Bab 1-4
Bab 1-4
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
a. Nama : Ismi
b. Umur : 13 tahun
c. Jenis Kelamin : perempuan
d. Nama Ayah : Tn.Drs. Kemas Taufik
e. Nama Ibu : Ny.Megawati
d. Bangsa : Indonesia
g. Agama : Islam
h. Alamat : Dalam Kota
j. MRS tanggal : 23 September 2010
II. ANAMNESIS
2
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat didiagnosis asma bronkiale oleh SpA, sejak usia 5 tahun. Penderita
mengalami serangan asma sebanyak 3-4x, terutama bila penderita dalam suhu
udara terlalu dingin, capek, dan debu. Saat serangan penderita menggunakan
obat semprot dan keluhan berkurang.
- Riwayat dirawat sebelumnya karena serangan asma disangkal.
- Riwayat gatal-gatal pada kulit disangkal.
- Riwayat sering pilek di pagi hari disangkal.
- Riwayat tersedak makanan atau benda asing disangkal.
3
Buah :+
Lain-lain :
Kesan
Kualitas : Cukup
Kuantitas : Cukup
Riwayat Imunisasi
BCG : +, scar +
Polio : +, lengkap (saat lahir, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan)
DPT : +, lengkap ( 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan)
Campak : + (9 bulan)
Hepatitis : +, lengkap ( saat lahir, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan)
Kesan : imunisasi dasar lengkap
Riwayat Keluarga
Perkawinan : 1 kali, selama 17 tahun
Umur : Umur ayah 45 tahun, umur ibu 40 tahun
Pendidikan : S1
Penyakit yang pernah diderita: Ayah penderita menderita asma
Saudara : 1 orang
4
Riwayat Perkembangan Mental
Isap jempol : Usia 6 bulan – 1 tahun
Ngompol : Usia 0 – 3 tahun
Sering mimpi :-
Aktivitas : Normal
Membangkang :-
Ketakutan :-
Status Gizi
BB : 34 kg
TB : 156 cm
BB/U : (34/ 45) x 100% = 75.56%
TB/U : (156/157) x 100% = 99.3%
BB/TB : (34/ 45) x 100% = 75.56%
Kesan : Status gizi kurang
5
Keluhan Syaraf dan Otot
Hilang rasa :- Kejang :-
Kesemutan :- Frekuensi :-
Otot lemas :- Jenis kejang :-
Otot pegal :- Post iktal :-
Lumpuh :- Panas :-
Badan kaku :- Riwayat kejang keluarga :-
Tidak sadar :- Kejang pertam usia :-
Mulut mencucu :- Riwayat trauma kepala :-
Trismus :-
Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
BB : 34 kg
PB : 156 cm
Gizi : Baik
Edema :-
Sianosis :-
Dyspnoe :-
Icterus :-
Anemia :-
Suhu : 36, 4°C
Respirasi : 36 x/menit
Turgor :-
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi
Frekuensi : 135 x/menit
Regularitas : Regular
Status Lokalis
Kulit
Tidak ada kelainan
Kepala
Bentuk : Bulat, simetris
UUB : Rata, tidak menonjol
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis, sklera
ikterik, refleks cahaya +/+, pupil bulat, isokor, ¢ 3 mm
Hidung : Sekret tidak ada, NCH ada
Telinga : Sekret tidak ada
Mulut : Sianosis sirkum oral ada
Tenggorok : Dinding faring tidak hiperemis, T0-T0 tidak hiperemis
Leher : Perbesaran KGB tidak ada, JVP tidak meningkat
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi ada pada subkostal
dan interkostal
Palpasi : Stremfremitus kanan sama dengan kiri, melemah
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : \Vesikuler (+) normal, ekspirasi memanjang (+), ronkhi
tidak ada, wheezing ada
Jantung
Inspeksi : Pulsasi, iktus cordis dan voussour cardiaque tidak terlihat
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR=135 kali/ menit, irama reguler, murmur dan gallop
tidak, Bunyi Jantung I dan II normal
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Akral dingin tidak ada, edema tidak ada, sianosis tidak ada
V. RESUME
Seorang anak perempuan usia 13 tahun beralamat di dalam kota, datang ke IRD
RSMH dengan keluhan utama sesak nafas dan keluhan tambahan nafas berbunyi. Dari
riwayat perjalan penyakit didapatkan bahwa sejak ± 6 jam sebelum masuk rumah sakit,
penderita mengeluh sesak. Sesak nafas disertai nafas berbunyi mengi. Sesak nafas
dipengaruhi cuaca, penderita sesak nafas pada keadaan cuaca yang terlalu dingin. Sesak
nafas juga dipengaruhi emosi. Namun sesak nafas tidak dipengaruhi perubahan posisi.
Batuk (+), pilek (+). Kemudian penderita menggunakan obat semprot di rumah sebanyak
5 kali namun tidak ada perubahan. lalu penderita dibawa ke IRD RSMH. Sejak ± 2 jam
sebelum masuk rumah sakit, di IRD. penderita dilakukan nebulisasi dua kali dengan
salbutamol dan satu kali dengan salbutamol + ipratropium bromida tidak ada perbaikan.
Lalu penderita dianjurkan untuk dirawat. Penderita memiliki riwayat sakit asma sejak
usia 5 tahun dan memiliki riwayat keluarga dengan asma yaitu pada ayah penderita.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum kesadaran kompos mentis
gelisah, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 135 x/m isi dan tegangan cukup, temperatur
36,4 0C, dan pernafasan 36 x/menit. Pada keadaan spesifik didapatkan pada kepala
ditemukan nafas cuping hidung (+/+), sianosis sirkum oral (+). Thorax tampak simetris,
retraksi (+) pada IC dan SC, pada palpasi stemfremitus sama kanan dan kiri, perkusi
sonor dengan auskultasi pada paru vesikuler melemah di kedua paru, ekspirasi
memanjang, wheezing +/+, ronkhi -/-. Jantung dalam batas normal. Abdomen dan
ekstremitas dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan pemeriksaan darah rutin dalam batas
normal, kecuali kadar eosinofil. Pada penderita ini, terjadi peningkatan jumlah eosinofil,
yaitu sebesar 5% yang normalnya adalah 1-3%.
VII. TERAPI
- MRS
- O2 sungkup non rebreathing 5 l/menit
- Aminofilin 170 mg bolus 7 cc diencerkan dengan D5% hingga 20 cc dalam 1
jam pertama
- IVFD D5%+NaCl 15% 15 cc (1750 cc)+ aminofilin 17 mg (4.25cc/kolf) dalam 24
jam gtt 18 makro
- Injeksi deksametason 3 x 1 mg (3 x 0.25 cc)
- Nebulisasi salbutamol + ipratropium bromida 1 ampul setiap 2 jam hingga klinis
membaik
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam.
VIII. FOLLOW UP
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Asma adalah gangguan dengan karakteristik berdasarkan klinis, fisiologis, dan
patologis. Gambaran predominan riwayat klinis pada asma adalah sesak nafas, biasanya
pada malam hari, seringkali disertai batuk . Bunyi mengi merupakan pemeriksaan
auskultasi yang khas. Gambaran fisiologis utama pada asma adalah obstruksi jalan nafas
yang dikarakteristikan dengan adanya keterbatasan aliran udara ekspirasi. Gambaran
patologi dominan pada asma adalah inflamasi jalan nafas, terkadang dihubungkan dengan
perubahan struktur jalan nafas.
Asma terdiri dari komponen genetik dan lingkungan, tetapi karena patogenesisnya
tidak jelas, kebanyakan definisi asma ini bersifat deskriktif. Berdasarkan konsekuensi
jalan nafas, asma adalah gangguan inflamasi kronis jalan nafas dengan elemen selular
dan banyak sel. Inflamasi kronis berhubungan dengan hiperresponsif jalan nafas yang
kemudian menyebabkan bunyi nafas mengi, sesak nafas dan batuk, biasanya pada malam
hari atau pada pagi hari. Episode ini biasanya berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
yang reversible kecil secara spontan maupun dengan obat.
Karena belum ada definisi jelas mengenai asma, peneliti menyebutkan bahwa
adanya asma secara komplek dapat diperiksa secara objektif, misalnya atopi,
hiperresponsif jalan nafas dan pemeriksaan lain terhadap sensitisasi alergik.
Terdapat beberapa bukti adanya manifestasi klinis pada asma, yaitu dengan adanya
gejala, gangguan tidur, aktifitas fisik yang terbatas, fungsi faru yang terbatas, dan
terkontrolnya kondisi asma dengan pengobatan yang adekuat. Ketika asma terkontrol,
keluhan asma dan eksaserbasi jarang terjadi.3
Ada juga sumber yang menyebutkan bahwa asma bronkhiale adalah penyakit
inflamasi kronik saluran nafas atas dengan melibatkan banyak sel dan elemen sel, yang
ditandai dengan meningkatnya reaktifitas trakea dan bronkus terhadap berbagai
rangsangan, yang menyebabkan episode mengi, batuk dan sesak nafas berulang
khususnya malam atau pagi hari. Episode tersebut berkaitan dengaan obstruksi saluran
nafas yang bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan.4
EPIDEMIOLOGI
Asma merupakan masalah dunia, kira-kira 300 juta individu. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa prevalensi asma di dunia adalah 1-18% populasi. Terdapat beberapa
bukti bahwa prevalensi asma meningkat pada beberapa Negara. WHO memperkirakan 15
juta ketidakmampuan dalam kehidupan disebabkan oleh asma. Angka kematian dunia
akibat asma diperkirakan 250.000.3
Asma merupakan penyakit respirologi anak terbanyak dengan angka perawatan
terbesar di rumah sakit di Amerika Serikat. Data statistik tahun 2001 menunjukkan
terdapat 15 juta penduduk Amerika yang menderita asma dan 5 juta diantaranya adalah
anak-anak. Jumlah kunjungan penderita ke instalasi rawat darurat per tahun mencapai 2
juta kunjungan dan 500.000 berada dalam keadaan status asmatikus yang memerlukan
perawatan di rumah sakit. Untuk angka mortalitas asma anak usia 5-14 tahun telah
meningkat dua kali dalam kurun waktu 15 tahun, yaitu dari tahun 1980 hingga 1995.
Hasil penelitian di negara lain seperti Inggris, Australia, dan Selandia Baru ternyata juga
menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Untuk negara-negara di Asia dan Afrika
memang prevalensinya jauh lebih rendah, namun beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa seiring dengan bertambah besarnya pengaruh budaya barat di negara-negara ini
ternyata diikuti dengan peningkatan angka prevalensi asma. 1
Di Asia Tenggara, prevalensi asma terendah adalah Vietnam dan Indonesia,
sedangkan Thailand, Singapura dan Philipina paling tinggi. Prevalensi asma di Indonesia
berkisar antara 3-12%. Di Palembang pada tahun 2004 didapatkan prevalensi asma pada
anak SD sebesar 6,2% dan terjadi peningkatan prevalensinya dibandingkan 9 tahun yang
lalu sebanyak 5,1%. Peningkatan prevalensi asma di Asia dihubungkan juga dengan
adopsi budaya kebarat-kebaratan dan juga pencemaran lingkungan.1 Meski asma
berhubungan erat dengan atopi yang bersifat diturunkan, peningkatan prevalensi yang
sangat besar tersebut tidak dapat dijelaskan dengan genetik semata. Peningkatan
prevalensi tersebut disebabkan oleh faktor lingkungan, diantaranya karena perubahan
gaya hidup (Western life style), berkembangnya polusi dan urbanisasi.5
Faktor Lingkungan
d. Alergen
Walaupun telah diketahui secara jelas, alergen spesifik yang dapat memicu
eksaserbasi asma belum diketahui. Penelitian menunjukkan bahwa alergen kutu
rumah, bulu kucing dan bulu anjing dapat menjadi faktor resiko serangan asma.
Hal ini tergantung pada jenis alergen, dosis, waktu paparan, usia anak, dan
genetik.
e. Infeksi
Selama kehamilan, sejumlah virus berkaitan dengan asma. Virus respirasi dan
para influenza menimbulkan gejala termasuk bronkiolitis yang kemudian
menyebabkan serangan asma pada anak. Interaksi antara atopi dan infeksi virus
dapat menjadi hubungan yang kompleks.
f. Asap Rokok
Asap rokok berhubungan dengan fungsi paru yang menurun pada penderita asma,
meningkatkan beratnya asma, dan respon terhadap penatalaksanaan
glukokortikoid inhalasi dan sistemik.
g. Polusi udara indoor/outdoor
Polusi udara outdor maupun indoor menyebabkan penurunan fungsi paru, namun
hubungan antara fungsi paru dan eksaserbasi asma belum diketahui.
MEKANISME ASMA
Sel-sel inflamasi
Pola karakteristik inflamasi ditemukan pada penyakit alergi yang terdapat pada
asma dengan sel mast aktif, peningkatan jumlah eosinofil dan jumlah sel T reseptor yang
meningkat, dan pelepasan mediator yang menimbulkan gejala.
Mediator inflamasi
100 mediator yang berbeda dinyatakan dapat memediator asma dan respon
inflamasi pada jalan nafas.
Perubahan Struktur Jalan Nafas
Perubahan struktur jalan nafas disebut sebagai remodeling jalan nafas. Beberapa
perubahan ini berhubungan dengan beratnya penyakit dan dapat menyebabkan
penyempitan jalan nafas yang irreversibel.
Penyempitan jalan nafas merupakan proses yang umum yang dapat menyebabkan
gejala dan perubahan fisiologi pada asma. Beberapa faktor berhubungan dengan
penyempitan jalan nafas pada asma, yaitu :
• Otot polos jalan nafas
Kontraksi sebagai respon terhadap mediator bronkokonstriktor dan neurotransmitter
sebagai mekanisme predominan dalam penyempitan jalan nafas.
• Edema jalan nafas
Edema jalan nafas terjadi karena peningkatan kebocoran mikrovaskular dalam respon
terhadap mediator inflamasi.
• Penebalan jalan nafas
Penebalan jalan nafas terjadi karena perubahan struktur, seringkali disebut
remodeling.
• Hipersekresi mukus
Hipersekresi mukus dapat menimbulkan oklusi luminal dan merupakan hasil
peningkatan sekresi mukus dan eksudat inflamasi.
Hiperresponsif jalan nafas
Hiperresponsif jalan nafas, abnormalitas fungsional pada asma, menyebabkan
penyempitan jalan nafas pada pasien asma. Hiperresponsif jalan nafas berhubungan
dengan inflamasi dan perbaikan jalan nafas. Mekanisme ini belum diketahui.
DIAGNOSIS3
Riwayat penyakit
Gejala. Diagnosis klinis asma biasa ditegakkan dari gejala seperti sesak nafas
berulang, wheezing, batuk dan nyeri dada. Biasanya timbul setelah kontak dengan
allergen, perubahan musim, atau adanya riwayat asama atau atopi pada keluarga. Asma
yang timbul berhubungan dengan rhinitis sering juga timbul pada pasien yang sama sekli
tidak terpengaruh dengan perubahan musim, atau bahkan memperburuk gejala asma pada
pasien yang terpoengaruh musim atau dengan riwayat asma yang persisten.
Pencetus lain asma juga dapat berupa, obat-obatan, rokok, asap, bau yang
menyengat, atau dengan latihan.
Asma tipe batuk. Pasien tipe ini memiliki batuk yang kronik, biasanya pada
anak-anak dan lebih bermasalah pada malam hari, pemeriksaan pada siang hari dapat
menunjukkan hasil normal. Pada pasien ini, pemeriksaan eosinofil sputum dan tes
sensibilitas saluran nafas merupakan suatu hal yg penting.
Bronkokonstriksi akibat latihan. Aktivitas fisik merupakan pencetus paling
sering pada pasien asma umumnya, dan bahkan merupakan satu-satunya pencetus pada
sebagian penderita. Pasien ini menunjukkan batuk-batuk yang terus menerus dan
menghilang ddengan sendirinya dalam 30-45 menit. Sering muncul bila pasien berada
pada kondisi udara yan kering dan diring, dan lebih jarang pada udara yang panas dan
lembab. Perbaikan yang cepat setelah pemberian inhalasi β2-agonist membantu
menegakkan diagnosis asma pada pasien ini. Pada tipe ini, exercise test dapat sangat
membantu.
Pemeriksaan fisik
Karena gejala asma sangat bervariasi, pemeriksaan traktus respirasi mungkin saja
normal. Temuan abnormal yang paling sering ditemukan adalah adanya wheezing,
dengan didukung dengan adanya keterbatasan aliran nafas. Biasanya pada eksaserbasi
asma, wheezing dapat menghilang akibat buruknya aliran udara dan ventilasi yang ada
dalam paru. Namun pada pasien ini, kita juga dapat melihat tanda-tanda pemeriksaan
fisik lainnya yang dapat membuktikan adanya eksaserbasi, yaitu sianosis, kesulitan
berbicara, takikardi, retraksi dinding dada dan interkostal.
Gejala klinis lain seringkali hanya dapat timbul bila dilakukan pemeriksaan
berkala pada pasien tersebut. Adanya tanda hiperinflasi saluran nafas dapat dilihat dari
penyempitan airway, yang merupakan akibat dari kombinasi kontraksi otot polos kecil,.
Edema, dan hipersekresi mucus.
DIFERENSIAL DIAGNOSIS3
Diferensial diagnosis asma dibedakan menjadi 3 kelompok umur: bayi, children,
dewasa muda, dan usia tua.
- Refluks gastroesofageal
- Bronkopulmonal dysplasia
- Tuberculosis
- Imunodefisiensi
Metode yang bermanfaat untuk mengkonfirmasi diagnosis asma pada anak usia
dibawh 5 tahun adalah dengan penggunaan bronkodilator short-acting dan inhalasi
glukokortikoid. Perbaikan nyata setelah penggunaan bahan-bahan tersebut menunjang
diagnosis asma.
Usia tua
Bunyi nafas mengi, sesak nafas, dan batuk biasa muncul pada keadaan gagal
jantung kiri. Kemunculannya pada malam hari menambah kebingungan karena wheezing
pada asma dan gagal jantung kiri seringkali timbul pada malam hari. Penggunaan beta-
bloker, biasanya pada terapi glaucoma juga dapat menimbulkan wheezing. Pada usia tua,
membedakan asma dan PPOK seringkali sulit dilakukan, dan membutuhkan pemeriksaan
lebih lanjut. PPOK ditandai dengan keterbatasan airflow yang tidak reversible sempurna,
dan biasanya progresif, dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal terhadap agen
noxious atau gas. Namun pada asma juga dapat dicetuskan oleh agen-agen noxious dan
gas. Maka dari itu perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan.
Berdasarkan Etiologi3
Klasifikasi asma berdasarkan etiologi telah banyak dikemukakan, terutama yang
berhubungan dengan lingkungan. Bagaimanapun, klasifikasi ini terbatas pada pasien
yang tidak dapat diidentifikasi ada tidaknya penyebab lingkungan lainnya. Memberikan
penjelasan kepada pasien tentang penyakit asma memberikan manfaat, karena seringkali
etiologi dapat diketahui oleh pasien bila pasien tersebut memperhatikan.
PENATALAKSANAAN3
Tujuan terapi asma adalah untuk membuat dan menjaga gejala agar tetap
terkontrol. Obat-obatan asma terbagi dua, yaitu controllers dan relievers. Controllers
adalah obat yang diminum setiap hari jangka panjang untuk menjaga agar gejala klinis
terkontrol. Dapat berupa kortikosteroid sistemik dan inhalasi, leukotrine modifiers,
inhalasi long-acting β2-agonis yang dikombinasikan dengan kortikosteroid inhalasi,
teofiline lepas-lambat, anti IgE. Inhalasi kortikosteroid merupakan pilihan yang paling
efektif. Relievers adalah obat-obatan yang digunakan bila diperlukan dalam pengobatan
cepat untuk menghilangkan bronkokonstriksi dan gejala. Termasuk di dalamnya adalah
inhalasi short-acting β2-agonis, inhalasi antikolinergik, teofilin kerja-cepat dan oral
short-acting β2-agonis.
Inhalasi glukokortikosteroid
Merupakan terapi anti-inflamasi asma yang paling efektif. Dapat mengurangi
gejala asma, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan fungsi paru, menurunkan
hiperresponsif airway dan gejala kekambuhan. Bagaimanapun, obat ini tidak
menyembuhkan asma, namun menjadikannya terkontrol. Penggunaannya biasa dalam
dosis rendah, dikarenakan banyaknya efek samping yang mungkin terjadi pada dosis
tinggi. Efek samping penggunaan glukokortikosteroid ini bergantung kepada dosis dan
potensi steroid, bioavailability sistemik, first pass metabolism di hati, waktu paruh obat.
Efek sistemik penggunaan inhalasi dosis tinggi jangka panjang adalah easy bruising,
supresi adrenal, penurunan densitas tulang, katarak dan glaucoma. Tidak ada bukti
evidence penggunaan inhalasi kortikosteroid dapat meningkatkan resiko infeksi paru,
termasuk TBC.
Leukotriene modifiers
Penggunaan Leukotriene modifiers menunjukkan efek bronkodilator, menurunkan
gejala seperti batuk, meningkatkan fungsi paru, dan mengurangi inflamasi saluran nafas.
Dalam penggunaan tunggal sebagai controllers, efek kerja Leukotriene modifiers kurang
dibandingkan dengan inhalasi glukokortikosteroid. Digunakan sebagai tambahan untuk
mengurangi dosis inhalasi glukokortikosteroid pada pasien dengan asma sedang hingga
berat.
Teofilin
Teofilin merupakan suatu bronkodilator dan bila diberikan dalam dosis kecil
memiliki efek anti-inflamasi. Sebagai tambahan terapi, teofilin kurang efektif bila
dibandingkan dengan inhalasi long-acting β2-agonis. Efek sampingnya muncul pada
penggunaan dosis tinggi. Dapat berupa gejala gastrointestinal, mencret, aritmia jantung,
kejang, dan bahkan kematian. Mual dan muntah merupakan gejala yang paling serig
timbul.
Anti IgE
Terapi anti-IgE (omalizumab) terbatas pada pasien dengan serum IgE yang
meningkat. Diberikan pada pasien asma yang berat dan tidak terkontrol dengan
penggunaan inhalasi glukokortikosteroid. Keberhasilan control asma tergambarkan
dengan adanya penurunan gejala, penurunan pemakaian reliever dan makin sedikitnya
kekambuhan.
Glukokortikosteroid sistemik
Glukokortikosteroid oral jangka panjang mungkin diperlukan untuk mengontrol
asma berat. Pemberian oral lebih baik dibandingkan dengan parenteral (IV atau IM)
karena efek mineralokortikoid yang lebih minimal, waktu paruh yang lebih pendek, dan
efek minimal pada otot. Efek samping penggunaan jangka panjang berupa osteoporosis,
hipertensi arterial, diabetes, supresi hypothalamic-pituitary-adrenal, obesitas, katarak,
penipisan kulit, kemerahan pada kulit, dan kelemahan otot. Infeksi herpes virus juga
dapat berakibat fatal pada pasien dengan konsumsi glukokortikosteroid.
Reliever
Inhalasi β2-agonis kerja cepat
Digunakan untuk menghilangkan bronkokonstriksi pada asama atau pencegahan
bronkokonstriksi pada asma akibat latihan. Termasuk didalamnya salbutamol, terbutaline,
fenoterol, reproterol dan pirbuterol. Hanya diberikan bila diperlukan dengan dosis
minimal dan bila dibutuhkan. Dapat menimbulkan efek takikardia dan tremor selama
pemberian.
Glukokortikosteroid sistemik
Penting untuk pengobatan eksaserbasi akut asma berat, mengurangi kebutuhan
emergensi dan perwatan inap. Efeknya hanya 4-6 jam, penggunaan oral sama efektifnya
dengan intravena hidrokortison. Diberikan 50-100 mg perhari selama 5-10 hari
bergantung pada derajat keparahan asma. Bila gejala sudah mencapai gejala minimal,
penggunaan bias dihentikan dan dilanjutkan denga glukokortikosteroid inhalasi. Efek
samping dapat berupa abnormalitas metabolism glukosa, eningkatan nafsu makan, retensi
air, penambahan berat badan, moon face, hipertensi, peptic ulcer, dan nekrosis aseptic
pada femur.
Antikolinergik
Sediaan ipratropium bromide dan oxitropium bromide. Penggunaannya kurang
efektif disbanding inhalasi β2-agonis. Namun dapat menurunkan angka perawatan pada
pasien asma. Efek sampingnya berupa kekeringan pada mulut dan rasa pahit, namun tidak
berefek pada sekresi mucus.
Teofiline
Teofilin kerja singkat dapat digunakan untuk menghilangkan gejala, namun masih
controversial.
Glukokortikosteroid inhalasi
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan terapi yang paling efektif dan disarankan
untuk semua usia anak dengan asma. Untuk anak di atas 5 tahun, pengobatan ini dapat
memberikan perbaikan gejala dan fungsi paru dan dapat mengontrol asma pada sebagian
besar pasien. Selain pada anak dengan usia diatas 5 tahun rumatan dengan inhalasi
glukokortikosteroid dapat mengontrol asma, menurunkan frekuensi eksaserbasi akut, dan
perawatan Rumah Sakit, meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan hiperresponsif
saluran nafas. Dosis yang lebih mungkin dibutuhkan pada hiperresponsif jalan nafas yang
berat
Untuk anak dibawah usia 5 tahin efeknya hamper sama dengan anak usia 5 tahun.
Namun penguunaan obat dilakukan dengan dosis yanglebih sedikit. Dosis harian adalah ≤
400µg budesonide atau sesuai dengan benefit maksimal pasien tersebut. Penggunaan
gklokokortikosteroid tidak menyembuhkan asma pada anak usia ini dan dapat timbul
kembali bila penggunaan obat dihentikan
Pada masa pertumbuhan lebih penting untuk mengetahui factor pencetus asma
sebelum dilakukan pemberian obat ini karena pemberian gklokokortikosteroid pada usia
ini menunjukan penurunan angka pertumbuhan pada dekade pertama pertumbuhan. Ini
berkaitan dengan keterlambatan maturasi tulang.
Leukotrien modifier
Pada anak usia diatas 5 tahun, penggunann obat ini menunjukan perbaikan klinis
pada berbagai tingkat keparahan, namun kurang efektif bila dibandingkan dengan dosis
rendah gklokokortikosteroid inhalasi. Pengobatan ini juga digunakan sebagai tambahan
pada anak yang menggunakan inhalsai gklokokortikosteroid, namun penggunaannya
kurang efektif bila dibandingkan dengan penambahan dosis inhalasi
gklokokortikosteroid.
Pada anak dengan usia dibawah 5 tahun pengobatan dengan leukotrien modifier
sama seperti anak diatas 5 tahun. Penggunaan obat ini dapat mengurangi eksaserbasi akut
pada asma akibat infeksi virus
Teofilin
Teofilin menunjukan hasil yang efektif digunakan sebagai monoterapi ataupun
sebagai tambahan bila digabungkan dengan gklokokortikosteroid oral. Penambahan
teofilin dalam terapi asma memberikan perbaikan dalam mengontrol asma dan
menurunkan kebutuhan dosis gklokokortikosteroid baik oral maupun inhalasi. Namun,
bagaimanapun juga efek teofilin tidak sebaik efek inhalasi gklokokortikosteroid dosis
rendah. Sediaan lepas lambat lebih dipilih sebagai terapi rumatan dengan dosis dua kali
sehari. Sediaan lepas lambat ini memungkinkan absorbsi dan bioavailabilitas penuh
dalam tubuh dengan atau tanpa adanya makanan dalam saluran pencernaan. Eliminasi
teofilin bervariasi pada setiap individu.
Efek samping teofilin dapat berupa anorejksia, mual, mumtah, sakit kepala.
palpitasi, takikardi, aritmia, diare, dan perdarahan lambung juga dapat muncul. Efek ini
sering kali timbul bila penggunaan diatas 10kg/KgBB/hari.
Glukokortikosteroid sistemik
Karena efek samping yang tinggi pada penggunaanya penggunaan
glukokortikosteroid pada asma haruis dikurangi dalam pengobatan eksaserbasi akut
Reliever
Inhalasi beta 2 agonist kerja cepat dan oral beta 2 agonis short-acting.
Inhalasi beta 2 agonist rapid acting adalah bronkodilator yang paling efektif untuk
pengobatan asma akut pada anak dengan segala usia. Inhalasi ini menyebabkan
bronkodilatasi yang cepat pada dosis rendah dan dengan efek samping yang lebih sedikit
daripada pemberian oral ataupun intravena. Terapi inhalasi dapat menghambat
bronkokonstriksi akibat latihan selama ½-2 jam. Hal ini tidak dapat terjadi pada
pemberian sistemik. Pengobatan oral jarang dibutuhkan dan hanya diberikan pada anak
usia muda yang tidak dapat terkontrol dengan terapi inhalasi tunggal. Efek samping
penggunaan obat ini berupa tremor otot skeletal, sakit kepala, palpitasi, dan agitasi pada
penggunaan dosis tinggi beta 2 agonis.
Antikolinergik
Inhalasi antikolinergik tidak direkomendasikan pada pengobatan jangka panjang
asma pada anak.
PROGNOSIS
Secara umum dengan tatalaksana yang tepat pasien-pasien dengan status
asmatikus yang tidak disertai komplikasi lain memiliki prognosis yang baik. Karena itu
terapi dini dan agresif sangat diperlukan untuk mencegah memburuknya prognosis pasien
status asmatikus. 1
BAB 1V
ANALISIS KASUS