Anda di halaman 1dari 2

Masalah Transmigrasi di Indonesia

Yudohusodo (1998) berpendapat bahwa penyelenggaraan program transmigrasi menghadapi


banyak kendala yang berpotensi menimbulkan baik masalah baru maupun yang dapat
menimbulkan kerawanan dan kegagalan yang dapat mendatangkan risiko tidak kecil. Ada
tiga kendala utama dalam penyelenggaraan program transmigrasi, yaitu :

(1) kendala struktural, berupa lemahnya organisasi, sumber daya aparat; dan masalah-
masalah lain yang berkaitan dengan integrasi dan sinkronisasi, baik dengan program-
program sektor lain, maupun dengan instansi lain yang terkait;
(2) kendala substansial yang berkaitan dengan kebutuhan agar pembangunan transmigrasi
ikut memantapkan pembangunan nasional meskipun anggarannya terbatas; dan
(3) kendala teknis operasional, yang disebabkan oleh kompleksnya masalah pembangunan
transmigrasi. Kompleksitas masalah teknis operasional memunculkan permasalahan
baru, antara lain: kekurangtepatan pemilihan lokasi, ketidaktepatan dalam studi
kelayakan, kekurangsesuaian penataan ruang dan pola usaha, kekurangterpaduan
program antar sektor dan antar kegiatan pembangunan (Yudohusodo, 1998).

Hasil penelitian Dwiyanto dkk (2003) menemukan bahwa penyelenggaraan transmigrasi pada
era otonomi daerah telah menimbulkan berbagai macam konflik; seperti konflik antara
masyarakat dengan Pemerintah Daerah, konflik antarmasyarakat, dan konflik antardaerah.
Latar belakang munculnya konflik di atas antara lain karena :

(1) persoalan sosial seperti perselisihan antarwarga;


(2) persoalan politik, konflik antara kepala daerah dengan DPRD konflik antarinstansi;
konflik antarpendukung partai politik; dan
(3) persoalan ekonomi, seperti sengketa tanah, perselisihan pengelolaan sumber daya alam,
dan konflik perburuhan (Dwiyanto et al., 2003).

Menilik dari politik agrarian program transmigrasi masih jauh dari rasa keadilan dimana 2%
dari penduduk Indonesia menguasai lebih dari 90% luas lahan wilayah Republik Indonesia.
Program transmigrasi ini sebagai program yang dilakukan pemerintah sejak orde lama dan
orde baru, namun proses kepemilikan lahan masih belum selesai (Legiani et al., 2018).
Lokasi yang diolah transmigran ternyata diklaim sebagai tanah adat atau tanah perusahaan
dan sebagainya. Sampai hari ini dikabarkan baru sekitar 25.000 transmigran yang mendapat
kejelasan atas tanah bagiannya. Persoalan paling menonjol adalah terkait sertifikat belum
terbit sampai konflik saling klaim atas tanah para transmigran (Koko, 2018). Masih ada
sekitar 2 juta hektar lahan transmigrasi yang belum tersetifikat oleh badan pertanahan
nasional. Reforma agrarian pada dasarnya adalah program negara yang dijalankan dengan
tujuan-tujuan tertentu, baik tujuan (pembangunan) ekonomi maupun tujuan politik dan sosial
lainnya (Legiani et al., 2018). Argumen pokok dari pelaksanaan reforma agraria adalah
ketidakadilan: ketimpangan dalam penguasaan tanah yang melahirkan kemiskinan dan
berujung pada ketitakadilan sosial. Konflik antara transmigran dengan penduduk setempat
atau pemilik perusahaan perkebunan banyak terjadi membuat transmigran frustrasi dan kabur
pulang kampung.

Dwiyanto, A. R. N. A., Bevaola, A. H. H., Maika;, K. A., Setiadi;, M. N., Wicaksono;, S. B.,
& Yusuf, dan M. (2003). Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.

Koko, E. (2018, September). Transmigrasi Program yang Kini Sepi. Okenews, 1.


https://nasional.okezone.com/read/2018/09/08/337/1947795/transmigrasi-program-yang-
kini-sepi-1 diakses 16 Mei 2020

Legiani, W. H., Lestari, R. Y., & Haryono. (2018). Transmigrasi dan Pembangunan di
Indonesia (Studi Deskriptif Sosiologi Kependudukan dan Pembangunan). Jurnal
Hermeneutika, 4(1).

Yudohusodo, S. (1998). Transmigrasi: Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk


Heterogen dengan Persebaran yang Timpang. PT Jurnalindo Grafika Aksara.

Anda mungkin juga menyukai