengan baik atau tidak

6
Darnia, Meriza Elpha, “Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Dalam Penggunaan Alat Ukur,
Takar, Timbangan dan Perlengkapannya (UUTP) di Pasar Tradisional Panam Pekanbaru”, Jurnal
Dinamika & Problematika Hukum, Volume 1, No 1, Desember 2013, hlm 86.

4
tersedianya aksesibilitas yang memadai, tentu hal ini akan menjadi kesalahan yang

fatal bagi penyedia jasa angkutan ini.

Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan

fisik, intelektual, mental dan/ atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam

berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk

berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan

kesamaan hak.7

Disabilitas, difabel, atau keterbatasan diri (Bahasa inggris: Disability)

adalah setiap keterbatasan atas penerunan kemampuan untuk melakukan aktivitas

dengan cara atau dalam batas-batas yang dianggap normal bagi seorang manusia.

Keadaan ini cenderung menimbulkan masalah sosial dalam masyarakat yang

mayoritasnya tidak mengalami kerusakan fungsi tubuh. Misalnya, jika seseorang

pengguna kursi roda harus menghadapi tangga halte angkutan kota yang bukan

diperuntukkan bagi orang pengguna kursi roda.

Penyandang disabilitas juga merupakan sesorang juga memiliki kedudukan

sebagai warga negara. Untuk itu penyandang disabilitas juga berhak untuk

menikmati segala fasilitas yang diberikan oleh negara, seperti transportasi umum.

Peranan transportasi amat sangat penting untuk saling menghubungkan daerah

sumber bahan baku, daerah produksi, daerah pemasaran dan daerah pemukiman

sebagai tempat tinggal konsumen.8 Namun, penyandang disabilitas merupakan

masyarakat yang tidak dapat menggunakan segala fasilitas yang disediakan oleh

negara.

7
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 1 ayat (1) Tentang Penyandang Disabilitas
8
H. M. Nasution, Manajemen  Transportasi, Ghalia Indonesia,Jakarta: 1996, hlm. 11.

5
Melihat dari sisi konsumen, penyandang disabilitas merupakan konsumen

yang dapat menggunakan fitur transportasi umum yang disediakan oleh negara.

Namun penyandang disabilitas membutuhkan fasilitas khusus seperti kursi

prioritas, tangga yang landai dan fitur lainnya sebagaimana yang mereka

butuhkan.

Mengingat konsumen disabilitas merupakan kelompok masyarakat rentan

yang juga harus diberikan perlindungan yang lebih berkenaan dengan

kekhususannya sebagaimana yang dijelaskan berdasarkan Pasal 5 Ayat (3)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang

menyatakan bahwa “setiap orang yang termasuk dalam kelompok masyarakat

rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan yang lebih berkenaan

dengan kekhususannya.”

Perlindungan kepada konsumen disabilitas perlu diberikan dengan adanya

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum terkait hak-hak konsumen

disabilitas. Hak konsumen disabilitas terdapat pada Pasal 4 Huruf (g) Undang-

undang Perlindungan Konsumen yaitu “Hak untuk diperlakukan atau dilayani

secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif” dan pada huruf (i) yaitu “hak-hak

yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”.

Untuk memenuhi Hak Penyandang Disabilitas, pemerintah mengeluarkan

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 27 Tahun 2015

tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 10 Tahun

2012 Tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan

(Selanjutnya disebut Peraturan Menteri Perhubungan Tentang Standar Pelayanan

6
Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan) yang mengatur standar pelayanan

minimal angkutan jalan seperti pada pasal 3 ayat (4) yang berbunyi:

Jenis Pelayanan meliputi :


a. Keamanan;
b. Keselamatan;
c. Kenyamanan;
d. Keterjangkauan;
e. Kesetaraan; dan
f. Keteraturan.

Namun dalam prakteknya, masih banyak hak-hak konsumen disabilitas yang

belum terpenuhi. Seperti hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan

jujur serta tidak diskriminatif. Pada Undang-undang Dasar 1945 dalam Pasal 28

huruf (I) Ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari

perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Oleh sebab itu,

untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama maka pemerintah

memberikan hak untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 Huruf (H) Ayat (2) Undang-undang

Dasar 1945 yang berbunyi bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan

perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna

mencapai persamaan dan keadilan”.

Kesamaan kesempatan, khususnya untuk penyandang disabilitas diatur dalam

Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas yang berbunyi “Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang

memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas

untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan

7
masyarakat”, Pasal 1 Ayat (8) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang

Penyandang Disabilitas yang berbunyi “Aksesibilitas adalah kemudahan yang

disediakan untuk Penyandang Disabilitas guna mewujudkan Kesamaan

Kesempatan”.

Namun berdasarkan pengamatan di lapangan, Aksesibilitas yang

diperuntukan bagi konsumen penyandang disabilitas pada angkutan umum di

Indonesia masih banyak yang belum terpenuhi. pada Pasal 242 Ayat (1) Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang

menyatakan bahwa “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan

Transportasi umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak,

wanita hamil, dan orang sakit.

Pada Pasal 8 Peraturan Menteri Perhubungan Tentang Standar Pelayanan

Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan menjelaskan tentang kriteria

transportasi umum yang ramah untuk penyandang disabilitas yaitu:

(1) Kesataraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (4) huruf e


merupakan standar minimal yang ayat (4) huruf e merupakan standar minimal
yang harus dipenuhi untuk memberikan perlakuan khusus berupa aksesibilitas,
prioritas pelayanan, dan fasilitas pelayanan bagi Pengguna Jasa penyandang cacat,
manusia usia lanjut, anak-anak, dan wanita hamil;
(2) Kesataraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Kursi prioritas;
b. Ruang khusus untuk kursi roda; dan
c. Kemiringan lantai dan tekstur khusus.

Angkutan Massal berbasis jalan harus memiliki kursi prioritas, yang mana

merupakan tempat duduk bagi penyandang disabilitas, usia lanjut, anak-anak dan

wanita hamil, kemudian memiliki ruang khusus untuk kursi roda pada halte dan

8
bus yang mana diperuntukkan bagi pengguna jasa yang menggunakan kursi roda,

dan angkutan massal harus memiliki kemiringan lantai dan tekstur khusus sebagai

fasilitas akses menuju halte agar memudahkan pengguna jasa yang menggunakan

kursi roda, penyandang cacat, manusia usia lanjut, dan wanita hamil.

Pelayanan yang diberikan oleh transportasi umum di Indonesia dapat

dikatakan masih belum maksimal. Hal Ini menyebabkan akses bagi Penyandang

Disabilitas dalam menggunakan transportasi umum menjadi terkendala karena

fasilitas khusus yang dibutuhkan Penyandang Disabilitas tidak terdapat pada

dibeberapa unit transportasi umum seperti yang dijelaskan pada Pasal 8 Peraturan

Menteri Perhubungan Tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Massal

Berbasis Jalan.

Melihat pada Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999,

undang-undang tersebut hanya membahas secara universal tentang hak dan

kewajiban konsumen dan produsen. Sehingga menimbulkan multi tafsir tentang

perlindungan konsumen penyandang disabilitas karena tidak dapat terlihat secara

jelas bagaimana hak dan kedudukan dari penyandang disabilitas sebagai

konsumen dalam menggunakan transportasi umum yang telah disediakan. Untuk

beberapa fitur yang belum tersedia dari beberapa transportasi umum seperti jalur

kursi roda, kursi prioritas dan juga beberapa fitur lainnya yang sangat dibutuhkan

oleh penyandang disabilitas agar dapat menggunakan sepenuhnya transportasi

umum.

Pemerintah diharapkan dapat mengatasi permasalahan perlindungan

Penyandang Disabilitas yang ada dan sedang terjadi saat ini agar konsumen

9
penyandang Disabilitas dapat menggunakan transportasi umum sebagaimana

dengan haknya. Pemerintah disarankan untuk segera melakukan pembenahan,

pemerataan dan peningkatan fasilitas transportasi umum untuk Konsumen

Penyandang Disabilitas. Dengan begitu, penyandang disabilitas mendapatkan hak

dan kedudukannya sebagai penyandang disabilitas dan sebagai konsumen.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari yang telah penulis paparkan dilatar belakang yang

menggambarkan Implementasi saat ini pada hak dan kedudukan Penyandang

Disabilitas Sebagai Konsumen dalam Menggunakan Transportasi Umum Menurut

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, maka

rumusan masalahnya yaitu:

1. Bagaimana Implementasi hak dan kedudukan penyandang disabilitas

sebagai konsumen dalam menggunakan transportasi umum menurut

undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

2. Bagaimana pengaturan peraturan yang seharusnya dalam pemenuhan hak

dan kedudukan penyandang disabilitas sebagai konsumen dalam

menggunakan transportasi umum menurut undang-undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

a) Untuk mengetahui pelaksanaan hak dan kedudukan penyandang

disabilitas sebagai konsumen dalam menggunakan transportasi umum

10
menurut undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

b) Untuk mengetahui pengaturan peraturan yang seharusnya dalam

pemenuhan hak dan kedudukan penyandang disabilitas sebagai

konsumen dalam menggunakan transportasi umum menurut undang-

undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Manfaat Penulisan

a) Bagi penulis, penulisan ini sangat bermanfaat dan berguna untuk

menambah dan memperluas pengetahuan serta wawasan, baik secara

teoritis maupun secara praktek mengenai tinjauan yuridis mengenai hak

dan kedudukan penyandang disabilitas sebagai konsumen dalam

menggunakan transportasi umum menurut Undang-undang No. 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

b) Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada pembaca yang ingin

mengetahui hak dan kedudukan penyandang disabilitas sebagai

konsumen dalam menggunakan transportasi umum menurut Undang-

undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

D. Kerangka Teori

Kerangka Teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam

membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.

Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,

teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.9

9
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung: 1994, hlm. 80

11
Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori

sebagai landasan untuk menguatkan titik permasalahan yang akan diteliti, yaitu

sebagai berikut:

1. Perlindungan Konsumen

Konsumen sebagai peng-indonesia-an dari istilah asing, inggris

consumer, dan belada consument, secara harfiah diartikan sebagai “orang atau

perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”.

Atau “sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau

sejumlah barang”. Ada juga yang mengartikan “setiap orang yang

menggunakan barang atau jasa”. Dari pengertian di atas terlihat bahwa ada

pembedaan antara konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan

konsumen sebagai perusahaan atau badan hukum. Pembedaan ini penting

untuk membedakan apakah konsumen tersebut untuk dirinya sendiri atau

untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi lagi).

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen mendifinisikan konsumen sebagai “setiap orang pemakai barang

dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

keluarga, orang lain maupun makhuk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan.”10

Untuk dapat menjamin suatu penyelenggaraan perlindungan konsumen,

maka pemerintah menuangkan Perlindungan Konsumen dalam suatu produk

hukum. Hal ini penting karena hanya hukum yang memiliki kekuatan untuk

memaksa pelaku usaha untuk menaatinya, dan juga hukum memiliki sanksi
10
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

12
yang tegas. Mengingat dampak penting yang dapat ditimbulkan akibat

tindakan pelaku usaha yang sewenang-wenang dan hanya mengutamakan

keuntungan dari bisnisnya sendiri, maka pemerintah memiliki kewajiban

untuk melindungi konsumen yang posisinya memang lemah.11

Pada Undang-undang Perlindungan Konsumen, dijelaskan bahwa

tujuan Perlindungan Konsumen yaitu :12

1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Kemudian, hak yang dimiliki konsumen adalah :13


11
Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
12
Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
13
Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen

13
1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

8) Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya.

Didalam perlindungan konsumen, disebutkan bahwa konsumen

mendapatkan hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif.14 Sebagai konsumen, penyandang disabilitas memerlukan

14
Pasal 1 Huruf (g) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

14
suatu pelayanan khusus dalam rangka memenuhi hak penyandang disabilitas

sebagai seorang konsumen. Ini bertujuan untuk memenuhi hak penyandang

disabilitas agar diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, dan tanpa

adanya suatu tindakan diskriminatif.

Dengan adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen beserta

perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang,

dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah

dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.15

2. Teori Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia (Fundamental rights) diartikan sebagai hak-hak yang

bersifat mendasar dan inheren dengan jati diri manusia secara universal. 16

Menurut Prof. Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik, hak

asasi manusia adalah “Hak yang sangat mendasar atau asasi sifatnya, yang

mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, cita-

cita serta martabatnya. Hak ini juga dianggap universal, artinya dimiliki semua

manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau gender.”17

Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia. Disebutkan bahwa:

“Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan

15
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta: 2008, hlm. 5
16
Tom Campbel. 2001. Human Rights and the Partial Eclipse of Justice. London: Kluwer
Academi Publisher. hal. 63.
17
Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal.
212

15
dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, terdapat sepuluh materi muatan mengenai hak asasi manusia setiap

warga negara yang diakui dan dijunjung tinggi tanpa adanya diskriminasi

didasarkan pada perbedaan atas dasar agama, ras, suku, etnik, kelompok,

golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan

politik seseorang. Materi tersebut adalah hak untuk hidup, hak berkeluarga dan

melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan,

hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak

turut serta dalam pemerintahan, hak wanita dan hak anak.

Dalam pemenuhan hak Penyandang Disabilitas, hak asasi manusia

berperan sebagai dasar dalam pemenuhan hak agar Penyandang Disabilitas

dapat memiliki kelangsungan hidup sebagaimana ia memperoleh hak yang

seharusnya, seperti hak memperoleh keadilan, hak aras kebebeasan pribadi, hak

atas rasa aman, dan hak atas kesejahteraan.

3. Teori Keadilan

Keadilan adalah tujuan hukum yang paling dicari dan paling utama

dalam setiap system didunia. Setiap peraturan perundang-undangan yang

dibentuk bertujuan untuk mencapai keadilan. 18 Keadilan mensyaratkan aturan-

aturan yang ditetapkan menjadi kebaikan masyarakat demi menjamin

pemenuhan kewajiban-kewajiban tertentu yang keras serta melindungi hak-hak

18
Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan (Terjemahan Six Theories of Justice), Nusamedia,
Bandung: 1986,hlm. 2.

16
individu, dan keadilan bergantung sepenuhnya pada kemanfaatan sosial

sebagai fondasinya.19

John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang

berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu,

pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang

paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu

mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat

memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi

setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak

beruntung.20

Bahkan Susanto membahas sesuatu yang tidak biasa dalam memaknai

keadilan, yang terkait dengan substansi yang ada di dalamnya. Keadilan akan

dibenturkan dengan keraguan dan ketidakadilan, bahwa sesungguhnya keadilan

tidak akan berdaya tanpa ketidakadilan dan keraguan. 21 Membahas konsep

keadilan, menurutnya, yang kemudian akan dibenturkan dengan ketidakadilan

dan keraguan, akan memasuki medan wilayah non sistematik, atau anti

sistematik, bahkan hampir bersifat aphoristic, karena membicarakan keadilan,

ketidakadilan, keraguan kita berdiri pada wilayah yang labil, goyah atau cair

(melee). Oleh karena itulah, keadilan (hukum) dianggap plural dan plastik.22

19
Ibid. hlm. 24.
20
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Hlm.
33.
21
Anthon F. Susanto, “Keraguan dan Ketidakadilan Hukum (Sebuah Pembacaan
Dekonstruktif)”, Jurnal Keadilan Sosial, Edisi 1 Tahun 2010, hlm. 23.
22
Erlyn Indarti, “Demokrasi dan Kekerasan: Sebuah Tinjau- an Filsafat Hukum”, Aequitas
Juris, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Fakultas Hukum
Universitas Katolik Widya Mandira, Vol. 2 (1), 2008, hlm.33

17
Dalam penegakan keadilan, dilalukan penerapan prinsip kesataraan

melalui kebijakan afirmatif hukum yaitu kebijakan yang bertujuan agar

kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang

yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Bisa

juga diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok

tertentu. Dalam konteks pemenuhan hak penyandang disabilitas, tindakan

afirmatif dilakukan untuk mendorong penyandang disabilitas dapat memiliki

hak yang sesuai sebagaimana masyarakat normal lainnya.

E. Kerangka Konseptual

Kerangka Konseptual berisikan batasan-batasan tentang terminologi yang

terdapat dalam judul dan ruang lingkup penelitian/menjelaskan atau memberikan

pemahaman istilah-istilah dalam judul penelitian.23

Penafsiran terhadap judul penelitian ini harus jelas agar tidak timbul salah

penafsiran bagi pembaca serta sebagai pijakan penulis memberikan definisi-

definisi atau batasan-batasan terhadap istilah-istilah yang digunakan yakni sebagai

berikut:

1. Implementasi adalah suatu proses untuk melaksanakan kebijakan menjadi

tindakan kebijakan dari politik ke dalam administrasi. Pengembangan

kebijakan dalam rangka penyempurnaan suatu program.24

2. Hak adalah segala sesuatu yang harus di dapatkan oleh setiap orang yang telah

ada sejak lahir bahkan sebelum lahir. Di dalam Kamus Bahasa Indonesia hak

memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan,


23
Fakultas Hukum Universitas Riau, Pedoman Penulisan Skripsi, Pekanbaru: 2015, hlm. 14
24
https://www.maxmanroe.com/vid/manajemen/arti-implementasi.html diakes, tanggal, Rabu,
9 Oktober 2019, pukul 14.38

18
kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh

undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk

menuntut sesuatu, derajat atau martabat. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu

yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan).25

3. Kedudukan adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial,

sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang dalam lingkungan

pergaulannya, serta hak-hak dan kewajibannya.

4. Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,

intelektual, mental dan/ atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam

berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan

untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya

berdasarkan kesamaan hak. 26

5. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersediadalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang

lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.27

6. Transportasi Umum adalah layanan angkutan penumpang oleh sistem

perjalanan kelompok yang tersedia untuk digunakan oleh masyarakat umum,

biasanya dikelola sesuai jadwal, dioperasikan pada rute yang ditetapkan, dan

dikenakan biaya untuk setiap perjalanan.28

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

25
https://id.wikipedia.org/wiki/Hak diakes, tanggal, Kamis, 10 Oktober 2019, pukul 12.34
26
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 1 ayat (1) Tentang Penyandang Disabilitas
27
Ibid., Pasal 1 ayat (2)
28
https://id.wikipedia.org/wiki/Transportasi_umum diakes, tanggal, Kamis, 10 Oktober
2019, pukul 12.34

19
Jenis penelitian atau pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian

hukum doktrinal. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum

kepustakaan.29 Pada penelitian hukum jenis ini hukum dikonsepkan sebagai

apa yang tertulis dalam perturan perundang-undangan (law in books).30 Dalam

penelitian hukum normatif ini penulis melakukan penelitian terhadap asas-asas

hukum. Penelitian terhadap asas-asas hukum yaitu penelitian yang dilakukan

terhadap kaidah-kaidah hukum yang merupakan patokan-patokan berprilaku

atau bersikap pantas atau tidak pantas dengan memanfaatkan metode

deskriptif.31

2. Sumber Data

Dalam penelitian normatif, sumber datanya adalah data sekunder. Data

sekunder dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.yang

diperoleh dari penelitian kepustakaan antara lain berasal dari undang-

undang antara lain Kitab Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen, Undang-undang nomor nomor 8 Tahun 2016

Tentang Penyandang Disabilitas, Peraturan Menteri Perhubungan


29
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 23.
30
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,
2012, hlm. 118.
31
Zainuddin Ali, Op.cit, hlm. 25.

20
Republik Indonesia Nomor PM 27 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 10 Tahun 2012 Tentang

Standar Pelayanan Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang,

hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.32 Bahan Hukum

Sekunder adalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, terdiri atas:

1) Buku-buku yang membicarakan suatu dan/atau beberapa

permasalahan hukum, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum.

2) Kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar

hukum dari para ahli.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti kamus (hukum), ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpul Data

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan dengan cara: Studi kepustakaan

yaitu merupakan informasi yang diperoleh dari buku-buku, perundang-


32
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta: 2004, hlm. 32.

21
undangan, dan pendapat-pendapat para ahli yang ada kaitannya dengan pokok-

pokok permasalahan penelitian tersebut.

4. Analisis Data

Dari pengolahan data tersebut dilakukan analisis berupa data kualitatif yang

mana merupakan uraian-uraian yang dilakukan terhadap data-data yang

terkumpul dan karena tidak berbentuk angka-angka yang akan disusun secara

logis dan sistematis dan tanpa menggunakan rumus statistik. Penulis menarik

suatu kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang

bersifat umum kepada bersifat khusus, dimana kedua fakta tersebut dijembatani

oleh teori-teori.33

33
Aslim Rasyat, Metode Ilmiah : Persiapan Bagi Peneliti, Universitas Riau Press, Pekanbaru,
2005, hlm. 20.

22
G. Pembahasan

1. Implementasi Hak dan Kedudukan Penyandang Disabilitas sebagai

Konsumen dalam Menggunakan Transportasi Umum.

Sebagai Konsumen, Penyandang Disabilitas perlu di perhatikan

pelaksanaan dan pelayanan dalam penggunaan Transportasi umum. Undang-

Undang Perlindungan Konsumen telah merumuskan bagaimana hak seorang

konsumen. Dalam Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen diatur

mengenai hak konsumen. Hak konsumen yaitu :

1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

4. hak untuk didengan pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

23
8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Penyandang Disabilitas merupakan masyarakat rentan yang memiliki

keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan sehingga menyebabkan

adanya hambatan dan kesulitan untuk berpatisipasi dalam lingkungan. Untuk

itu dibutuhkan suatu aturan yang mengatur bagaimana hak pada Penyandang

Disabilitas. Ini telah diatur pada Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 8

Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa

Penyandang Disabilitas memiliki hak:

a. Hidup;
b. Bebas dari Stigma;
c. Privasi;
d. Keadilan dan Perlindungan Hukum;
e. Pendidikan;
f. Pekerjaan, kewirausahaan. Dan koperasi;
g. Kesehatan;
h. Politik;
i. Keagamaan;
j. Keolahragaan;
k. Kebudayaan dan pariwisata;
l. Kesejahteraan sosial;
m. Aksesibilitas;
n. Pelayanan Publik;
o. Perlindungan dari bencana;
p. Habilitasi dan rehabilitasi;
q. Konsesi;
r. Pendataan;
s. Hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat;
t. Berekspersi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi;
u. Berpindah tempat dan kewarganegaraan; dan

24
v. Bebas dari tindakan Diskriminasi, Penelantaran, penyiksaan,
eksploitasi.

Untuk melaksanakan Perlindungan Konsumen pada Penyandang

Disabilitas, dilakukan melalui analisa pada hak Penyandang Disabilitas. Hak

Konsumen Penyandang Disabilitas dapat dilihat pada hak Penyandang

Disabilitas yang berkaitan dalam pemenuhan pada Transportasi Umum. Ini

dapat dilihat pada hak Aksesibilitas dan hak Pelayanan Publik. Pada Pasal 18

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas

menyatakan bahwa “ Hak Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas

meliputi hak a). Mendapatkan Aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas

publik; dan b). Mendapatkan Akomodasi yang layak sebagai bentuk

Aksesibilitas bagi Individu.”. Untuk Pelayanan Publik, diatur pada Pasal 19

huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas yang menyatakan bahwa “Memperoleh Akomodasi yang Layak

dalam Pelayanan Publik secara optimal, wajar, bermartabat tanpa

Diskriminasi”.

Dalam pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas, dibutuhkan Hak

Konsumen untuk mendukung pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas ini,

dikarenakan Penyandang Disabilitas yang memiliki keterbatasan dalam

melaksanakan haknya. Hak-hak ini didukung melalui Pasal 4 huruf (a)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

yaitu “Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa” dan juga pada pasal 4 huruf (g) yaitu

25
“Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif”.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mengatur secara

khusus bentuk perlindungan yang diberikan kepada Penyandang Disabilitas

sebagai konsumen. Namun, mengingat konsumen disabilitas merupakan

konsumen yang rentan terhadap perlakuan diskriminatif. Untuk mendapatkan

kesetaraan dan kesamaan pada haknya sebagai konsumen, maka dibutuhkan

suatu kebijakan Affirmatif atau Affirmative Action berupa pelayanan dan

fasilitas khusus berdasarkan kekhususannya sebagaimana yang dijelaskan

dalam Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, yang mana menyatakan “Setiap orang yang termasuk

kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan

perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”.

Pelaksanaan Affirmative Action ini berdasarkan pada Pasal 28 H Ayat

(2) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan

bahwa “setiap orang berhak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan

khusus untuk memperoleh dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan

dan keadilan”.

Dalam pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas sebagai konsumen,

dilaksanakan melalui Affirmative Action yang telah disebutkan pada Pada

Pasal 8 Peraturan Menteri Perhubungan Tentang Standar Pelayanan Minimal

Angkutan Massal Berbasis Jalan menjelaskan tentang kriteria angkutan

umum yang ramah untuk penyandang disabilitas yaitu:

26
(1) Kesataraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (4) huruf e
merupakan standar minimal yang ayat (4) huruf e merupakan standar
minimal yang harus dipenuhi untuk memberikan perlakuan khusus
berupa aksesibilitas, prioritas pelayanan, dan fasilitas pelayanan bagi
Pengguna Jasa penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, dan
wanita hamil;
(2) Kesataraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Kursi prioritas;
b. Ruang khusus untuk kursi roda; dan
c. Kemiringan lantai dan tekstur khusus

Masyarakat internasional pada dasarnya telah memberikan

pengakuan terhadap perlindungan dan pemenuhan HAM terhadap

penyandang disabilitas atau penyandang cacat. Tidak saja dalam bentuk

deklarasi, perlindungan hak-hak penyandang cacat juga ditetapkan dalam

berbagai konvensi yang mengikat secara hukum. Penyandang cacat

memperoleh perlakuan khusus dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dari

kerentanan terhadap berbagai pelanggaran HAM.34 Kecacatan tidak menjadi

alasan untuk mengibiri atau mengeliminasi mereka dalam memperoleh hak

hidup dan hak mempertahankan kehidupan. Ketentuan Pasal 28A Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi landasan

konstitusional bagi perlindungan hak-hak penyandang cacat.35

Pengakuan mendasar juga terlihat dari konsideran dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menjelaskan, secara

nasional menegaskan penyandang cacat merupakan bagian masyarakat

Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang

sama. Jumlah penyandang cacat semakin bertambah, wujud eksistensi

34
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum
Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: 2009, Hlm. 275
35
Ibid. Hlm.276.

27
terhadap mereka membutuhkan perlindungan yang lebih konkret dan

antisipatif.36 Permasalahan penyandang cacat, menurut Eva Rahmi Kasim,

haruslah dilihat sebagai sesuatu yang universal dan menyeluruh. Universal

dan menyeluruh dalam pengertian bahwa kecacatan merupakan kondisi yang

wajar dalam setiap masyarakat, karena itu pembuat kebijakan seharusnya juga

memandang bahwa kebutuhan penyandang cacat adalah sama seperti warga

negara lainnya dengan mengintegrasikan penyandang cacat dalam semua

kebijakan yang menyangkut segala aspek hidup dan penghidupan.37

Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengumumkan tujuh

perjanjian hak asasi manusia yang dapat ditegakkan secara hukum. Masing-

masing undang-undang tegas ini secara implisit melindungi orang-orang

penyandang cacat, namun dengan tingkat yang berbeda-beda. Untuk meminta

perlindungan ini, orang-orang cacat harus termasuk dalam ketentuan

universal atau memiliki karakteristik yang dilindungi secara terpisah

disamping kecacatannya. Sampai saat ini, tidak ada perjanjian hak asasi

manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa yang secara tegas berlaku untuk

individu berdasarkan karakteristik yang terkait dengan kecacatan.38

Pemberian pelayanan-pelayanan khusus bagi penyandang cacat

atau penyandang disabilitas harus dipahami sebagai salah satu bentuk

pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM. Kecacatan

melambangkan adanya realitas kehidupan yang majemuk, dimana perlu pula

36
Ibid. hlm 277
37
Ibid. hlm 286
38
Michael Ashley Stein, California Law Review, Disability Human Rights, 95 Cal. L. Rev.
75, February, 2007

28
adanya perlindungan khusus sebagai wujud kewajiban kemanusiaan yang

universal, yaitu empat nilai utama HAM, kemartabatan, otonomi, persamaan

dan solidaritas kemanusiaan.39 Upaya perlindungan hak-hak penyandang

cacat merupakan upaya perlindungan bagi HAM universal. Sebagai kelompok

yang rentan terhadap pelanggaran HAM, maka eksistensi dan masa depan

penyandang cacat harus dilihat sebagai bagian dari realitas kehidupan

manusia universal. Perlindungan dan pemenuhan HAM pada intinya adalah

perlindungan hak-hak kelompok rentan, termasuk di dalamnya hak-hak

penyandang cacat.40

Selain telah tercantum dalam Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga telah memberikan jaminan,

pengakuan, serta perlindungan terhadap hak, kedudukan dan perlakuan tanpa

diskriminatif kepada setiap warga negara termasuk bagi penyandang

disabilitas. Pasal 5 ayat (3) menyatakan bahwa, “Setiap orang yang termasuk

kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan

perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.” Dalam Penjelasan

Pasal 5 ayat (3) menjelaskan yang dimaksud dengan “kelompok masyarakat

yang rentan” antara lain adalah orang yang lanjut usia, anak-anak, fakir

miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Penjelesan pasal tersebut sudah

jelas bahwa penyandang disaibilitas atau penyandang cacat memiliki hak

untuk mendapat perlindungan yang khusus.


39
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum
Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: 2009, Hlm. 288
40
Ibid. hlm 289

29
John Rawls mengkonsepkan keadilan sebagai fairness, yang

mengandung asas-asas, bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang

berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya

memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu

merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki

perhimpunan yang mereka kehendaki.41

Tujuan teori keadilan menurut John Rawls adalah untuk

mengartikulasikan sederet prinsip-prinsip umum keadilan yang mendasari dan

menerangkan berbagai keputusan moral yang sungguh-sungguh

dipertimbangkan dalam keadaan khusus.42

2. Pengaturan yang seharusnya dalam memenuhi Hak dan Kedudukan

Penyandang Disabilitas sebagai Konsumen dalam Menggunakan

Transportasi Umum.

Sebagai bentuk dari pelayanan publik, transportasi umum tentu harus

melaksanakan kewajibannya sesuai dengan peraturan Standar Pelayanan

Minimal Angkutan Massal dan Perlindungan Konsumen. Hak-hak Konsumen

sebagaimana yang tercantum pada Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen menjadi acuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen

agar hak-hak konsumen terpenuhi.

Melihat pada beberapa Konsumen yang rentan seperti Penyandang

Disabilitas, maka dibutuhkan juga acuan dari Undang-undang Hak Asasi

41
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Bekeadilan, Buku Kompas, Jakarta: 2007,
Hlm. 99.
42
Anil Dawan, “Teori Keadilan Menurut John Rawls dan Implementasinya Bagi Perwujudan
Keadilan Sosial di Indonesia”, Jurnal Keadilan Sosial, Universitas Sumatera Utara, Edisi I, No. 1
April 2004, Hlm. 2

30
Manusia dan Undang-undang tentang Penyandang Disabilitas. Oleh karena itu,

hak-hak konsumen terutama Penyandang Disabilitas sebagai konsumen

tidaklah terbatas hanya pada Undang-undang Perlindungan Konsumen namun

juga mengacu pada Undang-Undang Penyandang Disabilitas.

Pada Pasal 242 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa “ Pemerintah,

Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum Wajib memberikan

perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kepada

penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil dan orang

sakit. Namun, Apabila angkutan Jalan tidak memberikan fasilitas khusus dan

kemudahan bagi konsumen Penyandang Disabilitas, dapat dikenakan sanksi

sebagaimana pada Pasal 244 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu “ Perusahaan Angkutan Umum

yang tidak memenuhi kewajiban menyediakan sarana dan prasarana pelayanan

kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan

orang sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (1) dapat dikenai

sanksi administrative berupa : a). Peringatan Tertulis; b). Denda Administratif,

c). Pembekuan Izin; dan/atau d) pencabutan izin.

Peraturan diatas jelas mewajibkan angkutan jalan untuk memberikan

fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang disabilitas. Angkutan jalan

yang tidak menyediakan fasilitas tersebut, dapat dikenakan sanksi dan ditindak

dengan hukum.

31
Saat ini ada kewajiban-kewajiban dari transportasi umum yang menjadi

hak dari Konsumen Penyandang Disabilitas belum terlaksana sebagaimana

mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Dengan kata

lain, Transportasi Umum saat ini masih banyak yang lalai dalam memenuhi

kewajibannya, terutama menyangkut hak-hak konsumen disabilitas.

Dengan tidak terpenuhinya fasilitas khusus bagi Penyandang

Disabilitas, menyebabkan adanya suatu bentuk diskriminasi yang membuat

Konsumen Penyandang Disabilitas menjadi tersudut dan merasa adanya suatu

diskriminasi. Penyandang Disabilitas harusnya memiliki kedudukan, hak,

kewajiban dan peran yang sama dalam pengguna pelayanan publik. Apabila

tidak terpenuhinya hak Penyandang Disabilitas yaitu hak Aksesibilitas dan hak

Pelayanan Publik, maka akan menimbulkan adanya kemungkinan terjadinya

pelanggaran Hak Asasi Manusia. Ini dikarenakan Penyandang Disabilitas

merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap Pelanggaran Hak Asasi

Manusia yaitu tidak terpenuhnya Hak Penyandang Disabilitas sebagaimana

masyarakat lainnya. Untuk itu seharusnya hak Penyandang Disabilitas ini

terpenuhi karena perlindungan dan pemenuhan hak mereka merupakan bentuk

perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia.

Hak Asasi Manusia lahir Bersama dengan manusia. Artinya hak Asasi

Manusia timbul sejak adanya manusia.43 Setiap kelompok masyarakat rentan

harus diberikan kemudahan dengan cara memberikan pelayanan sesuai

kekhususannya. Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 5 Ayat (3) Undang-

43
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta: 2011, hlm. 148.

32
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan

bahwa “setiap orang yang termasuk dalam kelompok masyarakat rentan berhak

memperoleh perlakuan dan perlindungan yang lebih berkenaan dengan

kekhususannya.”. Oleh karena itu pemberlakuan dan penyediaan fasilitas

khusus untuk Penyandang Disabilitas ini harusnya dapat terlaksana dengan

sepenuhnya.

Ketidakterlaksananya fasilitas Khusus ini menyebabkan ketidakadilan

bagi Penyandang Disabilitas. Pasal 4 huruf (g) Undang- undang Perlindungan

Konsumen menyatakan bahwa setiap konsumen memiliki hak untuk

diperlakukan atau dilayanani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

Seperti yang dikonsepkan oleh John Rawls, bahwa sebagai fairness, yang

mengandung asas-asas, bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang

berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya

memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu

merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki

perhimpunan yang mereka kehendaki.44 Oleh karena itu kedudukan

Penyandang Disabilitas haruslah berada pada posisi yang sama dengan

masyarakat normal lainnya. Penyandang Disabilitas diposisikan dengan

kesamarataan dalam pelaksanaan pemenuhan haknya. Pembentukan keadilan

ini dapat dilaksanakan dengan pemberian suatu perlakuan khusus kepada

Penyandang Disabilitas. Disinilah kebijakan afirmatif bertindak yaitu melalui

pemberian hak, kewajiban, dan pelayanan khusus bagi kaum Penyandang

44
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Bekeadilan, Buku Kompas, Jakarta: 2007,
Hlm. 99.

33
Disabilitas. Penyandang Disabilitas dapat menikmati jasa Transportasi Umum

dengan adanya suatu pelayanan dan fasilitas khusus yang seharusnya terdapat

pada setiap bentuk pelayanan pada Transportasi Umum.

Pada Dasarnya Penyandang Disabilitas merupakan pihak yang sangat

rentan dalam pelaksanaan pemenuhaan hak yang harusnya ia peroleh. Karena

perbedaan fisik maupun mental yang menyebabkan kesulitan dalam

berkehidupan seperti masyarakat normal lainnya. Untuk itu pelayanan khusus

bagi Konsumen Penyandang Disabilitas sangatlah dibutuhkan dalam pengguna

Transportasi Umum.

H. Kesimpulan

1. Pelaksanaan Hak Dan Kedudukan Penyandang Disabilitas Sebagai

Konsumen Dalam Menggunakan Transportasi Umum saat ini masih

rendah. Mengingat kurang maksimalnya pemenuhan hak-hak sebagaimana

yang telah diatur pada Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen dan Undang-undang No.8 Tahun 2016 Tentang

Penyandang Disabilitas yang seharusnya dimiliki oleh konsumen

Penyandang Disabilitas seperti penyediaan fasilitas-fasilitas khusus yang

ditujukan untuk mempermudah konsumen Penyandang Disabilitas.

2. Pengaturan Hak Dan Kedudukan Penyandang Disabilitas Sebagai

Konsumen Dalam Menggunakan Transportasi Umum saat ini masih belum

dapat terlaksana dengan baik. Pada pelaksanaannya, masih banyak

Transportasi Umum yang belum dapat memberikan fasilitas yang sangat

mendukung penuh untuk konsumen Penyandang Disabilitas sebagaimana

34
yang di atur Pada Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor PM 27 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor PM 10 Tahun 2012 Tentang Standar Pelayanan

Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan. Salah satunya yaitu masih

belum terdapatnya pemberian kemiringan lantai dan tekstur khusus, ruang

khusus bagi kursi roda, dan kursi prioritas yang diperuntukan bagi

Penyandang Disabilitas.

I. Saran

1. Transportasi Umum dalam pelayanan publik seharusnya dapat

mengimplementasikan atruan hukum perlindungan Konsumen yaitu

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen dan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor PM 27 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor PM 10 Tahun 2012 Tentang Standar Pelayanan

Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan yang berperan sebagai

standar pelaksanaan dalam pemberian pelayanan. Mengingat

Penyandang Disabilitas juga termasuk sebagai konsumen, seharusnya

dapat dilaksanakan hak yang seharusnya diterima oleh Penyandang

Disabilitas sehingga tidak ada terjadi lagi diskriminasi terhadap

Penyandang Disabilitas dan mendapatkan kedudukan yang setara

sebagaimana masyarakat lainnya . Sehingga dapat memberikan

perlindungan yang maksimal kepada Penyandang Disabilitas

berdasarkan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen dan juga

35
Undang-undang Tentang Penyandang Disabilitas. Hal ini dapat diawali

dengan meningkatkan kesadaran dan kepedulian dalam meningkatkan

pemahaman dan kesadaran terhadap hak-hak Penyandang Disabilitas

sebagai konsumen.

2. Seharusnya, didalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen dijelaskan bagaimana pengaturan hak dan

kedudukan Penyandang Disabilitas sebagai Konsumen. Hal ini

dikarekan bahwa Penyandang Disabilitas merupakan masyarakat yang

berkebutuhan khusus sehingga memiliki keterbatasan dalam

menggunakan haknya sebagai Konsumen. Untuk itu dibutuhkan

pengaturan yang lebih jelas agar dapat memberikan kekhususan bagi

para Penyandang Disabilitas. Dengan pelaksanaan Undang-undang

yang Terkait, maka akan dapat mempermudah pemenuhan hak-hak

Penyandang Disabilitas sebagai Konsumen. Saat ini masih banyak

fasilitas khusus bagi Penyandang Disabilitas yang belum terpenuhi

pada Transportasi umum yang ada di Indonesia. Seharusnya

pelaksanaan penyediaan fasilitas khusus bagi Penyandang Disabilitas

dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang telah mengatur bagaimana

kriteria fasilitas yang harus terdapat pada setiap halte dan bus yang

telah diatur pada Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor PM 27 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor PM 10 Tahun 2012 Tentang Standar Pelayanan

Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan.

36
37

Anda mungkin juga menyukai