Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan salah satu penyumbang angka morbiditas dan mortalitas


tertinggi pada anak-anak. Pada tahun 2000 di Amerika Serikat terdapat 223 kematian
anak akibat asma atau 0,3 kematian per 100.000 anak. Di Indonesia, angka kematian
anak akibat penyakit asma belum diketahui secara pasti, beberapa penelitian
menyebutkan bahwa angka kejadian asma anak si Indonesia adalah sekitar 10%.
Departemen Kesehatan menyatakan bahwa prevalensi penyakit asma pada anak
berusia 13-14 tahun sebesar 2,1% pada tahun 1995 dan meningkat menjadi 5,2% pada
tahun 2003. Data-data ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa resiko kematian
anak Indonesia akibat penyakit asma juga meningkat.`1
Risiko seorang anak untuk mengalami serangan asma umumnya tergantung
pada kronisitas dan derajat asma yang dideritanya, semakin kronis dan berat penyakit
asma yang dideritanya maka semakin besar pula kemungkinannya untuk mengalami
serangan. Peningkatan frekuensi perawatan di rumah sakit dan riwayat pernah
mengalami serangan mendadak asma berat dengan proses perburukan yang progresif,
merupakan tanda-tanda bahwa derajat asma yang diderita pasien semakin berat.2
Sekitar 80%-85% kematian akibat asma terjadi pada pasien dengan asma berat
dan tidak terkontrol, dengan proses perburukan yang cepat. Hal ini dapat dibuktikan
dari pemeriksaan histologis yang menemukan sumbatan mukus ekstensif dengan
inflamasi eosinofilik. Hal ini sebenarnya dapat dicegah apabila pasien-pasien ini
mendapatkan terapi inflamasi jangka panjang yang optimal. Penderita asma berat
dengan serangan asma dapat mengalami komplikasi antara lain pneumothorax,
pneumomediastinum, atelaktasis, gagal nafas, henti jantung, atau akibat komplikasi
dari penggunaan ventilasi mekanis .1 Komplikasi ini dapat menyebabkan kematian
pada anak penderita asma.
Meningkatnya angka kejadian asma di Indonesia, dan adanya komplikasi pada
asma yang dapat menyebabkan kematian pada anak penderita asma menyebabkan
asma perlu mendapatkan perhatian lebih di kalangan masyarakat. Oleh karena itu,
perlu dilakukan pembahasan dan pemahaman lebih lanjut mengenai asma.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
a. Nama : Ismi
b. Umur : 13 tahun
c. Jenis Kelamin : perempuan
d. Nama Ayah : Tn.Drs. Kemas Taufik
e. Nama Ibu : Ny.Megawati
d. Bangsa : Indonesia
g. Agama : Islam
h. Alamat : Dalam Kota
j. MRS tanggal : 23 September 2010

II. ANAMNESIS

Keluhan utama : sesak nafas


Keluhan tambahan : nafas berbunyi mengi

Riwayat Perjalanan Penyakit :


Sejak ± 6 jam SMRS, penderita mengeluh sesak. Sesak nafas disertai nafas
berbunyi mengi. Sesak nafas dipengaruhi cuaca, penderita sesak nafas pada keadaan
cuaca yang terlalu dingin. Sesak nafas juga dipengaruhi emosi. Namun sesak nafas
tidak dipengaruhi perubahan posisi. Batuk (+), pilek (+). Batuk dan pilek dialami
sejak 2 hari yang lalu. Demam (-). Kemudian penderita menggunakan obat semprot di
rumah sebanyak 5 kali namun tidak ada perubahan. lalu penderita dibawa ke IRD
RSMH.
Sejak ± 2 jam sebelum masuk rumah sakit, di IRD. penderita dilakukan
nebulisasi dua kali dengan salbutamol dan satu kali dengan salbutamol + ipratropium
bromida tidak ada perbaikan. Lalu penderita dianjurkan untuk dirawat.

2
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat didiagnosis asma bronkiale oleh SpA, sejak usia 5 tahun. Penderita
mengalami serangan asma sebanyak 3-4x, terutama bila penderita dalam suhu
udara terlalu dingin, capek, dan debu. Saat serangan penderita menggunakan
obat semprot dan keluhan berkurang.
- Riwayat dirawat sebelumnya karena serangan asma disangkal.
- Riwayat gatal-gatal pada kulit disangkal.
- Riwayat sering pilek di pagi hari disangkal.
- Riwayat tersedak makanan atau benda asing disangkal.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


- Riwayat penyakit asma diderita oleh ayah kandung penderita
- Riwayat penyakit atopi lain disangkal

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Masa kehamilan : Cukup bulan
Partus : Spontan
Tempat : Di RS
Ditolong oleh : Dokter
Tanggal : 26 Juli 1997
BB : 3000 gram
PB : Orangtua penderita lupa
Riwayat Makanan
Asi : 0 – 1,5 tahun
Susu botol/ kaleng : 0 - sekarang
Bubur susu : 4 – 8 bulan
Nasi tim/ lembek : 8 – 13 bulan
Nasi biasa : 13 bulan - sekarang
Daging :+
Ikan :+
Telur :+
Tempe :+
Tahu :+
Sayuran :+

3
Buah :+
Lain-lain :
Kesan
Kualitas : Cukup
Kuantitas : Cukup

Riwayat Imunisasi
BCG : +, scar +
Polio : +, lengkap (saat lahir, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan)
DPT : +, lengkap ( 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan)
Campak : + (9 bulan)
Hepatitis : +, lengkap ( saat lahir, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan)
Kesan : imunisasi dasar lengkap

Riwayat Keluarga
Perkawinan : 1 kali, selama 17 tahun
Umur : Umur ayah 45 tahun, umur ibu 40 tahun
Pendidikan : S1
Penyakit yang pernah diderita: Ayah penderita menderita asma
Saudara : 1 orang

Riwayat Perkembangan Fisik


Gigi pertama : 6 bulan
Berbalik : 2 bulan
Tengkurap : 3 bulan
Merangkak : 5 bulan
Duduk : 6 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 12 bulan
Berbicara : 12 bulan
Kesan : Perkembangan fisik normal

4
Riwayat Perkembangan Mental
Isap jempol : Usia 6 bulan – 1 tahun
Ngompol : Usia 0 – 3 tahun
Sering mimpi :-
Aktivitas : Normal
Membangkang :-
Ketakutan :-

Status Gizi
BB : 34 kg
TB : 156 cm
BB/U : (34/ 45) x 100% = 75.56%
TB/U : (156/157) x 100% = 99.3%
BB/TB : (34/ 45) x 100% = 75.56%
Kesan : Status gizi kurang

Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita


Parotitis :-
Pertusis :-
Difteri :- Asma :+
Tetanus :- Cacingan :-
Campak :- Patah tulang :-
Varicella :- Jantung :-
Typhoid :- Sendi sembab :-
Demam menabuh :- Kecelakaan :-
Radang paru :- Operasi :-
TBC :- Keracunan :-
Kejang :- Sakit kencing :-
Lumpuh :- Sakit ginjal :-
Otitits media :- Alergi :-
Batuk/pilek :+ Perut kembung :-
Muntah berak :- Malaria :-
DBD :-

5
Keluhan Syaraf dan Otot
Hilang rasa :- Kejang :-
Kesemutan :- Frekuensi :-
Otot lemas :- Jenis kejang :-
Otot pegal :- Post iktal :-
Lumpuh :- Panas :-
Badan kaku :- Riwayat kejang keluarga :-
Tidak sadar :- Kejang pertam usia :-
Mulut mencucu :- Riwayat trauma kepala :-
Trismus :-

Keluhan Alat Kelamin


Hernia :-
Sembab :-

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
BB : 34 kg
PB : 156 cm
Gizi : Baik
Edema :-
Sianosis :-
Dyspnoe :-
Icterus :-
Anemia :-
Suhu : 36, 4°C
Respirasi : 36 x/menit
Turgor :-
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi
Frekuensi : 135 x/menit
Regularitas : Regular

Status Lokalis
Kulit
Tidak ada kelainan

Kepala
Bentuk : Bulat, simetris
UUB : Rata, tidak menonjol
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera
ikterik, refleks cahaya +/+, pupil bulat, isokor, ¢ 3 mm
Hidung : Sekret tidak ada, NCH ada
Telinga : Sekret tidak ada
Mulut : Sianosis sirkum oral ada
Tenggorok : Dinding faring tidak hiperemis, T0-T0 tidak hiperemis
Leher : Perbesaran KGB tidak ada, JVP tidak meningkat

Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi ada pada subkostal
dan interkostal
Palpasi : Stremfremitus kanan sama dengan kiri, melemah
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : \Vesikuler (+) normal, ekspirasi memanjang (+), ronkhi
tidak ada, wheezing ada
Jantung
Inspeksi : Pulsasi, iktus cordis dan voussour cardiaque tidak terlihat
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR=135 kali/ menit, irama reguler, murmur dan gallop
tidak, Bunyi Jantung I dan II normal

Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Lipat paha dan genitalia


Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

Ekstremitas
Akral dingin tidak ada, edema tidak ada, sianosis tidak ada

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Rutin
Hb : 9.8 g/dl
Ht : 29.7 vol %
Leukosit : 7.900/mm3
Trombosit : 175.000/mm3
LED : 6 mm/jam
Diff. Count : 0/5/2/56/34/3

V. RESUME
Seorang anak perempuan usia 13 tahun beralamat di dalam kota, datang ke IRD
RSMH dengan keluhan utama sesak nafas dan keluhan tambahan nafas berbunyi. Dari
riwayat perjalan penyakit didapatkan bahwa sejak ± 6 jam sebelum masuk rumah sakit,
penderita mengeluh sesak. Sesak nafas disertai nafas berbunyi mengi. Sesak nafas
dipengaruhi cuaca, penderita sesak nafas pada keadaan cuaca yang terlalu dingin. Sesak
nafas juga dipengaruhi emosi. Namun sesak nafas tidak dipengaruhi perubahan posisi.
Batuk (+), pilek (+). Kemudian penderita menggunakan obat semprot di rumah sebanyak
5 kali namun tidak ada perubahan. lalu penderita dibawa ke IRD RSMH. Sejak ± 2 jam
sebelum masuk rumah sakit, di IRD. penderita dilakukan nebulisasi dua kali dengan
salbutamol dan satu kali dengan salbutamol + ipratropium bromida tidak ada perbaikan.
Lalu penderita dianjurkan untuk dirawat. Penderita memiliki riwayat sakit asma sejak
usia 5 tahun dan memiliki riwayat keluarga dengan asma yaitu pada ayah penderita.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum kesadaran kompos mentis
gelisah, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 135 x/m isi dan tegangan cukup, temperatur
36,4 0C, dan pernafasan 36 x/menit. Pada keadaan spesifik didapatkan pada kepala
ditemukan nafas cuping hidung (+/+), sianosis sirkum oral (+). Thorax tampak simetris,
retraksi (+) pada IC dan SC, pada palpasi stemfremitus sama kanan dan kiri, perkusi
sonor dengan auskultasi pada paru vesikuler melemah di kedua paru, ekspirasi
memanjang, wheezing +/+, ronkhi -/-. Jantung dalam batas normal. Abdomen dan
ekstremitas dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan pemeriksaan darah rutin dalam batas
normal, kecuali kadar eosinofil. Pada penderita ini, terjadi peningkatan jumlah eosinofil,
yaitu sebesar 5% yang normalnya adalah 1-3%.

VI. DIAGNOSIS KERJA


Asma Bronkhial Eksaserbasi Akut

VII. TERAPI
- MRS
- O2 sungkup non rebreathing 5 l/menit
- Aminofilin 170 mg bolus  7 cc diencerkan dengan D5% hingga 20 cc dalam 1
jam pertama
- IVFD D5%+NaCl 15% 15 cc (1750 cc)+ aminofilin 17 mg (4.25cc/kolf) dalam 24
jam  gtt 18 makro
- Injeksi deksametason 3 x 1 mg (3 x 0.25 cc)
- Nebulisasi salbutamol + ipratropium bromida 1 ampul setiap 2 jam hingga klinis
membaik

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam.

VIII. FOLLOW UP

Tanggal Perjalanan Penyakit Instruksi Dokter


24 S: sesak berkurang Stop aminofilin
september
2010 sens: compos mentis Dexametason
N: 120x/m tablet 3x2mg
RR: 32 x/m
T: 36,8 c
O: kepala: NCH-
thorax: simetris, retraksi intercostals dan subcostal
Cor: BJ I dan BJ II : normal, murmur- gallop –
pulmo: vesikuler+N, ronkhi-, wheezing+/+
abdomen: datar, lemas, hepardan lien tidak teraba,
BU+N
ekstrimitas: akral hangat
cyanosis –

A: Asma episodic sering dengan perbaikan


25 S: sesak (-) Salbutamol tablet
september 3x75mg
2010 sens: compos mentis
N: 110x/m Dexametason
RR: 26 x/m tablet 3x 2 mg
T: 36,9c
O: kepala: NCH- Boleh pulang
thorax: simetris, retraksi-
Cor: BJI dan BJ II : normal, murmur- gallop –
pulmo: vesikuler+N, ronkhi-, wheezing-/-
(+minimal)
abdomen: datar, lemas, hepardan lien tidakteraba,
BU+N
ekstrimitas: akralhangat
cyanosis –

A: Asma episodic sering dengan perbaikan

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Asma adalah gangguan dengan karakteristik berdasarkan klinis, fisiologis, dan
patologis. Gambaran predominan riwayat klinis pada asma adalah sesak nafas, biasanya
pada malam hari, seringkali disertai batuk . Bunyi mengi merupakan pemeriksaan
auskultasi yang khas. Gambaran fisiologis utama pada asma adalah obstruksi jalan nafas
yang dikarakteristikan dengan adanya keterbatasan aliran udara ekspirasi. Gambaran
patologi dominan pada asma adalah inflamasi jalan nafas, terkadang dihubungkan dengan
perubahan struktur jalan nafas.
Asma terdiri dari komponen genetik dan lingkungan, tetapi karena patogenesisnya
tidak jelas, kebanyakan definisi asma ini bersifat deskriktif. Berdasarkan konsekuensi
jalan nafas, asma adalah gangguan inflamasi kronis jalan nafas dengan elemen selular
dan banyak sel. Inflamasi kronis berhubungan dengan hiperresponsif jalan nafas yang
kemudian menyebabkan bunyi nafas mengi, sesak nafas dan batuk, biasanya pada malam
hari atau pada pagi hari. Episode ini biasanya berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
yang reversible kecil secara spontan maupun dengan obat.
Karena belum ada definisi jelas mengenai asma, peneliti menyebutkan bahwa
adanya asma secara komplek dapat diperiksa secara objektif, misalnya atopi,
hiperresponsif jalan nafas dan pemeriksaan lain terhadap sensitisasi alergik.
Terdapat beberapa bukti adanya manifestasi klinis pada asma, yaitu dengan adanya
gejala, gangguan tidur, aktifitas fisik yang terbatas, fungsi faru yang terbatas, dan
terkontrolnya kondisi asma dengan pengobatan yang adekuat. Ketika asma terkontrol,
keluhan asma dan eksaserbasi jarang terjadi.3
Ada juga sumber yang menyebutkan bahwa asma bronkhiale adalah penyakit
inflamasi kronik saluran nafas atas dengan melibatkan banyak sel dan elemen sel, yang
ditandai dengan meningkatnya reaktifitas trakea dan bronkus terhadap berbagai
rangsangan, yang menyebabkan episode mengi, batuk dan sesak nafas berulang
khususnya malam atau pagi hari. Episode tersebut berkaitan dengaan obstruksi saluran
nafas yang bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan.4
EPIDEMIOLOGI
Asma merupakan masalah dunia, kira-kira 300 juta individu. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa prevalensi asma di dunia adalah 1-18% populasi. Terdapat beberapa
bukti bahwa prevalensi asma meningkat pada beberapa Negara. WHO memperkirakan 15
juta ketidakmampuan dalam kehidupan disebabkan oleh asma. Angka kematian dunia
akibat asma diperkirakan 250.000.3
Asma merupakan penyakit respirologi anak terbanyak dengan angka perawatan
terbesar di rumah sakit di Amerika Serikat. Data statistik tahun 2001 menunjukkan
terdapat 15 juta penduduk Amerika yang menderita asma dan 5 juta diantaranya adalah
anak-anak. Jumlah kunjungan penderita ke instalasi rawat darurat per tahun mencapai 2
juta kunjungan dan 500.000 berada dalam keadaan status asmatikus yang memerlukan
perawatan di rumah sakit. Untuk angka mortalitas asma anak usia 5-14 tahun telah
meningkat dua kali dalam kurun waktu 15 tahun, yaitu dari tahun 1980 hingga 1995.
Hasil penelitian di negara lain seperti Inggris, Australia, dan Selandia Baru ternyata juga
menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Untuk negara-negara di Asia dan Afrika
memang prevalensinya jauh lebih rendah, namun beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa seiring dengan bertambah besarnya pengaruh budaya barat di negara-negara ini
ternyata diikuti dengan peningkatan angka prevalensi asma. 1
Di Asia Tenggara, prevalensi asma terendah adalah Vietnam dan Indonesia,
sedangkan Thailand, Singapura dan Philipina paling tinggi. Prevalensi asma di Indonesia
berkisar antara 3-12%. Di Palembang pada tahun 2004 didapatkan prevalensi asma pada
anak SD sebesar 6,2% dan terjadi peningkatan prevalensinya dibandingkan 9 tahun yang
lalu sebanyak 5,1%. Peningkatan prevalensi asma di Asia dihubungkan juga dengan
adopsi budaya kebarat-kebaratan dan juga pencemaran lingkungan.1 Meski asma
berhubungan erat dengan atopi yang bersifat diturunkan, peningkatan prevalensi yang
sangat besar tersebut tidak dapat dijelaskan dengan genetik semata. Peningkatan
prevalensi tersebut disebabkan oleh faktor lingkungan, diantaranya karena perubahan
gaya hidup (Western life style), berkembangnya polusi dan urbanisasi.5

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ASMA


Faktor Host
a. Genetik
Asma merupakan penyakit herediter, namun tidak sesimpel itu beberapa data
menunjukan gen multipel yang berhubungan dengan potogenesis asma, dan
perbedaan genetic terkait dengan etnis. Penelitian dan analisa hubungan antara
faktor genetik dan asma mengindentifikasi adanya sejumlah region kromosom
yang berhubungan dengan hiperresponsif jalan nafas, dan gen yang mengatur
hiperresponsif jalan nafas berlokasi di dekat lokus mayor yang berhubungan
dengan level serum IgE di kromosom 54. Selain itu, juga terdapat gen yang
merupakan faktor predisposisi asma. Gen ini berhubungan dengan respon
terhadap penatalaksanaan asma. Contohnya, variasi gen yang mengkode beta-
adrenoceptor berhubungan dengan respon terhadap β2 agonis. Gen ini penting
bukan hanya sebagai faktor resiko dalam patogensesis asma tetapi juga
berhubungan dengan respon terhadap penatalaksanaan asma.
b. Obesitas.
Obesitas juga dapat menjadi faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin
dapat mempengaruhi fungsi jalan nafas dan meningkatkan eksaserbasi asma.
c. Jenis Kelamin
Jenis kelamin laki-laki merupakan faktor resiko asma pada anak. Hingga usia 14
tahun prevalensi asma pada laki-laki 2x lebih banyak daripada perempuan pada
orang dewasa, prevalensi asma lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki.
Alasan perbedaan angka prevalensi ini belum jelas. Namum, ukuran pase pada
laki-laki lebih kecil daripada perempuan pada usia anak-anak dan lebih besar
daripada perempuan pada usia dewasa.

Faktor Lingkungan
d. Alergen
Walaupun telah diketahui secara jelas, alergen spesifik yang dapat memicu
eksaserbasi asma belum diketahui. Penelitian menunjukkan bahwa alergen kutu
rumah, bulu kucing dan bulu anjing dapat menjadi faktor resiko serangan asma.
Hal ini tergantung pada jenis alergen, dosis, waktu paparan, usia anak, dan
genetik.
e. Infeksi
Selama kehamilan, sejumlah virus berkaitan dengan asma. Virus respirasi dan
para influenza menimbulkan gejala termasuk bronkiolitis yang kemudian
menyebabkan serangan asma pada anak. Interaksi antara atopi dan infeksi virus
dapat menjadi hubungan yang kompleks.
f. Asap Rokok
Asap rokok berhubungan dengan fungsi paru yang menurun pada penderita asma,
meningkatkan beratnya asma, dan respon terhadap penatalaksanaan
glukokortikoid inhalasi dan sistemik.
g. Polusi udara indoor/outdoor
Polusi udara outdor maupun indoor menyebabkan penurunan fungsi paru, namun
hubungan antara fungsi paru dan eksaserbasi asma belum diketahui.

MEKANISME ASMA

Skema Mekanisme Asma

Inflamasi jalan nafas


Hubungan antara beratnya asma dan intensitas inflamasi belum diketahui secara
jelas. Inflamasi mempengaruhi jalan nafas, termasuk saluran nafas atas dan hidung. Pola
inflamasi jalan nafas menunjukkan adanya kesamaan klinis asma, baik yang alergi, non
alergi, atau yang disebabkan aspirin, dan pada semua usia.

Sel-sel inflamasi
Pola karakteristik inflamasi ditemukan pada penyakit alergi yang terdapat pada
asma dengan sel mast aktif, peningkatan jumlah eosinofil dan jumlah sel T reseptor yang
meningkat, dan pelepasan mediator yang menimbulkan gejala.

Mediator inflamasi
100 mediator yang berbeda dinyatakan dapat memediator asma dan respon
inflamasi pada jalan nafas.
Perubahan Struktur Jalan Nafas
Perubahan struktur jalan nafas disebut sebagai remodeling jalan nafas. Beberapa
perubahan ini berhubungan dengan beratnya penyakit dan dapat menyebabkan
penyempitan jalan nafas yang irreversibel.
Penyempitan jalan nafas merupakan proses yang umum yang dapat menyebabkan
gejala dan perubahan fisiologi pada asma. Beberapa faktor berhubungan dengan
penyempitan jalan nafas pada asma, yaitu :
• Otot polos jalan nafas
Kontraksi sebagai respon terhadap mediator bronkokonstriktor dan neurotransmitter
sebagai mekanisme predominan dalam penyempitan jalan nafas.
• Edema jalan nafas
Edema jalan nafas terjadi karena peningkatan kebocoran mikrovaskular dalam respon
terhadap mediator inflamasi.
• Penebalan jalan nafas
Penebalan jalan nafas terjadi karena perubahan struktur, seringkali disebut
remodeling.
• Hipersekresi mukus
Hipersekresi mukus dapat menimbulkan oklusi luminal dan merupakan hasil
peningkatan sekresi mukus dan eksudat inflamasi.
Hiperresponsif jalan nafas
Hiperresponsif jalan nafas, abnormalitas fungsional pada asma, menyebabkan
penyempitan jalan nafas pada pasien asma. Hiperresponsif jalan nafas berhubungan
dengan inflamasi dan perbaikan jalan nafas. Mekanisme ini belum diketahui.

DIAGNOSIS3
Riwayat penyakit
Gejala. Diagnosis klinis asma biasa ditegakkan dari gejala seperti sesak nafas
berulang, wheezing, batuk dan nyeri dada. Biasanya timbul setelah kontak dengan
allergen, perubahan musim, atau adanya riwayat asama atau atopi pada keluarga. Asma
yang timbul berhubungan dengan rhinitis sering juga timbul pada pasien yang sama sekli
tidak terpengaruh dengan perubahan musim, atau bahkan memperburuk gejala asma pada
pasien yang terpoengaruh musim atau dengan riwayat asma yang persisten.
Pencetus lain asma juga dapat berupa, obat-obatan, rokok, asap, bau yang
menyengat, atau dengan latihan.
Asma tipe batuk. Pasien tipe ini memiliki batuk yang kronik, biasanya pada
anak-anak dan lebih bermasalah pada malam hari, pemeriksaan pada siang hari dapat
menunjukkan hasil normal. Pada pasien ini, pemeriksaan eosinofil sputum dan tes
sensibilitas saluran nafas merupakan suatu hal yg penting.
Bronkokonstriksi akibat latihan. Aktivitas fisik merupakan pencetus paling
sering pada pasien asma umumnya, dan bahkan merupakan satu-satunya pencetus pada
sebagian penderita. Pasien ini menunjukkan batuk-batuk yang terus menerus dan
menghilang ddengan sendirinya dalam 30-45 menit. Sering muncul bila pasien berada
pada kondisi udara yan kering dan diring, dan lebih jarang pada udara yang panas dan
lembab. Perbaikan yang cepat setelah pemberian inhalasi β2-agonist membantu
menegakkan diagnosis asma pada pasien ini. Pada tipe ini, exercise test dapat sangat
membantu.

Pemeriksaan fisik
Karena gejala asma sangat bervariasi, pemeriksaan traktus respirasi mungkin saja
normal. Temuan abnormal yang paling sering ditemukan adalah adanya wheezing,
dengan didukung dengan adanya keterbatasan aliran nafas. Biasanya pada eksaserbasi
asma, wheezing dapat menghilang akibat buruknya aliran udara dan ventilasi yang ada
dalam paru. Namun pada pasien ini, kita juga dapat melihat tanda-tanda pemeriksaan
fisik lainnya yang dapat membuktikan adanya eksaserbasi, yaitu sianosis, kesulitan
berbicara, takikardi, retraksi dinding dada dan interkostal.
Gejala klinis lain seringkali hanya dapat timbul bila dilakukan pemeriksaan
berkala pada pasien tersebut. Adanya tanda hiperinflasi saluran nafas dapat dilihat dari
penyempitan airway, yang merupakan akibat dari kombinasi kontraksi otot polos kecil,.
Edema, dan hipersekresi mucus.

Test untuk monitoring dan diagnosis


Tes fungsi paru. Biasanya pada tes fungsi paru pada pasien asma menunjukkan
adanya abnormalitas paru yang reversible.karena pada pasien asma seringkali sulit
dikenali gejalanya dan tingkat keparahannya, terutama pada pasien dengan asma yang
lama. Pemeriksaan fungsi paru memungkinkan kita untuk menentukan derajat
keterbatasan airflow, reversibilitas dan variasinya, dan membantu menegakkan diagnosis
asma.
Beragam jenis tes fungsi paru dapat dilakukan untuk menilai keterbatasan airflow,
namun hanya dua yang paling sering digunakan, yaitu spirometri (khususnya pengukuran
FEV1 dan FCV) dan pengukuran PEF (Peak Expiratory Flow).
Spirometri merupakan metode yang direkomendasikan. Adanya reversibilitas
yang lebih dari 12% pada pengukuran FEV1 dan FCV pada nilai pre-bronkodilator
menegakkan diagnosis asma. Namun reversibilitas ini masih sering tidak dapat dinilai,
khususnya pada pasien yang telah dalam pengobatan, sehingga pemeriksaan ulangan
sangat dianjurkan pada kunjungan selanjutnya. Nilai rasio FEV1/FCV normalnya adalah
0.75 hingga 0.90, dan dapat mencapai lebih dari 0.90 pada anak-anak. Nilai dibawah itu
menujjukkan adanya seatu keterbatasan airflow.
Pemeriksaan PEF. PEF-meter relative tidak mahal, dapat dibawa, plastic, dan
sesuai untuk pasien yang ingin diukur keterbatasan airflow hari ke hari. Instruksi yang
jelas sangat dibutuhkan dalam penggunaannya karena pengukuran PEF ini sangat
ditentukan oleh derajat usaha yg dilakukan. Biasanya PEF diukur pada pagi hari, dimana
nilai akan menunjukka nilai terendahnya dan pada malam hari, nilai tertingginya.
Penilaian dilakukan dengan berbagai metode, pertama dengan menilai amplitude nya
antara nilai maksimum dan minimum sebagai nilai rata-rata PEF harian, metode lainnya
menilai variabilitas dari nilai PEF pagi hari terendah selama satu minggu, metode yang
kedua lebih praktis karena penilaian cukup dilakukan satu kali perhari.
Pemeriksaan PEF ini dapat berguna untuk:
- Mengkonfirmasi diagnosis asma
- Meningkatkan control asma, terutama pada pasien dengan gejala yang tidak jelas\
- Menilai pencetus asma akibat lingkungan
Pemeriksaan respon jalan nafas. Pada pasien dengan gejala asma yg nyata,
namun dengan fungsi paru yang normal, pengukuran respon dilakukan dengan uji coba
menggunakan inhalasi langsung methacholine atau histamine atau uji coba tidak langsung
menggunakan manitol, atau dengan uji coba latihan. “Sensitifitas” muncul akibat faktor-
faktor pencetus yang biasa disebut “trigger” ndan hasilnya muncul bila konsentrasi atau
dosis provokasi yang diberikan memberikan hasil penurunan (biasanya 20%) dari FEV1.
Hasil negative dapat menyingkirkan kemungkinan asma persisten pada pasien yang tidak
menggunakan obat-obatan inhalasi glukokortikoid, namun hasil positif juga belum dapat
memastikan adanya suatu asma.
Non-invasive markers inflamasi jalan nafas. Evaluasi inflamasi airway yang
berhubungan dengan asma dapat dinilai dengan pemeriksaan adanya eosinofilik atau
netrofil pada sputum spontan atau akibat induksi cairan hipertonis. Sebagai tambahan,
level ekhalasi nitric oxide (FeNO) dan karbon monoksida (FeCO) dapat dipilih sebagai
marker inflamasi pada asma. Kadar FeNO meningkat pada pasien asma (yang tidak
menggunakan obat-obatan glukokortikoid inhalasi).
Pemeriksaan status alergi. Karena ada hubungan yang kuat antara asma dan
rhinitis alergi, keberadaan alergi, khususnya rhinitis alergi meningkatkan kemungkinan
adanya asma. Pada pasien alergi (diidentifikasi menggunakan tes kulit atau serum IgE)
dapat membantu mengidentifikasi factor resiko pada beberapa individu. Tes kulit (patch
test) merupakan alat diagnosis utama untuk mengecek status asma, pemeriksaannya
mudah dan sensitifitasnya tinggi.

DIFERENSIAL DIAGNOSIS3
Diferensial diagnosis asma dibedakan menjadi 3 kelompok umur: bayi, children,
dewasa muda, dan usia tua.

Anak usia 5 tahun kebawah


Diagnosis asma pada anak-anak bergantung kepada penilaian klinis dan temuan
gejala serta pemeriksaan fisik yang ada. Dikarenakan asma seringkali khas untuk gejala
penyakit dengan wheezing, maka harus disingkirkan penyakit-penyakit lainnya yang
memiliki gekala wheezing.
Wheezing berulang dan batuk sering timbul bahkan pada anak yang tidak
memiliki asma sekalipun dan biasanya pada anak usia dibawah 3 tahun. Ada beberapa
kategori wheezing pada anak usia dibawah 5 tahun, yaitu:
- Transient early wheezing. Muncul pada 3 tahun pertama, berhubungan
dengan prematuritas dan orangtua perokok.

- Persisten early-onset wheezing (dibawah 3 tahun). Berhubungan dengan


infeksi saluran nafas akibat virus dan tidak ada riwayat atopi. Gejala biasanya
timbul pada usia sekolah dan hingga usia 12 tahun.

- Late-onset wheezing/asthma. Anak-anak ini memiliki asma yang muncul dari


masa anak-anak bahkan hingga dewasa. Biasa memiliki riwayat atopi dalam
keluarga.

Penyebab lain yang mungkin menimbulkan wheezing yang harus disingkirkan


adalah:
- Rhinosinusitis kronis

- Refluks gastroesofageal

- Infeksi berulang akibat virus pada respirasi bagian bawah


- Kistik fibrosis

- Bronkopulmonal dysplasia

- Tuberculosis

- Aspirasi benda asing

- Imunodefisiensi

- Penyakit jantung bawaan

Metode yang bermanfaat untuk mengkonfirmasi diagnosis asma pada anak usia
dibawh 5 tahun adalah dengan penggunaan bronkodilator short-acting dan inhalasi
glukokortikoid. Perbaikan nyata setelah penggunaan bahan-bahan tersebut menunjang
diagnosis asma.

Anak dan dewasa


Diagnosis bandingnya adalah:
- Sindrom hiperventilasi dan kepanikan

- Obstruksi saluran nafas atas dan inhalasi benda asing

- Disfungsi pita suara

- Penyakit paru obstruktif, biasanya PPOK.

- Parenchymal lung disease

- Gagal jantung kiri

Usia tua
Bunyi nafas mengi, sesak nafas, dan batuk biasa muncul pada keadaan gagal
jantung kiri. Kemunculannya pada malam hari menambah kebingungan karena wheezing
pada asma dan gagal jantung kiri seringkali timbul pada malam hari. Penggunaan beta-
bloker, biasanya pada terapi glaucoma juga dapat menimbulkan wheezing. Pada usia tua,
membedakan asma dan PPOK seringkali sulit dilakukan, dan membutuhkan pemeriksaan
lebih lanjut. PPOK ditandai dengan keterbatasan airflow yang tidak reversible sempurna,
dan biasanya progresif, dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal terhadap agen
noxious atau gas. Namun pada asma juga dapat dicetuskan oleh agen-agen noxious dan
gas. Maka dari itu perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan.

KLASIFIKASI DERAJAT ASMA

Berdasarkan Etiologi3
Klasifikasi asma berdasarkan etiologi telah banyak dikemukakan, terutama yang
berhubungan dengan lingkungan. Bagaimanapun, klasifikasi ini terbatas pada pasien
yang tidak dapat diidentifikasi ada tidaknya penyebab lingkungan lainnya. Memberikan
penjelasan kepada pasien tentang penyakit asma memberikan manfaat, karena seringkali
etiologi dapat diketahui oleh pasien bila pasien tersebut memperhatikan.

Berdasarkan Berat Penyakit3


Klasifikasi asma berdasarkan berat bermanfaat ketika keputusan
Intermitent
Gejala kurang dari seminggu sekali
Kekambuhan
Gejala malam hari tidak lebih dari dua kali sebulan
- FEV1 atau PEV ≥ 80%
- Variasi PEF atau FEV1 < 20%
Persisten ringan
Gejala muncul lebih dari sekali seminggu namun kurang dari sekali sehari
Kekambuhan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala malam hari lebih dari dua kali sebulan
- FEV1 atau PEV ≥ 80%
- Variasi PEF atau FEV1 < 20-30%
Persisten sedang
Gejala muncul lebih tiap hari
Kekambuhan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala malam hari lebih dari sekali seminggu
- FEV1 atau PEV 60- 80%
- Variasi PEF atau FEV1 > 30%
Persisten berat
Gejala muncul tiap hari
Kekambuhan sering
Gejala malam hari sering
Aktivitas fisik terbatas
- FEV1 atau PEV≤ 60%
- Variasi PEF atau FEV1 > 30%

Berdasarkan Derajat Asma6


Parameter klinis, Asma episodik Asma episodik Asma persisten
kebutuhan obat, jarang sering
dan faal paru
1. Frekuensi <1x / bulan >1x / bulan Sering
serangan
2. Lama serangan < 1 minggu ≥ 1 minggu Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
remisi
3. Intensitas Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
serangan
4. Di antara Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
serangan malam
5. Tidur dan Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
aktifitas
6. Pemeriksaan fisis Normal (tidak Mungkin Tidak pernah
di ditemukan terganggu normal
luar serangan kelainan) (ditemukan
kelainan)
7. Obat pengendali Tidak perlu Perlu, non steroid Perlu, steroid
(anti inflamasi)
8. Uji faal paru (di PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 60- PEF/FEV1 <60%
luar 80% Varibilitas 20-30%
serangan)
9. Variabilitas faal Variabilitas >15% Variabilitas >30% Variabilitas >50%
paru (bila ada
serangan)

Berdasarkan Kontrol Asma3


Kontrol asma dapat dilakukan dalam berbagai cara. Secara umum, dibagi kedalam
pencegahan atau pengobatan. Idealnya, tidak hanya dilakukan berdasarkan pemeriksaan
fisik saja, namun juga berdasarkan temuan marker inflamasi dan patofisiologi pada
penyakit tersebut. Dikarenakan pemeriksaan dengan biopsy endobronkial atau eosinofil
sputum atau ekhalasi FeNO mahal, maka disarankan untuk melakukan control asma
berdasarkan gejala klinis yang ada, termasuk abnormalitas tes fungsi paru.
Karakteristik Terkontrol Terkontrol- Tidak
sebagian terkontrol
Gejala harian Tidak ada ( 2x atau Lebih dari 2x/minggu Tiga atau lebih
kurang/minggu) gejala
Keterbatasan Tidak ada Ada
terkontrol-
aktivitas
sebagian dalam
Terbangun malam Tidak ada Ada
seminggu
hari
Membutuhkan terapi Tidak ada (2x atau Lebih dari 2x/minggu
kurang/ minggu)
Fungsi paru (PEF Normal <80%
atay FEV1)
Kekambuhan Tidak ada 1x setahun 1x seminggu

PENATALAKSANAAN3
Tujuan terapi asma adalah untuk membuat dan menjaga gejala agar tetap
terkontrol. Obat-obatan asma terbagi dua, yaitu controllers dan relievers. Controllers
adalah obat yang diminum setiap hari jangka panjang untuk menjaga agar gejala klinis
terkontrol. Dapat berupa kortikosteroid sistemik dan inhalasi, leukotrine modifiers,
inhalasi long-acting β2-agonis yang dikombinasikan dengan kortikosteroid inhalasi,
teofiline lepas-lambat, anti IgE. Inhalasi kortikosteroid merupakan pilihan yang paling
efektif. Relievers adalah obat-obatan yang digunakan bila diperlukan dalam pengobatan
cepat untuk menghilangkan bronkokonstriksi dan gejala. Termasuk di dalamnya adalah
inhalasi short-acting β2-agonis, inhalasi antikolinergik, teofilin kerja-cepat dan oral
short-acting β2-agonis.

Inhalasi glukokortikosteroid
Merupakan terapi anti-inflamasi asma yang paling efektif. Dapat mengurangi
gejala asma, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan fungsi paru, menurunkan
hiperresponsif airway dan gejala kekambuhan. Bagaimanapun, obat ini tidak
menyembuhkan asma, namun menjadikannya terkontrol. Penggunaannya biasa dalam
dosis rendah, dikarenakan banyaknya efek samping yang mungkin terjadi pada dosis
tinggi. Efek samping penggunaan glukokortikosteroid ini bergantung kepada dosis dan
potensi steroid, bioavailability sistemik, first pass metabolism di hati, waktu paruh obat.
Efek sistemik penggunaan inhalasi dosis tinggi jangka panjang adalah easy bruising,
supresi adrenal, penurunan densitas tulang, katarak dan glaucoma. Tidak ada bukti
evidence penggunaan inhalasi kortikosteroid dapat meningkatkan resiko infeksi paru,
termasuk TBC.

Leukotriene modifiers
Penggunaan Leukotriene modifiers menunjukkan efek bronkodilator, menurunkan
gejala seperti batuk, meningkatkan fungsi paru, dan mengurangi inflamasi saluran nafas.
Dalam penggunaan tunggal sebagai controllers, efek kerja Leukotriene modifiers kurang
dibandingkan dengan inhalasi glukokortikosteroid. Digunakan sebagai tambahan untuk
mengurangi dosis inhalasi glukokortikosteroid pada pasien dengan asma sedang hingga
berat.

Inhalasi long-acting β2-agonis


Inhalasi long-acting β2-agonis, termasuk didalamnya formoterol dan salmeterol
tidak boleh digunakan sebagai pengobatan tunggal asma, karena obat ini tidak
mengurangi inflamasi airway pada asma. Obat jenis in ipaling efektif bila
dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi. Penambahan long-acting β2-agonis
pada inhalasi glukokortoikosteroid menurunkan gejala asma malam hari,meningkatkan
fungsi paru, menurunkan penggunaan inhalasi short-acting β2-agonis, menurunkan
kekambuhan. Formoterol dan salmeterol digunakan untuk mencegah bronkokonstriksi
ringan akibat latihan yang lebih lama dibandingkan dengan inhalasi short-acting β2-
agonis. Formoterol beronset cepat sedang salmeterol beronset lambat.

Teofilin
Teofilin merupakan suatu bronkodilator dan bila diberikan dalam dosis kecil
memiliki efek anti-inflamasi. Sebagai tambahan terapi, teofilin kurang efektif bila
dibandingkan dengan inhalasi long-acting β2-agonis. Efek sampingnya muncul pada
penggunaan dosis tinggi. Dapat berupa gejala gastrointestinal, mencret, aritmia jantung,
kejang, dan bahkan kematian. Mual dan muntah merupakan gejala yang paling serig
timbul.

Oral long-acting β2-agonis


Oral long-acting β2-agonis digunakan bila penggunaan bronkodilator tambahan
dibutuhkan. Termasuk didalam tipe ini adalah salbutamol, terbutaline, dan bambuterol.
Efek samping Oral long-acting β2-agonis lebih besar disbanding dengan inhalasi β2-
agonis, termasuk stimulasi system kardiovaskular (takikardi), anxietas, dan tremor.

Anti IgE
Terapi anti-IgE (omalizumab) terbatas pada pasien dengan serum IgE yang
meningkat. Diberikan pada pasien asma yang berat dan tidak terkontrol dengan
penggunaan inhalasi glukokortikosteroid. Keberhasilan control asma tergambarkan
dengan adanya penurunan gejala, penurunan pemakaian reliever dan makin sedikitnya
kekambuhan.

Glukokortikosteroid sistemik
Glukokortikosteroid oral jangka panjang mungkin diperlukan untuk mengontrol
asma berat. Pemberian oral lebih baik dibandingkan dengan parenteral (IV atau IM)
karena efek mineralokortikoid yang lebih minimal, waktu paruh yang lebih pendek, dan
efek minimal pada otot. Efek samping penggunaan jangka panjang berupa osteoporosis,
hipertensi arterial, diabetes, supresi hypothalamic-pituitary-adrenal, obesitas, katarak,
penipisan kulit, kemerahan pada kulit, dan kelemahan otot. Infeksi herpes virus juga
dapat berakibat fatal pada pasien dengan konsumsi glukokortikosteroid.
Reliever
Inhalasi β2-agonis kerja cepat
Digunakan untuk menghilangkan bronkokonstriksi pada asama atau pencegahan
bronkokonstriksi pada asma akibat latihan. Termasuk didalamnya salbutamol, terbutaline,
fenoterol, reproterol dan pirbuterol. Hanya diberikan bila diperlukan dengan dosis
minimal dan bila dibutuhkan. Dapat menimbulkan efek takikardia dan tremor selama
pemberian.

Glukokortikosteroid sistemik
Penting untuk pengobatan eksaserbasi akut asma berat, mengurangi kebutuhan
emergensi dan perwatan inap. Efeknya hanya 4-6 jam, penggunaan oral sama efektifnya
dengan intravena hidrokortison. Diberikan 50-100 mg perhari selama 5-10 hari
bergantung pada derajat keparahan asma. Bila gejala sudah mencapai gejala minimal,
penggunaan bias dihentikan dan dilanjutkan denga glukokortikosteroid inhalasi. Efek
samping dapat berupa abnormalitas metabolism glukosa, eningkatan nafsu makan, retensi
air, penambahan berat badan, moon face, hipertensi, peptic ulcer, dan nekrosis aseptic
pada femur.

Antikolinergik
Sediaan ipratropium bromide dan oxitropium bromide. Penggunaannya kurang
efektif disbanding inhalasi β2-agonis. Namun dapat menurunkan angka perawatan pada
pasien asma. Efek sampingnya berupa kekeringan pada mulut dan rasa pahit, namun tidak
berefek pada sekresi mucus.

Teofiline
Teofilin kerja singkat dapat digunakan untuk menghilangkan gejala, namun masih
controversial.

PENGOBATAN ASMA PADA ANAK3


Penggunaan pada anak biasanya adalah menggunakan inhalasi, hampir semua
anak dapat diajari penggunaan inhalasi.
Pemilihan inhaler mada anak
Kelompok usia Preferensi Alternative
Dibawah 4 tahun Pressurized Nebulizer dengan
metered-dose inhalaer face mask
ditambah dedicatd spacer
dengan face mask
4-6 tahun Pressurized Nebulizer dengan
metered-dose inhalaer mouthpiece
ditambah dedicatd spacer
dengan mouthpiece
>6 tahun Inhalasi serbuk, Nebulizer dengan
Pressurized metered-dose mouthpiece
inhalaer ditambah dedicatd
spacer dengan mouthpiece

Pengobatan untuk Mengontrol Asma


Obat yang dapat mengontrol asma pada anak termasuk intalasi dan
glukokortikosteroid sistemik, leukotriene modifiers, inhalasi beta-2 agonis long acting,
teofilin, dan oral beta-2 agonis long-acting.

Glukokortikosteroid inhalasi
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan terapi yang paling efektif dan disarankan
untuk semua usia anak dengan asma. Untuk anak di atas 5 tahun, pengobatan ini dapat
memberikan perbaikan gejala dan fungsi paru dan dapat mengontrol asma pada sebagian
besar pasien. Selain pada anak dengan usia diatas 5 tahun rumatan dengan inhalasi
glukokortikosteroid dapat mengontrol asma, menurunkan frekuensi eksaserbasi akut, dan
perawatan Rumah Sakit, meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan hiperresponsif
saluran nafas. Dosis yang lebih mungkin dibutuhkan pada hiperresponsif jalan nafas yang
berat
Untuk anak dibawah usia 5 tahin efeknya hamper sama dengan anak usia 5 tahun.
Namun penguunaan obat dilakukan dengan dosis yanglebih sedikit. Dosis harian adalah ≤
400µg budesonide atau sesuai dengan benefit maksimal pasien tersebut. Penggunaan
gklokokortikosteroid tidak menyembuhkan asma pada anak usia ini dan dapat timbul
kembali bila penggunaan obat dihentikan
Pada masa pertumbuhan lebih penting untuk mengetahui factor pencetus asma
sebelum dilakukan pemberian obat ini karena pemberian gklokokortikosteroid pada usia
ini menunjukan penurunan angka pertumbuhan pada dekade pertama pertumbuhan. Ini
berkaitan dengan keterlambatan maturasi tulang.

Leukotrien modifier
Pada anak usia diatas 5 tahun, penggunann obat ini menunjukan perbaikan klinis
pada berbagai tingkat keparahan, namun kurang efektif bila dibandingkan dengan dosis
rendah gklokokortikosteroid inhalasi. Pengobatan ini juga digunakan sebagai tambahan
pada anak yang menggunakan inhalsai gklokokortikosteroid, namun penggunaannya
kurang efektif bila dibandingkan dengan penambahan dosis inhalasi
gklokokortikosteroid.
Pada anak dengan usia dibawah 5 tahun pengobatan dengan leukotrien modifier
sama seperti anak diatas 5 tahun. Penggunaan obat ini dapat mengurangi eksaserbasi akut
pada asma akibat infeksi virus

Inhalasi β2 agonist long acting


Penggunaan obat ini pada anak usia diatas 5 tahun yang mengalami kesulitan
dalam mengontrol asma dengan inhalasi gklokokortikosteroid sebagai terapi tunggal.
Perbaikan klinis uang signifikan pada FEV dan penilaian fungsi paru ditemukan pada
banyak kasus. Namun penggunaan monoterapi obat jenis sebaiknya dihindari.
Penambahan inhalasi beta 2 agonis long acting tidak dapat menurunkan frekuensi
eksaserbasi akut pada asma secara signifikan. Dosis tunggal beta 2 long acting efektif
untuk menurunkan angka bronkokonstriki akibat latihan untuk beberapa jam. Kombinasi
inhalasi glukokortikosteroid dengan inhalasi beta 2 agonis long acting dalam satu produk
lebih diutamakan daripada penggunaan keduanya dalam inhaler berbeda.
Pada anak dengan usia dibawah 5 tahun efeknya belum dipelajari secara jelas.
Kombinasi budesonide dan formoterol menunjukan penurunan angka eksaserbasi akut
pada anak usia 4 tahun keatas dengan asma sedang berat. Walaupun efek samping beta 2
agonis dapat ditoleransi, namun obat ini tidak direkomendasikan sebagai obat untuk
mengontrol asma.

Teofilin
Teofilin menunjukan hasil yang efektif digunakan sebagai monoterapi ataupun
sebagai tambahan bila digabungkan dengan gklokokortikosteroid oral. Penambahan
teofilin dalam terapi asma memberikan perbaikan dalam mengontrol asma dan
menurunkan kebutuhan dosis gklokokortikosteroid baik oral maupun inhalasi. Namun,
bagaimanapun juga efek teofilin tidak sebaik efek inhalasi gklokokortikosteroid dosis
rendah. Sediaan lepas lambat lebih dipilih sebagai terapi rumatan dengan dosis dua kali
sehari. Sediaan lepas lambat ini memungkinkan absorbsi dan bioavailabilitas penuh
dalam tubuh dengan atau tanpa adanya makanan dalam saluran pencernaan. Eliminasi
teofilin bervariasi pada setiap individu.
Efek samping teofilin dapat berupa anorejksia, mual, mumtah, sakit kepala.
palpitasi, takikardi, aritmia, diare, dan perdarahan lambung juga dapat muncul. Efek ini
sering kali timbul bila penggunaan diatas 10kg/KgBB/hari.

Oral long acting beta 2 agonis


Terapi menggunakan Oral long acting beta 2 agonis seperti pada sediaan
salbutamol, terbutalin, dan bambuterol menurunkan angka kejadian asma pada malam
hari. Penggunaanya tidak begitu dianjurkan karna efek sampingnya yang tinggi berupa
stimulasi kardiovaskular, anxietas, tremor. Bila obat ini digunakan penggunanya harus
diawasi.

Glukokortikosteroid sistemik
Karena efek samping yang tinggi pada penggunaanya penggunaan
glukokortikosteroid pada asma haruis dikurangi dalam pengobatan eksaserbasi akut

Reliever
Inhalasi beta 2 agonist kerja cepat dan oral beta 2 agonis short-acting.
Inhalasi beta 2 agonist rapid acting adalah bronkodilator yang paling efektif untuk
pengobatan asma akut pada anak dengan segala usia. Inhalasi ini menyebabkan
bronkodilatasi yang cepat pada dosis rendah dan dengan efek samping yang lebih sedikit
daripada pemberian oral ataupun intravena. Terapi inhalasi dapat menghambat
bronkokonstriksi akibat latihan selama ½-2 jam. Hal ini tidak dapat terjadi pada
pemberian sistemik. Pengobatan oral jarang dibutuhkan dan hanya diberikan pada anak
usia muda yang tidak dapat terkontrol dengan terapi inhalasi tunggal. Efek samping
penggunaan obat ini berupa tremor otot skeletal, sakit kepala, palpitasi, dan agitasi pada
penggunaan dosis tinggi beta 2 agonis.

Antikolinergik
Inhalasi antikolinergik tidak direkomendasikan pada pengobatan jangka panjang
asma pada anak.

STANDAR PENATALAKSANAAN ASMA BRONKIALE PADA ANAK DI RSMH


PALEMBANG.
Pengobatan Asma Bronkiale di Rumah Sakit Muhammad Hoesin Palembang
menggunakan ketetapan yang ada pada Standar Pelaksanaan Ilmu Kesehatan Anak, yaitu
sebagai berikut:
1. Mencari dan menghindari factor pencetus, untuk itu diperlukan kerja sama
dengan orang tua penderita.
2. Mencegah serangan asma dengan pemberian obat untuk mempertahankan sel-
sel mediator tidak pecah. Obat-obatan yang idpakai adalah, sodium
kromoglikat dan ketotifen. Bila serangan diduga diakibatkan oleh factor alergi
\dan serangan terjadi lebih dari 3 kali dalam sebulan diberikan ketotifen dosis
0,025 mg/kgBB/ hari, dibagi dalam 2 dosis, diberikan selama 6 bulan atau
lebih.
3. Pengelolaan serangan akut atau status asmatikus:
Berikan fentolin nebulizer 0,5-1 ampul.

Penatalaksanaan juga dibagi menurut tingkat keparahan serangan, yaitu:


• Serangan Ringan: 1 kali nebulisasi  pulang dengan obat oral (pulvus asma)
• Serangan sedang: 2-3 kali nebulisasi  rawat sehari dan diberikan oksigen serta
steroid oral, nebulisasi kembali setiap 2 jam, penilaian dilakukan setelah 8-12
jam. Bila terdapat perbaikan, pasien diperbolehkan pulang, namun jika terapi
gagal dilakukan, pasien dirawatinapkan dan dipasang IVFD.
• Serangan berat (3 kali nebulisasi), bila nebulisasi gagal mengihangkan gejala,
dinyatakan sebagai status asmatikus dan pasien dirawatinapkan, serta dilakukan
pemasangan IVFD. Steroid diinjeksikan setiap 6-8 jam, aminofilin intravena
dengan dosis 15-20mg/kgBB/hari (1/3 diberikan bolus dan 2/3 diberikan dalam
benruk drip), nebulisasi setiap 4-6jam. Bila keadaan klinis membaik atau stabil,
pasien diperbolehkan pulang dengan pemberian pulvus asma oral.

PROGNOSIS
Secara umum dengan tatalaksana yang tepat pasien-pasien dengan status
asmatikus yang tidak disertai komplikasi lain memiliki prognosis yang baik. Karena itu
terapi dini dan agresif sangat diperlukan untuk mencegah memburuknya prognosis pasien
status asmatikus. 1
BAB 1V
ANALISIS KASUS

Seorang penderita perempuan berusia 13 tahun datang dengan keluhan utama


sesak nafas. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat batuk pilek sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit. Berdasarkan literatur, infeksi saluran nafas dapat menjadi factor
pencetus eksaserbasi akut pada asma. Infeksi saluran nafas dapat mengawali serangan
asma karena mukus yang kental merupakan salah satu penyebab obstruksi saluran napas
bawah selain edema akibat reaksi inflamasi dan spasme otot bronkhiale. Sesak disertai
bunyi mengi dan dipicu oleh cuaca dingin mengarahkan pada asma bronkhiale,
sedangkan sesak tidak dipengaruhi posisi menyingkirkan kemungkinan penyebab sesak
dari organ lain seperti jantung. Tidak adanya gejala demam dapat menyingkirkan
kemungkinan bronkopneumonia dimana sesak terjadi secara gradual dan disertai demam
tinggi. Dari riwayat penyakit dahulu, diketahui penderita mempunyai riwayat asma sejak
usia 5 tahun, serta riwayat ayah dengan asma. Keduanya mengarahkan kepada asma
bronkhiale.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kecuali pernafasan
cepat (36 x/menit) yang menunjukkan bahwa penderita mengalami sesak. Pada
pemeriksaan khusus didapatkan adanya nafas cuping hidung; pada inspeksi thorak terlihat
adanya retraksi intercostal dan subcostal, pada auskultasi didapatkan ekspirasi
memanjang dan wheezing. Adanya wheezing pada hasil pemeriksaan auskultasi paru,
menunjukkan adanya khas asma pada pasien ini.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarahkan diagnosis pada asma bronkhiale.
Adanya riwayat sesak berulang 3-4 kali setiap bulan menunjukkan bahwa asma
bronkhiale yang diderita adalah episodik sering. Sementara itu, untuk mengetahui
beratnya derajat asma, perlu dilakukan tes fungsi paru khususnya untuk menilai FEV1 \dan
PEF.
Oleh karena penderita datang dengan eksaserbasi akut, di IRD ditatalaksana
pertama kali dengan pemberian O2 sungkup dan nebulisasi salbutamol (ventolin), akan
tetapi gagal, ditandai dengan masih adanya wheezing dan retraksi intercostal dan
subcostal sehingga penderita dinyatakan mengalami status asmatikus dan dirawat inap.
Di bangsal penderita di terapi dengan Aminofilin 170 mg (5mg/kgBB) atau 7 cc
diencerkan dengan D5% 20cc dan diinjeksikan bolus lebih dari 20 menit, IVFD D5% +
NaCl 15% 15 cc (1750 cc) + aminofilin 17 mg (4,25cc/kolf) dalam 24 jam  gtt 18
makro, injeksi deksametason 3 x 2 mg (0.1-0.25 mg/kg BB/24 jam dibagi dalam 3 dosis)
atau 3 x 0.5 cc, nebulisasi salbutamol + ipratropium bromida 1 ampul setiap 2 jam hingga
klinis membaik.
Prognosis penderita ini baik karena asma bronkhiale bersifat reversibel. Dan pada
penderita ini belum terdapat komplikasi sehingga diprognosis quo ad vitam maupun quo
ad functionam adalah bonam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Werner HA. Status Asthmaticus in Children: A Review. Chest. 2001; 119(6):


1913-29.
2. Supriyanto B, Yunus F, Pradjnaparamitha, Sundari H, Makino S. Pendekatan
dalam Penatalaksanaan Asma. Medi Media Asia, Jakarta, 1999: 1-6
3. O’Byrne, Paul MD. Global Strategy for Asthma Management and Prevention.
Canada: McMaster University. 2007. p; 2-40.
4. Rees, John. Definition and Pathology. In: Rees, John. ABC of Asthma. Fifth
Edition. London: Bacwell Publishing. 2006. p; 1-3.
5. Cantani, A. Epidemiology and Natural History of Atopic Disease. In: Cantani, A.
Pediatric Allergy, Asthma, and Imunology. Jerman: Springer. 2008. p; 363-410;
732-751.
6. Sundaru H. United allergic airway disease: konsep baru penyakit alergi saluran
napas. Dalam: Naskah lengkap Penedidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLIV. Jakarta: FKUI, 2001; p.21-30.

Anda mungkin juga menyukai