Anda di halaman 1dari 9

BAHASA INDONESIA

MAKALAH

KAITAN BUDAYA DAN STATUS GIZI

Disusun oleh :

Nama : Lia Kusumaningrum Sugiarto

NIM : P07131118016

PRODI DIPLOMA III GIZI

JURUSAN GIZI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN


YOGYAKARTA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gizi berperan penting dalam kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat, khususnya dalam memastikan lahirnya individu yang
berkualitas. Selaras dengan butir kedua Sustainable Development
Goals (SDGs) yang disepakati oleh 153 negara anggota PBB, termasuk
Indonesia, pentingnya peningkatan status gizi masyarakat dituangkan
oleh Presiden Joko Widodo dalam Nawacita poin ke-lima.
Sebagai masalah kesehatan masyarakat, menangani masalah gizi tidak
dapat hanya dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan
saja. Penyebab timbulnya masalah gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti, kemiskinan, kurangnya persedian pangan, sanitasi yang buruk,
minimnya pengetahuan gizi dan pola asuh anak, serta perilaku buruk dalam
mengonsumsi makanan di kalangan masyarakat. Pola konsumsi
makanan sendiri sangat dipengaruhi oleh budaya setempat.
Berbeda lokasi berbeda pula cara masyarakat mendefinisikan
makanan dan kecukupan gizi serta menentukan pola makan. Orang Jawa
belum merasa makan sebelum makan nasi, orang Papua terbiasa makan berat
dengan makan sagu. Tidak jarang masyarakat kita menganggap kalau belum
mengonsumsi nasi belum dianggap makan.
Pola pikir masyarakat masih beranggapan bahwa kebutuhan makan adalah
dengan memakan makanan yang tinggi atau kaya karbohidrat tanpa
mempertimbangkan kecukupan gizi yang seimbang ini menunjukkan
bahwa aspek sosial budaya masih mendominasi perilaku dan kebiasaan makan
yang masyarakat Indonesia.
Sementara masalah gizi terjadi di banyak tempat di berbagai daerah di
Indonesia, hanya sebagian pihak yang memandangnya sebagai fenomena
sosial. Sebagian lain masih menganggap hal ini sebagai fenomena kesehatan
semata. Tidak banyak yang menyadari luasnya dimensi masalah gizi dapat
meliputi masalah lingkungan dan ketersediaan pangan, pola asuh dan
pendidikan, kondisi ekonomi dan budaya.
Faktor budaya memengaruhi siapa yang mendapat asupan makanan, jenis
makanan yang didapat dan banyaknya. Sangat mungkin karena kondisi budaya
dan kebiasaan ini seseorang mendapatkan asupan makanan lebih sedikit dari
yang sebenarnya ia butuhkan. Di Indonesia, sebagian besar masyarakat
menganut sistem patriarki. Dalam sistem patriarki, garis keturunan diambil
dari seorang Ayah (laki – laki), status sosial laki – laki lebih tinggi daripada
perempuan. Konsekuensinya, ayah lebih sering diutamakan memakan
makanan yang telah disajikan oleh Ibu. Sesederhana ayah lah yang paling
sering mendapatkan jatah makanan lebih dulu di meja makan. Bahkan,
beberapa daerah di Indonesia mengharuskan pemisahan antara makanan yang
harus disajikan untuk Ayah dan anggota keluarga yang lain.
Kondisi budaya seperti ini turut berkontribusi pada kondisi gizi anak dan ibu
hamil di dalam keluarga karena semua sistem keluarga patriarki berhubungan
erat dengan ketidaksetaraan gender.
Dari gambaran di atas, terlihat betapa kebiasaan makan tidak dapat
dilepaskan dari nilai – nilai sosial budaya masyarakat. Sementara
kebiasaan makan sangat erat kaitannya dengan upaya pemeliharaan kesehatan
dan pencegahan penyakit. Kurangnya asupan gizi akan meningkatkan risiko
terkena penyakit infeksi dan berbagai penyakit kronis yang pada gilirannya
akan mengurangi produktivitas dalam bekerja dan berkontribusi kepada
masyarakat.
B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian budaya
2. Mengetahui pengertian status gizi
3. Mengetahui kaitan budaya dengan status gizi
C. Manfaat
Dapat menambah wawasan tentang budaya dan status gizi, serta
mengetahui bahwa faktor budaya dapat mempengaruhi status gizi seseorang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Budaya
Kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta “Buddhayah”. Kata tersebut
merupakan bentuk jamak dari kata “buddi” yang berarti akal, pikiran atau
budi. Dalam bahasa Sansekerta budaya memiliki arti sebagai segala sesuatu
yang berkaitan dengan akal, pikiran atau budi.
Sedangkan dalam bahasa Latin, kata budaya berasal dari
kata “colere” artinya mengolah atau mengerjakan. Dalam bahasa
inggris “Culture” artinya budaya.
Budaya yang ada dalam masyarakat sejatinya terwujud dalam 3 hal,
sebagai berikut:
1. Gagasan atau Ide Pokok
Gagasan disini merupakan suatu pola pikir atau cara pikir yang
terwujud dari seluruh ide dan gagasan yang sifatnya abstrak. Hal tersebut
berada di dalam alam sadar atau pikiran manusia. Pandangan masyarakat
terhadap segala sesuatu yang mereka lihat dan amati serta mereka jalani
dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu gagasan atau ide pokok
dalam suatu budaya.
2. Aktivitas
Aktivitas merupakan suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan oleh
manusia di lingkungan sekitar. Hal tersebut terbentuk dalam suatu bentuk
sistem sosial, yang menyebabkan manusia dapat saling berhubungan dan
berinteraksi atau bekerjasama melakukan suatu kegiatan dengan manusia
lainnya sesuai dengan adat istiadat dan kebiasaan masing-masing.
3. Hasil Budaya
Hasil budaya ialah suatu hasil karya yang dihasilkan oleh kegiatan serta
aktivitas manusia, baik berupa fisik ataupun benda. Hal tersebut disebabkan
oleh adanya ide atau gagasan yang diterapkan dalam aktivitas manusia agar
dapat dilihat, diabadikan dan diamati secara langsung dan nyata.
B. Status Gizi

Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk


anak yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi
juga didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan
antara kebutuhan dan masukan nutrien. Penelitian status gizi merupakan
pengukuran yang didasarkan pada data antropometri serta biokimia dan riwayat
diit (Beck, 2000: 1)

Salah satu yang mempengaruhi status gizi adalah aktivitas fisik.


Asupan energi yang berlebih dan tidak diimbangi dengan pengeluaran energi
yang seimbang (dengan kurang melakukan aktivitas fisik) akan menyebabkan
terjadinya penambahan berat badan. Perubahan gaya hidup mengakibatkan
terjadinya perubahan pola makan masyarakat yang merujuk pada pola makan
tinggi kalori, lemak dan kolesterol, dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik
dapat menimbulkan masalah gizi lebih. Berbagai sarana dan fasilitas memadai
menyebabkan gerak dan aktivitas menjadi semakin terbatas dan hidup semakin
santai karena segalanya sudah tersedia (Hudha, 2006).

Penilaian Status Gizi secara langsung menunit Supariasa (2001) dapat


dilakukan dengan:

2.1.3.1 Antropometri Antropometri adalah ukuran tubuh manusia.


Sedangkan antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dan tingkat umur dan tingkat
gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat keseimbangan
asupan protein dan energi.

2.1.3.2 Klinis Pemeriksaan klinis adalah metode untuk menilai status


gizi berdasarkan atas perubahan- perubahan yang terjadi dihubungkan dengan
ketidakcukupan zat gizi, seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau
organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.

2.1.3.3 Biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah


pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada
berbagai macam jaringan. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain darah,
urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot.

2.1.3.4 Biofisik Penilaian status gizi secara biofisik adalah metode


penentuan status gizi dengan melibat kemamapuan fungsi dan melihat
perubahan struktur dari jaringan.

Penilaian status gizi secara tidak Iangsung menurut Supariasa, IDN


(2001) dapat dilakukan dengan:

1. Survey Konsumsi Makanan Survey konsumsi makanan adalah metode


penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan
jenis zat dan gizi yang dikonsumsi. Kesalahan dalam survey makanan bisa
disebabkan oleh perkiraan yang tidak tepat dalam menentukan jumlah
makanan yang dikonsumsi balita, kecenderungan untuk mengurangi
makanan yang banyak dikonsumsi dan menambah makanan yang sedikit
dikonsumsi ( The Flat Slope Syndrome ), membesar-besarkan konsumsi
makanan yang bernilai sosial tinggi, keinginan melaporkan konsumsi
vitamin dan mineral tambahan kesalahan dalam mencatat (food record).
2. Statistik Vital Yaitu dengan menganalisis data beberapa statistik kesebatan
seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian
karena penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.
3. Faktor Ekologi Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil
interaksi antara beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya.
Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dan keadaan ekologi
seperti iklim, tanah, irigasi, dan lain-lain.
C. Hubungan Budaya dengan Status Gizi
Hubungan sosial budaya dengan gizi dalam suatu keluarga terhadap
masalah gizi, secara langsung maupun tidak langsung dapat terlihat jelas dalam
kehidupan suatu masyarakat. Jumlah cukup tidaknya asupan gizi yang
dikonsumsi berkaitan erat dengan sosial budaya masyarakat. Sehingga dapat
mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat.
Hubungan antara sosial budaya dan gizi merupakan kaitan manusia,
budaya, gizi dan kesehatan masyarakat yaitu kaitan antara budaya suatu
masyarakat yang mempengaruhi asupan gizi dan kesehatan masyarakat itu
sendiri. Faktor sosial budaya yang meliputi kebiasaan-kebiasaan dan tata nilai
sosial budaya, berpengaruh dalam membantu perilaku kesehatan masyarakat,
sehingga menjadi sangat relevan dan penting karena adopsi teknologi
pelaksanaan kesehatan secara modern menuntut perubahan perilaku kesehatan
masyarakat secara luas (Singarimbun, 1998 : 67).
1. Budaya Makan
Budaya makan berkaitan dengan perilaku dan kebiasaan makan
yang merupakan kebudayaan makan yang dimiliki seseorang atau
sekelompok orang di mana ia hidup. Budaya makan masyarakat juga
bergantung pada selera, citarasa, kenikmatan dan daya terima akan suatu
makanan.
Menurut Anderson (1986 : 313) menyatakan bahwa para ahli
antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks
kegiatan masak-memasak, masalah kesukaran dan ketidaksukaran, kearifan
rakyat, kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan, dan takhayul-
takhayul yang berkaitan dengan produksi, persiapan, dan konsumsi
makanan. Pendeknya, sebagai suatu kategori budaya yang penting, ahli-
ahli antropologi melihat makanan mempengaruhi dan berkaitan dengan
banyak kategori budaya lainnya. Di masyarakat, setiap kelompok
mempunyai suatu pola tersendiri dalam memperoleh, menggunakan, dan
menilai makanan yang akan merupakan ciri kebudayaan dari kelompok
masing-masing.
Umumnya masyarakat memberikan definisi tertentu tentang arti
makanan seperti: ada jenis makanan untuk dijual dan lainnya untuk
dimakan di rumah, ada jenis makanan untuk orang kaya dan ada yang untuk
orang miskin, ada yang untuk pesta, untuk wanita, anak-anak, orang tua
dan orang sakit, ada jenis makanan yang tidak diperbolehkan untuk orang-
orang tertentu. (Santoso dan Ranti, 2004 : 95) Dari uraian di atas budaya
makan merupakan perilaku dan kebiasaan makan, serta budaya dalam
memilih dan menentukan makanan yang dikonsumsi pada masyarakat yang
berlandaskan pada pandangan tertentu yang berasal dari adat istiadat secara
turun temurun yang masih menjadi panutan bagi masyarakatnya
2. Prioritas Makan
Distribusi makanan dalam rumah tangga berkaitan dengan prioritas
makanan. Prioritas makanan menempatkan organisasi sosial (struktur
distribusi makanan dalam rumah tangga) menjadi hal yang utama, di mana
distribusi makanan dilihat dari status dan peran (struktur sosial) individu
tersebut dalam rumah tangga. Dalam hal ini menempatkan lakilaki menjadi
prioritas utama untuk mendapatkan banyak protein dan kalori. Prioritas
makanan dalam masyarakat tertentu membedakan pemberian makanan
terhadap laki-laki dan perempuan. (Nieves, 1993 ; Gittelson, 1991; Engle,
1993 dalam Nurdin, 2008 : 3).
Menurut pemerhati masalah kesehatan masyarakat Napu (2010 : 2)
Gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hal dan
perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan
budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan
dibesarkan. Adanya perbedaan gender dalam suatu keluarga misalnya :
makanan ayah sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah lebih baik
daripada anggota keluarga yang lain.
Prioritas makan pada masyarakat juga dapat dilihat dengan adanya
kebutuhan-kebutuhan lain dalam keluarga di luar kebutuhan makanan dan
kesehatan yang lebih diutamakan. Misalnya, ayah lebih mementingkan
uangnya untuk membeli rokok daripada untuk membeli susu anaknya.
Berdasarkan uraian diatas dapat dinyatakan bahwa prioritas makan yaitu
menjadikan kebutuhan lain yang lebih diutamakan daripada kebutuhan
makanan terutama asupan gizi dalam keluarga. Serta adanya perbedaan
gender dalam keluarga.
3. Kepercayaan, Mitos dan Tahayul
Kepercayaan sering atau diperoleh berdasarkan keyakinan dan tanpa
adanya pembuktian terlebih dahulu, biasanya kepercayaan ini diperoleh
dari orangtua, kakek atau nenek dan yang dianggap lebih mengerti
(Notoatmojo, 2003 : 167).
Menurut Muchammad Syamsulhadi, Mitos adalah informasi yang
salah tetapi dianggap benar yang telah diyakini, beredar dan populer di
masyarakat. Mitos cepat sekali berkembang di masyarakat karena menarik
untuk dibahas dan masyarakat sulit mendapatkan informasi yang benar.
Sebagai akibatnya, banyak mitos dan salah pengertian yang beredar di
dalam masyarakat. Mitos-mitos yang beredar di dalam masyarakat sering
tidak diketahui sumbernya, sudah menjadi bagian dari masyarakat, dan
diperkuat oleh faktor sugesti masyarakat dan oleh perilaku yang
mendukungnya.

Anda mungkin juga menyukai