Tanah Manokwari
“Ada suara.”
Setahuku, pada saat Sarekat Islam berdiri di Surakarta dan kamu masuk
menjadi anggotanya itulah kamu mulai aktif di pergerakan. Setelah itu,
bersama Bapak Kartodikromo, kamu menjadi jurnalis. Puncaknya, pada
tahun 1915 bersama teman-temanmu menerbitkan koran sendiri yang
kamu namai Medan Moeslimin. Koran itulah yang kamu pernah bilang
sebagai trompetmu untuk memprotes ketidakadilan dan penindasan
kolonial.
“Pilih apa?”
Kupikir, jika kamu lari dan mereka tahu, timah panas akan mengancam
jiwamu. Tapi, jika kamu menemui mereka, meski tetap tidak aman
bagimu, setidaknya mereka tidak akan langsung mencederaimu. Belum
sempat aku memberi jawaban, kamu sudah lebih dulu bertanya lagi
kepadaku, bagaimana jika kamu menemui mereka saja. Dan aku hanya
bisa mengangguk.
Pada saat itu aku memikirkan banyak hal dan semua itu rasanya sulit
aku uraikan. Begitu penuh dan sesak. Satu-satunya yang terngiang agak
jelas tentang dua kali peristiwa penangkapanmu yang dulu.
Sesungguhnya aku sudah menyadari, menjadi istri orang pergerakan
sepertimu akan membuat keadaanku dan anak-anak seperti di ujung
tanduk, yang kapan saja kamu bisa dijauhkan dari kami. Meski hal itu
dulu sudah kamu ungkapkan ketika akan menikah, kesadaranku tetap
akan buyar saat menghadapi kejadian nyata seperti ini. Tapi, karena
menikah denganmu telah menjadi pilihanku sendiri, aku tetap akan
berusaha menjadi istri yang setia bagimu. Aku akan tanggung beban ini
tanpa gerutu.
“Kali ini jauh dari rumah, dan entah sampai kapan,” katamu.
BLOG AT WORDPRESS.COM.