Anda di halaman 1dari 5

5

SINTESIS OBAT SECARA BIOLOGI

5.1 PENDAHULUAN
Bioteknologi adalah pemanfaatan mikroorganisme untuk memproduksi produk-produk
penting dan bermanfaat seperti protein dan enzim tertentu. Rekayasa genetika pada hewan
dan tanaman agar menghasilkan protein asing tertentu dan juga senyawa kimia lainnya seperti
vitamin juga termasuk dalam penggunaan bioteknologi. Berikut adalah contoh-contoh
penggunaan bioteknologi di bidang biosintesis obat. (Kayser, O., dan Muller, R.H., 2004)
Penggunaan bioteknologi di bidang industri obat dan makanan bukanlah hal baru.
Selama lebih dari 70 tahun, industri obat menggunakan mikroorganisme untuk membantu
proses fermentasi, termasuk penggunaan ragi dan jamur lainnya. Pemanfaatan bioteknologi
dan genetika sangat berperan dalam menentukan sifat karakteristik dan farmakokinetik obat
sehingga dapat meningkatkan produksi obat. (Kayser, O., dan Muller, R.H., 2004)
Bakteri golongan Actinomycetes adalah jenis bakteri yang sering digunakan dalam
proses produksi obat selama bertahun-tahun. Dengan adanya data sekuens-genom yang
lengkap dari mikroorganisme ini, maka dapat dipelajari jalur metabolisme primer dan
sekundernya. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk membuat strain baru dimana jalur yang
tidak diinginkan dapat dihilangkan dan menambah jalur metabolisme yang diinginkan serta
prekursor dan kofaktor penting yang diperlukan agar bakteri tersebut dapat menghasilkan
obat (antibiotik, vitamin, antiviral, antikanker dan lain-lain) yang diinginkan. Adanya
modifikasi sesuai target dapat meningkatkan pertumbuhan sel dan proses fermentasi
(metabolic engineering), misalnya strain yang memproduksi doramectin, suatu antiparasit
komersial analog avermectin. (Kayser, O., dan Muller, R.H., 2004)
Pendekatan lain yang dapat dilakukan untuk mendapatkan komposisi kimiawinya
adalah dengan menggunakan pendekatan “One strain-many Compounds (OSMAC)” yang
digambarkan oleh Bode. Dengan metode ini, pada beberapa kasus dapat ditemukan sampai
lebih dari 20 metabolit yang berbeda dalam satu strain. Berdasarkan hasil penelitian dewasa

64
ini, hanya 0,1 sampai 1% mikroorganisme yang ada di lingkungan yang dapat dikultur.
Karena itu terdapat kemungkinan dimana mikroorganisme yang tidak dapat dikultur tersebut
mengandung metabolit yang penting. (Kayser, O., dan Muller, R.H., 2004)

5.2 BIOSINTESIS VITAMIN C


Vitamin C atau disebut juga asam L-askorbat sangat dibutuhkan oleh manusia. Proses
produksi konvensional akan membutuhkan serangkaian proses reaksi kimia dan fermentasi
yang panjang sehingga membutuhkan dana yang besar. Berikut adalah tahapan sintesis
vitamin C konvensional:

2 KLG
D-glucose D-Sorbitol L-sorbose (2-keto-L-gluconic acid)

L- ascorbic acid

Gambar 5.1. Skema sintesis vitamin C

Melalui satu tahap fermentasi mikroba dan dilanjutkan dengan sejumlah tahap-tahap
kimia, didapatkanlah vitamin C (L-ascorbic acid). Dari penelitian-penelitian biokimia
mengenai lintasan-lintasan metabolit diketahui bahwa diperlukan beberapa mikroorganisme
untuk mensintesis asam 2-keto-L-glukonat (2-KLG). Tiap organisme membutuhkan kondisi
optimumnya masing-masing. Disinilah peran rekayasa genetika, yaitu dengan menghasilkan
satu organisme yang telah direkayasa sehingga dapat menghasilkan 2-KLG. (Kayser, O., dan
Muller, R.H., 2004; Sudjadi, 2008)
Acetobacter, Gluconobacter dan Erwinia diketahui dapat mensintesis asam 2,5–
diketo-D-glukonat (2,5–DKG) dari D-glukosa. Corynebacterium, Brevibacterium dan
arthrobacter kemudian akan mensintesis 2-KLG dari 2,5-DKG melalui enzim 2,5-DKG
reduktase. Untuk mendapatkan satu organisme yang dapat langsung mengubah D-Glukosa
menjadi 2-KLG, maka gen penyandi enzim 2,5–DKG reduktase dari Corynebacterium di
klon ke Erwinia herbicola. (Kayser, O., dan Muller, R.H., 2004; Sudjadi, 2008)
Kloning gen 2,5-DKG dari Corynebacterium sp. dimulai dengan pemurnian enzim
dan penetapan urutan asam amino dari ujung N. Dari data urutan asam amino tersebut,
kemudian dibuat probe dengan mempertimbangkan bahwa satu asam amino dapat disandi

65
oleh beberapa klon. Karena DNA Corynebacterium mengandung 71% GC, maka pada probe
sedapat mungkin dibuat basa ketiga dari kodon adalah G dan C untuk mengurangi
kemungkinan salah penempelan antara DNA dan probe. Kemudian dilakukan isolasi dari
klon yang membawa gen 2,5-DKG reduktase dan ditetapkan urutan basanya. Bagian
promotor dan signal translasi diganti dengan sistem yang dapat berfungsi di E. Coli. Dengan
demikian, gen 2,5-DKG rekombinan akan terekspresi dalam E. Coli. Selanjutnya tinggal
melakukan sub-klon pada vektor yang tepat untuk E. herbicola, maka didapatkan sel Erwinia
yang membawa plasmid rekombinan yang dapat mengubah D-glukosa menjadi 2-KLG. Jadi,
seperti yang dapat kita lihat pada keterangan diatas, dengan rekayasa genetika, dua jalur
metabolisme dapat digabung dalam satu organisme dan menggantikan tiga langkah pertama
dalam sintesis vitamin C. (Kayser, O., dan Muller, R.H., 2004; Sudjadi, 2008)

5.3 BIOSINTESIS SENYAWA ANTIBIOTIKA


Bioteknologi juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi antibiotika. Sebagai
contoh, produksi antibiotika dari Streptomyces spp dilakukan dengan proses fermentasi.
Proses fermentasi menggunakan oksigen sehingga lama-lama konsentrasi oksigen dalam
media cair berkurang yang berakibat pada penurunan pertumbuhan Streptomyces spp dan
akhirnya produksi antibiotika yang diperlukan jadi menurun. Dengan memanfaatkan
bioteknologi, maka digunakanlah Vitreoscilla sp, suatu bakteri aerob yang dapat hidup dalam
kondisi sedikit oksigen. Bakteri ini dapat memproduksi suatu protein heme homodimerik
yang berfungsi mirip dengan hemoglobin eukariot, yaitu dapat mengikat oksigen dari
medium kemudian menyalurkannya ke dalam sel. Gen yang menyandikan protein heme
tersebut di klon di Streptomyces. Dengan demikian, produksi antibiotika dapat tetap
berlangsung meski dalam kondisi minim oksigen. (Kayser, O., dan Muller, R.H., 2004;
Sudjadi, 2008)
Penisilin adalah antibiotika pertama yang ditemukan secara tidak sengaja oleh
Alexander Fleming pada tahun 1928. Penisilin merupakan salah satu dari agen anti mikroba
yang paling aktif dan bersifat non-toksik. Penisilin G dapat dihasilkan melalui enam rute
biosintesis yang berbeda-beda. Penisilin dihasilkan oleh kapang Penicillium. Sintesis
antibiotika ini terjadi saat sel kapang menghentikan pertumbuhannya, dan bukan pada saat
sedang bertumbuh. Selain itu, kapang asli Fleming, Penicillium notatum hanya tumbuh baik
bila berada di permukaan bejana. Hal ini tentu saja akan mengurangi produksi penisilin yang
ingin dihasilkan. Disinilah bioteknologi mulai berperan. Dengan meningkatkan terjadinya
mutasi pada mikroba ini, akhirnya didapatkan spesies serupa yang dapat menghasilkan
66
penisilin dalam skala yang lebih besar. Hal ini karena Penicillium chrysogenum, nama spesies
tersebut, ternyata dapat tumbuh dengan baik di bawah permukaan bejana, sehingga dapat
menghasilkan penisilin dalam jumlah yang lebih besar. Selanjutnya, Penicillium diketahui
dapat memanfaatkan gula sebagai sumber energi dan karbon. Glukosa dapat dikonsumsi
dengan baik sehingga kapang tumbuh dengan cepat, tetapi kapang tidak membuat banyak
penisilin. Laktosa sebaliknya, kurang dapat dicerna sehingga pertumbuhan kapang lebih
lambat, akan tetapi dapat menghasilkan lebih banyak penisilin. Prinsip inilah yang digunakan
industri farmasi untuk memproduksi penisilin dalam skala besar. (Kayser, O., dan Muller,
R.H., 2004; Sudjadi, 2008)
Penisilin dibuat dari glukosa, laktosa dan cairan rendaman jagung sebagai media
fermentasi dengan disertai penambahan mineral-mineral tertentu. Pembuatan penisilin
dilakukan dengan proses kelompok (bath). Sebelum proses fermentasi dilakukan seleksi
strain Penicillium chrysogenum pada media agar di laboratorium, kemudian dilakukan
perbanyakan pada tangki seeding. Media fermentasi diumpankan ke dalam fermentol pada
suasan asam (pH 5,5). Proses fermentasi diawali dengan sterilisasi media fermentasi dengan
steam bertekanan sebesar 15 lb (120oC) selama setengah jam. Sterilisasi dilanjutkan dengan
proses pendinginan fermentol dengan air pendingin. Saat temperatur mencapai 75oF (24oC),
media ini diinokulasi pada kondisi aseptik dengan mengumpankan spora-spora kapang
Penicillium chrysogenum. Selama proses fermentasi berlangsung dilakukan pengadukan,
sementara udara steril dihembuskan melalui sparger kedalam fermentol. Proses fermentasi ini
akan berlangsung secara batch terumpani selama 100-150 jam dengan tekanan operasi 5-15
psig. Temperatur operasi dijaga konstan selama fermentasi penisilin berlangsung dengan cara
mensirkulasikan air pendingin melalui coil. Busa-busa yang terbentuk dapat diminimalkan
dengan penambahan agen anti-foam. Kapang aerobik dibiarkan tumbuh selama 5-6 hari
sampai gas CO2 mulai terbentuk. Ketika penisilin ini dihasilkan jumlahnya telah maksimum,
maka cairan hasil fermentasi tersebut didinginkan hingga 28oF (2oC), dan diumpankan
kedalam rotari vacum filter untuk memisahkan miselia dan penisilin. Miselia akan dibuang,
sehingga diperoleh filtrat berupa cairan jernih yang mengandung penisilin. Tahapan
dilanjutkan dengan proses ekstraksi dan kristalisasi untuk mendapatkan penisilin yang siap
dikomsumsi. (Kayser, O., dan Muller, R.H., 2004; Sudjadi, 2008)
Penisilin asilase adalah enzim yang berasal dari E. Coli yang mengkatalis rantai
samping bahan alam penisilin dan menghasilkan asam 6-amino-penisilinat (6-APA). Asam 6-
APA dapat digunakan untuk mensintesis berbagai antibiotika semisintetis yang memiliki
penerapan penting dalam bidang kedokteran. Isolasi enzim ini didapat dari teknik imobilisasi
67
enzim. Dengan cara ini, antibiotika ampisilin dapat disintesis dari fenil glisin dan asam 6-
APA. Enzim digunakan dalam bentuk glanular dalam kolom lempengan tetap (fixed bed)
bioreaktor. Meskipun aplikasi imobilisasi enzim ke dalam praktek komersial masih terbatas,
akan tetapi metode ini cukup berhasil karena enzim dapat larut yang banyak digunakan dalam
banyak proses industri relatif lebih murah dibandingkan modal pengadaan peralatan baru. Di
luar hal itu, penggunaan metode imobilisasi enzim masih merupakan suatu tantangan karena
sifat enzim yang tidak stabil pada kondisi imobilisasi. (Kayser, O., dan Muller, R.H., 2004;
Sudjadi, 2008)

5.4 REFERENSI
1. Kayser, O., dan Muller, R.H. (2004). Pharmaceutical Biotechnology; Drug Discovery and
Clinical Applications. Willey-VCH: German.
2. Sudjadi. (2008). Bioteknologi Kesehatan. Kanisius: Yogyakarta. 151-178.

68

Anda mungkin juga menyukai