Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemiskinan merupakan suatu masalah bagi Negara-negara di seluruh dunia,
kemiskinan merupakan penyakit sosial ekonomi bagi Negara berkembang dan Negara
maju seperti Inggris dan Amerika. Di Inggris kemiskinan terjadi sekitar tahun 1700
pada masa kebangkitan revousi di Eropa. Amerika Serikat sendiri mengalami
kemiskinan pada tahun 1930-an, saat itu ekonomi mereka mengalami depresi dan
resesi ekonomi yang hebat namun setelah tiga puluh tahun kemudian mereka tercatat
menjadi Negara Adidaya dan terkaya di dunia.
Disini berarti bahwa kemiskinan merupakan permasalahan kemanusiaan sejak
dahulu. Ia bersifat laten dan aktual sekaligus. Ia telah ada sejak peradaban manusia
ada dan hingga kini masih menjadi masalah sentral di belahan bumi manapun.
Kemisikinan merupakan faktor dominan yang mempengaruhi persoalan
kemanusiaan lainnya, seperti keterbelakangan, kebodohan, ketelantaran, kematian
dini. Problema buta huruf, putus sekolah, anak jalanan, pekerja anak, perdagangan
manusia (human trafficking) tidak bisa dipisahkan dari masalah kemiskinan.
Begitu pula dengan Indonesia, Negara yang terdiri dari berbagai pulau dan
limpahan sumber daya alamnya pun tak luput dari permasalahan tersebut. Bisa
dikatakan bahwa permasalahan ini hampir terdapat di berbagai belahan dunia.
Indonesia, dalam hal permasalahan kemiskinan ini memang sulit untuk dihilangkan
karena budaya masyarakat yang tertanam dan tidak mudah untuk dihilangkan
misalnya mengemis, itu merupakan salah satu bentuk pemikiran dari sebagian
masyarakat yang menganggap bahwa dengan meminta maka akan mendapatkan uang
dengan mudah padahal hal tersebut sepatutnya dihilangkan karena akan memberikan
pengaruh pada generasi-generasi selanjutnya. Ditambah dengan penduduk Indonesia
yang begitu banyak dengan keheterogenitasan sangat tinggi memberikan sebuah
tantangan bagi masyarakat dan pemangku kebijakan untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan, beragam kebijakan dan program telah
disebar-terapkan, berjumlah dana telah dikeluarkan demi menanggulangi kemiskinan.
Tak terhitung berapa kajian dan ulasan telah dilakukan di universitas, hotel

1
berbintang, dan tempat lainnya. Pertanyaannya mengapa kemisikinan masih menjadi
bayangan buruk wajah kemanusiaan kita hingga saat ini? Meskipun penanganan
kemiskinan bukan usaha mudah, diskusi dan penggagasan aksi-tindak tidak boleh
surut kebelakang. Untuk meretas jalan pensejahteraan, pemahaman mengenai konsep
dan strategi penanggulangan kemiskinan masih harus terus dikembangkan. Dengan
bantuan dari berbagai pihak yang saling bekerjasama untuk menyelesaikan
permasalahan ini, segala aksi nyata akan mendapatkan jawaban dan menurunkan
angka penduduk miskin.
Kemiskinan di Indonesia sendiri sudah dalam penanganan walaupum
penanganan tersebut masih sangat kurang sekali implementasinya di masyarakat.
Dalam menangani masalah kemiskinan di Indonesia, pemerintah Indonesia sendiri
sudah mengatur di dalam Undang-undang tentang penanggulangan fakir miskin.
Undang-undang tentang penanggulangan fakir miskin ini disahkan bertujuan untuk
mengatasi masalah kemiskinan yang ada di Indonesia yang hingga saat ini mencapai
kurang lebih 30 juta orang miskin. Undang-undang yang mengatur tentang
penanggulangan fakir miskin adalah UU No 13 Tahun 2011.
Berdasarkan definisi kemiskinan dan fakir miskin dari BPS dan Depsos
(2002), jumlah penduduk miskin pada tahun 2002 mencapai 35,7 juta jiwa dan 15,6
juta jiwa (43%) diantaranya masuk kategori fakir miskin. Secara keseluruhan,
presentase penduduk miskin dan fakir miskin terhadap total penduduk Indonesia
adalah sekitar 17,6 persen dan 7,7 persen. Ini berarti bahwa secara rata-rata jika ada
100 orang Indonesia berkumpul, sebanyak 18 orang diantaranya adalah orang miskin,
yang terdiri dari 10 orang bukan fakir miskin dan 8 orang fakir miskin (Suharto,
2004:3).
Ini menandakan bahwa permasalahan kemiskinan yang bisa dikatakan sebagai
salah satu sumber terjadinya permasalahan yang lainnya akan terus berkembang
bilamana dalam penanganannya saja tidak sampai kepada akar dari sumber atau
penyebab terjadinya permasalahan tersebut. Karena salah tindakan akan berakibat
pada keberlanjutan dari permasalahan tersebut. Seperti diketahui bahwa permasalahan
kemiskinan ini bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia artinya sudah terjadi
sejak zaman dahulu yang mengindikasikan bahwa permasalahan ini merupakan
kejadian luar biasa dan terus menerus terjadi hingga zaman modern atau mulainya
globalisasi.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi kemiskinan ?
2. Apa konsep kemiskinan ?
3. Apa dimensi kemiskinan ?
4. Apa saja pola dan jenis kemiskinan ?
5. Apa faktor penyebab dari kemiskinan ?
6. Apa kebijakan dan program yang ada di indonesia ?
7. Apa peran pekerjaan sosial dalam menghadapi permasalahan kemiskinan ?

C. Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini, terdapat tujuan dan manfaat yang kami berikan, yaitu:
Tujuan
1. Memberikan penjelasan mengenai kemiskinan
2. Menumbuhan sikap kritis bagi mahasiswa dalam melihat permasalahan
kemiskinan
3. Mengetahui peran dari pekerja sosial dan pemerintah dalam menghadapi
permasalahan tersebut
4. Memenuhi tugas mata kuliah kajian kemiskinan

D. Manfaat
Manfaat
1. Mengetahui secara jelas mengenai permasalahan kemiskinan dari berbagai
teori dan sumber yang akurat
2. Mengetahui Undang-Undang yang mengikat dari permasalahan kemiskinan
3. Dapat menjadi bahan acuan dalam belajar bagi mahasiswa STKS Bandung
4. Dapat menjadi dasar dalam pembuatan makalah selanjutnya

3
BAB II
ISI

A. Kemiskinan

A.1 Definisi Kemiskinan


Ada beberapa definisi kemiskinan, yang diungkapkan oleh para ahli, seperti
Friedmann (1979 : 101) yang mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan
kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial
meliputi (tidak terbatas pada) ; modal yang produktif atau assets (misalnya tanah,
perumahan, peralatan, kesehatan dll); sumber-sumber keuangan (pendapatan dan
kredit yang memadai); organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk
mencapai kepentingan bersama (partai politik, koperasi, dan lai-lain); network atau
jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, dan lain-lain;
pengetahuan dan keterampilan yang memadai; dan informasi yang berguna untuk
memajukan kehidupan orang.
Kemiskinan didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah
dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Secara
luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan
kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat
(SMERU dalam Suharto dkk, 2004).
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir ditengah
masyarakat. Kemiskinan sebagai fenomena sosial yang telah lama ada, berkembang
sejalan dengan peradaban manusia. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam
kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga
seringkali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi tinggi.
Substansi kemiskinan adalah kondisi deprevasi tehadap sumber-sumber pemenuhan
kebutuhan dasar yang berupa sandang, pangan, papan, dan pendidikan dasar
(Sudibyo, 1995:11).
Kemiskinan juga sering disandingkan dengan kesenjangan, karena masalah
kesenjangan mempunyai kaitan erat dengan masalah kemiskinan. Substansi
kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi. Sudibyo

4
(1995:11) mengatakan bahwa “apabila berbicara mengenai kemiskinan maka
kemiskinan dinilai secara mutlak, sedangkan penilaian terhadap kesenjangan
digunakan secara relatif”. Dalam suatu masyarakat mungkin tidak ada yang miskin,
tapi kesenjangan masih dapat terjadi di dalam masyarakat tersebut.
Sulistiyani (2004:4-5) memandang kemiskinan bukan hanya sekedar
fenomena, akan tetapi lebih merupakan proses sistemik yang tereduksi akibat
kerentanan yang melanda pada banyak faktor. Oleh karena itu keliru jika program
pengentasan kemiskinan hanya fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup
semata. Lebih lanjut Sulistiyani (2004:17) mendefinisikan kemiskinan secara umum
sebagai ”bilamana masyarakat berada pada suatu kondisi yang serba terbatas, baik
dalam aksessibilitas pada faktor produksi, peluang/kesempatan berusaha, pendidikan,
fasilitas hidup lainnya, sehingga dalam setiap aktivitas maupun usaha menjadi sangat
terbatas”. Kemiskinan antara lain juga ditandai dengan lemahnya nilai tukar hasil
produksi orang miskin, rendahnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya
produktifitas, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan, dan
terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan.
Sedangkan menurut Ttjokrowinoto dalam Sulistiyani (2004 : 27)
mengemukakan bahwa kemiskinan dilihat dari sisi poverty profile masyarakat,
kemiskinan tidak hanya menyangkut persoalan kesejahteraan (welfare) semata, tetapi
kemiskinan menyangkut persoalan kerentanan (vulnerability), ketidakberdayaan
(powerless), tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja, menghabiskan sebagian
besar penghasilannya untuk kebutuhan konsumsi, angka ketergantungan yang tinggi,
rendahnya akses terhadap pasar, dan kemiskinan terefleksi dalam budaya kemiskinan
yang diwarisi dari satu generasi kegenerasi berikutnya.
Kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi warga masyarakat yang tidak
mempunyai kemampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi
kemanusiaan.
Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan antara kelompok masyarakat
berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah serta tingkat
kemiskinan atau jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan merupakan dua
masalah besar dibanyak negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia.
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan
kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan

5
dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan
merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan
komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan
yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan adalah suatu kondisi
seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori per
kapita per hari. BPS menyebutkan ada 14 kriteria suatu keluarga/rumah tangga
dikategorikan miskin, yaitu :
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang,
2. Jenis lantai tempat tinggal terbat dari tanah / bambu / kayu murahan,
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu / rumbia / kayu berkualitas
rendah / tembok tanpa plester,
4. Tidak mempunyai fasilitas buang air besar / bersama-sama dengan rumah
tangga lain,
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik,
6. Sumber air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai /
air hujan,
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang /
minyak tanah,
8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam seminggu,
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun,
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu kali/ dua kali dalam sehari,
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik,
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas
lahan 500 m2 – buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan,
dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000,00
per bulan (2005), - atau pendapatan per kapita Rp 166.697,00 per kapita
per bulan (2007),
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah / tidak tamat
SD / hanya SD,
14. Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan nilai
minimal Rp 500.000,00, seperti sepeda motor (kredit / non kredit), emas,
ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

6
Dari uraian diatas disimpulkan bahwa kemiskinan tidak bisa hanya dipandang
dari sisi kurangnya pemenuhan kebutuhan pokok semata sebagai akibat kerentanan
dan ketidakberdayaan seperti yang selama ini banyak didefinisikan dalam kebijakan-
kebijakan tentang pengentasannya.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh
negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti
Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung
tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada
masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang
sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan
daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang
rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan,
terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an
Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar
penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak
memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat
sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah penduduknya tergolong miskin.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya meliputi:
1. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan
sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam
arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan
dasar. Artinya materi memang tidak bisa dipungkiri sebagai barang yang
semestinya terdapat dalam kehidupan sehari-hari atau dapat membantu dalam
melangsungkan kehidupan ditambah dengan zaman yang semakin modern,
menuntut masyarakat untuk memiliki materi baik itu dalam sandang ataupun
pangan bahkan sampai papan. Hal inilah yang membuat sebagian dari
masyarakat semakin tertekan dengan tingginya jumlah materi tersebut
disebabkan lonjakan dari berbagai komoditi seperti BBM sehingga akan
berdampak pada hal laiinya. Kenyataan ini harus dirasakan dan disadari oleh
setiap masyarakat, dengan kebutuhan primer maupun sekunder akan
memberikan pengaruhan terhadap permasalahan kemiskinan yang hingga kini
masih menjadi musuh besar termasuk di Negara Indonesia. Selain itu juga,
kekurangan materi menyangkup pelayanan kesehatan, dimana pelayanan ini

7
semestinya dapat dinikmati oleh semua kalangan dalam arti masyarakat
Indonesia mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama atau tidak ada
diskriminasi karena ketika ada perbedaan dalam pemberian pelayanan
kesehatan maka akan berpengaruh pada hal lainnya termasuk tingginya angka
kemiskinan.
2. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat.
Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya
dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik
dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. Setiap manusia adalah
makhluk sosial yang mana mereka membutuhkan orang lain dalam menjalani
setiap kehidupannya. Artinya peran orang disekitarpun sangat memberikan
pengaruh yang besar karena kehidupan akan menjadi lebih aman, tentram dan
bahagia. Sehingga ketika seseorang tidak mampu memberikan pengaruh yang
baik dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar maka akan menjadi sebuah
permasalahan. Memberikan manfaat dan pengaruh yang baik bagi lingkungan
sekitar bisa seperti tidak ketergantungan artinya seseorang tidak membebankan
segala kebutuhan hidup kepada orang lain atau sedikit usaha yang dikeluarkan
dan hanya berpangku baik itu kepada pemangku kebijakan atau pemerintah
dan orang yang bisa dikatakan lebih mapan daripada orang tersebut. Ketika
seseorang sudah membiasakan diri untuk ketergantungan dengan orang lain,
maka akan berpengaruh pada jumlah warga yang termasuk dalam garis
kemiskinan dan ini pun berkaitan dengan ketidakmampuan seseorang untuk
ikut berpartisipasi dalam masyarakat artinya tidak dapat menjalankan fungsi
sosialnya secara baik. Sehingga perbedaan atau keterkucilan sosial pun dapat
dirasakan oleh orang yang berada pada garis kemiskinan karena perbedaan
keadaan yang dialaminya tersebut.
3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai.
Setiap manusia dalam kehidupannya membutuhkan pengahasilan yang dapat
digunakan untuk membantu dalam melanjutkan kelangsungan hidupnya.
Artinya pengaruh penghasilan akan berdampak pada keadaan dari suatu
keluarga tersebut. Hingga saat ini, warga Indonesia masih mengatakan bahwa
keadaan miskin yang dialaminya tersebut berdasarkan jumlah pendapatan atau
penghasilan yang diterimanya. Artinya ini berkaitan dengan jenis pekerjaan

8
yang dikerjakannya, seseorang yang hanya memiliki keterampilan seadanya
atau tidak begitu mahir dalam suatu bidang maka pekerjaan yang didapatinya
hanya begitu saja atau sederhana sehingga upah atau penghasilan yang
didapatkan tidak sebanding dengan kerasnya pekerjaan tersebut. Hal tersebut
yang hingga sekarang masih saja terjadi ditambah dengan semakin terbukanya
pasar bebas membuat keadaan ini akan semakin buruk karena pengaruh asing
akan semakin kuat dan dapat membuat masyarakat yang berada dalam garis
kemiskinan menjadi semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan ataupun
penghasilan yang cukup karena dibutuhkan keterampilan yang sebanding
dengan pasar yang ada. Masalah kemiskinan ini, bisa dikaitkan dengan
kekayaan yang dimiliki artinya seseorang yang hanya memiliki jumlah
kekayaan sedikit maka tidak mudah untuk menutupi segala kebutuhan
hidupnya sehingga memaksa dirinya untuk berada dalam keadaan miskin
artinya berhubungan dengan seberapa gigih usaha yang dilakukan oleh
seseorang untuk mendapatkan penghasilan dan kekayaan yang memadai untuk
membuat dirinya tidak berada dalam keadaan miskin.

9
A.2 Konsep kemiskinan
Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan
dasar (basic needs approach) dalam menentukan kemiskinan di Indonesia. Seseorang
tergolong dalam kategori miskin bila ia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya
(basic needs), dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari
sisi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan maupun nonmakanan
yang diukur dari sisi pengeluaran.
Penggunaan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar dalam mementukan
kemiskinan tidak hanya dilakukan oleh BPS, tetapi juga beberapa negara lain seperti
Armenia, Nigeria, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone dan Gambia
(BPS, 2012).
Batas kecukupan kebutuhan makanan dihitung dari besarnya rupiah yang
dikeluarkan untuk makanan tertentu yang memenuhi kebutuhan minimum energi
2100 kilo kalori per kapita per hari. Sedangkan batas kecukupan nonmakanan
dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan
nonmakanan seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi dan
lain-lain.
Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi.
Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1978 dan
dilaksanakan sejak tahun 1993. Sedangkan paket kebutuhan dasar nonmakanan
mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan
dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993 terdiri
dari 14 komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di pedesaan. Pada saat ini berkembang
menjadi 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
Di awal pasca krisis moneter yang melanda Indonesia tahun 1988, proporsi
rata-rata pengeluaran perkapita untuk makanan jauh lebih besar daripada pengeluaran
untuk nonmakanan. Namun selisih ini semakin mengecil seiring dengan perbaikan
perekonomian dan pengurangan angka kemiskinan (Maipita, 2013).
Dengan kata lain, kebutuhan dari masyarakat akan berkembang seiring dengan
perkembangan tahun ataupun keadaan yang berada pada lingkungannya dan hal ini
akan berkaitan dengan kemampuan dari masyarakat dalam membeli atau memenuhi
kebutuhan hidupnya sehingga ketika masyarakat merasakan kesulitan dan beban
untuk mendapatkan sesuatu yang bisa dikatakan sebagai komoditas primer dalam
kehidupanya maka akan menjadi sebuah permasalahan dan akan berdampak pada

10
semakin besarnya masyarakat yang terdapat dalam garis kemiskinan. Pengaruh dari
lingkungan sekitar ini memang tidak dapat dihindari karena hal tersebut memang akan
sangat berdekatan dengan keadaan yang dihadapi oleh seluruh masyarakat sehingga
sewaktu-waktu bisa saja terjadi seperti pengaruh kebijakan yang akan berdampak
pada kenaikan sejumlah komoditi di pasar dan ini akan menjadi sebuah permasalahan
baru pada masyarakat.
Kemiskinan secara umum didefinisikan sebagai kondisi kekurangan pangan,
pendapatan dan input-input lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
Belakangan ini definisi kemiskinan terus berkembang dan sering dikaitkan dengan
kualitas hidup dan keperluan terhadap aset-aset (alam, fisik, financial, manusia dan
sosial) yang mampu menghasilkan atau melanjutkan kecukupan dan keberlanjutan
tingkat kehidupan tertentu (Arnold, 2001).
Hingga kini kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang menjadi
isu sentral di Indonesia. Lebih dari 110 juta orang Indonesia hidup dengan
penghasilan kurang dari US$ 2 per hari. Jumlah ini sama dengan jumlah penduduk
Malaysia, Vietnam, dan Kamboja jika digabungkan. Sebagian besar penduduk miskin
di Asia Tenggara tinggal di Indonesia.
Kemiskinan menjadi alasan rendahnya Human Development Index (Indeks
Pembangunan Manusia) Indonesia. Secara menyeluruh, kualitas manusia Indonesia
relatif sangat rendah jika dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain
di dunia. United Nations Development Programme (UNDP) menempatkan HDI
Indonesia di peringkat 124 dari 187 negara pada tahun 2011. Di tahun yang sama,
jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 30 juta orang, sebesar 37% dari
jumlah tersebut berada di daerah perkotaan dan 63% di daerah pedesaan.

11
Kualitas manusia akan berpengaruh pada kemampuannya dalam beraktualisasi
diri dan menghidupi kehidupannya. Dengan kualitas yang memadai maka akan
dengan mudah mendapatkan penghasilan, kekayaan dan kebutuhan lainnya yang
dapat menunjang dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, kualitas manusia ini
berpengaruh pada keterampilan atau skill yang dimilikinya sehingga menjadi
kemampuan yang dapat digunakan untuk menghindari dari garis kemiskinan. Hingga
saat ini, kualitas manusia Indonesia memang jauh atau rendah dibandingkan negara
lain sehingga ini berpengaruh pada kemampuan seseorang dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Permasalahan kemiskinan ini memang sangatlah kompleks artinya dari hal
tersebut dapat memberikan begitu besar permasalahan lainnya artinya disini ada “efek
domino” yang memberikan pengaruh pada berbagai keadaan lainnya dalam kehidupan
seseorang. Dengan masalah kemiskinan ini, bisa dilihat dari berbagai permasalahan
yang berada didalamnya atau termasuk dalam hal miskin tersebut artinya keadaan ini
menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan secara
terbatas, membuat anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas,
kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya kemampuan untuk menabung dan
berinvestasi, minimnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan dan
jaminan sosial, serta menguatnya arus urbanisasi ke kota. Artinya, pengaruh yang
besar ketika seseorang sudah termasuk dalam garis kemiskinan karena permasalahan
ini bisa memberikan dampak pada keadaan sekitarnya. Memang, permasalahan ini
yang hingga kini masih saja dialami dan terdapat pada Negara Indonesia sehingga
membuat satu masalah yang berpengaruh pada permasalahan lainnya dan hingga kini
sulit untuk diatasi.
Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai
standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut
garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis
kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat
membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan
kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan,
transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2002:4).
Garis kemiskinan ini yang menjadikan dasar atau patokan dalam menentukan
seseorang dikatakan atau termasuk dalam keadaan miskin ataupun tidak. Garis
kemiskinan atau batas kemiskinan adalah tingkat minimum pendapatan yang

12
dianggap perlu dipenuhi untuk memperoleh standar hidup yang mencukupi di suatu
negara. Dalam praktiknya, pemahaman resmi atau umum masyarakat mengenai garis
kemiskinan (dan juga definisi kemiskinan) lebih tinggi di negara maju daripada di
negara berkembang.
Hampir setiap masyarakat memiliki rakyat yang hidup dalam kemiskinan.
Garis kemiskinan berguna sebagai perangkat ekonomi yang dapat digunakan untuk
mengukur rakyat miskin dan mempertimbangkan pembaharuan sosio-ekonomi,
misalnya seperti program peningkatan kesejahteraan dan asuransi pengangguran
untuk menanggulangi kemiskinan.

A.3 Jenis-jenis Kemiskinan


Kemiskinan memang suatu hal yang sering didengar dan dirasakan oleh
sebagian besar masyarakat yang berada di Indonesia karena beberapa hal yang
menyebabkan dirinya harus berada dalam keadaan tersebut. Seperti diketahui bahwa
kemiskinan ini bervariasi artinya terdapat jenis-jenis dari kemiskinan.
Kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi yaitu kemiskinan absolut dan
kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif adalah konsep
kemiskinan yang mengacu pada kepemilikan materi dikaitkan dengan standar
kelayakan hidup seseorang atau kekeluarga. Kedua istilah itu menunjuk pada
perbedaan sosial (social distinction) yang ada dalam masyarakat berangkat dari
distribusi pendapatan. Perbedaannya adalah bahwa pada kemiskinan absolut
ukurannya sudah terlebih dahulu ditentukan dengan angka-angka nyata (garis
kemiskinan) dan atau indikator atau kriteria yang digunakan, sementara pada
kemiskinan relatif kategori kemiskinan ditentukan berdasarkan perbandingan relatif
tingkat kesejahteraan antar penduduk. Berikut penjelasannya.
1. Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut atau mutlak berkaitan dengan standar hidup minimum
suatu masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk garis kemiskinan (poverty line)
yang sifatnya tetap tanpa dipengaruhi oleh keadaan ekonomi suatu masyarakat.
Garis Kemiskinan (poverty line) adalah kemampuan seseorang atau keluarga
memenuhi kebutuhan hidup standar pada suatu waktu dan lokasi tertentu untuk
kelangsungkan hidupnya. Pembentukan garis kemiskinan tergantung pada definisi
mengenai standar hidup minimum. Sehingga kemiskinan absolut ini bisa diartikan
dari melihat seberapa jauh perbedaan antara tingkat pendapatan seseorang dengan

13
tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Tingkat
pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dengan tidak
miskin.
Pada tahun 1976 International Labor Organization (ILO) menggunakan ukuran
kebutuhan pokok untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin. Indikator-
indikator kebutuhan pokok yang dimaksud adalah pangan, papan, sandang dan
fasilitas umum seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih dan transportasi.
Strategi yang digariskan oleh ILO tersebut menyebutkan adanya keharusan usaha
langsung untuk memperbaiki nasib golongan yang paling miskin tanpa menunggu
bekerjanya proses tetesan ke bawah (Bigsten, Anne dalam Gammel, Norman, dkk
dalam Budi Jati, ibid: hal 229-230: Kantor Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian dan Yayasan Agro Ekonomika, Kajian Kebijakan Pemberdayaan
Masyarakat Miskin di Era Otonomi Daerah, Jakarta, 2002, hal I-1).
World Bank (2008) menghitung tingkat dan jumlah penduduk miskin absolut
dengan menggunakan ukuran tunggal yang seragam untuk semua negara. Di
negara-negara sedang berkembang seseorang disebut miskin bila berpendapatan
kurang dari $ US 1 per hari, dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 milyar penduduk
dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut. Sementara garis kemiskinan yang
diukur berdasarkan ukuran $ US 2 juga telah dipublikasikan dimana lebih dari 2
milyar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dolar yang digunakan
adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity) bukan nilai tukar resmi (exchange
rate). Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolut. Garis kemiskinan di
Indonesia secara luas digunakan pertama kali dikenalkan oleh Sajogyo pada tahun
1964 yang diukur berdasarkan konsumsi setara beras per tahun. Menurut Sajogyo
terdapat tiga ukuran garis kemiskinan yaitu miskin, sangat miskin dan melarat
yang diukur berdasarkan konsumsi per kapita per tahun setara beras sebanyak 480
kg, 360 kg dan 270 kg untuk daerah perkotaan dan 320 kg, 240 kg dan 180 kg
untuk daerah pedesaan (Arndt, Pembangunan dan Pemerataan, hal 58, 1987).
BPS menghitung jumlah dan persentase penduduk miskin (head count index)
yaitu penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan berdasarkan data hasil
Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Garis kemiskinan yang merupakan
dasar penghitungan jumlah penduduk miskin dihitung dengan menggunakan
pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) yaitu besarnya rupiah yang

14
dibutuhkan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non
makanan atau lebih dikenal dengan garis kemiskinan makanan dan non makanan.
Garis kemiskinan makanan yang dimaksud adalah pengeluaran konsumsi per
kapita per bulan yang setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari. Sedangkan
garis kemiskinan non makanan adalah besarnya rupiah untuk memenuhi kebutuhan
non makanan seperti perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan, pakaian dan
barang atau jasa lainnya. Komponen garis kemiskinan makanan adalah nilai rupiah
yang dikeluarkan untuk memenuhi 52 komoditi makanan terpilih hasil Susenas
modul konsumsi. Sedangkan garis kemiskinan non makanan adalah nilai rupiah
dari 27 sub kelompok pengeluaran yang terdiri atas 51 jenis komoditi dasar non
makanan di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
Dapat disimpulkan secara umum bahwa kemiskinan absolut adalah kondisi
kemiskinan yang terburuk yang diukur dari tingkat kemampuan suatu keluarga
dalam membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan
taraf hidup kemanusiaan yang paling rendah.

2. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif pada dasarnya menunjuk pada perbedaan relatif tingkat
kesejahteraan antar kelompok masyarakat. Mereka yang berada dilapis terbawah
dalam persentil derajat kemiskinan suatu masyarakat digolongkan sebagai
penduduk miskin. Dalam kategori seperti ini, dapat saja mereka yang digolongkan
sebagai miskin sebenarnya sudah dapat mencukupi hak dasarnya, namun tingkat
keterpenuhannya berada dilapisan terbawah.
Jadi, kemiskinan relatif ini adalah kondisi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat
sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum
disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian
terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen
lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut
pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin.
Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi
pendapatan/pengeluaran penduduk.
Kemiskinan relatif memahami kemiskinan dari dimensi ketimpangan antar
kelompok penduduk. Pendekatan ketimpangan tidak berfokus pada pengukuran

15
garis kemiskinan, tetapi pada besarnya perbedaan antara 20 atau 10 persen
masyarakat paling bawah dengan 80 atau 90 persen masyarakat lainnya. Kajian
yang berorientasi pada pendekatan ketimpangan tertuju pada upaya memperkecil
perbedaan antara mereka yang berada dibawah (miskin) dan mereka yang makmur
dalam setiap dimensi statifikasi dan diferensiasi sosial. Ketimpangan merupakan
suatu permasalahan yang berbeda dengan kemiskinan. Dalam hal mengidentifikasi
dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup
untuk digunakan dan perlu disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara
secara keseluruhan. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk
membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak
mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.
World Bank mengelompokkan penduduk kedalam tiga kelompok sesuai
dengan besarnya pendapatan: 40 persen penduduk dengan pendapatan rendah, 40
persen penduduk dengan pendapatan menengah dan 20 persen penduduk dengan
pendapatan tinggi. Ketimpangan pendapatan diukur dengan menghitung persentase
jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan 40 persen
terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk.

A. 4 Pola Kemiskinan
Soemardjan (1997) mengemukakan beberapa pola kemiskinan yang dapat digunakan
untuk memahami orang miskin, yaitu :
a. Kemiskinan Individual
Kemiskinan ini terjadi karena adanya kekurangan-kekurangan yang
disandang oleh seorang individu mengenai syarat-syarat yang diperlukan
untuk mengentaskan dirinya dari lembah kemiskinan. Individu tersebut
mungkin menderita sakit sehingga tidak dapat bekerja . Atau munngkin tidak
mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang wajar. Mungkin
juga ia tidak mempunyai modal finansial atau keterampilan untuk berusaha.
Mungkin juga ia tidak mempunyai jiwa usaha atau semangat untuk maju di
kehidupannya.
Artinya kemiskinan individual ini dihadapi oleh setiap orang dan ini
berhubungan dengan kemampuan orang tersebut untuk menjalankan
aktivitasnya sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan akan keluar
dari garis kemiskinan. Keadaan pada setiap orang berbeda-beda dan ini

16
bergantung pada kemauan dan keterampilan yang dimiliki sehingga dapat
menjadi sumber untuk mendapatkan penghasilan yang mencukupi.
b. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan ini dinamakan struktural karena disandang oleh suatu
golongan yang “built in” atau menjadi bagian yang seolah-olah tetap dalam
struktur suatu masyarakat. Seperti yang digambarkan dalam kemiskinan
individual maka di dalam konsep kemiskinan structural ada suatu golongan
yang menderita kekurangan-kekurangan fasilitas,modal, sikap mental atau
jiwa usaha yang diperlukan untuk melepaskan diri dari ikatan kemiskinan.
Contoh dari golongan yang menderita kemiskinan structural ini adalah
golongan pegawai negri sipil kecil,petani yang tidak memiliki tanah.
Artinya, kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat
karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber
pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan strukturl
adalah suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang
penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial, dan oleh karena itu dapat
dicari pada struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.
Golongan kaum miskin ini terdiri dari ;
(1) Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri,
(2) Petani yang tanah miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak
cukup untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan
keluargamnya,
(3) Kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih (unskilled
labourerds), dan
(4) Para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah
(golongan ekonomi lemah).
Kemiskinan struktural tidak sekedar terwujud dengan kekurangan
sandang dan pangan saja, kemiskinan juga meliputi kekurangan fasilitas
pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi
dengan dunia sekitarnya, sosial yang mantap.
c. Kemiskinan Budaya
Yang dimaksud dengan kemiskinan budaya disini adalah kemiskinan
yang diderita oleh suatu masyarakat di tengah-tengah lingkungan alam yang
mengandung cukup banyak bahan yang dapat dimanfaatkan untuk

17
memperbaiki taraf hidupnya. Sebab kemiskinan itu karena masyarakat tidak
mengandung ilmu pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa usaha dan
dorongan sosial yang diperlukan untuk menggali kekayaan alam di
lingkungannya dan masyarakat.
Kemiskinan budaya adalah tata hidup yang mengandung system kaidah
serta system nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin yang disandang
suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan
perbaikannya. Dengan perkataan lain kemiskinan yang diderita oleh
masyarakat itu dianggap sudah menjadi nasib dan tidak mungkin dapat diubah
karena itu manusia dan masyarakat harus menyesuaikan diri pada kemiskinan
itu, agar tidak merasa keresahan jiwa dan frustrasi secara berkepanjangan.
Kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau
kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah
menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja.

d. Budaya Kemiskinan
Istilah kemiskinan budaya adakalanya dipakai secara terbalik menjadi
budaya kemiskinan. Dalam rangka budaya miskin ini, manusia dan masyarakat
menyerah kepada nasib dan bersikap tidak perlu, dan bahkan juga tidak
mampu menggunakan sumber daya lingkungan untuk mengubah nasib.
Budaya kemiskinan bukanlah hanya merupakan adaptasi terhadap
seperangkat syarat-syarat obyektif dari masyarakat yang lebih luas, sekali
budaya tersebut sudah tumbuh, ia cendrung melanggengkan dirinya dari
generasi ke generasi melaui pengaruhnya terhadap anak-anak. Budaya
kemiskinan cendrung berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang
berlapis-lapis rusak atau berganti, seperti masa pergantian feodalis ke kapitalis
atau pada masa pesatnya perubahan teknologi. Budaya kemiskinan juga
merupakan akibat penjajahan yakni struktur ekonomi dan sosial pribumi
diobrak, sedangkan atatus golongan pribumi tetap dipertahankan rendah, juga
dapat tumbuh dalam proses penghapusan suku. Budaya kemiskinan cendrung
dimiliki oleh masyarakat strata sosial yang lebih rendah, masyarakat terasing,
dan warga urban yang berasal dari buruh tani yang tidak memiliki tanah.

18
A. 5 Dimensi Kemiskinan
Menurut David Cox (dalam Suharto, 2009:18) membagi kemiskinan ke dalam
beberapa dimensi, sebagai berikut:
1. Kemiskinan yang diakibatkan oleh globalisasi.
Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena
pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan
lainnya. Kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi, termasuk
kemunculan telegraf dan Internet, merupakan faktor utama dalam globalisasi yang
semakin mendorong saling ketergantungan (interdependensi) aktivitas ekonomi
dan budaya.
Globalisasi melahirkan negara pemenang dan negara kalah. Pemenang
umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang
seringkali terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan
prasyarat globalisasi. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan antar negara dan
warga negara yang akan menjadi korbannya termasuk masyarakat yang berada
dalam kelas bawah. Artinya masyarakat kelas bawah tersebut akan semakin miskin
dengan keadaan yang sudah mulai masuknya pasar bebas atau tidak adanya sekat.
Karena hal tersebut, akan memberikan dampak negatif, yaitu terjadinya
pengurangan tenaga kerja atau pemecatan dan perampingan tenaga kerja pada
sebuah perusahaan. Hal ini merupakan dampak dari globalisasi dikarenakan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan mesinisasi atau
penggunaan mesin dan komputer yang akan menggantikan fungsi manusia sebagai
tenaga kerja. Hal ini terjadi dikarenakan pertimbangan manusia yang kurang
efisien dan terlalu banyak biaya. Dampak tersebut adalah salah satu dari begitu
banyak alasan mengapa angka masyarakat yang berada dalam garis kemiskinan
masih tetap saja ada. Artinya disini bahwa gobalisasi menuntut masyarakat untuk
semakin siap dan harus memiliki keterampilan khusus sehingga dapat tetap bekerja
untuk mencukupi kehidupannya jika sehingga tidak terjerat dalam permasalahan
kemiskinan.
2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan.
Pembangunan di Indonesia semkain berkembang artinya pertumbuhan
infrasturktur yang mulai banyak akan memberikan pengaruh yang besar pada
berbagai sektor. Pembangunan ini berkaitan pula dengan isu globalisasi yang

19
menuntut untuk mampu bersaing dengan negara lain, termasuk dalam hal
pembangunannya.
Pembangunan disini, menimbulkan semakin tergesernya masyarakat yang
berada di pinggiran kota. Artinya begitu banyak gedung menjulang tinggi dengan
berbagai desain yang menghiasi setiap kota termasuk kota besar akan memberikan
penampilan yang jelas pada kota tersebut, dimana masih saja terdapat warganya
yang berada atau tinggal di tempat yang tidak layak. Maksudnya terdapat
ketidakseimbangan antara pembangunan yang semakin pesat dengan keadaan
sekitar. Sekarang ini yang terjadi bahkan, banyak warga pinggiran yang terpaksa
harus pindah dari tempatnya karena lahan mereka dipergunakan untuk membuat
bangunan baru. Dengan kenyataan yang seperti ini, menimbulkan sebuah
permasalahan baru baik bagi masyarakat itu sendiri ataupun pemerintah.
Pembangunan juga bukan hanya berkaitan dengan infrastruktur tetapi juga
pembangunan manusia, yaitu berkaitan dengan harapan hidup, melek huruf,
pendidikan dan standar hidup. Hal-hal tersebut menjadi tolak ukur dikatakan
pembangunan manusia berjalan dengan baik dan standar tersebut juga
diberlakukan di semua negara di dunia. Artinya ketika pembangunan manusia
termasuk di Indonesia kurang bisa dikatakan akan memberikan peluang semakin
bertambahnya jumlah warga miskin.
Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan),
kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses
pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat
dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).
3. Kemiskinan sosial.
Yaitu kemiskinan karena kekurangan jaringan sosial dan struktur yang
mendukung untuk mendapat kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.
Dengan kata lain kemiskinan sosial adalah kemiskinan yang disebabkan adanya
faktor-faktor menghambat yang mencegah dan menghalangi seseorang untuk
memanfaatkan kesempatan yang tersedia.
Bisa dikatakan bahwa jaringan sosial dapat memberikan kesempatan yang
besar terhadap kemampuan seseorang untuk mengaktualisasikan diri dan
menggunakan kemampuan atau keterampilan yang dimilikinya sehingga dapat
menjadi sebuah mata pencaharian dan dapat melanjutkan kelangsungan hidup.
Seseorang bisa jadi memiliki sebuah keterampilan yang begitu baik dan akan

20
menjadi nilai yang berarti bila dihubungkan dengan jaringan sosial yang baik pula.
Artinya kemampuan seseorang dalam berhubungan sosial sangat dibutuhkan dalam
hal ini karena akan memberikan peluang untuk memperbaiki kehidupannya dan
bisa keluar dari garis kemiskinan.
Setiap manusia dalam kehidupan pasti membutuhkan orang lain atau hidup
secara bermasyarakat sehingga pengaruh dan dukungan yang diberikan dari orang
lain akan sangat berguna dan dapat menjadi sebuah dukungan baik secara materi
maupun nonmateri dalam menjalankan kehidupan.
Selain itu juga, dalam masyarakat terdapat kemiskinan yang dialami oleh
perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas akibat kondisi sosial yang tidak
menguntungkan mereka, seperti bias jender, diskriminasi atau eksploitasi ekonomi.
Sehingga terjadinya perbedaan dalam kehidupan masyarakat dalam
memperlakukan sebuah kelompok, perempuan dan juga anak-anak. Hal tersebut
terjadi karena adanya nilai-nilai dan budaya yang melekat pada sebuah masyarakat.
4. Kemiskinan konsekuensional.
Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor
eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan,
dan tingginya jumlah penduduk. Pengaruh dari luar yang memberikan pengaruh
terhadap tingginya angka kemiskinan.
Harus disadari bahwa kejadian yang berada di sekitar akan memberikan
dampak terhadap kelangsungan hidup karena pada kenyataannya bahwa faktor
ekternal sangat berkaitan atau berdekatan dengan keadaan suatu masyarakat.
Sehingga bisa saja kejadian yang dipengaruhi atau disebabkan oleh faktor eksternal
tersebut terjadi dan memberikan pengaruh terhadap kehidupan. Dengan kata lain,
kemiskinan ini bisa terjadi disebabkan bukan saja faktor yang yang berada dalam
diri setiap orang atau individu tetapi diluar hal tersebut bisa memberikan pengaruh
juga.
Faktor ekternal tersebut seperti konflik, banyak terjadi sebuah perselisihan
antar warga karena salah paham, perebutan wilayah dan penyebab lainnya. Tanpa
disadari bahwa konflik tersebut dapat mematikan mata pencaharian orang sekitar
sehingga tidak dapat menafkahi keluarganya atau bahkan konflik tersebut
menimbulkan adanya kebakaran baik terhadap ladang, rumah warga ataupun
tempat perbelanjaan dan ini akan membuat semakin menimbulkan permasalahan
termasuk masalah kemiskinan yang meningkat. Begitu pula dengan faktor

21
eksternal lainnya seperti bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya
jumlah penduduk memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap masyarakat
karena kebanyakan dari masyarakat bergantung hidup dari sumber-sumber yang
berada disekitar.

A.6 Faktor Penyebab Kemiskinan


Kemiskinan adalah sebuah permasalahan yang begitu kompleks dan sangat
berhubungan dengan keadaan yang berada di sekitarnya sehingga dapat memberikan
pengaruh ataupun dipengaruhi. Dalam hal ini ada banyak penyebab terjadinya
kemiskinan yang diungkapkan oleh para ahli, namun secara garis besar ada dua
penyabab kemiskinan, yaitu :
a) Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dar dalam diri seseorang
atau keluarganya yang dapat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Faktor-
faktor tersebut antara lain :
 Fisik (cacat, kurang gizi, sakit-sakitan)
 Intelektual (kurangnya pengetahuan, kebodohan, kekurangtahuan
informasi)
 Mental Emosional (malas, mudah menyerah, putus asa, temperamental)
 Spiritual (tidak jujur, penipu, serakah, tidak disiplin)
 Sosial Psikologis (kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi/stress,
kurang bergaul,kurang mampu mencari dukungan)
 Keterampilan (tidak mempunyai keterampilan sesuai dengan lapangan
kerja)
 Aset (tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah,
tabungan, kendaraan, modal kerja)
b) Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal merupakan faktor yang berada di luar diri
seseorang atau keluarganya yang dapat menyebabkan terjadinya kemiskinan.
Faktor-faktor tersebut antara lain :
 Terbatasnya pelayanan sosial dasar
 Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah

22
 Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya
susaha-usaha sector informal
 Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat
bunga yang tidak mendukung sector usaha mikro
 Belum terciptanya system ekonomi kerakyatan dengan prioritas
sector riil masyarakat banyak
 Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang
belum optimal (seperti zakat)
 Dampak sosial negative dari program penyesuaian structural
 Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan
 Kondisi geografis yang sulit, terpencil, tandus atau daerah bencana
 Pembangunan yang berorientasi fisik material
 Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata
 Kebijakan public yang belum berpihak pada penduduk miskin

B. Kebijakan dan Program Pemerintah


Mengenai permasalahan kemiskinan ini, terdapat Undang-Undang yang telah
mengatur sebagai salah satu bentuk perhatian dari pemerintah terhadap permasalahan
ini, yaitu :
 UU No. 13 Tahun 2011 tentang penanganan fakir miskin
 UU No. 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial
 Perpres No.13 Tahun 2009 tentang koordinasi penanggulangan kemiskinan
 Perpres No.166 Tahun 2014 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan
 Perda No. 20 Tahun 2013 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan
Pemerintah saat ini memiliki berbagai program penanggulangan kemiskinan
yang terintegrasi mulai dari program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan
sosial, program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat
serta program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan usaha kecil,
yang dijalankan oleh berbagai elemen Pemerintah baik pusat maupun daerah.
Untuk meningkatkan efektifitas upaya penanggulangan kemiskinan, Presiden
telah mengeluarkan Perpres No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan

23
Kemiskinan, yang bertujuan untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan hingga
8 % sampai 10 % pada akhir tahun 2014.
Terdapat 4 klaster program penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan
oleh pemerintah. yakni :
a. Klaster 1 bersifat bantuan yang antara lain berupa Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), Jamkesmas (BPJS) dan Beras bersubsidi atau beras untuk
rumah tangga miskin (Raskin).
b. Klaster 2 berisikan program pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk
meningkatkan keberdayaan masyarakat secara ekonomi. Klaster ini
diibaratkan sebagai kail karena bersifat memberikan peluang kepada
masyarakat miskin berdasarkan potensi dan kemampuan yang mereka miliki.
Dalam klaster 2, pemerintah melaksanakan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program ini dilaksanakan oleh 13 Kementerian
dan 1 lembaga.
c. Klaster 3 Program peningkatan keberdayaan ekonomi pada klaster 2 kemudian
diperkuat dengan diluncurkannya program kredit usaha rakyat (KUR) yang
tergabung dalam klaster 3. Dalam program KUR, pemerintah menempatkan
dana pada PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) sebagai dana penjaminan
untuk mempermudah penyaluran kredit untuk usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM). Program peningkatan keberdayaan ekonomi ini
kemudian diperkuat dengan diluncurkannya program kredit usaha rakyat
(KUR) yang tergabung dalam klaster 3.
d. Klaster 4 merupakan program pelengkap dan penguat berbagai program
pengurangan kemiskinan yang merupakan program prioritas pemerintah.
Melalui program klaster 4, beban pengeluaran masyarakat iskin untuk
memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga, transportasi dan energi akan
berkurang (Rumah sangat murah, Kendaraan angkuta umum dan listrik murah,
air bersih peningkatan kehidupan nelayan, peningkatan kehidupan masyrakat
pingiran kota).

C. Peran Pekerja Sosial


Dalam perspektif profesi pekerjaan sosial, orang miskin adalah orang yang
mengalami disfungsi sosial, karena ia tidak mampu melakukan tugas pokoknya

24
dengan baik, yaitu tugas dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya seperti
pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan. Pendekatan pekerjaan sosial
dalam menangani masalah kemiskinan tidak hanya diarahkan kepada si klien
(masyarakat miskin), tetapi juga ditujukan kepada situasi-situasi sosial yang
mempengaruhi kehidupan mereka. Hal tersebut didasari oleh pendekatan pekerjaan
sosial yang senantiasa berorientasi pada sasaran perubahan (orang miskin) tidak
terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya (person-in-enviranment dan
person-in-situation).
Secara konseptual pekerjaan sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan
persoalan-persoalan multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan individual-
struktural (Suharto, 2005). Berdasarkan perspektif ini, ada tiga kategori kemiskinan
yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu:
1. Kelompok yang paling miskin (destitute)
Biasa disebut fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan
dibawah garis kemiskinan (umumnya tidak memiliki sumber pendapatan sama
sekali) serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
2. Kelompok miskin (poor).
Kelompok ini memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan namun secara
relatif memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar (misalnya, masih memiliki
sumber-sumber finansial, memiliki pendidikan dasar atau tidak buta huruf).
3. Kelompok rentan (vulnerable group).
Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari kemiskinan, karena memiliki
kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun miskin.
Namun sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor” (agak miskin) ini
masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Mereka seringkali
berpindah dari status “rentan” menjadi “miskin” dan bahhkan “destitute” bila
terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan sosial.
Peranan merupakan cara yang dilakukan oleh seseorang untuk menggunakan
kemampuannya dalam situasi tertentu. Sebagaimana Soetarso dala Huraira (2008)
menegaskan bahwa peranan dalam profesi apapun tidak ditentukan dalam kevakuman,
melainkan terkait dengan aneka ragam variabel. Peranan juga tidak berdiri sendiri,
tetapi terkait dengan peranan-peranan lain.

25
Dengan demikian peranan bersiat dinamis dan interaksional, dalam pengertian
dapat berubah sesuai variabel dan peranan-peranan lain yang dilaksanakan oleh
pekerja sosial.
Dalam proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan bagi miskin, Schwartz
dalam Suharto (2009), mengemukakan 5 (lima) tugas yang dapat dilaksanakan oleh
pekerja sosial :
1. Mencari persamaan mendasar antara persepsi masyarakat mengenai kebutuhan
mereka sendiri dan aspek-aspek tuntutan sosial yang dihadapi mereka.
2. Mendeteksi dan menghadapi kesulitan-kesulitan yang menghambat banyak orang
dan membuat frustrasi usaha-usaha orang untuk mengidentifikasi kepentingan
mereka dan kepentingan orang-orang yang berpengaruh (significant others)
terhadap mereka.
3. Memberi kontribusi data mengenai ide-ide, fakta, nilai, konsep yang tidak dimiliki
oleh masyarakat, tetapi bermanfaat bagi mereka dalam menghadapi realitas sosial
dan masalah yanh dihadapi mereka.
4. Membagi visi kepada masyarakat; harapan dan aspirasi pekerja sosial merupakan
investasi bagi interaksi antara orang dan masyarakat bagi kesejahteraan individu
dan sosial.
5. Mendefinisikan syarat-syarat dan batasan-batasan situasi dengan mana sistem
relasi antara pekerja sosial dan masyarakat dibentuk. Aturan-aturan tersebut
membentuk konteks bagi ’kontrak kerja’ yang mengikat masyarakat dan lembaga.
Batasan-batasan tersebut juga mampu menciptakan kondisi yang dapat membuat
masyarakat dan pekerja sosial menjalankan fungsi masing-masing.
Sedangkan menurut Charles Zastrow (Huraira:2008), ada beberapa peranan yang
dilakukan petugas pengembangan masyarakat/pekerja masyarakat (community
worker/community organizer) anatara lain, yaitu:
 Enabler.
Peranan sebagai enabler adalah membantu masyarakat agar dapat
mengartikulasikan atau mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan mereka,
menjelaskan dan mengidentifikasi masalah-masalah mereka, dan
mengembangkan kemampuan mereka agar dapat menangani masalah yang
mereka hadapi secara lebih efektif. Peranan sebagi enabler ini adalah peranan
klasik atau peranan tradisional (the classic or traditional role) dari seseorang

26
commutity organizer / community worker. Fokusnya adalah menolong
masyarakat agar dapat menolong dirinya sendiri (to help people help
themselves). Ada empat fungsi utama seorang CO/CD, yaitu:
- Membantu membangkitkan kesadaran masyarakat
- Mendorong dan mengembangkan pengorganisasiandalam masyarakat
- Memelihara relasi interpersonal yang baik
- Dan memfasilitasi perencanaan yang efektif
 Expert.
Sebagai seorang expert, ia berperan menyediakan informasi dan
memberikan saran-saran dalam berbagai area. Misalnya, seorang expert
menyarankan tentang bagaimana struktur organisasi dapat dikembangkan dalam
masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat mana saja yang harus
terwakili.
 Social Planner.
Sebagai seorang social planner berperan mengumpulkan fakta-fakta
tersebut serta menyusun alternatif tindakan yang rasional dalam menangani
masalah tersebut. Kemudian, mengembangkan program, mencari alternatif
sumber pendanaan dan mengembangkan konsensus dalam kelompok yang
mempunyai berbagai minat dan kepentingan.
 Advocate.
Peranan ini adalah peranan yang aktif dan terarah, dimana community
organizer/community worker melaksanakan fungsinya sebagai advocate yang
mewakili kelompok masyarakat yang membutuhkan pertolongan ataupun
pelayanan, tetapi institusi yang seharusnya memberikan pertolongan tersebut
tidak memperdulikan ataupun menolak tuntutan masyarakat.

27
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan
kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan
dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Ketidakmampuan
itu dipengaruhi juga dengan tidak adanya akses yang dapat mendukung setiap
masyarakat untuk mendapatkan sumber sehingga dapat menjadi sebuah mata
pencaharian ataupun dapat membantu dalam keberlangsungan hidupnya, hal itu yang
menjadi salah satu faktor mengapa terjadinya kemiskinan pada masyarakay di
Indoensia.
Selain itu juga bahwa kemiskinan bisa dikatakan sebagai masalah global.
Artinya permasalahan ini bukan saja terjadi pada satu atau dua tahun terakhir ini tetapi
sudah terjadi sejak zaman dahulu sehingga bisa dikatakan permasalahan kemiskinan
ini sudah tidak heran bila sering mendengarnya. Kemiskinan sebagai suatu penyakit
sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang,
tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris
mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi
industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari
tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah
rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di
permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi,
kriminalitas, pengangguran. Sedangkan Amerika Serikat sebagai negara maju juga
dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi tahun
1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan
terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan
Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di

28
balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah
penduduknya tergolong miskin. Bisa dikatakan bahwa permasalahan kemiskinan ini
terjadi hampir di semua negara di dunia bukan saja di Indonesia tetapi dengan jumlah
dan faktor penyebab yang berbeda-beda sehingga cara penanganan atau pengentasan
kemiskinan yang dilakukannya pun berbeda.
Begitu halnya dengan di negara kita, Indonenesia. Bisa dikatakan hingga kini
kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang menjadi isu sentral di
Indonesia. Lebih dari 110 juta orang Indonesia hidup dengan penghasilan kurang dari
US$ 2 per hari. Jumlah ini sama dengan jumlah penduduk Malaysia, Vietnam, dan
Kamboja jika digabungkan. Sebagian besar penduduk miskin di Asia Tenggara
tinggal di Indonesia.
Kemiskinan menjadi alasan rendahnya Human Development Index (Indeks
Pembangunan Manusia) Indonesia. Secara menyeluruh, kualitas manusia Indonesia
relatif sangat rendah jika dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain
di dunia. United Nations Development Programme (UNDP) menempatkan HDI
Indonesia di peringkat 124 dari 187 negara pada tahun 2011. Di tahun yang sama,
jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 30 juta orang, sebesar 37% dari
jumlah tersebut berada di daerah perkotaan dan 63% di daerah pedesaan. Hal itulah
yang terjadi di negara ini, pembangunan manusia yang rendah atau kurang optimal
menjadikan kualitas manusia indonesia pun menjadi sangat rendah dan itu akan
memberikan pengaruh dalam bersaing dengan negara lain ditambah sekarang sudah
zaman globalisasi yang mengharuskan masyarakat siap untuk bersaing dengan negara
lain termasuk dalam hal kualitas dari manusianya sendiri. Ketika kualitas manusianya
tidak siap atau rendah maka akan berpengaruh pada cara mengaktualisasikan diri
seseorang untuk mendapatkan pekerjaan sebagai salah satu kebutuhan yang dapat
membantu dalam pemenuhan kebutuhan primer maupun sekunder sehingga dapat
keluar dari permasalahan yang masih menjadi isu krusial di negara ini yaitu
permasalahan kemiskinan.
Walaupun jumlah warga miskin di Indonesia pada maret 2013 mencapai 28,07
juta orang. Bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya bisa dibilang menurun
tetapi angka tersebut masih cukup tinggi dan dibandingkan dengan negara lain,
Indonesia masih memiliki angka kemiskinan yang begitu besar sehingga menjadi
tugas dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan dalam berusaha menangani

29
permasalahan tersebut sehingga bisa menurunkan angka kemiskinan hingga tidak
begitu banyak.
Dalam hal ini, bukannya lepas tanggung jawab tetapi berbagai cara telah
dilakukan oleh pemerintah dalam mengentaskan permasalahan kemiskinan seperti
dibuatnya undang-undang, peraturan pemerintah hingga peraturan daerah sebagai
bentuk-bentuk keseriusan dari pemerintah dalam menangani permasalahan ini.
Sehingga pemerintah saat ini memiliki berbagai program penanggulangan kemiskinan
yang terintegrasi mulai dari program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan
sosial, program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat
serta program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan usaha kecil,
yang dijalankan oleh berbagai elemen Pemerintah baik pusat maupun daerah.
Untuk meningkatkan efektifitas upaya penanggulangan kemiskinan, Presiden
telah mengeluarkan Perpres No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan, yang bertujuan untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan hingga
8 % sampai 10 % pada akhir tahun 2014.
Selain itu, peran pekerjaan sosial dalam membantu mengentaskan
permasalahan kemiskinan pun dapat dilakukan seperti secara konseptual pekerjaan
sosial memandang bahwa kemiskinan merupakan persoalan-persoalan
multidimensional, yang bermatra ekonomi-sosial dan individual-struktural (Suharto,
2005). Sehingga peran yang dapat dilakukan oleh pekerjaan sosial dalam membantu
permasalahan ini dapat menjadi enabler, expert, social planner, dan juga advocate.
Dengan demikian peranan bersiat dinamis dan interaksional, dalam pengertian dapat
berubah sesuai variabel dan peranan-peranan lain yang dilaksanakan oleh pekerja
sosial.
Tetapi tidak mudah untuk menjalankan program tersebut karena terdapat
berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah baik ketidaksetujuan
masyarakat dengan program tersebut, program yang menurut masyarakat tidak tepat
sasaran hingga tidak berkelanjutannya program tersebut. Sehingga dalam hal ini,
dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak sehingga dapat mendukung keberhasilan
dari setiap program yang dibuat oleh pemerintah dan tujuan utama dari program
tersebut dapat tercapai.

B. Saran

30
Pembuatan makalah ini tidak luput dari kekurangan atau kesalahan sehingga
kami membutuhkan kritik dan saran demi perkembangan atau keberhasilan dalam
pembuatan makalah selanjutnya. Karena kritik dan saran akan memberikan
pengetahuan baru dalam proses belajar mengajar.
DAFTAR PUSTAKA

Hendra, roy. 2010. Determinan Kemiskinan.FE UI


Edi Suharto, Ph.D. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan masyarakat. Bandung :
Refika Aditama.
Yusrizal, H. 2005. Program Pemberdayaan Fakir Miskin. Jakarta : Depsos RI
Alfinn, Mely G. Tan, dan Soemardjan. 1980. Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai.
Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial,
Breman, Jan. 1985. Sistem tenaga Kerja Dualistis: Suatu Kritik Terhadap Konsep Sektor
Informal. dalam Chris Manning dan Tajuddin Noor Effendi (Ed), Urbanisasi, Pengangguran,
dan sector Informal di Jakarta. Jakarta: Gramedia.
http://tesisdisertasi.blogspot.com/2010/09/teori-kemiskinan.html
http://ahmadefendy.blogspot.com/2010/04/klasifikasi-dan-jenis-jenis-kemiskinan.html
http://sp.beritasatu.com/ekonomidanbisnis/inilah-enam-program-pemerintah-untuk-rakyat-
miskin/7216
www. Wikipedia.com

31

Anda mungkin juga menyukai