Anda di halaman 1dari 7

10.

SYEKH ABDUL KHALIQ AL-GHUJDAWANI

Beliau dikenal sebagai Syaikh penuh keajaiban, seseorang yang bersinar bagaikan
matahari. Beliau adalah seseorang yang berilmu Sempurna („arif kamil) dalam sufisme.
Beliau dianggap sumber thariqah sufi terhormat ini. Ayah beliau adalah Syaikh „Abdul Jamil,
seorang ulama paling terkenal pada masa Bizantin dalam pengetahuan lahir dan bathin. Ibu
beliau seorang putri, anak dari Raja Seljuk Anatolia.
„Abdul Khaliq dilahirkan di Ghujdawan, sebuah kota dekat Bukhara sekarang dikenal
sebagai Uzbekistan. Disana beliau menetap, meninggal dan dimakamkan. Beliau adalah
seorang keturunan Imam Malik. Dimasa kanak-kanak beliau mempelajari Qur‟an dan tafsir-
nya, „ilm al-Hadits, ilmu bahasa Arab, ilmu Hukum dengan Syaikh Sadruddin. Setelah
menguasai Syari‟ah beliau bergerak ke jihad an-nafs (perjuangan spiritual), hingga beliau
meraih sebuah maqam terttinggi. Kemudian beliau pindah ke Damaskus, disana beliau
membangun sebuah sekolah. Satu per satu muridnya menjadi seorang ahli fiqih dan hadist.
“Satu hari ketika beliau sedang membaca Kitab Suci Al Qur‟an dihadapan Syaikh
Sadruddin, beliau menjumpai ayat berikut: “Berdo‟alah kepada Tuhanmu dengan berendah
diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” [Al A‟Raaf 7:55]. Ayat ini mendorongnya untuk meminta keterangan
kepada Syaikh Sadruddin mengenai realitas dari zikir diam dan metodanya. Pertanyaan
„Abdul Khaliq adalah: “Dalam zikir keras kau harus menggunakan lidah dan orang lain
mungkin akan mendengar dan melihatmu, sementara dalam zikir diam hati setan mungkin
akan memperhatikan dan melihatmu, Nabi berkata dalam hadist: „Setan bergerak bebas dalam
pembuluh darah dan urat nadi Anak-anak Adam.‟ Lalu apakah, wahai Syaikh ku, hakikat
dari „seruan dalam kesunyian dari kalbu-kalbumu?‟ Syaikh beliau menjawab, „Wahai
putraku, ini tersembunyi, pengetahuan surgawi, dan aku berharap bahwa Allah yang Maha
Tinggi dan Maha Kuasa mengirimkan kepadamu salah seorang wali-Nya untuk memberikan
talkin pada lidah dan kalbumu tentang hakikat dari rahsia zikir.‟
“Sejak saat itu Syaikh „Abdul Khaliq al-Ghujdawani menunggu terkabulnya do‟a
tersebut. Satu hari beliau bertemu dengan Nabi Khidr (as) yang memberitahu, „Kini, putraku,
aku telah diberi izin dari Nabi untuk memberi talkin pada lidah dan kalbumu tentang zikir
tersembunyi dan jumlahnya.Nabi Khidr (as) memerintahkan beliau untuk mencelupkan diri
ke dalam air dan mulai melakukan zikir ini dalam kalbunya, yaitu LA ILAHA ILLALLAH
MUHAMMADUN RASUL ALLAH. Beliau melaksanakan bentuk zikir ini setiap hari
sampai Cahaya Illahiah, Kebijakan Illahiah, Kecintaan Illahiah dibukakan di kalbunya.
Karena karunia-karunia itu, orang-orang mulai tertarik kepada „Abdul Khaliq dan mencari
untuk mengikuti langkah-langkah beliau, dan beliau membawa mereka untuk mengikuti
langkah-langkah Nabi .
“Beliau adalah orang pertama dari thariqah sufi yang menggunakan zikir diam dan
dianggap sebagai Tuan dari bentuk zikir tersebut. Ketika Syaikh spiritual beliau yaitu al-
Ghawth ar-Rabbani, Yusuf al-Hamadani, datang ke Bukhara, beliau menghabiskan waktu
untuk melayani Syaikhnya.
Syaikh Muhammad Parsa, seorang teman dan penulis riwayat hidup Shah Naqsyband,
menulis dalam bukunya yang berjudul Faslul-Kitab, bahwa metoda Khwaja „Abdul Khaliq al-
Ghujdawani dalam berzikir dan ajaran beliau yaitu 8 Prinsip telah digunakan oleh 40
thariqah.
Reputasi beliau sebagai seorang yang telah memperoleh syekh spiritual menjadi
tersebar luas. Para pengunjung berkerumun untuk melihat beliau dari setiap arah. Beliau
mengumpulkan murid-murid yang setia dan tulus disekitarnya yang sedang beliau latih dan
ajari. Dengan kehormatan ini, beliau menulis sebuah surat kepada putranya yaitu al-Qalb al-
Mubarak Syekh Awliya al-Kabir, untuk memerinci tingkah laku para pengikut Thariqah ini.
Disebutkan:
“Wahai puteraku, aku mendorongmu untuk memperoleh pengetahuan dan tingkah laku yang
benar dan takut kepada Allah. Ikutilah langkah-langkah ulama yang shaleh. Pegang erat
Sunnah Nabi dan bergaullah dengan orang-orang beriman yang tulus. Bacalah ilmu hukum
dan kisah kehidupan Nabi dan tafsir Qur‟an. Jangan pedulikan penipu-penipu, dan jagalah
ibadah dalam urutannya. Waspada terhadap ketenaran dan bahayanya. Beradalah ditengah-
tengah orang-orang biasa dan tidak mencari jabatan. Jangan masuki persahabatan dengan
para raja dan anak-anak mereka tidak juga dengan para pelaku bid‟ah. Tetap diam, jangan
makan dan jangan tidur secara berlebihan. Berlarilah dari orang-orang seperti kau akan lari
dari harimau. Tetap melakukan khalwat. Makanlah makanan yang halal dan tinggalkan
perbuatan yang menimbulkan keragu-raguan kecuali dalam keadaan yang mendesak.
Menjauhlah dari kecintaan terhadap dunia bawah karena itu akan sangat menarik hatimu.
Jangan banyak tertawa, karena banyak tertawa akan menyebabkan matinya kalbu. Jangan
memalukan siapa pun. Jangan memuji diri sendiri. Jangan berdebat dengan orang. Jangan
meminta kepada siapa pun kecuali Allah. Jangan meminta orang untuk melayanimu.
Layanilah Syaikh-Syaikhmu dengan uang dan kekuatanmu dan jangan mengkritik tingkah
laku mereka. Siapa pun yang mengkritik mereka tidak akan selamat, karena dia tidak
mengerti mereka. Buatlah perbuatanmu tulus dengan berniat hanya untuk Allah. Do‟akan Dia
dengan kerendah hatian (tawadhu‟). Buatlah hukum bagi urusanmu, masjid, rumah, sahabat
dan Tuhan-mu.”
Prinsip Thariqah Naqsybandi
„Abdul Khaliq al-Ghujdawani mengemukakan butiran-butiran renungan berikut yang kini
dianggap sebagai Prinsip Thariqah Sufi Naqsybandi:
1. Bernafas Secara Sadar (“Hosh dar dam”)
Hosh berarti “pikir”. Dar berarti “dalam”. Dam berarti “nafas”. Artinya, berdasarkan
„Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q.s), bahwa “murid yang bijak harus melindungi nafasnya
dari kealpaan, menarik dan menghembuskan nafas, dengan itu menjaga kalbunya selalu
berada dalam Hadirat Allah; dan dia harus menghidupkan nafasnya dengan pengabdian
dan penghambaan dan mempersembahkan penghambaan tersebut kepada Tuhan-nya
penuh dengan kehidupan/kegairahan, karena setiap nafas yang ditarik dan dihembuskan
dengan Kehadirat itu adalah hidup dan terhubung dengan Hadirat Illahi. Setiap nafas yang
ditarik dan dihembuskan dengan kecerobohan adalah mati, terputus dari Hadirat Illahi.”
Ubaidullah al-Ahrar (q.s) berkata, “Hal paling penting bagi murid dalam Thariqah ini
adalah untuk melindungi nafasnya, dan dia yang tidak bisa menjaga nafasnya, baginya
akan dikatakan, „dia telah kehilangan dirinya.‟ “
Shah Naqsyband (q.s) berkata, “Thariqah ini dibangun di atas nafas. Sehingga merupakan
suatu keharusan bagi setiap orang untuk menjaga nafasnya pada waktu menarik dan
menghembuskan dan selanjutnya, untuk melindungi nafasnya dalam interval (jangka
waktu) antara menarik dan menghembuskan nafas.”
Syaikh Abul Janab Najmuddin al-Kubra mengatakan dalam bukunya, Fawatih al-Jamal,
“Zikir mengalir dalam setiap tubuh makhluk hidup oleh keharusan bernafas bahkan tanpa
berniat sekali pun sebagai satu tanda kepatuhan, yang merupakan bagian dari penciptaan
mereka.
Melalui nafas, bunyi huruf “Ha” dari Asmaul Husna Allah dibuat dalam setiap tarikan dan
hembusan nafas dan itu adalah sebuah tanda Dzat Tidak Terlihat dalam melayani penitik
beratan Ke-Unik-an Allah. Jadi sangatlah penting untuk selalu menghadirkan nafas,
supaya merasakan Dzat Sang Pencipta.”
Nama „Allah‟ yang melingkupi 99 buah Nama-nama dan terdiri dari 4 huruf, yaitu Alif,
Lam, Lam dan Hah (ALLAH). Kaum Sufi menyebutkan bahwa kemutlakan Dzat tidak
nampak dari Allah yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa diekspresikan oleh huruf terakhir
yang dihidupkan oleh Alif, yaitu “Ha.” Huruf ini mewakili Kemutlakan Dia yang Tidak
Nampak (Ghayb al-Huwiyya al-Mutlaqa lillah 'azza wa jall). Lam pertama adalah untuk
identifikasi (ta‟rif) dan Lam kedua adalah untuk penitik beratan (mubalagha).
Melindungi nafasmu dari kecerobohan akan menuntunmu kepada Hadirat-Nya secara
utuh, dan Hadirat-Nya yang utuh tersebut akan menuntunmu kepada Penglihatan utuh, dan
Penglihatan utuh akan menuntunmu ke Perwujudan (tajalli) dari 99 Asmaul Husna Allah.
Allah akan menuntunmu ke Perwujudan (tajalli) 99 Nama-namaNya.Ini harus diketahui
oleh semua orang bahwa menyelamatkan nafas dari kecerobohan adalah suatu yang sulit
bagi para salik. Oleh karena itu mereka harus melindunginya dengan mencari
pengampunan (istighfar) karena mencari pengampunan akan menyucikan dan
mempersiapkan para saalik untuk Perwujudan (tajalli) Sesungguhnya dari Allah yang
berada dimana-mana.
2. Perhatikan Langkahmu (“Nazar bar qadam”)
Artinya bahwa para saalik sewaktu berjalan hendaknya harus menjaga pandangan tertuju
kepada kakinya. Kemana pun kakinya melangkah, pandangan mata harus tetap disana. Dia
tidak diperkenankan untuk melemparkan pandangan ke sana sini, melirik ke kanan atau
kiri atau ke depannya, karena pemandangan yang tidak perlu akan menutupi kalbu.
Kebanyakan tabir di kalbu diciptakan oleh gambar-gambar yang ditransmisikan dari mata
ke pikiran selama menjalani kehidupan sehari-harimu. Hal ini dapat saja mengangggu
kalbu dengan guncangan karena berbagai jenis keinginan yang sudah tercetak di dalam
pikiran. Bayangan-bayangan ini seperti tabir yang menutupi kalbu. Bayangan ini
menghadang Cahaya Hadirat Illahiah. Inilah sebab para wali Sufi tidak membolehkan
pengikut mereka yang sudah membersihkan kalbu melalui zikir yang berkesinambungan-
untuk melihat selain dari kaki mereka. Kalbu mereka laksana cermin yang memantulkan
dan menerima setiap gambar dengan mudahnya. Gambar ini akan menyimpangkan mereka
dan membawa berbagai kotoran ke kalbu mereka. Jadi para saalik diperintahkan untuk
merendahkan pandangan agar tidak diserbu oleh anak-anak panah setan.
Merendahkan pandangan juga merupakan suatu tanda kerendahan hati (tawadhu‟); orang
yang bangga dan sombong tidak pernah melihat ke kaki mereka sendiri. Itu juga satu
indikasi bahwa seseorang yang mengikuti jejak langkah Sang Nabi , yang ketika berjalan
tidak pernah melihat ke kanan atau kiri tapi terbiasa hanya melihat kakinya, bergerak
dengan tegas dan mantap ke arah tujuannya. Ini juga suatu tanda dari ketinggian maqam
bila seorang saalik tidak pernah melihat kecuali ke arah Tuhan-nya. Seperti orang yang
ingin mencapai tujuannya dengan cepat, begitu juga dengan para pencari Hadirat Illahiah
Allah yang bergerak dengan cepat, tidak melihat ke kanan atau kirinya, tidak juga melihat
keinginan-keingian duniawi, tapi hanya melihat Hadirat Illahiah.
Imam ar-Rabbani Ahmad al-Faruqi (q.s) mengatakan dalam surat yang ke 295 dari
Maktubat beliau:
“Pandangan mendahului langkah dan langkah mengikuti pandangan. Mi‟raj (perjalanan
mendaki) ke tingkatan yang lebih tinggi pertama-tama oleh Penglihatan, diikuti Langkah.
Ketika Langkah mencapai tingkatan Ketinggian Pandangan, kemudian Pandangan akan
dinaikkan ke tingkat berikutnya, dan karenanya Langkah akan mengikutinya secara
bergilir. Kemudian Pandangan akan diangkat ke tempat yang lebih tinggi lagi dan
Langkah akan mengikutinya secara bergilir. Dan begitulah seterusnya hingga Pandangan
meraih sebuah tingkat Kesempurnaan dan ke arah itulah Langkah akan ditarik. Kita
katakan, „Bila Langkah mengikuti Pandangan, murid sudah mencapai tingkat Kesiapan
dalam mendekati Jejak Langkah Nabi . Maka Jejak Langkah Nabi disebut juga sebagai
Awal atau Sejatinya semua langkah.”
Shah Naqsyband (q.s) mengatakan, “Jika kami melihat kesalahan-kesalahan teman kita,
maka kita akan ditinggalkan tanpa teman, karena tidak seorang pun yang sempurna.”
3. Perjalanan Pulang (“safar dar watan”)
Artinya perjalanan pulang ke kampung halaman. Artinya bahwa perjalanan para saalik
dari dunia ciptaan menuju dunia Sang Pencipta. Ini diceritakan bahwa Nabi berkata, “Aku
akan mengunjungi Tuhan-ku dari satu tingkat ke tingkat yang lebih baik dan dari satu
maqam ke maqam yang lebih tinggi.” Dikatakan bahwa para saalik harus melakukan
perjalanan dari Keinginan yang cenderung kepada hal-hal terlarang ke Keingingan untuk
Hadirat Illahiah.
Thariqah Sufi Naqsybandi membagi perjalan menjadi 2 buah kategori. Kategori pertama
adalah perjalanan lahir dan yang kedua adalah perjalanan bathin. Perjalanan lahir adalah
perjalanan dari satu tempat ke tempat lain mencari seorang pembimbing yang sempurna
untu membawa dan mengarahkan ke sasaran yang dituju. Ini memungkinkan para saalik
untuk bergerak ke kategori kedua, yaitu perjalanan bathin. Saalik, sekali mendapatkan
seorang pembimbing yang sempurna, maka terlarang baginya untuk melakukan perjalanan
lahir lainnya. Dalam perjalanan lahir terdapat banyak kesulitan yang tidak sanggup
ditanggung oleh para pemula tanpa jatuh dalam perbuatan-perbuatan terlarang (haram),
karena mereka memang masih lemah dalam ibadahnya.
Kategori kedua adalah perjalanan bathin. Perjalanan bathin memerlukan para saalik untuk
meninggalkan akhlaq buruk mereka dan meningkat ke akhlaq yang lebih tinggi, melempar
keluar semua keinginan duniawi dari kalbunya. Dia akan dinaikkan dari sebuah keadaan
yang tidak bersih ke keadaan bersih. Pada saat itu dia tidak lagi memerlukan perjalanan
bathin lainnya. Dia telah menyucikan kalbunya, membuatnya jernih bagaikan air,
transparan laksana kristal, mengkilap seperti sebuah cermin, memperlihatkan realitas dari
seluruh hal penting dari kehidupan sehari-hari, tanpa memerlukan tindakan ekstenal dari
sisinya. Dalam kalbunya akan muncul semua hal yang diperlukan bagi kehidupannya dan
untuk kehidupan orang-orang yang ada disekelilingnya.
4. Menyendiri di tengah Keramaian (“khalwat dar anjuman”)
“Khalwat” berarti menyendiri. Itu artinya secara lahir bersama dengan orang-orang
disekelilingnya sementara secara bathin bersama Allah. Terdapat juga 2 buah kategori
“khalwat”. Pertama adalah “khalwat” lahir dan kedua “khalwat” bathin.
Penyendirian lahir memerlukan saalik untuk menyendiri dalam sebuah tempat pribadi
yang tidak ada seorang pun. Tinggal sendirian, berkonsentrasi dan meditasi pada
Zikirullah mengingat Allah supaya meraih sebuah keadaan dimana Kerajaan Surgawi
menjelma. Ketika kau mengekang indera-indera lahir, maka indera-indera bathinmu akan
menjadi bebas dalam meraih Kerajaan Surgawi. Ini akan membawamu ke kategori kedua:
penyendirian bathin.
Penyendirian bathin berarti menyendiri ditengah keramaian orang. Disitulah kalbu saalik
akan hadir bersama Tuhan-nya dan absen dari makhluk sementara tubuh fisiknya berada
ditengah-tengah mereka. Dikatakan, „Saalik akan begitu tenggelam dalam zikir diam
dihatinya, bahkan jika dia memasuki ke dalam kerumunan orang, dia tidak akan
mendengar suara mereka. Keadaan zikirnya telah menguasai dia. Perwujudan (tajalli)
Hadirat Illahiah menarik dan membuatnya tidak sadar dengan segala hal kecuali Tuhan-
nya. Inilah posisi tertinggi dalam khalwat, dan keadaan ini dianggap sebagai khalwat yang
benar, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Suci Al Qur‟an: “laki-laki yang tidak
dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah” [An Nuur
24:37]. Inilah cara Thariqah Naqsybandi.
Penyendirian yang utama dari syaikh Thariqah Naqsybandi adalah penyendirian bathin.
Mereka bersama Tuhan mereka dan secara bersamaan bersama orang-orang. Sebagaimana
yang pernah diucapkan oleh Sang Nabi , “Aku mempunyai 2 buah sisi: satu muka
menghadap Pencipta-ku dan yang lainnya menghadap makhluk.” Shah Naqsyband
menekankan kebaikan dalam berkumpul (majelis) ketika beliau mengatakan: Thariqatuna
as-suhbat wa-l-khairu fil-jam‟iyyat (“Jalan kita adalah Kebersamaan, dan Kebaikan berada
dalam Kebersamaan”).
Dikatakan bahwa seseorang yang beriman yang dapat bergaul dengan orang lain dan
mengangkat kesulitan mereka adalah lebih baik daripada seseorang yang menjauhkan diri
dari orang lain. Terhadap hal yang peka ini Imam Rabbani pernah berkata,
“Hendaknya diketahui bahwa saalik pada awalnya mungkin menggunakan penyendirian
lahir untuk mengisolasi diri dari orang-orang, beribadah dan berkonsentrasi kepada Allah
yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, sampai dia meraih suatu tahap yang lebih tinggi.
Pada saat itu dia akan dianjurkan oleh Syaikhnya, dalam ucapan dari Sayyid al-Kharraz,
„Kesempurnaan bukan pada peragaan kekuatan menakjubkan, tapi kesempurnaan adalah
duduk bersama orang-orang, berjual beli, menikah dan mempunyai anak; dan tidak pernah
meninggalkan kehadiran Allah walau pun hanya sekejap.”
5. Zikir Utama (“yad kard”)
Makna dari „Yad‟ adalah Zikir. Makna dari „kard‟ adalah esensi Zikir. Saalik harus
melakukan zikir dengan penyangkalan (negasi) dan penerimaan (afirmasi) pada lidahnya
sampai dia mencapai keadaan tafakur (perenungan) dikalbunya (muraqaba). Keadaan
tersebut akan diraih dengan membaca penyangkalan (LA ILAHA) setiap hari dan
penerimaan (ILLALLAH) pada lidah, antara 5.000 dan 10.000 kali, menyingkirkan dari
kalbunya elemen-elemen yang akan mengotori dan membuatnya berkarat. Zikir ini
memoles kalbu dan membawa saalik ke keadaan Perwujudan (tajalli). Dia harus menjaga
zikir harian itu, baik dengan kalbu atau pun dengan lidah, mengulang-ulang ALLAH,
nama Dzat Tuhan yang meliputi semua nama lain dan Atribut-atribut, atau dengan
penyangkalan dan penerimaan melalui penyebutan LA ILAHA ILLALLAH.
Zikir harian ini akan membawa saalik ke keadaan kehadiran sempurna dari Huwa Allahu
Ahad (Dia-lah Allah yang Maha Esa).
Zikir dengan penyangkalan dan penerimaan, dalam tata cara Syaikh Sufi Naqsybandi,
dituntut agar saalik menutup mata, menutup mulut dan merapat gigi, melekatkan lidah
dilangit-langit mulut, dan menahan nafas. Dia harus melafalkan zikir melalui kalbu,
dengan penyangkalan dan penerimaan, dimulai dengan kata LA (“Tidak”). Dia
mengangkat kata “Tidak” ini dari bawah pusar naik ke otaknya. Sampai di otak kata
“Tidak” ini dikeluarkan dengan kata ILAHA (“tuhan”), bergerak dari otak ke bahu kiri,
dan menabrak kalbunya dengan ILLALLAH (“kecuali Allah”). Bila kata itu menabrak
kalbu, energi dan panasnya akan memancar ke seluruh bagian tubuh. Saalik yang telah
menolak semua yang ada di dunia ini dengan kalimat LA ILAHA, menerima dengan
kalimat ILLALLAH bahwa seluruh yang ada telah hilang, lenyap dalam Hadirat Illahiah.
Saalik mengulangi ini dengan setiap nafas, hirup dan hembuskan, selalu membuat nafas
mencapai kalbu, sesuai dengan jumlah angka yang diinstruksikan oleh Syaikhnya. Saalik
secara berkala akan mencapai keadaan dimana dalam satu nafas dia dapat mengulang LA
ILAHA ILLALLAH sebanyak 23 kali. Seorang Syaikh sejati dapat mengulangi LA
ILAHA ILLALLAH dalam jumlah tidak terhitung dalam setiap nafas. Arti dari praktek ini
adalah bahwa tujuan satu-satunya hanya Allah dan bahwa tiada tujuan lain bagi kita.
Untuk melihat Hadirat Illahiah sebagai satu-satunya yang Ada akan dimasukkan ke dalam
kalbu murid kecintaan terhadap Nabi dan pada saat itu dia mengucap, MUHAMMADUN
RASULULLAH (“Muhammad adalah Rasul Allah”) yang merupakan jantung dari Hadirat
Illahiah.
6. Kembali ("baz gasht")
Ini adalah sebuah keadaan dimana saalik yang melakukan zikir dengan penyangkalan dan
penerimaan sampai pada tahap memahami kalimat Nabi , ilaahi anta maqshuudi wa
ridhaaka mathluibi (“Ya Allah, Engkau-lah puncak tujuanku dan hanya ridha-Mu yang
kumohon.”). Pembacaan kalimat ini akan menaikkan kesadaran saalik dalam Ke-Esa-an
Allah, sampai dia mencapai suatu keadaan dimana semua ciptaan lenyap dari matanya.
Semua yang dia lihat, kemana pun dia memandang, adalah Allahu Ahad (Allah yang Maha
Esa). Murid Naqsybandi membaca zikir macam ini untuk menyaring dari kalbu mereka
rahasia Ke-Esa-an, dan untuk membuka diri mereka ke hakikat dari Hadirat Illahiah.
Pemula tidak mempunyai wewenang untuk meninggalkan zikir ini jika dia tidak
menemukan kekuatan zikir muncul dalam kalbunya. Dia harus tetap membaca zikir ini
dengan mengikuti Syaikhnya, karena Nabi pernah berkata, “Barang siapa meniru suatu
golongan maka dia akan menjadi bagian dari golongan tersebut.” Dan barang siapa meniru
gurunya maka suatu hari akan ditemukan rahasia ini dibuka dalam kalbunya.
Makna dari kalimat “baz gasht” adalah kembali kepada Allah yang Maha Tinggi dan
Maha Kausa dengan memperlihatkan kepasrahan penuh dan tunduk kepada Kehendak-
Nya, dan ketawadhu‟an penuh dalam menyampaikan semua pujian bagi-Nya. Inilah alasan
Nabi menyebutkan dalam do‟anya, ma dzakarnaka haqqa dzikrika ya Madzkur (“Kami
tidak Mengingat Engkau sebagaimana seharusnya Engkau Diingat, Ya Allah”). Saalik
tidak dapat datang ke Hadirat Allah dalam zikirnya, dan tidak bisa mengungkapkan
Rahasia-rahasia Allah dalam zikirnya, jika dia tidak melakukan zikir dengan qudrat dan
iradat Allah dan jika Allah tidak mengingatnya. Sebagaimana Bayazid katakan: “Ketika
aku mencapai Dia, aku melihat bahwa Dia mengingatku lebih dulu daripada ingatanku
kepada-Nya.” Saalik tidak dapat melakukan zikir dengan sendirinya. Dia harus
mengetahui bahwa justru Allah-lah yang sedang melakukan zikir melalui hamba-Nya itu.
7. Perhatian (“nigah dasht”)
“Nigah” berarti pandangan. Artinya bahwa saalik harus memperhatikan kalbunya dan
melindunginya dengan cara mencegah masuknya pikiran-pikiran buruk. Kecenderungan
buruk akan menghalangi masuknya kalbu bergabung dengan Illahi. Ini diakui dalam
Naqsybandiyya bahwa bagi seorang saalik dapat melindungi kalbunya dari kecenderungan
buruk selama 15 menit saja merupakan sebuah pencapaian besar. Untuk ini dia akan
dipertimbangkan sebagai seorang Sufi sejati. Sufisme adalah kekuatan untuk melindungi
kalbu dari pikiran-pikiran buruk dan menjaganya dari kecenderungan rendah. Barang siapa
berhasil dengan 2 buah tujuan ini akan mengerti kalbunya, dan barang siapa mengetahui
kalbunya maka akan mengenal Tuhan-nya. Nabi berkata, “Barang siapa yang mengenal
dirinya maka dia mengenal Tuhan-nya.”
Seorang Syaikh Sufi berkata, “Karena aku melindungi kalbuku selama 10 malam, kalbuku
melindungiku selama 20 tahun.”
Abu Bakr al-Qaittani mengatakan, “Aku adalah penjaga pintu kalbuku selama 40 tahun,
dan aku tidak pernah membuka kalbuku bagi siapapun juga kecuali Allah yang Maha
Kuasa dan Maha Tinggi, sampai kalbuku tidak mengenali siapapun kecuali Allah yang
Maha Kuasa dan Maha Tinggi.”
Abul Hassan al-Kharqani mengatakan, “Sudah 40 tahun Allah telah melihat kalbuku dan
mendapati bahwa tidak ada seorang pun kecuali Dia. Dan memang tidak ada ruang dalam
kalbuku tersisa bagi selain Allah.”
8. Mengumpulkan Lagi (“yada dasht”)
Artinya bahwa pembaca zikir melindungi kalbunya dengan penyangkalan dan penerimaan
dalam setiap nafas tanpa meninggalkan Hadirat Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.
Hendaknya saalik menjaga kalbunya dalan Hadirat Illahiah secara terus menerus. Hal ini
akan membuatnya menyadari dan merasakan Cahaya Dzat yang Unik dari Allah(anwar
adz-dzat al-Ahadiyya). Dia kemudian akan membuang 3 dari 4 buah bentuk pikiran, yaitu:
pikiran egois, pikiran jahat, dan pikiran malaikatis, seraya mempertahankan dan
membenarkan hanya bentuk pikiran keempat, yaitu haqqani atau pikiran kebenaran. Ini
akan membimbing saalik menuju keadaan tertinggi dari kesempurnaan dengan membuang
semua imajinasinya dan hanya merengkuh hakikat yaitu Ke-Esa-an Allah yang Maha
Kuasa dan Maha Tinggi.
Syekh „Abdul Khaliq al-Ghujdawani mempunyai 4 orang khalifah. Pertama adalah
Syaikh Ahmad as-Siddiq, berasal dari Bukhara. Yang kedua adalah Kabir al-Awliya (“Wali
Terbesar”), Syaikh Arif Awliya al-Kabir (q.s). Berasal dari Bukhara, beliau merupakan
seorang ulama besar dalam Ilmu lahir dan bathin. Khalifah ketiga adalah Syaikh Sulaiman al-
Kirmani (q.s). Khalifah keempat adalah „Arif ar-Riwakri (q.s). Kepada khalifah keempat
inilah „Abdul Khaliq (q.s) mewariskan Rahasia Rantai Emas sebelum beliau wafat pada
tanggal 12 Rabi‟ul-Awwal 575 H.

Anda mungkin juga menyukai