Anda di halaman 1dari 6

POA DEMAM BERDARAH (DBD)

Disusun Oleh :

NAMA : Bernadete dari Kolin


NIM : 190204049

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
2020
DEMAM BERDARAH

A. PENDAHULUAN
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever
(DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes Aegypty dan Aedes Albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat
di hampir seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempattempat ketinggian lebih dari 1000
meter diatas permukaan air laut. Menurut World Health Organization (2001), jumlah
penduduk dunia yang beresiko terinfeksi lebih dari 2,5 sampai 3 milyar orang terutama
penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis.
Di Indonesia, penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia yang belum dapat ditanggulangi (Hindra, 2003). Penyakit DBD
bahkan endemis hampir di seluruh propinsi. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir jumlah
kasus dan daerah terjangkit terus meningkat dan menyebar luas serta sering menimbulkan
Kejadian Luar Biasa (KLB). Diperkirakan setiap tahunnya ada 300 juta kasus di
Indonesia, dan 500.000 kasus DBD yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan
minimal 12.000 diantaranya meninggal dunia, terutama anak-anak (Depkes RI, 2007)
Sejak pertama kali ditemukan di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, tercatat
54 kasus dengan 24 kematian (CFR 41,5%). Selanjutnya pada tahun 1972 ditemukan
DBD di luar Jawa yaitu Sumatera Barat, Lampung, dan Riau. Sejak itu penyakit DBD
tersebar di berbagai daerah, dan angka kejadian penyakit DBD terus meningkat. KLB
penyakit DBD terjadi di sebagian besar daerah perkotaan dan beberapa daerah pedesaan,
di mana sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di daerah perdesaan. Sampai
dengan bulan November 2007, kasus DBD di Indonesia telah mencapai 124,811 (IR:
57,51/100.000 penduduk) dengan 1.277 kematian (CFR: 1,02%) (Depkes, 2007).
Seluruh wilayah Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit DBD,
sebab baik virus penyebab penyakit maupun nyamuk penularannya sudah tersebar luas di
perumahan pendudukan dan fasilitas umum di Indonesia.
Penyakit DBD diperngaruhi oleh beberapa faktor risiko yang mempengaruhinya.
Faktor risiko dari penyakit DBD tersebut, yaitu :
1. Densitas Larva Penelitian
di Makassar menemukan bahwa densitas larva berpengaruh terhadap
kejadian DBD dengan odds ratio 17,44 yang artinya 17,44 kali lebih besar
terhadap kejadian demam berdarah. Berdasarkan penelitian, container
yang berjentik sering ditemukan di rumah yang memiliki bak mandi,
karena biasanya responden jarang menguras bak mandinya. Keberadaaan
container di lingkungan rumah sangat berperan dalam kepadatan jentik
Aedes, karena semakin banyak container akan semakin banyak tempat
perindukan dan akan semakin padat populasi nyamuk Aedes. Jika populasi
nyamuk Aedes semakin padat, maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi
virus DBD dengan waktu penyebaran yang lebih cepat. (Maria, Ita dkk,
2013)
2. Kepadatan Hunian Rumah
Risiko responden yang tinggal di rumah yang memiliki hunian padat untuk
terkena Demam Berdarah Dengue 4,28 kali lebih besar dibandingkan
dengan responden yang tinggal di rumah yang memiliki hunian yang tidak
padat (Maria, Ita dkk, 2013). Kepadatan penduduk yang tinggi dan jarak
rumah yang sangat berdekatan membuat penyebaran penyakit DBD lebih
intensif di wilayah perkotaan daripada di wilayah pedesaan. Hal ini
dikarenakan jarak rumah yang berdekatan memudahkan nyamuk
menyebarkan virus dengue dari satu orang ke orang lain yang ada di
sekitarnya (Lestari, 2007)
3. Ventilasi Rumah
Dalam sebuah penelitian, ventilasi dan jendela rumah dikatan memenuhi
syarat kesehatan bila pada lubang ventilasi terpasang jarring-jaring atau
kawat kasa. Pemakaian kawat kasa pada setiap lubang ventilasi yang ada
di dalam rumah bertujuan agar nyamuk tidak masuk ke dalam rumah dan
menggigit manusia. Risiko responden di dalam rumah dengan ventilasi
yang tidak berkasa untuk terkena DBD 9,04 kali lebih besar dibanding
dengan responden yang memiliki ventilasi udara yang berkasa. (Maria, Ita
dkk, 2013).
4. Kelembaban
Kelembaban merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
tingkat kenyamanan penghuni suatu rumah. Kondisi kelembaban udara
dalam ruangan dipengaruhi oleh musim, kondisi udara luar, serta kondisi
ruangan yang kebanyakan tertutup. Risiko responden yang tinggal di
rumah yang lembab untuk terkena DBD 3,36 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden yang tinggal di rumah yang tidak lembab
(Maria, Ita dkk, 2013).
5. Suhu
Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangbiakan
jentik nyamuk Aedes aegypti adalah suhu udara. Nyamuk Aedes aegypti
sangat rentan terhadap suhu udara. Dalam waktu tiga hari telur nyamuk
telah mengalami embriosasi lengkap dengan temperature udara 25-300C
(Yudhastuti dan Vidiyani, 2005). Namun telur akan mencoba menetas 7
hari pada air dengan suhu 160C. Telur nyamuk ini akan berkembang pada
air dengan suhu udara 20-300C (Maria, Ita dkk, 2013)
6. Tanaman Sekitar Rumah
Masyarakat yang memiliki tanaman di sekitar rumahnya memiliki risiko
terkena penyakit DBD 2,1 kali lebih besar dibanding masyarakt yang tidak
ada tanaman di sekitar rumahnya. Hal ini dikarenakan tanaman yang
tumbuh di sekitaran rumah dapat menjadi tempat tertampungnya air secara
alamiah, sehingga dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti. Selain dapat menjadi tempat penampungan air secara
alami, adanya tanaman di sekitaran rumah dappat memperngaruhi
kelembaban dan pencahayaan di dalam rumah, sehingga menjadi tempat
yang juga disenangi oleh nyamuk Aedes aegypti untuk istirahat (Rasyad,
2002).
7. Kebiasaan Menggantung Pakaian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kebiasaan menggantung pakaian
di dalam rumah memiliki risiko terkena penyakit DBD 2,9 kali lebih besar
daripada kebiasaan responden yang tidak menggantung pakaian di dalam
rumah. Hal itu terjadi karena pakaian yang menggantung merupakan
tempat kesukaan nyamuk Aedes aegypti untuk beristirahat (Rasyad, 2002)

Dari penjelasan diatas mengenai penyakit DBD dan beberapa faktor risiko yang
mempengaruhi terjadinya kejadian penyakit DBD maka diperlukan pemecahan
masalah. Dalam memecahkan masalah ini mempunyai alur atau proses yang harus
dicermati agar solusi permasalahan dapat diimplementasikan dan dapat berjalan.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan mencermati faktor risiko.
Jika penyebab atau faktor risiko masalah kesehatan telah ditetapkan, selanjutnya
dibuat alternatif untuk pemecahan masalah. Terdapat dua syarat dalam mencari
alernatif solusi dari faktor risiko masalah, yaitu pemahaman akan masalah yang
ada dan pemahaman tentang sub sistem masalah.
PLANING OF ACTION (POA) PUSKESMAS BULELENG III

TAHUN 2013

PROGRAM : P2DBD

BULAN : JANUARI 2013

NO KEGIATAN VOLUME RINCIAN LOKASI TENAGA JADWAL


KEGIATAN KEGIATAN PELAKSANAAN KESEHATAN
I 2 3 4 5 6 7
I Penyuluhan 2x Memberikan Nagasepuluh Sriwahyuni,sus 7,8 januari
1 DBD informasi tentang Buleleng i,teresia
DBD kepada
Masyarakat
2 Penyelidikan 3x Kunjungan Wilayah Sriwahyuni, Setia pada
Epidemilogi Rumah,dengan puskesmas Kesling,Pustu kasus
membagikan Buleleng III
bubuk abate
3 PSN 2x Menggerakan - Alas Anger Sriwahyuni, 8,9 januari
masyarakat untuk - penaarukan Kesling,
memberantas Promkes,Pustu
sarang nyamuk
4 PJB 1x Melakukan Poli Bergong Sriwhyuni, 3 januari
kunjungan rumah Eko. M
untuk memeriksa
tempat
penampungan air
II Fogging Focus 2x Bekerjasama Wilayah Sriwahyuni, Tiap hasil
1 dengan Dinkes Puskesmas Dinkes PE (+)
melakukan Buleleng III
pengasapan pada
wilayah yang
hasil PE positif
2 Laporan 1x Pengiriman Puskesmas Sriwahyuni 5 januari
Bulanan laporan ke Dinkes Buleleng III

Anda mungkin juga menyukai