Anda di halaman 1dari 1

Deviana Cahya Ningrum/XI MIPA 3

SAMPAH

(Lampu hidup, fokus pada seorang perempuan, murung, duduk di kursi sisi belakang panggung.)

► : Aku manusia, sama seperti manusia-manusia lainnya. Manusia yang punya hak untuk hidup layak, punya
keluarga, teman, uang, rumah dan kebebasan (kesal). Aku dulu anak desa, hidup dari membajak sawah. (kaki
disilangkan di atas kaki lainnya, masih bersandar pada kursi).

(Lampu meredup & mati) (Lampu menyala, seorang perempuan terlihat).

► : Pak, apa warung ini butuh pekerja? Saya sedang cari kerja, Pak (memohon, lalu pindak ke warung lain), Bu, saya
butuh kerja, saya bisa bantu cuci piring atau apa saja, asal saya bisa makan (muram, lalu pergi karena tak ada yang
menanggapi).

(kembali duduk di sisi belakang panggung).

► : Begitulah. Aku hidup tak jelas di Surabaya, uang tak punya, baju apalagi, bisa makan saja sudah untung. Aku
menyesal meninggalkan orangtuaku di desa. Di desa, aku malah bisa makan kenyang meskipun seadanya, tapi
setidaknya bisa makan, tak seperti di sini, makan aja susah.

(Berusaha mengingat sesuatu, berjalan di sekitar panggung)

► : Satu hari, aku melewati sebuah TPA. Banyak orang mengais sampah di sana. Aku merasa jijik melihatnya. Tapi
demi perut, aku mulai ikut bekerja.

(duduk di lantai, kesal)

► : Tapi menurutku yang kulakukan itu bukanlah yang disebut kerja. Yang kulakukan hanyalah mengais sampah,
sampah yang bisa kujual lagi untuk memberi makan perutku. Mungkin karena aku bekerja dengan sampah, maka
pemerintah dan orang-orang menyebut aku dan teman-temanku lainnya sebagai sampah masyarakat. Seperti
sampah-sampah sebenarnya, kami dibuang agar tidak membusuk dan mengotori kota. (sangat kesal).

(kembali mengingat sesuatu).

► : Saat kami para sampah sedang istirahat, rantib keparat suruhan pemerintah itu menyeretku ke penampungan
dan rehabilitasi. Memang pemerintah, dari dulu tak memikirkan orang sepertiku. Tapi di barak itulah, aku
menemuinya, sampai…

(kembali berjalan menuju kursi).

► : Aku menikahinya. Aku punya suami dan anak. Senang sekali mengenang masa itu (terlihat bahagia). Kami hidup
di gubug di pinggiran kali. Saat anakku berumur 1,5 tahun, musibah datang lagi…

(bersimpuh, menunduk, menaburkan bunga)

► : Maaf aku tak bisa menjagamu baik-baik, kau tenang sekarang di atas sana, tak usah mikir makan, utang & uang.
Jaga anak kita baik-baik. Aku akan rajin-rajin datang kemari.

(kembali duduk di kursi).

► : Suamiku mati. Terbakar bersama anakku satu-satunya. Sekarang aku duduk disini,mengingatnya. Dan
pemerintah tak pernah peduli. Mereka tetap menganggapku sampah yang harus disingkirkan. Aku tetaplah
sampah, yang bau, busuk, menjijikkan & kotor. Sampah, sampah, sampah….

Anda mungkin juga menyukai