Anda di halaman 1dari 11

KEBERATAN

(EKSEPSI)

Atas Surat Dakwaan


Dalam Perkara Pidana
Nomor 09/Pid.B/1997/PN.JKT.PST

Atas Nama Terdakwa


ABERSON MARLE SIHALOHO

Diajukan oleh Tim Pembela Umum


Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M, dkk

Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat


Selasa 18 Februari 1997

I. PENDAHULUAN
Majelis Hakim Yang Terhormat
Setelah mempelajari dan mendengr secara seksama surat dakwaan Saudara Peuntut
Umum maka sesuai hukum acara, sekarang adalah giliran kami, Tim Pembela Terdakwa,
untuk memberikan pendapat, apakah Surat Dakwaan ini telah memenuhi azas dan ketentuan
hukum untuk mendudukkan anggota DPR, Aberson M. Shihaloho ini menjadi Terdakwa dan
sekaligus menjadi dasar satu-satunya sebagai pedoman untuk memeriksa dalam persidangan
nanti yakni apakah ia telah melakukan tindak pidana sebagaimana diuraikan dalam Surat
Dakwaan.
Dari Surat Dakwaan yang sudah dibacakan pada pokoknya saudara Aberson ini,
“dengan sengaja melakukan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, yaitu…
telah mengucapkan kata-kata atau kalimat yang sifatnya menyerang kehormatan atau
martabat atau nama baik Presiden Suharto” dan “dengan sengaja di muka umum, lisan atau
tulisan menghina suatu pengusaha atau badan hukum yang ada di Indonesia” dalam hal ini
ABRI dan MPR/DPR RI. Semuanya menurut Surat Dakwaan dilakukan pada saat memberi
ceraah atau berpidato di hadapan orang banyak dalam acara mimbar bebas di kantor DPP
PDI, acara yang secara umum dikenal dengan mimbar demokrasi. Sebagaimana diketahui,
acara itu disebut member demokrasi karena adalah sepengetahuan pihak keamanan bahkan
seizing pihak keamanan, hasil pembicaraan setelah peristiwa Gambir.

Persidangan yang terhormat,


Dengan dakwaan seperti diatas maka dimungkinkan Majelis Hakim untuk
menghukumnya selama tujuh tahun enam bulan (vide, Pasal 134 jo 207 KUHP). Jadi dilihat
dari ancaman ini mestinya perbuatan yang dituduhkan Saudara Jaksa Penuntut Umum ini dari
perspektif ancaman kepentingan umum sangatlah serius. Sebab dengan begitu seolah-olah
sumbangsih Saudara Aberson sebagai politisi dan anggota DPR/MPR RI terhadap negara dan
bangsa ini telah minus seketika. Pertanyaan sekarang, apakah dia begitu jahat, lebih jahat dari
orang-orang yang barangkali menginginkan ia diadili? Tentunya hanya orang-orang yang
baik dan tanpa cacatlah yang patut dan sah untuk menghukum orang lain.
Majelis Hakim yang terhotmat,
Sekalipun anggota DPR/MPR RI Aberson M. Sihaloho ini terdakwa pada pokoknya
dengan sengaja menghina Presiden dan MPR RI. Namun tidak nyata dari surat Dakwaan,
apakah sungguh-sungguh Presiden pernah merasa terhina karena ucapan atau ceramahnya
dan bahkan lebih ironisnya lagi pimpinan DPR/MPR RI belum pernah memberi teguran lisan
atau tulisan berat atau ringan pada Terdakwa. Padahal sehari-hari ia berada di gedung
DPR/MPR RI dan bertemu dengan pimpinannya. Secara sederhana saja, seorang buruh atau
mungkin pembantu rumah tangga bila majikan hendak menghukum, sebelumnya telah pernah
memberi teguran. Jadi tidak langsung unjuk kuasa dengan serta merta memberi dan/atau
mengancam dengan hukuman yang sangat mendasar. Masalah ini, hemat kami, tidak terbatas
apakah delik ini bersifat aduan atau tidak, tapi lebih dari itu yakni apakah ada keadaan
materiil atau tidak dalam peristiwa ini. Hal ini dalam satu negara demokratis yang
berdasarkan hukum patut mendapatkan tempat dalam setiap pertimbangan.
Dengan tidak adanya secara nyata pendapat/perasaan Presiden dan adanya teguran dan
pimpinan DPR/MPR RI mengindikasikan bahwa penyidangan perkara ini sangat tidak
mengandung pertimbangan-pertimbangan yuridis, tetapi lain dari itu. Karena itulah sejak dini
kami hendak mengindikasikan juga pada persidangan ini utamanya kepada Majelis Hakim
yang terhormat agar fairness,objectiveness, dan im patiality mendapat perhatian sungguh-
sungguh. Sebab sidang ini diselenggarakan bukan untuk mengabdi kepentingan seseorang
atau sekelompok orang pandai, cerdik dan berkuasa menggunakan instrumen-instrumen
kenegaraan seolah-olah untuk kepentingan hukum melainkan diselenggarakan untuk
mengabdi kepentingan hukum, pro justicia. Kami menyadari sebagai manusia biasa selalu
memiliki keterbatasan dan kelemahan namun manakala sudah dihadapkan pada hal yang
sangat hakiki dalam hidup dan kehidupan seseorang hendaknyalah kita bisa lebih awas,
akurat dan benar. Sebab hidup tidak hanya untuk sepotong roti. Hidup kiranya jauh lebih
berharga dari itu. Oleh karena itu kami percayakeberanian akan senantiasa menyertai Majelis
Hakim dalam menghadapi kasus yang diajukan ini.

Persidangan yang kami muliakan,


Apa yang hendak kami sampaikan dengan indikasi dan harapan diatas, tidak lain dan
tidak bukan agar sejak awal kita sudah dengan cermat dan sesama bisa memahami dan
menanggapi Surat Dakwaan yang serius ini. Oleh karena itu selanjutnya kami akan mulai
keberatan (eksepsi) ini dengan mempertanyakan secara yuridis penerapan ketentuan
perundang-undangan dalam memeriksa dan mengajukan Aberson pada persidangan ini dan
kemudian apakah yang dikatakannya itu sungguh-sungguh demikian dan baru sama sekali,
artinya substansinya belum pernah diucapkan sebelumnya ditempat lain. Dengan paparan ini
kita berharap yang Terhormat Majelis Hakim dapat melihat, menelaah dengan seksama dan
bijaksana, dan selanjutnya mengambil putusan yang tepat dan benar.

1. Penerapan UU No. 13/1970


Sebelum proses penyidikan dimulai secara hukum UU No. 13/1970, bagaimana pun
harus menjadi acuan yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Dalam Pasal 3 huruf (a)
ditentukan bahwa tindakan kepolisian terhadap anggota MPRS/DPRS (baca DPR/MPR)
dilakukan atas persetujuan Presiden bila dari kalangan sipil pelaksanaannya atas perintah
Jaksa Agung. Selanjutnya dalam Pasal 6 ditentukan bahwa pelaksanaan tindakan kepolisian
dalam UU ini hanya dapat dilakukan oleh petugas-petugas negara yang dipilih secara teknis
pengaturannya diserahkan pada perundang-undangan yang masih akan dibuat. Jadi sesuai
ketentuan di atas untuk melakukan tindakan kepolisian terhadap Tersangka (Terdakwa) harus
ada lebih dahulu, dalam suatu pemeriksaan berkepala “Pro Justicia”, hal-hal sebagai berikut:
(1) Surat Persetujuan Presiden dan (2) Surat Penunjukan Jaksa Agung kepada petugas negara
(penyidik) terpilih sesuai perundang-undangan yang masih dibuat. Kedua surat ini dalam
hukum acara disebut sebagai prerequisite, atinya sesuatu yang harus ada terlebih dahulu
sebagai prasarat untuk dapat melakkan hal lain.
Dalam BAP yang menjadi dasar satu-satunya Surat Dakwaan, yang juga turut
dilimpahkan ke pengadilan sehingga menjadi agian persidangan ini, tidak ditemukan kedua
surat yang seharusnya ada seperti yang disebut di atas. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa pada dasarnya pengajuan perkara ini tidak begitu peduli pada hukum. Pertanyaannya
sekarang, apakah Majelis Hakim yang terhormat akan meneruskan cara-cara seperti ini?
Kami yakin Majelis Hakim akan mengakhirinya, dan kemudian mengkoreksinya dengan
tetap teguh pada tujuan “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”.

2. Alat Perekam Sebagai Barang/Alat Bukti


Dari BAP terlihat bahwa yang utama digunakansebagai alat bukti adalah alat perekam
berikut transkripnya. Menurut hukum pembuktian, mendasarkan pada sesuatu yang tidak
pasti karena sifatnya bisa berubah atau diubah adalah tidak layak menjadi alat atau materi
pembuktian dalam perkara pidana. Sebab dalam hukum pembuktian ada adagium, dalam
keragu-raguan lebih baik melepas 10 orang jahat daripada menghukum seorang yang tidak
bersalah. Dengan demikian Surat Dakwaan yang didasarkan pada keterangan-keterangan
yang validitasnya diragukan kiranya tidak layak diterima sebagai landasan dalam persidangan
ini. Oleh karena itu, Surat Dakwaan yang data-datanya diambil oleh sumber yang
validitasnya diragukan hendaknya dikesampingkan. Dengan kata lain, Surat Dakwaan seperti
ini harus digolongkan sebagai Surat Dakwaan yang “tidak cermat dan jelas”.

3. Kewajiban Konstitusional dan Imunitas Hukum Sebagai Anggota


DPR/MPR RI
Terdakwa adalah seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Sebagai anggota DPR/MPR RI maka terdakwa terikat lahiriah dan batiniah dengan tugas dan
tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat. Keterikatan tersebut lahir dari Undang-Undangan
Dasar 1945 yang secara eksplisit tampak pada ketentuan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang
berbunyi “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”. Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 berbunyi: “Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-
utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan
undang-undang”. Pasal 3 UUD 1945 berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat
menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar dan Haluan Negara”.
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Sistem Pemerintahan Negara disebutkan,
“Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh
Presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Kecuali itu anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat semuanya merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa
minta pertanggung jawaban kepada Presiden”.
Berdasarkan fakta hukum ini, dapat dilihat betapa beratnya tugas dan tanggung ajawab
anggota DPR/MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Setiap saat dia haris melakukan
kontrol (pengawasan) terhadap pemerintah tentang jalannya roda pemerintahan yang kerap
akan bersinggungan dan mengakibatkan terjadinya benturan antar kekuasaan khususnya
antara kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan Legislatif. Para pendiri Republik ini menyadari
hal tersebut dan berangkat dari kesadaran itu bahwa setiap anggota DPR/MPR dilengkapi
dengan kekebalan dari sebagian kekuasaan Eksekutif yaitu dari: “Kekuasaan Kepolisian”.
Dalam kerangka tugas dan tanggung jawab seorang anggota DPR/MPR oleh hukum
diberikan hak kekebalan (immuniteit). Hak kekebalan itu dapat kita temui secara tegas di
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 1969 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975.
Pasal 34 Undang-Undang No. 16 Tahun 1969 yang berbunyi: “Anggota-Anggota
Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat tidak dapat situntut di muka pengadilan hanya
karena pernyataan-pernyataan yang dikemukakan dalam rapat Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, baik terbuka maupun tertutup yang diajukan lisan
maupun tertulis kepada pimpinan Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat atau kepada
Pemerintah, kecuali jika mereka mengumumkan apa yang disepakati dalam rapat tertutup
untuk dirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan-ketentuan mengenai
pengumuman Rahasia Negara dalam buku Kedua Bab I KUHP.
Penjelasan pasal ini berbunyi: “Pasal ini mengatur kebebasan mengeluarkan pendapat
yang memang seyogyanya harus dijamin dalam negara demokrasi. Namun demikian para
Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, wajib memegang teguh kode yang
mengandung prinsip suatu hal yang harus dirahasiakan, tidak boleh dibocorkan. Yang
dimaksud dengan rapat dalam pasal ini adalah rapat parlementer, yang diadakan baik di
dalam maupun di luar gedung Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat baik terbuka
maupun tertutup”.
Berdasarkan fakta ini, kami (Penasihat Hukum dan Terdakwa) tidak bisa mengerti
mengapa Terdakwa harus didakwa di persidangan ini dengan materi dakwaan yang masih
berada dalam ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya sebagai Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dalam suatu negara yang berkedaulatan rakyat.

Majelis Hakim yang Terhormat,


Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No.
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, dalam bagian
Konsiderans bebunyi: “Menimbang butir a. Bahwa tuntutan suara hati nurani rakyat
mengenai pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen adalah
tuntutan rakyat, pemegang kedaulatan dalam negara” dan bagian diktum Pasal 2 yang
berbunyi: “Sumber tertib Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan Republik Indonesia
tersebut pada Pasal 1 berlaku bagi pelaksana Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen”.
Terdakwa sebagai anggota DPR/MPR RI yang masih aktif, sangat terobsesi dengan
tekad orde baru yang tercantum dalam Ketetapan No. XX/MPRS/1966. Obsesi ini senantiasa
memotivasi diri dan semangat Terdakwa khususnya sejak beliau menjadi anggota DPR/MPR
RI. Dalam banyak hal Ketetapan ini menjadi sistem nilai bagi Terdakwa untuk melakukan
tugas-tugasnya (korektif-konstruktif) terhadap pelaksana pemerintahan.
Apa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada Terdakwa adalah perkataan-
perkataan yang sungguh-sungguh berbeda arti dan maksudnya dengan perkataan-perkataan
yang sesungguhnya diucapkan oleh Terdakwa. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh
Terdakwa semata-mata hanya merupakan pendidikan politik kepada rakyat (pendengar)
dalam menyongsong era keterbukaan yang sebagian sekaligus merupakan kritik terhadap
sistem penyelenggara negara dengan menggunakan sistem nilai Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945. Apakah perkataan yang demikian dapat dituntut dan/atau dipidana.
Dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum secara tegas menyatakan bahwa perkataan-
perkataan tersebut adalah cuplikan-cuplikan dari pidato tanpa teks Terdakwa di halaman
Kantor Dewan Pimpinan Pusat PARTAI DEMOKRASI INDONESIA. Terdakwa adalah
anggota DPR/MPR RI yang mewakili PDI dari daerah pemilihan Jawa Tengah. Dengan
demikian pidato tersebut adalah sebagian dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai
anggota DPR/MPR RI kepada partai Demokrasi Indonesia dan kepada rakyat Indonesia
yang mendengarkan pidato tersebut mutlak harus dilihat sebagai satu kesatuan secara
keseluruhan.

II. Tanggapan Tentang Syarat Materiil Surat Dakwaan


Majelis Hakim yang terhormat,
Bahwa secara konkrit syarat materiil untuk menyusun Surat Dakwaan ditentukan oleh
Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP yang berbunyi:”...b. Uraian secara cermat, jelas dan
lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat
tindak pidana itu dilakukan...”.
Bahwa apabila waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh Terdakwa tidak cermat,
tidak jelas dan tidak lengkap, maka menurut ketentuan Pasal 143 ayat 3 KUHAP, dakwaan
Saudara Jaksa Penuntut Umum batal demi hukum, yang lengkapnya berbunyi sebagai
berikut: “...3. Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf b batal demi hukum...”.
Dalam Surat Dakwaan Saudara Jaksa/Penuntut Umum No. P.I-72/JKTPS/I/97 tanggal
30 Desember 1996 terdapat hal-hal yang tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkapsebagai
berikut:
1. Dalam Surat Dakwaan Saudara Jaksa/Penuntut Umum diketik dengan huruf “u”
Presiden Suharto halaman 1,2 dan 3 yang seharusnya diketik dengan “oe”
Presiden Soeharto;
2. Pada halaman 5 tertulis “... Bahwa ucapan-ucapan Terdakwa-Terdakwa tersebut”,
sedangkan yang sebenarnya hanya ada seorang Terdakwa saja;
3. Tanggal tertulis 30 Desember 1996, tetapi nomor Surat Dakwaan tertulis angka
97, berarti telah terbukti satu tahun kemudian, atau dengan kata lain menuliskan
tanggal dan menuliskan nomor Surat Dakwaan Saudara Jaksa/Penuntut Umum
memerlukan waktu satu tahun yaitu perbedaan angka 97 dan 96. Apa yang
dilakukan saudara Jaksa/Penuntut Umum dalam hal nama Presiden Soeharto yang
salah ketik, ucapan-ucapan Terdakwa-Terdakwa, tahun dan nomor Surat
Dakwaan yang berbeda 1 tahun ini termasuk klasifikasi uraian tidak cermat, tidak
jelas dan tidak lengkap yang menjadi alasan Surat Dakwaan batal demi hukum
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 143 ayat 3 KUHAP tersebut di atas.
4. Bahwa baik pada dakwaan kesatu maupun dakwaan kedua terdapat kalimat-
kalimat berbunyi:
a. “...atau pada waktu lain setidak-tidaknya dalam bulan Juli 1996...”
b. “...atau setidak-tidaknya di tempat lain dalam wilayah hukum Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat...”
Dalam kalimat-kalimat seperti diatas yang ada dalam Surat Dakwaan Saudara Jaksa/
Penuntut Umum masih berpikir, baik waktunya masih ada kemungkinan tanggal lain seperti
tanggal 13 Juli 1996, maupun tempatnya yakni masih ada kemungkinan di tempat lain dalam
wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selain di jalan Diponegoro No. 58, Jakarta
Pusat.
Cara berpikir Saudara Jaksa/Penuntut Umum seperti tersebut diatas dari soal waktu dan
tempat kejadian tindak pidana terdapat sikap yang ragu-ragu, sikap yang tidak pasti, maka
umur waktu dan tempat seperti cara berpikirnya Saudara Jaksa/Penuntut Umum dalam Surat
Dakwaannya tersebut, termasuk tidak memenuhi syarat uraian cermat, jelas dan lengkap, oleh
karena itu dapat menjadi alasan Majelis Hakim untuk membatalkan demi hukum Surat
Dakwaan Saudara Jaksa/Penuntut Umum tersebut.

Kemudian dalam Surat Dakwaan Saudara Jaksa/Penuntut Umum Kesatu telah


diformalisir antara lain:
1. “...dengan sengajamelakukan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden...”
2. “...bahwa selama 30 tahun ini atau selama kepemimpinan Presiden Soeharto,
kemerdekaan kita itu sudah dirampok dan kita menjadi dijajah kembali. Itu
jelas...”
Kalimat di atas yang menurut versi Saudara Jaksa/Penuntut Umum sebagai unsur
Terdakwa sengaja menghina Presiden Soeharto, kalau Saudara Jaksa/Penuntut Umum jujur,
sebenarnya kalimat-kalimat tersebut di atas telah ditiadakan atau setidak-tidaknya dilunakkan
oleh kalimat-kalimat Saudara Jaksa/Penuntut Umum sendiri sebagai berikut seperti:
a. Kalimat “...siapa yang menjajah jangan menyebut orang”, berarti kalimat tersebut
di atas tidak pernah Terdakwa tujukan kepada pribadi Soeharto”;
b. Kalimat “...mendoakan orang mati, itu kualat, itu urusan Tuhan jangan kita
campurin urusan Tuhan, artinya kalau Pak Harto menjajah kita, kita serahkan saja
kepada Tuhan”;
c. Kalimat “...tetapi memang Pak Harto mikirin rakyat”.
Dari kalimat-kalimat versi Saudara Jaksa/Penuntut Umum:
- Siapa yang menjajah jangan menyebut orang;
- Mendoakan orang mati kualat, serahkan saja pada Tuhan;
- Memang Pak Harto mikirin rakyat,
Merupakan karya Saudara Jaksa/Penuntut Umum sendiri yang sifatnya telah
meniadakan maksud kalimat-kalimat yang dengan sengaja melakukan penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden, meniadakan sifat menyerang kehormatan
atau martabat atau nama baik Presiden Soeharto, karena itu formalesering
“dengan sengaja” menjadi meragukan, sehingga Surat Dakwaan yang demikian
dapat digolongkan sebagai “tidak cermat”.
Selain itu masihdari kalimat versi Saudara Jaksa/Penuntut Umum seperti diuraikan di
atas, di satu pihak, pada awal Surat Dakwaan Saudara Jaksa/Penuntut Umum mem-
formalesering Terdakwa dengan sengaja melakukan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden, namun di pihak lain dapat disimpulkan memberi kesempatan pada Presiden
Soeharto untuk memimpin Negara ini sampai beliau meninggal, sehingga terdapat dua
keadaan yang kontradiktif. Surat Dakwaan yang kontradiktif tentunya tidak layak menjadi
pegangan dalam persidangan ini.
Dalam pada itu Surat Dakwaan disusun oleh Saudara Jaksa/Penuntut Umum dari
rangkuman hasil bacaan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Terdakwa di mana ternyata ada
beberapa keterangan Terdakwa dalam Berita Acara Pemeriksaan yang bisa meniadakan unsur
dengan dengan sengaja melakukan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden antara
lain:
1. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Terdakwa, tanggal 1 Oktober 1996,
halaman 8 No. 28, Terdakwa menerangkan dari kebijaksanaan, jadi bukan
menghadapi orang, badan-badan;
2. Dalam Berita Acara Pemeriksaan Terdakwa, tanggal 2 Oktober 1996, halaman 14
No. 28 Terdakwa menerangkan “...memperjuangkan kedaulatan rakyat dan
demokrasikan UUD 1945 kita tidak berhadapan dengan orang atau badan tapi
berhadapan dengan sistem dan kebijaksaan khususnya sistem pemilu dan peran
Sospol ABRI”.
Dari kalimat-kalimat ini jelaslah terdakwa tidak pernah dengan sengaja melakukan
penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, karena itu dakwaan Saudara
Jaksa/Penuntut Umum “KESATU” tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap untuk
mendakwa Terdakwa.
“...dengan sengaja melakukan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden,
yaitu pada waktu memberikan ceramah atau pidato dihadapan oranga banyak
dalam acara mimbar bebas, telah mengucapkan kata-kata atau kalimat yang
sifatnya menyerang kehormatan atau martabat atau nama baik Presiden Indonesia
Soeharto selaku Presiden Republik Indonesia, sebagai berikut:...”
Karena Terdakwa semula tidak mau berpidato di mimbar demokrasi tersebut, akan
tetapi ditarik-tarik dan/atau didorong-dorong oleh Saudara SABAM SIRAIT, dan permintaan
massa PDI di tempat tesebut, sehingga Terdakwa pidatolah di mimbar demokrasi tersebut.
Pidato Terdakwa tidak menggunakan teks dan tidak pernah dipersiapkan lebih dulu dan
mimbar demokrasi di halaman Kantor DPP PDI dengan Pangdam Jaya pada tanggal 21 Juni
1996, untuk menampung aspirasi Anggota/Simpatisan PDI agar tidak turun ke jalan. Andai
kata ada penghinaan mengapa alat Negara/Intel-intel Kepolisian, Angkatan Darat tidak
menyetop/ menghentikan langsung Terdakwa yang sedang berpidato pada saat itu?
Perlu ditambahkan bahwa Terdakwa pernah pidato di Kebagusan (kediaman
MEGAWATI SOEKARNO PUTRI) yang diliput dan dimuat di surat-surat kabar bahwa
Presiden Soeharto berhasil membuat Pancasila sebagai satu-satunya asas, sedangkan Bung
Karno Tidak Berhasil.

Majelis Hakim yang terhormat,


Bahwa dakwaan Saudara Jaksa/Penuntut Umum “KEDUA” adalah Pasal 207 KUHP
Pidana yang dirumuskan dalam dakwaan tersebut antara lain:
“...dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu
penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, yaitu pada waktu memberikan
ceramah atau berpidato dihadapan orang banyak dalam acara mimbar bebas, telah
mengucapkan kata-kata yang sifatnya merendahkan atau menyerang nama baik
atau kehormatan terhadap Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI),
Lembaga Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia (MPR-RI), Lembaga
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) sebagai berikut:...”
Bahwa terdakwa tidak pernah dengan sengaja di muka dengan lisan atau tulisan
menghina suatu penguasa atau badan, dengan alasan sebagai berikut:
1. Sejak awal Terdakwa tidak mau menyerang nama baik atau kehormatan penguasa
atau badan seperti kata-kata Terdakwa:
“...alasan apapun setiap pengangkatan Anggota DPR atau DPRD, maka itu adalah
penghianatan terhadap kedaulatan rakyat ialah penjajah...” dari sini kita bisa lihat,
bahwa kata-kata Terdakwa yang pengertiannya menjajah adalah ditujukan kepada
sistem bukan kepada Lembaga DPR-nya atau orang-orangnya;
2. Terdakwa pernah menerangkan pada tim penyidik dalam Berita Acara
Pemeriksaan Kepolisian antara lain berbunyi:
a) “Kita tidak berhadapan dengan orang atau badan tapi berhadapan dengan
sistem kebijakan”;
b) “...saya kira rasakan sama dengan yang Saudara-saudara rasakan, kedaulatan
dan kemerdekaan kita tidak dapat ditegakkan walaupun sudah dijamin oleh
konstitusi tapi kita seperti terjajah kembali...”;
c) “yang saya ucapkan yang menjajah kita adalah penyimpangan pelaksanaan
UUD 1945”;
d) “tapi Pak Harto tidak salah, yang salah adalah anggota MPR yang
menjadikan P-4 itu Tap MPR”.
Dari keterangan-keterangan Terdakwa seperti tersebut diatas jelaslah tidak ada niat
kesengajaan Terdakwa untuk merendahkan atau menghina penguasa atau badan umum.
Bahwa menurut doktrin dalam sistem hukum Pidana, kehormatan itu dianggap sebagai
sifat dari seorang manusia yang masih hidup dan tidak dimiliki oleh badan (lihat kumpulan
kuliah Hukum Pidana Prof. Satochid Kartanegara, bagian Kedua, terbitan Balai Lektur
Mahasiswa, hal. 596). Bahwa dalam bukunya Prof Satochid Kartanegara, Kumpulan Kuliah
Hukum Pidana, Bagian Kedua, hal. 593:
“...Apakah sebabnya bahwa di dalam KUHP tersebut dipergunakan istilah
“penghinaan” (beledinging) dan bukan “kehormatan” (eer). Mengenai persoalan
tersebut, perlulah dipahami, bahwa justru kajahatan “penghinaan” atau belediging
ini adalah merupakan pelanggaran atau perkosaan terhadap kehormatan
seseorang”
Dengan demikian, maka penghinaan itu adalah merupakan pelanggaran atau
perkosaan terhadap kehormatan...”.
Bahwa berpedoman pada pendapat Prof. Satochid Kartanegara, bahwa kehormatan itu
hanya dimiliki oleh pribadi manusia yang masih hidup, maka timbul pertanyaan apakah MPR,
DPR dan ABRI mempunyai kehormatan, kalau kita konsekuen pada pendapat Prof. Satochid
Kartanegara bahwa kehormatan itu hanya ada pada manusia yang masih hidup bukan pada
badan hukum, maka kita bisa berpendapat bahwa MPR, DPR dan ABRI tidak mempunyai
nilai kehormatan, sehingga apa yang telah dilakukan Terdakwa pada MPR, DPR dan ABRI
tidak bisa diklasifikasikan sebagai penghinaan.
Bahwa sebenarnya ucapan-ucapan terdakwa tidak ada yang menyerang kehormatan
martabat dan sama sekali tidak ada yang menghina kepada penguasa atau badan umum yang
ada di Indonesia, karena apa yang diucapkan Terdakwa mengandung kebenaran di tengah-
tengah masyarakat bangsa Indonesia antara lain:
1. Kalau ABRI itu sadar gaji dia dari rakyat, kalimat ini mengandung kebenaran di
masyarakat;
2. Semua yang diberi ABRI dari uang rakyat ini pun mengandung kebenaran di
tengah-tengah masyarakat bangsa dan Negara ini;
3. Kalau negara ini bubar rakyat tidak bubar ini pun mengandung kebenaran di
tengah-tengah masyarakat, bangsa dan Negara ini;
4. Segala-galanya bagi kita adalah mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat,
ini pun mengandung kebenaran di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan Negara
ini;
5. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, jelas mengatakan bumi, maksudnya tanah dan air dan
segenap kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan pokok-pokok
kemakmuran rakyat, kalimat ini mengandung kebenaran di tengah-tengah
asyarakat, bangsa dan Negara ini.
Oleh karena itu apa yang dikatakan oleh Terdakwa terbukti banyak yang mengandung
kebenaran di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan Negara ini maka Terdakwa telah terbukti
tidak ada niat untuk sengaja baik lisan maupun tulisan menghina penguasa atau badan umum
yang ada di Indoensia ini.
Maka Tim Penasehat Hukum Terdakwa berpendapat bahwa apa yang dilakukan
Terdakwa bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran, akan tetapi semata-mata diskursus
politik, maka dari itu Tim Penasehat Hukum memohon agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang mulia ini menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili yang ditujukan
kepada Terdakwa sebagai Anggota DPR/MPR-RI.

Majelis Hakim yang terhormat,


Saudara Penuntut Umum yang kami hormati, mengenai ketentuan hukum yang yang
diterapkan agaknya perlu mendapat tanggapan. Sebagaimana diketahui bahwa KUH Pidana
kita berasal dari KUH Pidana Netherlands (Negara Belanda). Melalui asas konkordansi dalam
Pasal 131 I.S.KUH Pidana Netherlands tersebut diberlakukan/diterapkan di negara jajahan di
Hindia Belanda termasuk ketentuan Pasal 134 KUH Pidana yang semula ditujukan untuk
menjaga keselamatan Ratu Belanda.
Timbul pertanyaan sekarang, apakah Pasal 134 KUH Pidana yang berlaku di negara
jajahan semula ditujukan untuk menjaga keselamatan di dalam Negara Republik Indonesia
yang merdeka dan berdaulat (demokrasi) sekarang ini, di mana Pasal 132 KUH Pidana dan
Pasal 133 KUH Pidana telah dihapus. Sebagaimana menurut Hasil Konferensi Sarjana Hukum
Se-Asia Tenggara dan Pasifik bahwa tidak saja diperkenankan untuk menyampaikan pendapat
tapi beroposisi juga dibenarkan. Pasal 134 KUH Pidana yang diterapkan di dalam alam
kemerdekaan dan demokrasi sekarang ini adalah bertentangan dengan zamannya dan telah
mengkebiri kehendak Pasal 28 UUD 1945, karena itu Pasal 134 KUH Pidana seharusnya
tidak dipertahankan lagi, sekalipun secara formal positif masih berlaku seperti pasal-pasal
pidana yang berhubungan dengan program keluarga berencana.
Tambahan lagi dalam Pasal 110 ayat 4 KUHP telah ditentukan bahwa tidak dipidana
barang siapa ternyata bahwa maksudnya hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan
ketatanegaraan dalam arti umum. Dam Pasal 310 ayat 3 KUHP, bahwa tidak termasuk
menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk
kepentingan umum.

III. Kesimpulan dan permohonan


Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas Tim Pembela Umum berkesimpulan sebagai
berikut:
1. Bahwa proses penyidikan tidak memenuhi ketentuan Pasal 3 huruf a jo Pasal 6
UU No. 13 Tahun 1970 sehingga BAP yang dibuat tidak berdasarkan undang-
undang mengandung cacat yuridis. selanjutnya Surat Dakwaan yang dibuat
berdasarkan BAP yang cacat yuridis adalah batal demi hukum atau setidaknya
harus dinyatakan batal;
2. Bahwa oleh karena Surad Dakwaan didasarkan atas sumber data yang validitasnya
diragukan in casu rekaman sehingga Surat Dakwaan yang demikian harus
dinyatakan sebagai “tidak cermat dan jelas”;
3. Bahwa sebagai anggota DPR/MPR-RI memiliki kewajiban konstitusionalisme
menurut UUD 1945, untuk membicarakan ketatanegaraan termasuk pengawasan
terhadap jalannya pemerintahan sekaligus hal itu merupakan imunitasnya sevara
hukum. Oleh karena itu pengadilan ini pada asasnya tidak berwenang mengadili
terdakwa. Dan lagi pula secara tersurat (ekplisit) Pasal 110 ayat 4 KUHP telah
menentukan bahwa “tidak dipidana barang siapa ternyata bahwa maksudnya
hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam arti
umum”. Dengan kata lain masalah ini lebih merupakan masalah politik daripada
tenis hukum;
4. Bahwa Surat Dakwaan ternyata tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHP yaitutidak disusun secara cermat, jelas dan
lengkap karena rumusannya tidak akurat, meragukan dan kontradiktif;
5. Bahwa Pasal 134 dan 207 KUHP tidak dapat dipertahankan lagi dalam Surat
Dakwaan ini karena perkembangan dari sistem pemerintahan dari monarki ke
demokrasi dan Pasal 207 KUHP secara esensial tidak mendapat serangan apapun
dari pidaro Terdakwa.
Selanjutnya mohon Majelis Hakim yang Terhormat untuk menyatakan bahwa surat
dakwaan ini adalah batal demi hukum atau setidak-tidaknya harus dinyatakan batal.

Jakarta, 18 Februari 1997


LUHUT M.P. PANGARIBUAN, S.H.,LL.M., DKK

Anda mungkin juga menyukai