Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lapisan dasar budaya Jawa yang dalam dan meresap sering disebut dengan istilah

kejawen, diterjemahkan sebagai kejawaan atau Jawanisme. Akhiran -isme akan menyiratkan

pengertian bahwa kejawen adalah suatu ajaran dan praktek. Sebagai falsafah hidup, kejawen

cukup luas cakupannya termasuk di dalamnya teologi, kosmologi, mitologi, metafisika dan

antropologi. Semua segi ini membentuk satu pandangan hidup orang Jawa sebagai sebuah

sistem pemikiran tentang hubungan sosial, meresap kedalam etika dan akal sehat yang

mengatur hidup orang Jawa. Kejawen bukanlah suatu agama meskipun pengertian kejawen ini

bisa menghasilkan pratek-praktek keagamaan tertentu. Secara teologis, kejawen mengenal

prinsip Illahi lebih daripada Allah yang mempribadi atau transenden. Esensi ini yang sering

diacu sebagai hidup (Urip) meliputi dan meresapi segala yang ada. Esensi ini adalah awal dan

tujuan segala sesuatu yang ada.1 Namun yang menjadi inti atau penting kejawen adalah

kebatinan, yaitu pengembangan kehidupan Bathin dan diri yang terdalam seseorang. Diri

terdalam itulah yang sesungguhnya yang merupakan saripati Kehidupan yang serba meliputi.

Dalam beberapa tamsil yang khas, ekspresi tentang hidup itu sendiri dilukiskan sebagai

sebuah perjalanan dari asal menuju tujuan, dari penghamilan menuju peleburan kembali

dengan Sang Segala sesuatu. Dalam pandangan kebatinan, latihan diri ini harus berangkat dari

luar menuju ke dalam, dari penguasaan lair menuju pengasahan batin, dari menjadi sadar

sepenuhnya akan lingkungan sosial sekelilingnya menuju menjadi peka terhadap kehadiran

Hidup dan realisasinya dalam keberadaan batin, ini berarti mengkoordinasikan diri dengan

kebenaran lebih tinggi hingga seseorang yang bersangkutan melebur dengannya. 2 Dengan

1
Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya Jawa, Muangthai dan Filipina (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999), 46.
2
Niels Mulder, 2001, Mistisme Jawa:Ideologi di Indonesia ,Yogyakarta:LKIS, 100

1
kata lain kebatinan merupakan pemenuhan pribadi melalui cara membiasakan diri dengan

“Tuhan”, dengan “Hidup”.3

Kebatinan Jawa terasa menonjol sekali dalam kehidupan bangsa Indonesia setelah

zaman kemerdekaan, namun tidak dapat disangkal bahwa kebatinan bukan begitu saja muncul

di Indonesia. Sebelum jaman kemerdekaan, kebatinan telah ada bahkan dapat dikatakan sejak

ada bangsa Indonesia.4 Sebagian terbesar aliran kebatinan terdapat di Jawa. Kebanyakan

kelompok –kelompok ini sifatnya lokal. Pada th. 1969 di seluruh Jawa Tengah, termasuk

Yogyakarta terdapat 103 aliran yang berpengaruh yaitu aliran-aliran yang lingkup

pengaruhnya lebih luas. Tiga dari antara mereka mempunyai anggota di seluruh pulau Jawa

yang jumlahnya cukup besar. Adapun ketiga aliran tsb. Menurut jumlah anggotanya ialah:

Pangestu, Sapta Dharama dan Subud. Ketiga- tiganya berasal dari Jawa Tengah. Tetapi kini

pusatnya di Jakarta.5

Salah satu ciri mistik kejawen adalah tatacara hidup yang selalu diwarnai laku-laku

spritual, salah satunya adalah laku-tapa. Persoalan tapa, dalam mistik kejawen menjadi ihwal

penting. Apalagi dalam Serat Wulangreh, Pakubuwana IV juga menegaskan : “sokur oleh

wong tapa ingkang wus hamangkul, tan mikir pawewehing liyan”. Artinya, kalau berguru

(mencari ilmu kesempurnaan) hendaknya mencari manusia yang sudah senang bertapa,

karena mereka itu sudah tidak lagi memikirkan pemberian manusia lain. ia sudah sepi ing

pamrih dalam hidupnya.6

3
Ibid, 67
4
Harun Hadiwijono, 1983, Konsepsi Tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa, Jakarta: Sinar Harapan, 10.
5
S.De Jong, 1976, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 11
6
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya spiritual Jawa,
2003, Yogyakarta: Narasi, 117

2
B. Rumusan masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan

beberapa perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep ketuhanan Pangestu?

2. Bagaimana praktik tapa kejawen pada umumnya?

3. Bagaimana praktik tapa Pangestu?

4. Pangestu dan agama Kristen

3
BAB II
KONSEP ALLAH DAN MANUSIA
DALAM PANGESTU

1) Aliran Kebatinan Pangestu

Kata “Pangestu” ialah singkatan dari “Paguyuban Ngesti Tunggal”, yang berarti:

“Persatuan untuk bertunggal”. Persatuan ini didirikan pada tanggal 20 mei 1949 di Surakarta.

Tetapi ajaran pangestu, seperti yang diuraikan dalam serat Sasangka Jati, telah diwahyukan

pada tanggal 14 Februari 1932 kepada R. Soenarto Mertowerdojo di rumahnya di Widuran,

Surakarta.7 Menurut Harun Hadiwijono dalam bukunya, Konsepsi tentang manusia dalam

kebatinan Jawa, Pangestu ialah suatu aliran yang dipengaruhi oleh agama Kristen dalam jalan

pemikirannya.

2) Konsep Allah

Pangestu menyakini bahwa hanya ada satu Allah yang wajib disembah. Mengenai

Allah yang satu ini dikatakan, bahwa Ia telah ada sebelum penciptaan, sebab ia kekal adanya.

Artinya tidak terikat waktu dan tempat. Selanjutnya dikatakan, bahwa Allah bukanlah lelaki

ataupun perempuan, bagi-Nya tiada bentuk, tiada warna, sebab ia halus, tidak tampak. Ia juga

tidak bersifat dan tidak dapat dikatakan seperti apa, tiada maut tiada hidup, juga tiada tempat

kediaman bagi-Nya, sekalipun Ia sungguh berdiam, yaitu di dalam Hidup yang kekal.

Akhirnya dikatakan, bahwa Allah tidak melahirkan dan tiak dilahirkan, dan Ia mengatasi

segala pengetahuan serta meliputi segala sesuatu.8

Yang Mutlak ini, yang tidak dapat dikatakan seperti apa, menurut pangestu ialah suatu

ketritunggalan. Sejak awal buku sasangka Jati disebutkan, bahwa Allah yang Esa itu disebut

Tripurusa. Yang selanjutnya diterangkan sebagai KEADAAN SATU YANG BERSIFAT

7
Harun Hadiwijono, Konsepsi tentang manusia dalam kebatinan Jawa, (Jakarta:Sinar Harapan, 1983), 103
8
Ibid, 122

4
TIGA. Menurut Dr Sumantri, kata “sifat” di dalam Serat Sasangka Jati itu berarti faset, atau

aspek, segi, muka (wajah). Ketiga faset itu meliputi:

1. SUKSMA KAWEKAS

Ialah faset pertama dan yang tertinggi. Ialah Hidup dalam keadaan-Nya yang tenang

serta statis (mandeg) secara mutlak. Ialah Kesadaran Hidup, yang keadaan-Nya tak

terbatas, tenang, tentram dan tidak bergerak. Ia dapat disamakan dengan air lautan

yang tenang tanpa gelombang.

2. SUKSMA SEJATI

Yaitu Panutan Sejati atau Pemberi Hidup yang Sejati, Ia merupakan faset Allah yang

kedua, dan disebut Cahaya Allah. Ia dapat disamakan dengan sinar matahari yang

diterima oleh bulan, yang memantulkan sinar bulan yang mengusir kegelapan malam

yang meliputi bumi. Ia juga disebut Nur Muhammad, dan Kristus atau Anak (Sang

Putra). Menurut Dr sumantri, Suksma Sejati ialah Hidup yang dinamis, Hidup yang

telah memiliki aktivitas yang dibangkitkan dari keadaan-Nya yang statis. Suksma

Sejati digambarkan air lautan yang bergerak, yang bergelombang. Ialah Kesadaran

Hidup yang dinamis.

3. Roh Suci

ialah Jiwa Manusia Sejati dan Hakikat manusia. Ialah cahaya Allah dan sehakikat

dengan Allah sendiri. Perbedaannya dengan Suksma sejati ialah, Suksma Sejati

bersinar sebagai suatu “pletikan”(bunga api) dari api yang agung, sedangkan Roh Suci

bersinar dari Suksma Sejati dan menjadi satu dengan Dia. Roh Suci digambarkan

sebagai titik-titik air yang menguap melepaskan diri dari lautan.

5
Baik lautan yang tenang, maupun lautan yang bergelombang dan titik-titik air yang menguap,

ketiga itu sehakikat; semuannya air. Perbedaannya hanya secara gradual. Demikianlah

kesatuan dan perbedaan antara ketiga faset Allah Yang Esa tadi. 9

3) Konsep kejadian dunia manusia

Penjadian dunia sebagai kancah dan tempat Roh Suci dimulai dengan PENCIPTAAN

4 ANASIR. Dengan perantaraan suksma sejati, Suksma Kawekas menjadikan 4 anasir, yaitu,

yaitu: swasana, api, air dan tanah. Keempat anasir tadi keluar dari Allah seperti asap keluar

dari dian. Dari keempat anasir itulah dunia dijadikan.

4) Konsep manusia

Hakikat manusia yang sebenarnya, yang disebut roh suci, ialah faset ketga Allah.

Oleh karena kehendak Suksma Kawekas, Roh suci terkurung di dalam tubuh jasmaniah.

Sekalipun demikian roh Suci tidak terpisahkan dari segala faset yang lain. sebab seluruh Tri

Purusa sebenarnya berada di dalam manusia, tetapi dengan cara yang berbeda-beda. Roh suci

hanya terdapat di dalam manusia, sedangkan Suksma Kawekas dan Suksma Sejati, kecuali

berada di dalam manusia, juga berada di luarnya.10 Sedangkan tubuh manusia, yang adalah

selubung Roh suci,11 terdiri dari 3 bagian, yaitu tiga bagian, yaitu tiga bentuk keadaan12 :

9
Ibid, hlm. 123
10
Ibid, hlm. 129
11
Ibid, hlm. 124
12
Lih. Ibid, hlm. 125-127

6
1) Ke-ada-an yang berbentuk kasar ialah fisik, yang dapat dihayati oleh penginderaan,

tempat terjadi segala proses jiwani-khemis (psikis-khemis). Ke-ada-an ini dapat juga

disamakan dengan dunia biologis. Ikatan dengan bagian lain dari dunia luar terjadi

dengan perantaraan penginderaan dan fungsi vital, seperti umapamanya makan dan

minum dan lain sebagainya. Vitalitas di dalam bentuk keadaan ini terjadi karena

empat nafsu yaitu:

a) NAFSU LAWWAMAH dikatakan berasal dari anasir tanah dan bertmepat di


daging. Sifatnya curang, angkara murka, ingin senantiasa menambah miliknya,
malas, tak menghargai kebaikan dan sebagainya. Tetapi jikalau nafsu ini dapat
ditundukkan dan dijinakan, dijadikan taat, dapat menjadi asas keteguhan.

b) NAFSU AMMARAH berasal dari anasir api, dan bertempat di darah, tersebar
di seluruh tubuh manusia. Ammarah memiliki sifat merindukan dengan sangat,
lekas marah, garang, jahat. Ia berfungsi sebagai jalan bagi saudaranya yang
lain untuk bertindak, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Demikianlah
ammarah menjadi alat nafsu yang lain untuk mencapai tujuannya. Ammarah
ialah asas yang menguatkan segala nafsu lainnya sehingga mencapai
maksudnya.

c) NAFSU SUWIYYAH timbul dari anasir air. Secara jasmaniah nafsu ini
bertempat di tulang punggung, tetapi secara rohani suwiyyah ini ialah
kemauan. Suwiyyah ialah nafsu yag menimbulkan keinginan, cinta birahi.
Suwiyyah juga menyatakan diri pada keinginan dan kelobaan, kasih dan
tertarik kepada yang indah.

d) NAFSU MUTMA’INAH timbul dari anasir hawa, dan bertempat di napas.


Sifatnya: terang, kesucian pengabdian dan belas kasihan. Nafsu ini juga
berhubungan dengan peri kemanusiaan, sosial, supersosial dan kasih kepada
sesama.

7
2) Ke-ada-an yang bentuk keadaan yang berbentuk halus ialah dunia dengan segala

peristiwa jiwani (psikologis), yang juga dapat disebut dunia-ego atau dunia-aku. Di

dalam bentuk ke-ada-an ini ada tiga pusat, yaitu kecakapan intelektual atau logos

dengan tiga fasetnya yaitu:

a) PANGARIBAWA ialah kekuasaan yang melatarbelakangi pikiran atau


CIPTA, yaitu bayang-bayang Roh suci
b) PRABAWA ialah kekuasaan yang melatarbelakangi ANGAN-ANGAN atau
NALAR, yaitu bayang-bayang Suksma Sejati.
c) KEMAYAN ialah kekuasaan yang melatarbelakangi PENGERTI atau
AKALBUDI, yaitu bayang-abayang Suksma Kawekas.

3) Ke-ada-an yang tanpa jasad (imaterial) ialah dunia peristiwa tanpa jasad, dunia Tri

Purusa, yang memiliki pengenaannya pada Rahsa Jati. Rahsa Jati ini bukanlah

sesuatu yang organik, tetapi suatu suasana tertentu di dalam hidup jiwani atau psikis.

Rahsa Jati ini juga dipandang sebagai hakikat hidup berenjana (emosional). Ialah

pintu masuk ambang kemungkinan hakikat tanpa jasad (imaterial), tidak terbelenggu

oleh benda, oleh karenanya juga tidak terbatas pada waktu dan ruang.

Menurut Pangestu, ada dua macam kesempurnaan yang dapat dicapai manusia, yaitu

kesempurnaan yang tertinggi, yang dicapai orang setelah ia meninggal dunia dan

kesempurnaan yang dicapai orang di dalam hidup ini. Kesempurnaan tertinggi itu ialah

kembali kepada Tuhan di dalam alam manusia sejati, yaitu menjadi TUHAN. Di dalam

Sasangka Jati disebutkan, “kamu akan kembali kepada Tuhan, karena kamu diturunkan dari

istana Tuhan; kamu akan masuk ke istana Tuhan dan kamu juga akan menjadi Tuhan, oleh

karena kamu sudah berada di dalam Istana Tuhan.”13

13
Lih. Ibid, hlm 130

8
Kesempurnaan di dalam dunia ini dalam ajaran Pangestu dapat dicapai dengan

menjalani praktik tapa untuk menaklukkan segala nafsunya. Tapa disini digunakan untuk

menyucikan diri lahir dan batin. Kesucian adalah perlengkapan panembah atau pakaian

hamba yang bermaksud menghadap ke hadirat Tuhan, maka tidak boleh diabaikan, karena itu

merupakan sopan santun serta kesucian abdi yang datang menghadap Rajanya.14

BAB III
14
Lih. Sasangka Jati, hlm 211

9
PRAKTIK TAPA
DALAM ALIRAN KEBATINAN PANGESTU

A. Praktik Tapa secara umum dalam masyarakat Kejawen


Salah satu ciri mistik kejawen adalah tatacara hidup yang selalu diwarnai laku-laku
spiritual seperti tapabrata, tirakat, ngurang-ngurangi dan sejumlah ritus lain. Semua tindakan
religi tersebut merupakan laku batin yang sering disebut prihatin. Laku ini dilaksanakan
dalam berbagai cara seperti mutih (pantang makan nasi dan garam), nglowong (pantang
makan beberapa hari), ngepel (makan hanya satu kepal tangan saja), ngebleng ( pantang
makan an nglakoni pada ruang menyendiri), dan sejumlah tapa yang lain.
Dalam Serat Pamoring Kawula- Gusti dianjurkan bahwa manusia harus menjalankan
tujuh macam tapa, berdasarkan kualitasnya, yaitu:

(1) Tapa jasad, yakni laku badan jasmani. Hati harus dibersihkan dari sifat benci dan
sakit hati, rela atas nasibnya, merasa dirinya lemah tak berdaya.
(2) Tapa budi, yatu laku batin atau laku tarekat. Hati harus jujur, menjauhi berbuat
dusta, segala janji harus jujur, menjauhi berbuat dusta, segala janji harus
ditepatinya;
(3) Tapa hawa nafsu, yakni berjiwa sabar dan alim serta memaafkan kesalahan-
kesalahan manusia lain. walaupun kita dianiaya manusia, lebih baik diserahkan
kepada Allah, agar diampuni dosanya;
(4) Tapa brata atau rasa sejati. Yani agar memaksa diri melakukan samadi, mencapai
ketenangan batin (hening-heningan kalbu);
(5) Tapa sukma, yaitu bermurah hati (ambeg paramarta) dengan ikhlas dan rela
mendermakan apa yang dimiliki. Tidak menggangu manusia lain dan ngemong hati
(berbuat baik dengan mengharapkan imbalan) manusia lain.
(6) Tapa cahaya yang memancar, yaitu agar hati selalu awas dan ingat, mengerti lahir
batin, sanggup mengenal yang rumit-rumit antara yang palsu dan yang sejati.
Selalu mengutamakan tindakan yang mendatangkan keselamatan, suka membuat
terang/ padang hati manusia lain yang sedang kesulitan dengan jalan mendermakan
tenaga, harta dan pikirannya (ilmunya);
(7) Tapa hidup (tapaning urip) yakni hidup dengan penuh kehati-hatian dengan hati
yang teguh, dengan hati percaya teguh tidak kawatir terhadap apa yang terjadi
lantaran yakin akan kebijakan Allah.

10
Laku tapa bila dipandang dari segi tata-caranya, Knebel memberikan rumusan berbagai
cara menjalani tapa15, yakni:

(1) Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, kedua kaki diikat pada sebuah pohon,
(2) Tapa ngluwat, yaitu bersamadi di samping makam pada jangka waktu tertentu,
(3) Tapa bisu, dengan menahan diri untuk berbicara yang biasanya didahului dengan
suatu janji,
(4) Tapa bolot, yaitu tidak membersihkan atau mandi dalam jangka waktu tertentu,
(5) Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan,
(6) Tapa ngambran, dengan menyendiri ke hutan dan hanya makan tumbuh-
tumbuhan,
(7) Tapa ngambang, dengan jalan merendam diri di tengah sungai selama beberapa
jangka waktu tertentu,
(8) Tapa ngeli, dengan cara bersemadi16 dan membiarkan diri dihanyutkan arus air di
atas sebuah rakit,
(9) Tapa tilem, dengan cara tidur dalam jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa,
(10) Tapa mutih, hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk, dan
(11) Tapa mangan, dengan jalan tidak tidur tetapi boleh makan

Tujuan tapa adalah semedi. Semedi adalah jalan untuk mencapai intisari mistik yaitu
hubungan langsung dengan tuhan.Tetapi tidak kita pungkiri bahwa antara tapa dan semedi
memang ada yang menyamakan, sehingga kalaupun berbeda hanya dalam intensitas
menjalankannya saja (Geertz, 1989). Namun koentjraningrat (1984) tidak sependapat dengan
pertanyaan itu. Meskipun tidak menyangkal bahwa semedi sering dilakukan bersama-sama
dengan tapa. Maksud yang ingin dicapai dalam meditasi biasanya untuk memperoleh
kekuatan iman dalam enghadapi krisis sosial ekonomi atau sosial politik, untuk memperoleh
kemahiran berkreasi atau berkesenian, mendapatkan wahyu, yang memungkinkan melakukan
pekerjaan dengan penuh tanggung jawab, atau untuk menghadapi tugas yang berat. Namun
ada juga tidak sedikit manusia yang melakukan semedi untuk mendapatkan kasekten
(kesaktian), di samping untuk menyatukan diri dengan Tuhan. Sedangakan tapa sering
dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan (kasekten). Tapa juga langkah mistik untuk
mengekang hawa nafsu.17
15
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 1984, Jakarta: Balai Pustaka, hlm 372-373
16
Bersemadi dalam masyarakat kejawen pada umumunya dapat diartikan dengan meditasi
17
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya spiritual Jawa,
2003, Yogyakarta: Narasi, hlm 116.

11
Dengan kata lain, mistikawan yang semadi akan menjalankan: pati raga (mengingkari
badan wadagnya), pati rasa (secara tenang dan tenteram memusatkan pikiran kepada sesuatu
yang indah permai), minta raga (menyediakan tubuh yang baru), cipta rasa (nikah batin)
menciptakan rasa, pikiran, jiwa yang sempurna. Semedi bukan laku untuk memperoleh
kesaktian atau kekebalan secara fisik. Namun demikian, jika ada mistikawan yang lebih sakti,
kemungkinan besar karena kekuatan batin.18

B. Makna dan praktik Tapa dalam aliran kebatinan Pangestu

Kesucian lahir batin adalah perlengkapan panembah (sembahyang) atau pakaian


hamba yang bermaksud menghadap ke hadirat Tuhan, maka tidak boleh diabaikan, karena itu
merupakan sopan santun serta kesucian abdi yang datang menghadap Rajanya.19
Maka dari itu diperlukan salah satu bentuk tapa. Lewat tapa kekuatan badan
diperlemah, sehingga sikap dan perasaan terhadap sesama manusia berubah. Orang menjadi
lebih sadar akan relativitas eksistensinya. Bila seorang teringat akan maut, maka timbul juga
gagasan sosial dan supra-sosial.20
Menarik perhatian, bahwa makna sosial dari askesis ditekankan, apalagi karena
askesis atau tapabrata merupakan suatu perbuatan yang sangat individuil. Jelaslah bahwa
pembebasan batin tidak diusahakan secara egoistis dengan mengurangi kepentingan sesama.
Orang tidak begitu saja boleh mengasingkan diri dari masyarakat seperti dulu dipraktekkan
oleh para tapa. Menurut Pangestu itu bukanlah tapa yang sebenarnya. Mereka yang
mengasingkan diri di atas gunung-gunung atau hutan rimba tidak bermanfaat lagi bagi
masyarakat (sekurangnya kalau mereka tidak kembali, yang memang jarang terjadi).
Mengusahakan kesempurnaan secara egoistis justru dapat memperkuat nafsu egosentris.21
Selain itu kesempurnaan hidup bukan saja berurusan dengan akhirat, tetapi pada saat
berada di dunia pun dapat diperoleh, maka dari itu harus dipraktekkan di dalam masyarakat
sekarang. Dengan demikian seorang lewat tapanya dapat turut serta membina keselamatan
dunia dan dapat menjadi utusan Allah yang pantas, seorang kalifulah.22Dalam Pangestu faham

18
Ibid, 117.
19
Lih. Sasangka Jati, hlm 211
20
Sumantri Hardijoprakoso dalam S.De Jong, 1976, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, Yogyakarta:Kanisius, 23
21
ibid
22
ibid

12
ini adalah faham Memayu Ayuning Bawana. Paham ini menurut De Jong sebagai,
”mengusahakan keselamatan dunia” atau sebagai “menghiasi, mengindahkan dunia”.23

Dalam kitab Sasangka Jati, Soenarto, seorang pendiri Pangestu tidak memberikan
secara terperinci praktik tapa secara terperinci namun ia memberikan petunjuk bagaimana
tapa itu dilakukan:
“....Aja wareg, naging aja luwe, aja kakehan melek, nanging iya aja kakehan turu; mangkono
sapiturute, kaangkaha dewe kang sarwa sedeng, aja kongsi kaladuk utawa mung umbar-
umbaran bae. Mung bae anggono ngurang-ngurangi kaangkaha saperlu, lan aja nganti
diprusa kang ndadekake karusakaning raga, nanging dikulinakna cecegah saka satitik manut
kekuwatane”.24
Dapat diterjemahkan sebagai berikut:
“....jangan kenyang, tapi jangan lapar, jangan terlalu banyak berjaga namun janganpula
kebanyakan tidur. Aturlah sendiri agar serba sedang, jangan samapai berelbihan atau
melampiaskannya saja.hanya cara mengurangi agar diatur seperlunya dan jangan dipaksa
sehingga menyebabkan rusaknya badan, tetapi biasakanlah menguranginya sedikit demi
sedikit sesuai dengan kekuatan asal teratur setiap hari”. 25

Syarat untuk menjalankan tapa tersebut ialah tidak boleh mengganggu berjalannya
hidup sehari-hari. Dipilih jalan tengah antara keadaan puas dan keadaan lapar.terlalu banyak
berjaga-jaga mengganggu konsentrasi, tetapi banyak tidur juga.

BAB IV

PANGESTU DAN AGAMA KRISTEN

Aliran kebatinan Pangestu mengakui agama Kristen sebagai suatu agama yang sejajar
dengan agama Islam. Menurut Pakdhe Narto (berdasar yang telah disabdakan-Nya) dalam
23
Franz magnis S, dkk, 1983, Etika Jawa dalam Tantangan Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Kanisius, 51
24
R.Soenarto Mertowardojo, Bawa raos ing salebeting raos, 133
25

13
kitab sasangka Jati, maka pada hakekatnya isi Al-quran dan kitab injil selaras dengan Tunggal
Sabda dari Pangestu.26 Barangsiapa percaya penuh akan kebenaran agama Islam dan Kristen
tidak memerlukan lagi ajaran pangestu.
Maksud dari Pangestu bukan mendirikan suatu agama baru berjajaran dengan agama-
agama tersebut di atas. Pangestu mencari pokok-pokok yang sama dalam agama Islam dan
Kristen. Tuhan yang Satu dan Sama oleh orang-orang Krsiten disebut “Bapak”, oleh kaum
Muslimin “Allah Ta’ala”. Bagi orang yang satu Suksma Sejati dengan dengan Nur
Muhammad, bagi orang lain identik dengan Yesus Kristus: Pada bae!27
Kebenaran yang diterima Sunarto mengandung inti Sabda abadi yang juga tercantum
dalam Injil. Ia mulai dengan memaparkan dengan panjang lebar, bahwa Yesus itu ialah Putera
Allah.28 Kita harus mengikuti jejak-Nya agar dapat menghadap tahta Allah. Yesus
memurnikan kita dari segala kekotoran, tetapi dari lain pihak dikatakan, bahwa Dia hanya
memasuki hati yang sudah murni.29
Yang menarik perhatian, ialah bahwa inti Injil oleh Pangestu dilukiskan dengan
konsep-konsep Pangestu yaitu konsep kemurnian budi, rila-narima-sabar, distansi (menjaga
jarak) terhadap dunia materiil. Intinya manusia harus memurnikan hatinya dan
mempersatukan diri dengan Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti
De Jong berpendapat bahwa menurut isi ajarannya agama Kristen hanya sedikit sekali
mempengaruhi alam pikiran Jawa, dan pengaruh itu sama sekali tidak membaharui sesuatu.
Pangestu mengoper beberapa pengertian Kristen tetapi mengolahnya menurut caranya sendiri.
Yang dirumuskan sebagai Patining Injil sebetulnya tak lain daripada doktrin Pangestu sendiri.
Mungkin juga tak dapat diharapkan sesuatu yang lain: setiap orang ingin memperkuat
pendapatnya sendiri dengan mengutip orang lain. dan mistik Jawa memang berlengan panjang
sehingga dapat merangkul baik yang tua maupun yang muda. Unsur-unsur purba dari zaman
Hindu berjajaran dengan tenang di samping agama Islam dan agama Kristen yang baru pada
abad yang lalu memasuki pulau Jawa.30

26
Bd. Sasangka Jati, cet. V, 1983, Jakarta, 76
27
Lih. S.De Jong, 1976, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 105
28
Lih. Opcit, 94.
29
ibid
30
S. De Jong, 1976, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 107

14

Anda mungkin juga menyukai