Anda di halaman 1dari 4

B.

Manfaat Mempelajari Filsafat

Pernahkah kita menduga bahwa ada ilmu yang tidak bermanfaat. Jika bicara
faedah ilmu , tentu tidak aneh, karena semua orang sepakat bahwa ilmu memiliki
manfaat yang sangat besar. Bagaimana cara orang makan, jika tidak mengerti
ilmunya. Hidup manusia tidak pernah berhenti membutuhkan ilmu, meskipun sedetik
saja.

Apa sih kegunaan filsafaat ilmu? Pasti belajar filsafat ilmu ada gunanya, sebab
semua pengetahuan berguna untuk manusia. Menurut buku filsafat ilmu, kegunaan
filsafat ilmu ada 7 macam, yaitu:

1. Lebih mengetahui pengertiannya, objek-objeknya, dan seluk beluk filsafat


ilmu itu sendiri.
2. Memberikan pengetahuan tentang sumber-sumber pengetahuan dan
kebenarannya.
3. Menambah ketajaman berpikir dalam memahami masalah senantiasa dikaji
secara rasional, sistematis, dan logis.
4. Mengarahkan manusia untuk mengakui secara arif bahwa ilmu pengetahuan
itu kebenaran relatif, sehingga setiap pemikiran memiliki nilai kebenarannya
masing-masing.
5. Melatih berpikir mendalam dan radikal.
6. Dapat memahami filsafat dan mengantarkan orang yang belajar filsafat untuk
menjadi “filsuf”.
7. Mengasah otak melalui kontemplasi pemikiran terhadap yang rasional dan
metafisikal.

Belajar filsafat tidak pernah puasa jika cara belajarnya diiringi dengan penuh rasa
seni. Sebagaimana kegunaan filsafat ilmu, yaitu mengembangkan cara perpikir
filosofis sumber-sumber pengetahuan dan validitasnya. Filsafat ilmu merupakan alat
untuk mengkaji seluk beluk ilmu sehingga taksonomi ilmu menjadi lebih rinci dan
mendalam .
C. Metode Mempelajari Filsafat

Juhaya S. Pradja mengemukakan dalam bukunya Aliran-aliran ilmu filsafat


dan etika, bahwa metodologi filsafat ada tiga, yakni:
1. Metode deduksi, suara metode berpikir yang menarik kesimpulan dari
prinsip-prinsip umum, kemudian diterapkan pada sesuatu yang bersifat
khusus
2. Metode induksi, metode berpikir dalam menarik kesimpulan dari prinsip
khusus, kemudian diterapkan pada sesuatu yang bersifat umum.
3. Metode dialektika, metode berpikir yang menarik kesimpulan melalui tiga
tahap atau jenjang, yakni tesis, antitesis, dan sintesis.

Tiga metode yang dikemukakan oleh Juhaya S. Praja itu, sebut saja bahwa ada
dua pendekatan mempelajari filsafat, yaitu pendekatan logika dan dialektika.

Metode mempelajari filsafat ilmu juga demikian. Agar tidak loncat-loncat,


sebelum memahami epistemologi, terlebih dahulu kita harus memahami ontologi,
yakni hakiat pengetahuan. Jika ontilogi sudah dipahami, pelajarilah epistemologi
dengan empat pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan konsepsional, mempelajari terminologi epistemologi


secara semantik maupun definitif. Pendekatan ini dilakukan sebagai
tahap awal pengetahuan kognitif dalam mempelajari filsafat ilmu.
2. Pendekatan biografikal, mempelajari seluruh tokoh filsafat.
Pertimbangannya adalah filsafat itu lebih dekat kelahirannya oleh para
falosof, bukan oleh negara atau kepentingan-kepentingan lainnya.
Filsafat dilahirkan oleh seorang manusia yang penasaran dengan apa
yang dilihat. Penasaran oleh air, angin, hidup, mati dan sebagainya.
3. Pendekatan logika dan dialektika, mempelajari filsafat ilmu dengan
pola pikir deduksi, induksi, dan reduksi. Kemudian, dilakukan pula
melalui pola pikir statementik yang dikritik tajam oleh antisentis,
hingga berujung kepada sintesisnya.
4. Pendekatan kritis, pendekatan yang menekankan pada pendekatan
substansial kajian filsafat, pikiran-pikiran para filosof dan berbagai
pengaruhbya terhadap pengetahuan manusia. Kemudian, dianilasis dan
di kritisi dengan pendekatan filosofis yang sama, sehingga setiap objek
yang sedang dipelajari dab dipahami akan lebih berkembang dilihat
dari dampak positifnya kepada orang yang sedang belajar.
Aristoteles (384-322 SM) menjadi terkenal karena metode silogisme atau
logikanya. Dengan menggabungkan pembenaran dan penyangkalan di antara tiga
terma, sebuah kesimpulan yang menyakinkan dapat diperoleh dengan metode ini. Jika
dua terma secara terpisah membenarkan terma yang ketiga maka dapat disimpulkan
bahwa kedua terma tersebut saling membenarkan satu sama lainnya. Akan tetapi,
bilamana hanya satu terma yang membenarkan terma ketiga, terma pertama dan
kedua saling menyangkal satu sama lain. Aristoteles merangkai semua kombinasi
yang mungkin terjadi dan merumuskan hukum-hukum untuk mengatur kombinasi-
kombinasi tersebut. Metode ini menjernihkan dan membuang keraguan jalan pikiran
atas dasar hubungan antara tiga terma.

Silogisme adalah setiap penyimpulan dari dua keputusan yang disimpulkan


dengan keputusan baru. Silogisme ini dibagi menjadi dua, yakni: pertama, silogisme
kategoris: kedua, silogisme hipotetis. Silogisme kategoris adalah silogisme yang
premis-premis dan kesimpulannya berupa keputusan kategoris. Silogisme ini dapat
dibedakan menjadi:

1. Silogisme kategoris tunggal; terdiri atas dua premis.


2. Silogisme kategoris tersusun; terdiri atas lebih dari dua premis.

Silogisme hipotesis adalah silogisme yang terdiri atas satu premis atau lebih
yang berupa keputusan hipotetis. Silogisme ini dapat dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu:

1. Silogisme hipotetis kondisional, yang ditandai dengan ungkapan: jika ...


(maka)
... ;
2. Silogisme hipotetis disyungtif, yang ditandai dengan ungkapan: atau ...
atau ... ;
3. Silogisme hipotesis konyungtif, yang ditandai dengan ungkapan: tidak
sekaligus ... dan ...

Ada hukum-hukum yang perlu ditepati dalam silogisme kategoris. Hukm-


hukum itu dibedakan dalam dua kelompok. Kelompok yang satu menyangkut terma-
terma dan yang lainnya menyangkut keputusan-keputusan.

Edmund Husserl (1859-1938) merumuskan metode fenomenologis yang


secara tepat mampu menempatkan filsafat dalam jajaran ilmu-ilmu lain. Ia
berpandangan bahwa filsafat membutuhkan sebuah metode yang tepat untuk
menegaskan validitasnya di dalam kehidupan dan pengalaman hidup manusia sehari-
hari. Namun, husserl juga memakai kesadaran yang akhirnya membawanya ke dalam
skeptisisme. Bagaimana kesadaran dapat menetapkan kebenaran filsafat sejajar
dengan kebenaran dalam kategori ilmiah? Meskipun demikian, metode
fenomonologis Husserl telah menjadi ujung tombak munculnya aliran
eksistensialisme, dan bahkan hampir dapat dipastikan bahwa eksistensialisme dikenal
karena pengaruh metode fenomonologi sebagai metodenya. Akan tetapi, sasaran
Husserl justru bertolak belakang dengan ia inginkan sebab ia menghendaki filsafat
menjadi sebuah “ilmu pengetahuan yang sangat berpengaruh”. Hal ini tidak mungkin
karena metode yang ia gunakan bersifat subjektif dan kekurangan verifikasi yang
universal. Metode Husserl membawa kembali sebagian dari metode empirisisme dan
metode ragu-ragu.

Selemahnya apapun metode-metode di atas, sampai detik ini masih dipelajari


dan dipergunakan dalam filsafat, terutama kaitannya dengan pencarian sumber dan
seluk beluk pengetahuan dan kebenarannya. Meskipun belum “layak” disebut sebagai
metode filsafat, itulah cara berfilsafat, tidak akan pernah puas dengan apa yang sudah
ada.

Anda mungkin juga menyukai