Anda di halaman 1dari 6

Cerpen Koran Minggu

Kompas-Republika-Jawa Pos-Suara Merdeka-Koran Tempo-Media


Indonesia dan Lainnya

CERPEN, JAWA POS, YUDITEHA

Tanah Manokwari

Date: May 10, 2020 0 Comments


 
 
 
 
 
 
i
3 Votes

Cerpen Yuditeha (Jawa Pos, 10 Mei 2020)


Tanah Manokwari ilustrasi Budiono/Jawa Pos 
MENJELANG subuh, aku mendengar gaduh di
depan rumah. Kamu yang kukira masih
terlelap di sampingku ternyata sudah
bangun. Bahkan, ketika aku akan keluar
kamar, kamu meraih pergelangan tanganku.

“Tetaplah di sini,” katamu dengan suara lirih.

“Ada suara.”

Kamu menjelaskan, justru karena suara itu kamu menahanku untuk


tetap di kamar. Kamu yang akhirnya beranjak dari tempat tidur, lalu
berjalan menuju jendela kamar. Perlahan kamu buka jendela itu. Oh,
bukan membukanya, tapi hanya membuat sedikit celah, yang pastinya
untuk kamu gunakan melihat ke luar. Tak lama kemudian kamu tutup
lagi jendela itu, membalikkan badan dan memandang ke arahku. Meski
semua itu kamu lakukan setenang mungkin, aku masih bisa membaca
raut wajahmu yang sedikit menegang. Karena itu, perasaanku menjadi
tidak tenang.

“Ada apa, Abah?” tanyaku pelan.

Kamu tidak langsung menjawab. Kamu mendekatiku, lalu duduk di bibir


tempat tidur, memegang pundakku sembari berkata bahwa
perasaanmu tidak enak karena ada beberapa orang Belanda di depan
rumah. Setelah itu, suasana hening seperti tiba-tiba menyergap pikiran
kita.

Baca juga: Pertanyaan Kiai Sadrach –


 Cerpen Yuditeha (Koran Tempo, 06-07 April 2019)
Aku kepikiran perihal kamu jauh sebelum kita menikah. Kamu tinggal di
kawasan religius yang sebagian besar anak-anak di sana sekolah di
pesantren. Itu membuatmu akrab dengan ilmu Islam. Bahkan, kamu
sempat dikenal sebagai mubalig. Selain itu, kamu besar di keluarga
pedagang yang berhak mewarisi pekerjaan sebagai pedagang batik yang
sukses. Tapi, dunia pergerakan rupanya lebih menarik minatmu.

Setahuku, pada saat Sarekat Islam berdiri di Surakarta dan kamu masuk
menjadi anggotanya itulah kamu mulai aktif di pergerakan. Setelah itu,
bersama Bapak Kartodikromo, kamu menjadi jurnalis. Puncaknya, pada
tahun 1915 bersama teman-temanmu menerbitkan koran sendiri yang
kamu namai Medan Moeslimin. Koran itulah yang kamu pernah bilang
sebagai trompetmu untuk memprotes ketidakadilan dan penindasan
kolonial.

Karena pengaruh orang kiri seperti Sneevliet dan Semaun-lah kamu


mulai tertarik dengan marxisme, terutama tentang ketajaman analisis
membongkar kejahatan kapitalisme. Pada saat terjadi keresahan kaum
buruh dan petani akibat kebijakan kolonial, kamu mulai menyuarakan
persoalan-persoalan itu. Karenanya, pemogokan sering terjadi hingga
Belanda mencidukmu. Itulah awal dari penangkapan-penangkapanmu.
Karena kepikiran perihal kebiasaan penangkapanmu, hingga aku
menduga kejadian itu pasti ada hubungannya dengan serangan bom di
sejumlah kantor pemerintah dan kabar tentang pelemparan kotoran ke
potret Ratu Wilhelmina, dan kamu yang akan dituding sebagai
dalangnya.

“Pilih mana?” tanyamu, membuyarkan lamunanku.

“Pilih apa?”

“Aku temui mereka atau diam-diam pergi lewat belakang?”

“Abah yakin mereka akan menangkap Abah?”

Baca juga: Doa Menyembelih Ayam – Cerpen Tjak


S. Parlan (Jawa Pos, 03 Mei 2020)

Kupikir, jika kamu lari dan mereka tahu, timah panas akan mengancam
jiwamu. Tapi, jika kamu menemui mereka, meski tetap tidak aman
bagimu, setidaknya mereka tidak akan langsung mencederaimu. Belum
sempat aku memberi jawaban, kamu sudah lebih dulu bertanya lagi
kepadaku, bagaimana jika kamu menemui mereka saja. Dan aku hanya
bisa mengangguk.

“Kamu tetap di dalam, jaga anak-anak. Siapa tahu mereka sudah


bangun,” katamu.

Aku sempat mengantarmu sampai di pintu depan. Setelah itu, aku


memilih sengaja tidak melihat proses pertemuanmu dengan mereka.
Aku menurutimu, langsung menuju kamar anak-anak dan menjaga
mereka. Tak berselang lama, kudengar suara tembakan, gegas aku
menuju ruang depan dan melihatmu dari balik gorden jendela. Aku lega
karena tidak terjadi apa-apa denganmu, bahkan pada saat itu kamu
sedang berjalan ke arah masuk rumah. Begitu kamu muncul dari balik
pintu, aku ingin segera bertanya apa yang terjadi, tetapi aku urungkan.
Kuputuskan untuk menunggu kamu menjelaskan tanpa lebih dulu
kutanya.

“Terpaksa kita pisah lagi. Mereka menangkapku dan katanya akan


dibawa ke Manokwari. Kamu jaga anak-anak.”

Pada saat itu aku memikirkan banyak hal dan semua itu rasanya sulit
aku uraikan. Begitu penuh dan sesak. Satu-satunya yang terngiang agak
jelas tentang dua kali peristiwa penangkapanmu yang dulu.
Sesungguhnya aku sudah menyadari, menjadi istri orang pergerakan
sepertimu akan membuat keadaanku dan anak-anak seperti di ujung
tanduk, yang kapan saja kamu bisa dijauhkan dari kami. Meski hal itu
dulu sudah kamu ungkapkan ketika akan menikah, kesadaranku tetap
akan buyar saat menghadapi kejadian nyata seperti ini. Tapi, karena
menikah denganmu telah menjadi pilihanku sendiri, aku tetap akan
berusaha menjadi istri yang setia bagimu. Aku akan tanggung beban ini
tanpa gerutu.

“Kali ini jauh dari rumah, dan entah sampai kapan,” katamu.

“Kalau begitu, biarkan kami ikut,” sahutku.

“Tapi, ini akan berat.”

“Kupikir akan lebih berat jika kami tanpa Abah.”

BUDIONO JAWA POS


Published by lakonhidup

Cerpen Koran Minggu--Kompas-Republika-Jawa Pos-Suara Merdeka-


Koran Tempo-Media Indonesia-dan Lainnya View all posts by lakonhidup

© 2020 CERPEN KORAN MINGGU

BLOG AT WORDPRESS.COM.

Anda mungkin juga menyukai