PENDAHULUAN
Lapisan dasar budaya Jawa yang dalam dan meresap sering disebut dengan istilah
kejawen, diterjemahkan sebagai kejawaan atau Jawanisme. Akhiran -isme akan menyiratkan
pengertian bahwa kejawen adalah suatu ajaran dan praktek. Sebagai falsafah hidup, kejawen
cukup luas cakupannya termasuk di dalamnya teologi, kosmologi, mitologi, metafisika dan
antropologi. Semua segi ini membentuk satu pandangan hidup orang Jawa sebagai sebuah
sistem pemikiran tentang hubungan sosial, meresap kedalam etika dan akal sehat yang
mengatur hidup orang Jawa. Kejawen bukanlah suatu agama meskipun pengertian kejawen ini
prinsip Illahi lebih daripada Allah yang mempribadi atau transenden. Esensi ini yang sering
diacu sebagai hidup (Urip) meliputi dan meresapi segala yang ada. Esensi ini adalah awal dan
tujuan segala sesuatu yang ada.1 Namun yang menjadi inti atau penting kejawen adalah
kebatinan, yaitu pengembangan kehidupan Bathin dan diri yang terdalam seseorang. Diri
terdalam itulah yang sesungguhnya yang merupakan saripati Kehidupan yang serba meliputi.
Dalam beberapa tamsil yang khas, ekspresi tentang hidup itu sendiri dilukiskan sebagai
sebuah perjalanan dari asal menuju tujuan, dari penghamilan menuju peleburan kembali
dengan Sang Segala sesuatu. Dalam pandangan kebatinan, latihan diri ini harus berangkat dari
luar menuju ke dalam, dari penguasaan lair menuju pengasahan batin, dari menjadi sadar
sepenuhnya akan lingkungan sosial sekelilingnya menuju menjadi peka terhadap kehadiran
Hidup dan realisasinya dalam keberadaan batin, ini berarti mengkoordinasikan diri dengan
kebenaran lebih tinggi hingga seseorang yang bersangkutan melebur dengannya. 2 Dengan
1
Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya Jawa, Muangthai dan Filipina (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999), 46.
2
Niels Mulder, 2001, Mistisme Jawa:Ideologi di Indonesia ,Yogyakarta:LKIS, 100
1
kata lain kebatinan merupakan pemenuhan pribadi melalui cara membiasakan diri dengan
Kebatinan Jawa terasa menonjol sekali dalam kehidupan bangsa Indonesia setelah
zaman kemerdekaan, namun tidak dapat disangkal bahwa kebatinan bukan begitu saja muncul
di Indonesia. Sebelum jaman kemerdekaan, kebatinan telah ada bahkan dapat dikatakan sejak
ada bangsa Indonesia.4 Sebagian terbesar aliran kebatinan terdapat di Jawa. Kebanyakan
kelompok –kelompok ini sifatnya lokal. Pada th. 1969 di seluruh Jawa Tengah, termasuk
Yogyakarta terdapat 103 aliran yang berpengaruh yaitu aliran-aliran yang lingkup
pengaruhnya lebih luas. Tiga dari antara mereka mempunyai anggota di seluruh pulau Jawa
yang jumlahnya cukup besar. Adapun ketiga aliran tsb. Menurut jumlah anggotanya ialah:
Pangestu, Sapta Dharama dan Subud. Ketiga- tiganya berasal dari Jawa Tengah. Tetapi kini
pusatnya di Jakarta.5
Salah satu ciri mistik kejawen adalah tatacara hidup yang selalu diwarnai laku-laku
spritual, salah satunya adalah laku-tapa. Persoalan tapa, dalam mistik kejawen menjadi ihwal
penting. Apalagi dalam Serat Wulangreh, Pakubuwana IV juga menegaskan : “sokur oleh
wong tapa ingkang wus hamangkul, tan mikir pawewehing liyan”. Artinya, kalau berguru
(mencari ilmu kesempurnaan) hendaknya mencari manusia yang sudah senang bertapa,
karena mereka itu sudah tidak lagi memikirkan pemberian manusia lain. ia sudah sepi ing
3
Ibid, 67
4
Harun Hadiwijono, 1983, Konsepsi Tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa, Jakarta: Sinar Harapan, 10.
5
S.De Jong, 1976, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 11
6
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya spiritual Jawa,
2003, Yogyakarta: Narasi, 117
2
B. Rumusan masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan
3
BAB II
KONSEP ALLAH DAN MANUSIA
DALAM PANGESTU
Kata “Pangestu” ialah singkatan dari “Paguyuban Ngesti Tunggal”, yang berarti:
“Persatuan untuk bertunggal”. Persatuan ini didirikan pada tanggal 20 mei 1949 di Surakarta.
Tetapi ajaran pangestu, seperti yang diuraikan dalam serat Sasangka Jati, telah diwahyukan
Surakarta.7 Menurut Harun Hadiwijono dalam bukunya, Konsepsi tentang manusia dalam
kebatinan Jawa, Pangestu ialah suatu aliran yang dipengaruhi oleh agama Kristen dalam jalan
pemikirannya.
2) Konsep Allah
Pangestu menyakini bahwa hanya ada satu Allah yang wajib disembah. Mengenai
Allah yang satu ini dikatakan, bahwa Ia telah ada sebelum penciptaan, sebab ia kekal adanya.
Artinya tidak terikat waktu dan tempat. Selanjutnya dikatakan, bahwa Allah bukanlah lelaki
ataupun perempuan, bagi-Nya tiada bentuk, tiada warna, sebab ia halus, tidak tampak. Ia juga
tidak bersifat dan tidak dapat dikatakan seperti apa, tiada maut tiada hidup, juga tiada tempat
kediaman bagi-Nya, sekalipun Ia sungguh berdiam, yaitu di dalam Hidup yang kekal.
Akhirnya dikatakan, bahwa Allah tidak melahirkan dan tiak dilahirkan, dan Ia mengatasi
Yang Mutlak ini, yang tidak dapat dikatakan seperti apa, menurut pangestu ialah suatu
ketritunggalan. Sejak awal buku sasangka Jati disebutkan, bahwa Allah yang Esa itu disebut
7
Harun Hadiwijono, Konsepsi tentang manusia dalam kebatinan Jawa, (Jakarta:Sinar Harapan, 1983), 103
8
Ibid, 122
4
TIGA. Menurut Dr Sumantri, kata “sifat” di dalam Serat Sasangka Jati itu berarti faset, atau
1. SUKSMA KAWEKAS
Ialah faset pertama dan yang tertinggi. Ialah Hidup dalam keadaan-Nya yang tenang
serta statis (mandeg) secara mutlak. Ialah Kesadaran Hidup, yang keadaan-Nya tak
terbatas, tenang, tentram dan tidak bergerak. Ia dapat disamakan dengan air lautan
2. SUKSMA SEJATI
Yaitu Panutan Sejati atau Pemberi Hidup yang Sejati, Ia merupakan faset Allah yang
kedua, dan disebut Cahaya Allah. Ia dapat disamakan dengan sinar matahari yang
diterima oleh bulan, yang memantulkan sinar bulan yang mengusir kegelapan malam
yang meliputi bumi. Ia juga disebut Nur Muhammad, dan Kristus atau Anak (Sang
Putra). Menurut Dr sumantri, Suksma Sejati ialah Hidup yang dinamis, Hidup yang
telah memiliki aktivitas yang dibangkitkan dari keadaan-Nya yang statis. Suksma
Sejati digambarkan air lautan yang bergerak, yang bergelombang. Ialah Kesadaran
3. Roh Suci
ialah Jiwa Manusia Sejati dan Hakikat manusia. Ialah cahaya Allah dan sehakikat
dengan Allah sendiri. Perbedaannya dengan Suksma sejati ialah, Suksma Sejati
bersinar sebagai suatu “pletikan”(bunga api) dari api yang agung, sedangkan Roh Suci
bersinar dari Suksma Sejati dan menjadi satu dengan Dia. Roh Suci digambarkan
5
Baik lautan yang tenang, maupun lautan yang bergelombang dan titik-titik air yang menguap,
ketiga itu sehakikat; semuannya air. Perbedaannya hanya secara gradual. Demikianlah
kesatuan dan perbedaan antara ketiga faset Allah Yang Esa tadi. 9
Penjadian dunia sebagai kancah dan tempat Roh Suci dimulai dengan PENCIPTAAN
4 ANASIR. Dengan perantaraan suksma sejati, Suksma Kawekas menjadikan 4 anasir, yaitu,
yaitu: swasana, api, air dan tanah. Keempat anasir tadi keluar dari Allah seperti asap keluar
4) Konsep manusia
Hakikat manusia yang sebenarnya, yang disebut roh suci, ialah faset ketga Allah.
Oleh karena kehendak Suksma Kawekas, Roh suci terkurung di dalam tubuh jasmaniah.
Sekalipun demikian roh Suci tidak terpisahkan dari segala faset yang lain. sebab seluruh Tri
Purusa sebenarnya berada di dalam manusia, tetapi dengan cara yang berbeda-beda. Roh suci
hanya terdapat di dalam manusia, sedangkan Suksma Kawekas dan Suksma Sejati, kecuali
berada di dalam manusia, juga berada di luarnya.10 Sedangkan tubuh manusia, yang adalah
selubung Roh suci,11 terdiri dari 3 bagian, yaitu tiga bagian, yaitu tiga bentuk keadaan12 :
9
Ibid, hlm. 123
10
Ibid, hlm. 129
11
Ibid, hlm. 124
12
Lih. Ibid, hlm. 125-127
6
1) Ke-ada-an yang berbentuk kasar ialah fisik, yang dapat dihayati oleh penginderaan,
tempat terjadi segala proses jiwani-khemis (psikis-khemis). Ke-ada-an ini dapat juga
disamakan dengan dunia biologis. Ikatan dengan bagian lain dari dunia luar terjadi
dengan perantaraan penginderaan dan fungsi vital, seperti umapamanya makan dan
minum dan lain sebagainya. Vitalitas di dalam bentuk keadaan ini terjadi karena
b) NAFSU AMMARAH berasal dari anasir api, dan bertempat di darah, tersebar
di seluruh tubuh manusia. Ammarah memiliki sifat merindukan dengan sangat,
lekas marah, garang, jahat. Ia berfungsi sebagai jalan bagi saudaranya yang
lain untuk bertindak, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Demikianlah
ammarah menjadi alat nafsu yang lain untuk mencapai tujuannya. Ammarah
ialah asas yang menguatkan segala nafsu lainnya sehingga mencapai
maksudnya.
c) NAFSU SUWIYYAH timbul dari anasir air. Secara jasmaniah nafsu ini
bertempat di tulang punggung, tetapi secara rohani suwiyyah ini ialah
kemauan. Suwiyyah ialah nafsu yag menimbulkan keinginan, cinta birahi.
Suwiyyah juga menyatakan diri pada keinginan dan kelobaan, kasih dan
tertarik kepada yang indah.
7
2) Ke-ada-an yang bentuk keadaan yang berbentuk halus ialah dunia dengan segala
peristiwa jiwani (psikologis), yang juga dapat disebut dunia-ego atau dunia-aku. Di
dalam bentuk ke-ada-an ini ada tiga pusat, yaitu kecakapan intelektual atau logos
3) Ke-ada-an yang tanpa jasad (imaterial) ialah dunia peristiwa tanpa jasad, dunia Tri
Purusa, yang memiliki pengenaannya pada Rahsa Jati. Rahsa Jati ini bukanlah
sesuatu yang organik, tetapi suatu suasana tertentu di dalam hidup jiwani atau psikis.
Rahsa Jati ini juga dipandang sebagai hakikat hidup berenjana (emosional). Ialah
pintu masuk ambang kemungkinan hakikat tanpa jasad (imaterial), tidak terbelenggu
oleh benda, oleh karenanya juga tidak terbatas pada waktu dan ruang.
Menurut Pangestu, ada dua macam kesempurnaan yang dapat dicapai manusia, yaitu
kesempurnaan yang tertinggi, yang dicapai orang setelah ia meninggal dunia dan
kesempurnaan yang dicapai orang di dalam hidup ini. Kesempurnaan tertinggi itu ialah
kembali kepada Tuhan di dalam alam manusia sejati, yaitu menjadi TUHAN. Di dalam
Sasangka Jati disebutkan, “kamu akan kembali kepada Tuhan, karena kamu diturunkan dari
istana Tuhan; kamu akan masuk ke istana Tuhan dan kamu juga akan menjadi Tuhan, oleh
13
Lih. Ibid, hlm 130
8
Kesempurnaan di dalam dunia ini dalam ajaran Pangestu dapat dicapai dengan
menjalani praktik tapa untuk menaklukkan segala nafsunya. Tapa disini digunakan untuk
menyucikan diri lahir dan batin. Kesucian adalah perlengkapan panembah atau pakaian
hamba yang bermaksud menghadap ke hadirat Tuhan, maka tidak boleh diabaikan, karena itu
merupakan sopan santun serta kesucian abdi yang datang menghadap Rajanya.14
BAB III
14
Lih. Sasangka Jati, hlm 211
9
PRAKTIK TAPA
DALAM ALIRAN KEBATINAN PANGESTU
(1) Tapa jasad, yakni laku badan jasmani. Hati harus dibersihkan dari sifat benci dan
sakit hati, rela atas nasibnya, merasa dirinya lemah tak berdaya.
(2) Tapa budi, yatu laku batin atau laku tarekat. Hati harus jujur, menjauhi berbuat
dusta, segala janji harus jujur, menjauhi berbuat dusta, segala janji harus
ditepatinya;
(3) Tapa hawa nafsu, yakni berjiwa sabar dan alim serta memaafkan kesalahan-
kesalahan manusia lain. walaupun kita dianiaya manusia, lebih baik diserahkan
kepada Allah, agar diampuni dosanya;
(4) Tapa brata atau rasa sejati. Yani agar memaksa diri melakukan samadi, mencapai
ketenangan batin (hening-heningan kalbu);
(5) Tapa sukma, yaitu bermurah hati (ambeg paramarta) dengan ikhlas dan rela
mendermakan apa yang dimiliki. Tidak menggangu manusia lain dan ngemong hati
(berbuat baik dengan mengharapkan imbalan) manusia lain.
(6) Tapa cahaya yang memancar, yaitu agar hati selalu awas dan ingat, mengerti lahir
batin, sanggup mengenal yang rumit-rumit antara yang palsu dan yang sejati.
Selalu mengutamakan tindakan yang mendatangkan keselamatan, suka membuat
terang/ padang hati manusia lain yang sedang kesulitan dengan jalan mendermakan
tenaga, harta dan pikirannya (ilmunya);
(7) Tapa hidup (tapaning urip) yakni hidup dengan penuh kehati-hatian dengan hati
yang teguh, dengan hati percaya teguh tidak kawatir terhadap apa yang terjadi
lantaran yakin akan kebijakan Allah.
10
Laku tapa bila dipandang dari segi tata-caranya, Knebel memberikan rumusan berbagai
cara menjalani tapa15, yakni:
(1) Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, kedua kaki diikat pada sebuah pohon,
(2) Tapa ngluwat, yaitu bersamadi di samping makam pada jangka waktu tertentu,
(3) Tapa bisu, dengan menahan diri untuk berbicara yang biasanya didahului dengan
suatu janji,
(4) Tapa bolot, yaitu tidak membersihkan atau mandi dalam jangka waktu tertentu,
(5) Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan,
(6) Tapa ngambran, dengan menyendiri ke hutan dan hanya makan tumbuh-
tumbuhan,
(7) Tapa ngambang, dengan jalan merendam diri di tengah sungai selama beberapa
jangka waktu tertentu,
(8) Tapa ngeli, dengan cara bersemadi16 dan membiarkan diri dihanyutkan arus air di
atas sebuah rakit,
(9) Tapa tilem, dengan cara tidur dalam jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa,
(10) Tapa mutih, hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk, dan
(11) Tapa mangan, dengan jalan tidak tidur tetapi boleh makan
Tujuan tapa adalah semedi. Semedi adalah jalan untuk mencapai intisari mistik yaitu
hubungan langsung dengan tuhan.Tetapi tidak kita pungkiri bahwa antara tapa dan semedi
memang ada yang menyamakan, sehingga kalaupun berbeda hanya dalam intensitas
menjalankannya saja (Geertz, 1989). Namun koentjraningrat (1984) tidak sependapat dengan
pertanyaan itu. Meskipun tidak menyangkal bahwa semedi sering dilakukan bersama-sama
dengan tapa. Maksud yang ingin dicapai dalam meditasi biasanya untuk memperoleh
kekuatan iman dalam enghadapi krisis sosial ekonomi atau sosial politik, untuk memperoleh
kemahiran berkreasi atau berkesenian, mendapatkan wahyu, yang memungkinkan melakukan
pekerjaan dengan penuh tanggung jawab, atau untuk menghadapi tugas yang berat. Namun
ada juga tidak sedikit manusia yang melakukan semedi untuk mendapatkan kasekten
(kesaktian), di samping untuk menyatukan diri dengan Tuhan. Sedangakan tapa sering
dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan (kasekten). Tapa juga langkah mistik untuk
mengekang hawa nafsu.17
15
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 1984, Jakarta: Balai Pustaka, hlm 372-373
16
Bersemadi dalam masyarakat kejawen pada umumunya dapat diartikan dengan meditasi
17
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya spiritual Jawa,
2003, Yogyakarta: Narasi, hlm 116.
11
Dengan kata lain, mistikawan yang semadi akan menjalankan: pati raga (mengingkari
badan wadagnya), pati rasa (secara tenang dan tenteram memusatkan pikiran kepada sesuatu
yang indah permai), minta raga (menyediakan tubuh yang baru), cipta rasa (nikah batin)
menciptakan rasa, pikiran, jiwa yang sempurna. Semedi bukan laku untuk memperoleh
kesaktian atau kekebalan secara fisik. Namun demikian, jika ada mistikawan yang lebih sakti,
kemungkinan besar karena kekuatan batin.18
18
Ibid, 117.
19
Lih. Sasangka Jati, hlm 211
20
Sumantri Hardijoprakoso dalam S.De Jong, 1976, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, Yogyakarta:Kanisius, 23
21
ibid
22
ibid
12
ini adalah faham Memayu Ayuning Bawana. Paham ini menurut De Jong sebagai,
”mengusahakan keselamatan dunia” atau sebagai “menghiasi, mengindahkan dunia”.23
Dalam kitab Sasangka Jati, Soenarto, seorang pendiri Pangestu tidak memberikan
secara terperinci praktik tapa secara terperinci namun ia memberikan petunjuk bagaimana
tapa itu dilakukan:
“....Aja wareg, naging aja luwe, aja kakehan melek, nanging iya aja kakehan turu; mangkono
sapiturute, kaangkaha dewe kang sarwa sedeng, aja kongsi kaladuk utawa mung umbar-
umbaran bae. Mung bae anggono ngurang-ngurangi kaangkaha saperlu, lan aja nganti
diprusa kang ndadekake karusakaning raga, nanging dikulinakna cecegah saka satitik manut
kekuwatane”.24
Dapat diterjemahkan sebagai berikut:
“....jangan kenyang, tapi jangan lapar, jangan terlalu banyak berjaga namun janganpula
kebanyakan tidur. Aturlah sendiri agar serba sedang, jangan samapai berelbihan atau
melampiaskannya saja.hanya cara mengurangi agar diatur seperlunya dan jangan dipaksa
sehingga menyebabkan rusaknya badan, tetapi biasakanlah menguranginya sedikit demi
sedikit sesuai dengan kekuatan asal teratur setiap hari”. 25
Syarat untuk menjalankan tapa tersebut ialah tidak boleh mengganggu berjalannya
hidup sehari-hari. Dipilih jalan tengah antara keadaan puas dan keadaan lapar.terlalu banyak
berjaga-jaga mengganggu konsentrasi, tetapi banyak tidur juga.
BAB IV
Aliran kebatinan Pangestu mengakui agama Kristen sebagai suatu agama yang sejajar
dengan agama Islam. Menurut Pakdhe Narto (berdasar yang telah disabdakan-Nya) dalam
23
Franz magnis S, dkk, 1983, Etika Jawa dalam Tantangan Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Kanisius, 51
24
R.Soenarto Mertowardojo, Bawa raos ing salebeting raos, 133
25
13
kitab sasangka Jati, maka pada hakekatnya isi Al-quran dan kitab injil selaras dengan Tunggal
Sabda dari Pangestu.26 Barangsiapa percaya penuh akan kebenaran agama Islam dan Kristen
tidak memerlukan lagi ajaran pangestu.
Maksud dari Pangestu bukan mendirikan suatu agama baru berjajaran dengan agama-
agama tersebut di atas. Pangestu mencari pokok-pokok yang sama dalam agama Islam dan
Kristen. Tuhan yang Satu dan Sama oleh orang-orang Krsiten disebut “Bapak”, oleh kaum
Muslimin “Allah Ta’ala”. Bagi orang yang satu Suksma Sejati dengan dengan Nur
Muhammad, bagi orang lain identik dengan Yesus Kristus: Pada bae!27
Kebenaran yang diterima Sunarto mengandung inti Sabda abadi yang juga tercantum
dalam Injil. Ia mulai dengan memaparkan dengan panjang lebar, bahwa Yesus itu ialah Putera
Allah.28 Kita harus mengikuti jejak-Nya agar dapat menghadap tahta Allah. Yesus
memurnikan kita dari segala kekotoran, tetapi dari lain pihak dikatakan, bahwa Dia hanya
memasuki hati yang sudah murni.29
Yang menarik perhatian, ialah bahwa inti Injil oleh Pangestu dilukiskan dengan
konsep-konsep Pangestu yaitu konsep kemurnian budi, rila-narima-sabar, distansi (menjaga
jarak) terhadap dunia materiil. Intinya manusia harus memurnikan hatinya dan
mempersatukan diri dengan Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti
De Jong berpendapat bahwa menurut isi ajarannya agama Kristen hanya sedikit sekali
mempengaruhi alam pikiran Jawa, dan pengaruh itu sama sekali tidak membaharui sesuatu.
Pangestu mengoper beberapa pengertian Kristen tetapi mengolahnya menurut caranya sendiri.
Yang dirumuskan sebagai Patining Injil sebetulnya tak lain daripada doktrin Pangestu sendiri.
Mungkin juga tak dapat diharapkan sesuatu yang lain: setiap orang ingin memperkuat
pendapatnya sendiri dengan mengutip orang lain. dan mistik Jawa memang berlengan panjang
sehingga dapat merangkul baik yang tua maupun yang muda. Unsur-unsur purba dari zaman
Hindu berjajaran dengan tenang di samping agama Islam dan agama Kristen yang baru pada
abad yang lalu memasuki pulau Jawa.30
26
Bd. Sasangka Jati, cet. V, 1983, Jakarta, 76
27
Lih. S.De Jong, 1976, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 105
28
Lih. Opcit, 94.
29
ibid
30
S. De Jong, 1976, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 107
14