Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Menurut teori kecemasan oleh Freud yang diungkapkan pertama kali tahun 1890, berawal
dari pemikiran bahwa kecemasan merupakan libido yang mengendap. Selanjutnya Freud setuju
dengan Otto Rank bahwa asal mula kecemasan berawal dari trauma masa lahir. Saat kelahiranlah
untuk pertama kalinya individu dihadapkan pada situasi kecemasan yang sebelumnya tidak
dialami saat dalam kandugan. Kecemasan berdasarkan pendekatan psikoanalisis merupakan
suatu tanda peringatan bahaya dari luar yang mengancam ego. Individu akan berusaha
mengurangi atau menghilangkan bahaya yang mengancam dengan berbagai cara mekanisme
pertahanan diri (Defense Mechanism). Mekanisme pertahanan diri tidak selalu bekerja sendiri,
terkadang beberapa mekanisme pertahanan diri bekerja sama dalam menghadapi kecemasan
yang dirasakan individu.1

Dalam teori kecemasan yang diungkapkan Ghufron, M. Nur dan Risnawati S. Rini,
kecemasan merupakan pengalaman subyektif yang tidak menyenangkan mengenai kekhawatiran
atau ketegangan berupa rasa cemas, tegang, dan emosi yang dialami seseorang. Kecemasan ada
suatu keadaan tertentu yang (state anxiety), yaitu menghadapi situasi yang tidak pasti dan tidak
menentu terhadap kemampuannya dalam menghadapi suatu permasalahan atau obyek tertentu.
Hal itu berupa emosi yang kurang menyenangkan yang dialami individu dan bukan kecemasan
sebagai sifat yang melekat pada kepribadian.2

Kecemasan bermanfaat dan normal jika dapat mendorong individu untuk melakukan
pemeriksaan medis secara regular atau memotivasi untuk belajar menjelang ujian. Kecemasan
adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila
tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau sepertinya datang tanpa ada
penyebabnya yaitu bila bukan merupakan respon terhadap perubahan lingkungan.3

A. Kecemasan

1
Andri, Yenny p, “Teori Kecemasan berdasarkan Psikoanalisis Klasik dan Berbagai Mekanisme
Pertahanan Terhadap Kecemasan” Jurnal Maj Kedokteran Indonesia, Vol 57, No 7, Juli 2007, 237-238
2
Umniyah, Saleh, “Anxiety Disorder (Memahami Gangguan Kecemasan: Jenis-jenis, Gejala, Perspektif
Teoritis, dan Penanganan)”, Skripsi Studi Psikologi, 3
3
Adib Asrori, “Terapi Kognitif Perilaku Untuk Mengatasi Gangguan Kecemasan Sosial”, Jurnal Ilmiah
Psikologi Terapan, Vol 3, No 1, Januari 2015, 90
1. Definisi Kecemasan
Kecemasan (Anxiety), dalam Psikologi didefinisikan sebagai perasaan campuran
yang berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab
khusus untuk ketakutan tersebut serta bersifat individual.4Sarason dan Davidson
menjelaskan bahwa kecemasan merupakan bagian dari tiap pribadi manusia terutama jika
individu dihadapkan pada situasi yang tidak jelas dan tidak menentu. Sebagian besar,
individu merasa cemas dan tegang jika mengahadapi situasi yang mengancam atau
stressor.5
Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang
mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Banyak hal yang harus
dicemaskan, misalnya kesehatan, relasi sosial, ujian, karir, kondisi lingkungan dan
sebagaianya. Adalah normal, bahkan adaptif, untuk sedikit cemas mengenai aspek-aspek
hidup tersebut.6 Kecemasan normal adalah adaptif. Ini adalah respon bawaan untuk
ancaman atau tidak adanya orang atau benda yang menandakan keselamatan dapat
menimulkan gangguan kognitif (khawatir) dan somatik (jantung berdebar-debar,
berkeringat, gemetar, kedinginan, dll) gejala.7
Muchlas mendefinisikan istilah kecemasan sebagai sesuatu pengalaman subyektif
mengenai ketegangan mental kesukaran dan tekanan yang menyertai konflik dan
ancaman. Sementara menurut Lazarus membedakan perasaan cemas menurut
penyebabnya menjadi dua.

a). State anxiety

State anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu
yang dirasakan sebagai ancaman, misalnya mengikuti tes, menjalani operasi, atau yang
lainnya. Keadaan ditentukan oleh perasaan subyektif.

b). Trait anxiety

4
Chaplin J P, “Kamus Lengkap Psikologi”,Jakarta: Rajawali Press. 2009, 32
5
Okta Diferiansyah, Tendry Septa, Rika Lisiswanti, “Gangguan Cemas Menyeluruh”, J Medula Unila, Vol
5, No 2, Agustus 2016, 63
6
Adib Asrori, “Terapi Kognitif Perilaku Untuk Mengatasi Gangguan Kecemasan Sosial”, Jurnal Ilmiah
Psikologi Terapan, 92
7
Umniyah, Saleh, “Anxiety Disorder (Memahami Gangguan Kecemasan: Jenis-jenis, Gejala, Perpektif
Toeritis, dan Penanganan)”, 3
Trait anxiety adalah disposisi untuk menjadi cemas dalam menghadapi berbagai
macam situasi (gambaran kepribadian). Yang merupakan sifat yang cukup stabil untuk
mengarahkan individu tau mengintrepetasikan suatu keadaan menetap dan berhubungan
dengan kepribadian.8

2. Penyebab Kecemasan
Menurut Freud dari Ahli Psikoanalisis, kecemasan merupakan akibat dari hasil
konflik antara dorongan instingtual yang ingin mencari kepuasan dengan kekuatan represi
untuk menghambat dorongan yang muncul. Sementara itu Calvin S. Hall dari Ahli
Kultural mengatakan bahwa kecemasan dipandang sebagai ekspresi langsung dari
pengaruh sosiokultural. Mowrer dari Ahli Teori Belajar mengatakan kecemasan
dipengaruhi oleh pola belajar “Conditioning” dengan adaptasi yang salah serta didasarkan
pada pembentukkan “Conditioned Reflex”.9
Peurifoy mengatakan bahwa gangguan kecemasan seringkali dipicu oleh ancaman
yang tidak pasti atau tidak jelas. Gangguan kecemasan ini membuat seorang individu
menjadi tidak bahagia, takut dan menjadi pesimis, terlepas dari ada atau tidak adanya
bahaya. Seperti banyak kondisi kesehatan mental, penyebab pasti gangguan kecemasan
tidak sepenuhnya dipahami. Diperkirakan bahwa gangguan kecemasan dapat melibatkan
ketidakseimbangan zat kimia otak (neurotransmitter) yang terjadi secara alami seperti
serotonin, dopamin atau norepinephrin. Pengalaman hidup seperti peristiwa traumatis
yang muncul, memicu timbulnya gangguan kecemasan pada orang yang sudah rentan
untuk menjadi cemas. Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya
gangguan kecemasan seperti faktor biologis, pengalaman masa kanak-kanak, stres
berlebih, gaya hidup, dan faktor genetik.10
3. Gejala Kecemasan
Berikut ini dijelaskan gejala kecemasan menurut Nevid, dkk (2005):

8
Dona Fitri Annisa, Ifdil, “Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut Usia (Lansia)”, Konselor, Vol 5, No
2, Juni 2016, 95
9
Arief Budi Wicaksono, M Saufi “Mengelola Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika”,
Prosiding, November 2013, 91
10
Raka Yusuf, Harni Kusniyati, Yurike Nuramelia, “Aplikasi Diagnosis Gangguan Kecemasan
Menggunakan Metode Forward Chaining Berbasis WEB Dengan PHP Dan MYSQL”, Studia Informatika: Jurnal
Sistem Informasi, Vol 9, No 1, 2016, 2
Pertama, gejala pada fisik: a). Kegelisahan dan kegugupan, b). Tangan atau
anggota tubuh bergetar, c). Banyak berkeringat, d). Telapak tangan berkeringat, e).
Pening, f). Mulut atau kerongkongan terasa kering, g). Sulit berbicara, h). Sulit bernapas,
i). Bernapas pendek, j). Jantung berdebar keras atau berdetak kencang, k). Suara yang
bergetar, l). Jari-jari atau anggota tubuh menjadi dingin, m). Leher atau punggung terasa
kaku, n). Sensasi seperti tercekik atau tertahan, o). Sakit perut atau mual, p). Sering
buang air kecil, q). Wajah terasa memerah, dan r). Diare
Kedua, gejala pada behavioral (perilaku): a). Perilaku menghindar, b). Perilaku
melekat serta dependen, dan c). Perilaku terguncang
Ketiga, gejala pada kognitif: a). Khawatir tentang sesuatu, b). Perasaan terganggu
akan ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan, c). Keyakinan
bahwa sesuatu yang buruk atau mengerikan akan segera terjadi, tanpa ada penjelasan
yang jelas, d). Terpaku pada sensasi tubuh, e). Sangat sensitif terhadap sensasi tubuh, f).
Merasa terancam oleh orang atau peristiwa, g). Ketakutan akan kehilangan control, h).
Ketakutan akan ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah, i). Berpikir bahwa dunia
akan runtuh, j). Berpikir bahwa semuanya sudah tidak bisa dikendalikan, k). Berpikir
bahwa semuanya sangat membingungkan tanpa bisa diatasi, l). Khawatir terhadap hal
sepele, m). Berpikir tentang hal yang mengganggu yang sama secara berulangulang, n).
Pikiran terasa campur aduk, o). Tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran negative,
p). Berpikir akan segera mati, q). Khawatir akan ditinggalkan sendiri, r). Sulit
berkonsentrasi atau memusatkan perhatian.11
4. Tingkat Kecemasan
Kecemasan (Anxiety) memiliki tingkatan Gail W. Stuart (2006) mengemukakan
tingkat ansietas, diantaranya:
1) Ansietas ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, ansietas ini
menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya.
Ansietas ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta
kreativitas.
2) Ansietas sedang
11
Umniyah, Saleh, “Anxiety Disorder (Memahami Gangguan Kecemasan: Jenis-jenis, Gejala, Perpektif
Toeritis, dan Penanganan)”, 4
Memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain. Ansietas ini mempersempit lapang persepsi individu.
Dengan demikian, individu mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat
berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya.
3) Ansietas berat
Sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu cenderung berfokus pada
sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir tentang hal lain. Semua perilaku
ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak
arahan untuk berfokus pada area lain.
4) Tingkat panik
Berhubungan dengan hal yang rinci terpecah dari proporsinya karena mengalami
kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu
walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan
menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan
pemikiran yang rasional.12
5. Dampak Kecemasan
Kecemasan sangat berpengaruh terhadap diri seseorang baik berupa gangguan
fisiologis dan non fisiologis. Beberapa ahli menjelaskan bahwa kecemasan dapat
mengakibatkan gangguan. Menurut Rika L Atikson (1983) menjelaskan bahwa seseorang
yang menderita gangguan kecemasan setiap hari hidup dalam keadaan tegang, dia selalu
akan merasa serba salah atau khawatir dan cenderung memebri reaksi yang berlebihan
pada stress yang ringan, keluhan fisik yang lazim antara lain adalah tidak dapat tenang,
tidur terganggu, kelelahan, macam-macam sakit kepala dan jantung berdebar-debar.
6. Penanganan Kecemasan
Dalam berbagai hal, kecemasan akan memberi pengaruh yang cukup besar
terhadap diri seseorang, karena anxiety akan selalu berkecamuk dalam kehidupan
seseorang. Ada berbagai cara dalam menangani kecemasan, salah satunya adalah metode
relaksasi. Latihan relaksasi sangat efektif untuk seseorang yang sedang pada keadaan
tegang atau cemas. Latihan relaksasi secara progresif dilakukan kurang lebih 20-30
12
Dona Fitri Annisa, Ifdil, “Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut Usia (Lansia)”, Konselor, Vol 5, No
2, Juni 2016, 97
menit, dan kemungkinan juga disesuaikan dengan sifat-sifat kepribadian individu.
Metode relaksasi adalah cara yang dilakukan dengan pengaturan nafas untuk
merelaksasikan otot-otot tertentu pada tubuh yang tegang dan cemas.13
B. Gangguan Kecemasan
1. Gangguan Panik
a. Pengertian

Gangguan panik mencakup munculnya serangan panik yang berulang dan


tidak terduga. Serangan-serangan panik melibatkan reaksi kecemasan yang intens
disertai dengan simtom-simtom fisik, seperti jantung yang berdebar-debar, nafas
cepat, nafas tersengal atau kesulitan bernafas, banyak mengeluarkan keringat, dan
terdapat rasa lemas dan pusing.

Suatu diagnosis gangguan panik didasarkan pada kriteria sebagai berikut: 1)


Mengalami serangan panik secara berulang dan tidak terduga (sedikitnya dua kali. 2)
Sedikitnya satu dari serangan tersebut diikuti oleh setidaknya satu bulan rasa takut
yang persisten dengan adanya serangan berikutnya atau merasa cemas akan implikasi
atau konsekuensi dari serangan (misalnya, takut kehilangan akal „menjadi gila‟ atau
serangan jantung) atau perubahan tingkah laku yang signifikan. Gangguan panik
biasanya dimulai pada akhir masa remaja sampai pertengahan usia 30-an tahun.
Perempuan mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar untuk mengembangkan
gangguan panik.14

b. Ciri-ciri diagnostik

DSM-5 menunjukkan kriteria dianostik dari gangguan panik sebagai berikut:

1) Serangan panik tidak terduga berulang.

Serangan panik adalah sebuah gelombang ketakutan yang sangat kuat


akan ketidaknyamanan intens yang akan mencapai puncaknya dalam hitungan
menit, selama 4 menit (atau lebih). Gejala-gejala yang terjadi adalah jantung

13
Ega Gilang Pratama, “Tingkat Kecemasan Atlet Sepakbola PERSIB U-21 Yang Pernah Mengalami
Cedera Pada Saat Mengahadapi Kompetensi ISL U-21”Skripsi, 2014, 17-18
14
Umniyah, Saleh, “Anxiety Disorder (Memahami Gangguan Kecemasan: Jenis-jenis, Gejala, Perspektif
Teoritis, dan Penanganan)”, 5-6
berdetak lebih cepat, berkeringat, gemetaran, sensasi sesak nafas atau rasa
tercekik, serasa tersedak, terasa nyeri di dada dan tidak nyaman, mual atau sakit
perut, perasaan pusing atau pingsan, menggigil atau sensasi panas, sensasi geli,
perasaan tidak sadar, takut kehilangan kontrol atau “menjadi gila”, dan takut mati.

2) Setidaknya satu serangan telah diikuti dari satu bulan (atau lebih) dari satu atau
kedua hal berikut:
a) Khawatir tentang panik tambahan atau konsekuensinya (Seperti, kehilangan
kontrol, mengalami serangan jantung, “menjadi gila”).
b) Perubahan perilaku maladaptif yang signifikan terkait dengan serangan
tersebut (contohnya, perilaku yang dirancang untuk menghindari serangan
panik, seperti menghindari latihan atau siatuasi yang tidak biasa.

Penjelasan tambahan:

1) Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek psikologis suatu zat (pengobatan)
atau kondisi medis lainnya (misalnya, hipertiroidisme, gangguan
kardiopulmoner)
2) Gangguan ini tidak dijelaskan dengan baik sebagai mental disfearedsocial
situation, seperti dalam gangguan kecemasan sosial, sebagai respon atas
situasi atau objek fobia tertentu, seperti dalam fobia spesifik; sebagai respon
atas obsesi, seperti pada obsessive-compulsive disorder; sebagai respon atas
ingatan event traumatik, seperti pada gangguan stress pasca-trauma; atau
sebagai respon untuk pemisahan dari attachment figure, seperti dalam
separation anxiety disorder.15
c. Penanganan
1) Penanganan Biologis
Penanganan biologis diberikan obat-obat antipanik. Obat-obatan tersebut
mencakup antidpresan seperti Selective Serotonin Re-uptake (SSRI), Serotonin
and Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRI), Trisiklik, Monoamine Oxidase
Inhibitors (MAOIs), dan Noradrenaline andSpesifik Serotonergic
Antidepressants (NASSAs) dan benzodiazepine (seperti Alprazolam atau Xanax).
American Psychiatric Association, “ Diagnostic and Statistical Manual of Mental (5th ed), Washington
15

DC: American Psychiatric Publishing, 2013


2) Penanganan Psikologis
Penanganan psikologis terhadap gangguan panik telah berubah seiring
berjalannya waktu. Barlow dan rekan-rekannya mengembangkan terapi
pengendalian kepanikan (PCT-Panic Control Therapy) yang memiliki tiga
komponen, yaitu: 1) Training relaksasi. 2) Kombinasi intervensi behavioral
kognitif dari Ellis dan Beck. 3) Pemaparan dengan tanda-tanda internal yang
pemicu kepanikan.
2. Gangguan Cemas Menyeluruh
a. Pengertian
GAD (generalized anxiety disorder) yaitu suatu gangguan kecemasan yang
ditandai dengan perasaan cemas yang umum dan bahwa sesuatu yang buruk akan
terjadi dan keadaan peningkatan keterangsangan tubuh. GAD ditandai dengan
kecemasan yang persisten yang tidak dipicu oleh suatu objek, situasi atau aktivitas
yang spesifik, tetapi lebih merupakan apa yang disebut Freud dengan “mengambang
bebas” (free floating). GAD merupakan suatu gangguan yang stabil, muncul pada
pertengahan remaja sampai pertengahan umur dua puluhan tahun dan kemudian
berlangsung sepanjang hidup. Gangguan ini muncul dua kali lebih banyak pada
perempuan dibandingkan pada laki-laki. Orang dengan GAD adalah pencemas yang
kronis, mungkin mereka mencemaskan secara berlebihan keadaan hidup mereka,
seperti keuangan, kesejahteraan anak-anak, dan hubungan sosial mereka.16
b. Ciri-ciri Diagnostik
Kriteria Diagnostik menurut DSM-V (300.02), sebagai berikut:
1) Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir setiap hari,
sepanjang hari, terjadi sekurangnya 6 bulan, tentang sejumlah aktivitas atau
kejadian (seperti pekerjaan atau aktivitas sekolah).
2) Individu sulit untuk mengendalikan kecemasan dan kekhawatiran.
3) Kecemasan diasosiasikan dengan 6 gejala berikut ini (dengan sekurang-kurangnya
beberapa gejala lebih banyak terjadi dibandingkan tidak selama 6 bulan terakhir),
yaitu kegelisahan, mudah lelah, sulit berkonsentrasi atau pikiran kosong,

16
Umniyah, Saleh, “Anxiety Disorder (Memahami Gangguan Kecemasan: Jenis-jenis, Gejala, Perspektif
Teoritis, dan Penanganan)”, 11-13
iritabilitas, ketegangan otot, dan gangguan tidur (sulit tidur, tidur gelisah atau
tidak memuaskan).
4) Kecemasan, kekhwatiran, atau gejala fisik menyebabkan distress atau
terganggunya fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.
5) Gangguan tidak berasal dari zat yang memberikan efek pada fisiologis (memakai
obat-obatan) atau kondisi medis lainnya (seperti hipertiroid).
6) Gangguan tidak dapat dijelaskan lebih baik oleh gangguan mental lainnya
(seperti kecemasan dalam gangguan panik atau evaluasi negatif pada gangguan
kecemasan sosial atau sosial fobia).17
c. Penanganan
Seperti yang telah disebutkan bahwa GAD sulit ditangani dengan berhasil . Terapi
mencakup pendekatan Psikoanalisis, behavioral, kognitif, dan biologis.
1) Pendekatan psikoanalisis
Penanganannya hampir sama dengan penanganan fobia. Suatu studi tanpa
kontrol menggunakan intervensi psikodinamika yang memfokuskan pada konflik
interpersonal dalam kehidupan masa lalu dan masa kini pasien dan mendorong
cara lebih adaptif untuk berhubungan dengan orang lain.
2) Pendekatan Behavioral
Para ahli klinis behavioral menangani kecemasan menyeluruh dengan
berbagai cara seperti training relaksasi intensif.
3) Pendekatan Kognitif
Jika suatu perasaan tidak berdaya tampaknya mendasari kecemasan
pervasif, terapis berorientasi akan membantu klien menguasai keterampilan
apapun yang dapat menumbuhkan perasaan kompoten, keterampilan tersebut,
termasuk asertivitas, dapat diajarkan melalui instruksi verbal, modeling, atau
pembentukan operant dan sangat mungkin kombinasi secara hatihati dan
ketiganya.
4) Pendekatan Biologis
Anxiolytic, jenis obat yang disebutkan untuk menangani fobia dan
gangguan panik, mungkin merupakan penanganan yang paling banyak digunakan
American Psychiatric Association, “ Diagnostic and Statistical Manual of Mental (5 th ed), Washington
17

DC: American Psychiatric Publishing, 2013


untuk gangguan kecemasan menyeluruh. Obat-obatan, terutama benzodiazepine,
seperti Valium, Xanas, dan buspirone (BuSpar), sering kali digunakan karena
pervasivitas gangguan.
3. Gangguan Obsesif Kompulsif
a. Pengertian
Obsesif adalah pikiran, ide, atau dorongan yang intrusive dan berulang yang
berada di luar kemampuan seseorang untuk mengendalikannya. Obsesi dapat menjadi
sangat kuat dan persisten sehingga dapat menganggu kehidupan sehari-hari dan
menimbulkan distress serta kecemasan yang signifikan. Secara klinis, obsesi yang
paling banyak terjadi berkaitan dengan ketakutan akan kontaminasi, ketakutan
mengekspresikan impuls seksual atau agresif, dan ketakutan hipokondrial akan
disfungsi tubuh. Kompulsif adalah suatu tingkah laku yang repetitif (seperti mencuci
tangan atau memeriksa kunci) atau tindakan mental ritualistik (seperti berdoa atau
mengulang kata tertentu) yang dirasakan oleh seseorang sebagai suatu keharusan atau
dorongan yang harus dilakukan. Kompulsif terjadi sebagai jawaban terhadap pikiran
obsesif dan muncul dengan cukup sering serta kuat sehingga menganggu kehidupan
sehari-hari atau menyebabkan distress yang signifikan.18
b. Ciri-ciri diagnostik
Adapun kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif kompulsif berdasarkan
PPDGJ III sebagai berikut:
1) Gejala yang timbul merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu
aktivitas penderita.
2) Gejala-gejala obsesif mencakup hal berikut:
a) Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri
b) Sedikitnya ada 1 pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan,
c) Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut bukan merupkan hal yang
memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari anxietas)
d) Gagasan atau impuls tersebut merupakan pengulangan yang tidak
menyenangkan

18
Umniyah, Saleh, “Anxiety Disorder (Memahami Gangguan Kecemasan: Jenis-jenis, Gejala, Perspektif
Teoritis, dan Penanganan)”, 18-22
e) Ada kaitan antara gejala obsesif-kompulsif dengan depresi. Penderita OCD
seringkali juga menunjukkan gejala depresif begitupun sebaliknya.19
c. Penanganan
1) Terapi Psikoanalisis
Terapi psikoanalisis untuk obsesi dan kompulsi mirip dengan untuk fobia
dan kecemasan menyeluruh, yaitu mengangkat represi dan memberi jalan pada
pasien untuk menghadapi hal yang benar-benar ditakutkannya.
2) Pendekatan Behavioral: Pemaparan dan Pencegahan Ritual (ERP- exposure and
Ritual Prevention).
3) Terapi perilaku Rasional Emotif
Terapi perilaku rasional emotif untuk mengurangi OCD adalah membantu
pasien menghapuskan keyakinan bahwa segala sesuatu mutlak harus berjalan
seperti yang mereka inginkan atau bahwa segala tindakan yang mereka lakukan
harus mutlak memberikan hasil sempurna. Dalam pendekatan ini, pasien didorong
untuk menguji ketakutan mereka bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi
jika mereka tidak melakukan ritual kompulsif
4) Penanganan Biologis
Obat-obatan yang meningkatkan level serotonin seperti SSRI beberapa
tricyclic, merupakan penanganan biologis yang paling sering diberikan kepada
pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif.
4. Gangguan Fobia
a. Pengertian
Kata fobia berasal dari bahasa Yunani phobos, berarti takut. Takut adalah
perasaan cemas dan agitasi sebagai respon terhadap ancaman. Gangguan phobia
adalah rasa takut yang persisten terhadap objek atau situasi yang tidak sebanding
dengan ancamannya. Orang dengan gangguan phobia tidak kehilangan kontak dengan
realitas, mereka biasanya tahu bahwa ketakutan mereka itu berlebihan dan tidak pada
tempatnya Fobia terdiri dari tiga tipe, yaitu fobia spesifik, fobia sosial dan
agoraphobia.

19
Rusdi Maslim, “Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5”,
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmaja, 2013, 76
Fobia spesifik adalah ketakutan yang beralasan dan disebabkan oleh kehadiran
atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik. DSM-V membagi fobia berdasarkan
sumber ketakutannya, yaitu: Specific Phobia, Animal; Specific Phobia, Natural
Environment; Specific Phobia, Blood; Specific Phobia, InjectionTransfusion;Specific
Phobia,Other Medical Care; Specific Phobia ,Injury; Specific Phobia,Situational;
Specific Phobia,Other.
Fobia sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya
berkaitan dengan keberadaan orang lain.20Individu yang menderita fobia sosial
biasanya mencoba menghindari situasi yang membuatnya mungkin dinilai dan
menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau berperilaku secara memalukan Fobia sosial
dapat bersifat umum atau khusus, tergantung rentang situasi yang ditakuti dan
dihindari.21
Agoraphobia berasal dari bahasa Yunani yang berarti takut kepada pasar, yang
sugestif untuk ketakutan berada ditempat-tempat terbuka dan ramai. Agoraphobia
dapat terjadi bersamaan atau tidak bersamaan dengan gangguan panik yang
menyertai. Pada gangguan panik dengan agoraphobia, orang hidup dengan ketakutan
terjadinya serangan yang berulang dan menghindari tempat-tempat umum. Orang
orang dengan agoraphobia yang tidak punya gangguan panik dapat mengalami
sedikit simptom panik seperti pusing yang menghalangi mereka untuk keluar dari
tempat mereka.22
b. Ciri-ciri diagnostik
DSM-V mencantumkan beberapa simptom yang menjadi landasan seseorang
menderita gangguan fobia. Simptom-simptom tersebut sebagai berikut:
1) Fobia Spesifik Kriteria diagnosis:
a) Menandai ketakutan atau kecemasan terhadap suatu objek atau situasi tertentu
(terbang, ketinggian, binatang, jarum suntik, darah),

20
Umniyah, Saleh, “Anxiety Disorder (Memahami Gangguan Kecemasan: Jenis-jenis, Gejala, Perspektif
Teoritis, dan Penanganan)”, 26-30
21
Adib Asrori, “Terapi Kognitif Perilaku Untuk Mengatasi Gangguan Kecemasan Sosial”, Jurnal Ilmiah
Psikologi Terapan, 93
22
Umniyah, Saleh, “Anxiety Disorder (Memahami Gangguan Kecemasan: Jenis-jenis, Gejala, Perspektif
Teoritis, dan Penanganan)”, 30
b) Objek atau situasi fobia hampir selalu memancing ketakutan atau kecemasan
tiba-tiba,
c) Objek atau situasi fobia secara aktif dihindari atau diatasi dengan ketakutan
atau kecemasan yang kuat,
d) Ketakutan atau kecemasan itu tidak sesuai dengan bahaya sebenarnya yang
ditimbulkan oleh objek atau situasi tertentu dan pada konteks kultur sosial
e) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut berlanjut, biasanya
berlangsung selama 6 bulan atau lebih,
f) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran menyebabkan gangguan-gangguan
klinis yang signifikan pada kehidupan sosial, pekerjaan, atau bidang penting
lainnya,
g) Gangguan tersebut tidak lebih baik dijelaskan oleh gejala dari gangguan
mental lainnya, seperti ketakutan, kecemasan, dan penghindaran terhadap
situasi dibantu dengan gejala seperti panik atau gejala ketidakmampuan
lainnya (seperti pada agorafobia); objek atau situasi yang berkaitan dengan
obsesi (seperti pada gangguan obsesif-kompulsif).
2) Fobia Sosial Kriteria diagnosis:
a) Menandai ketakutan atau kecemasan terhadap satu atau lebih situasi sosial
dimana individu terlihat oleh pengamatan yang mungkin dilakukan oleh orang
lain.
b) Individu merasa takut melakukan sesuatu jika menunjukkan gejala kecemasan
akan ditanggapi negatif (akan dipermalukan, menuju pada penolakan atau
penyerangan orang lain).
c) Situasi sosial hampir selalu memancing ketakutan atau kecemasan.
d) Situasi sosial dihindari atau diatasi dengan ketakutan atau kecemasan yang
tinggi.
e) Ketakutan atau kecemasan itu tidak sesuai dengan ancaman sebenarnya yang
ditimbulkan situasi sosial dan pada konteks kultur sosial.
f) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut berlanjut, biasanya
berlangsung selama 6 bulan atau lebih.
g) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran menyebabkan gangguan-gangguan
klinis yang signifikan pada kehidupan sosial, pekerjaan, atau bidang penting
lainnya.
h) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut tidak termasuk kedalam
efek psikologis secara subtansi (penyalahgunaan obat-obatan, pengobatan)
atau kondisi medis lainnya.
i) Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tidak lebih baik dijelaskan oleh
gejala dari gangguan mental lainnya, atau gangguan spektrum autisme.
j) Jika kondisi medis lainnya (penyakit parkinson, obesitas, cacat dari luka bakar
atau cidera) ada, maka ketakutan, kecemasan, atau penghindaran jelas tidak
terkait atau berlebihan.23
c. Penanganan
1) Pendekatan Psikoanalisis
Pada pendekatan psikoanalilis memiliki terapi psikoanalisis. Secara
umum, semua penanganan psikoanalisis pada fobia berupaya mengungkap
konflik-konflik yang ditekan yang diasumsikan mendasari ketakutan ekstrem dan
karakteristik penghindaran dalam gangguan ini.
2) Pendekatan Kognitif
Terapi kognitif bagi fobia spesifik dipandang dengan skeptis kaarena
karasteristik utama penentu fobia. Rasa takut fobia diakui penderitanya sebagai
rasa takut yang berlebihan atau tidak beralasan. Jika penderita mengakui jika ia
mengalami ketakutan pada sesuatu yang berbahaya, apa yang dapat dilakukan
terapi tersebut untuk mengubah pikiran si penderita. Secara kontras berkaitan
dengan fobia sosial, metode kognitif semacam itu kadangkala dikombinasikan
dengan pelatihan keterampilan sosial lebih menjanjikan
3) Pendekatan Biologis
Dalam tahun-tahun terakhir obat-obatan yang pada awalnya
dikembangkan untuk menangani depresi (antidepresan) menjadi populer
digunakan untuk menangani masalah anxietas, termasuk fobia. Obat-obatan yang
mengurangi kecemasan disebut sebagai sedatif, tranqilizer atau anxiolytic.
American Psychiatric Association, “ Diagnostic and Statistical Manual of Mental (5th ed), Washington
23

DC: American Psychiatric Publishing, 2013


5. Gangguan stres Akut dan Gangguan Stres Pasca Trauma
a. Pengertian
Gangguan stres akut adalah suatu reaksi yang diperkirakan dari seseorang yang
mengalami suatu trauma yang sangat berat, saat ini individu membutuhkan jumlah
dan jenis stres yang berbeda untuk menimbulkan gangguan tersebut. Gangguan stress
akut (acute stress disorder/ASD) adalah suatu reaksi maladaptif yang terjadi pada
bulan pertama sesudah pengalaman traumatis.
Gangguan stres pasca trauma (post traumatic stress disorder/PTSD) adalah reaksi
maladaptive yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis. ASD adalah
faktor resiko mayor untuk PTSD karena banyak orang dengan ASD yang
kemungkinan mengembangkan PTSD. Dimasukkannya stress berat dalam DSM
sebagai faktor penyebab signifikan PTSD dimaksudkan untuk menunjukkan
pengakuan resmi bahwa penyebab PTSD yang utama adalah peristiwa yang terjadi,
bukan orang yang bersangkutan. Respons terhadap ancaman tersebut mencakup
perasaan takut yang intens, perasaan tak berdaya, atau rasa ngeri (horor). Anak-anak
dengan PTSD kemungkinan mengalami ancaman ini dengan cara lain, misalnya
dengan menunjukkan kebingungan atau agitasi.24
b. Ciri-ciri diagnostik
DSM (308.3) Kriteria Diagnostik:
Gangguan Stres Akut
1) Paparan terhadap kematian yang sebenarnya, cedera serius, atau pelanggaran
seksual yang serius dalam satu (atau lebih) hal berikut:
a) Langsung mengalami peristiwa traumatis
b) Menyaksikan, secara langsung, kejadian traumatik, seperti yang terjadi pada
orang lain.
c) Belajar bahwa kejadian tersebut terjadi pada anggota keluarga dekat atau
teman dekat.
d) Mengalami keterpaparan berulang atau ekstrem terhadap rincian kejadian
traumatis yang tidak menyenangkan

24
Umniyah, Saleh, “Anxiety Disorder (Memahami Gangguan Kecemasan: Jenis-jenis, Gejala, Perspektif
Teoritis, dan Penanganan)”, 39-43
2) Kehadiran sembilan (atau lebih) dari gejala berikut dari salah satu dari lima
kategori gangguan, disosiasi mood negatif, penghindaran, dan gairah, diawali atau
diperburuk setelah peristiwa traumatis terjadi.
Gejala Intrusi (gangguan)
a) Ingatan berulang, tidak disengaja, dan mengganggu dari kejadian traumatis
b) Mimpi buruk yang menyengat dimana konten dan / atau pengaruhnya
terhadap mimpi berhubungan dengan kejadian tersebut.
c) Reaksi disosiatif (flashback) di mana individu merasa atau bertindak seolah-
olah peristiwa traumatis berulang (reaksi semacam itu dapat terjadi pada suatu
kontinum, dengan ekspresi paling ekstrem adalah hilangnya kesadaran akan
lingkungan yang ada sekarang)
d) Intensor tekanan psikologis yang berkepanjangan atau reaksi fisiologis yang
ditandai sebagai respons terhadap isyarat eksternal eksternal yang
melambangkan atau menyerupai aspek kejadian traumatis.

Mood Negatif:

a) Ketidakmampuan yang terus-menerus untuk mengalami emosi positif

Gejala disosiatif:

a) Perasaan yang berubah tentang lingkungan seseorang atau diri sendiri


b) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari kejadian traumatis (biasanya
karena amnesia disosiatif dan tidak pada faktor lain seperti cedera kepala,
alkohol, atau obat-obatan terlarang).

Gejala Menghindar:

a) Upaya untuk menghindari kenangan, pikiran, atau perasaan yang


menyedihkan tentang atau terkait erat dengan kejadian traumatis.
b) Upaya untuk menghindari pengingat eksternal yang membangkitkan pikiran
kenangan yang menyedihkan, atau perasaan tentang atau terkait erat dengan
kejadian traumatis.

Gejala Gangguan:
a) Gangguan tidur (misalnya, sulit jatuh atau tertidur, tidur nyenyak).
b) Perilaku yang tidak enak dan ledakan kemarahan biasanya dinyatakan sebagai
agresi verbal atau fisik terhadap objek.
c) Hipervigilance
d) Permasalahan dengan konsentrasi
e) Respon mengejutkan berlebihan.
3) Durasi gangguan (gejala pada Kriteria B) adalah 3 hari sampai bulan setelah
terpapar trauma.
4) Gangguan tersebut menyebabkan gangguan atau penurunan signifikan secara
klinis di area kerja sosial, pekerjaan, atau bidang penting lainnya.
5) Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis zat

DSM (309.81) Kriteria Diagnostik:

Gangguan Stres Pasca Trauma

1) Paparan kematian aktual atau terancam, luka serius, atau kekerasan seksual dalam
satu (atau lebih) dari cara berikut:
a) Langsung mengalami kejadian traumatis.
b) Menyaksikan secara pribadi kejadian seperti yang terjadi pada orang lain.
c) Belajar bahwa peristiwa traumatis terjadi pada anggota keluarga dekat atau
teman dekat.
d) Mengalami keterpaparan berulang atau ekstrem terhadap rincian kejadian
traumatis yang tidak menyenangkan
2) Kehadiran satu (atau lebih) gejala intrusi berikut yang terkait dengan kejadian
traumatis, dimulai setelah peristiwa traumatis.
a) Ingatan berulang, tidak disengaja, dan mengganggu kenangan akan kejadian
traumatis.
b) Mimpi buruk yang menyebalkan dimana konten dan / atau pengaruhnya
terhadap mimpi berhubungan dengan kejadian traumatis.
c) Reaksi disosiatif (misalnya kilas balik) di mana individu merasa atau
bertindak seolah-olah peristiwa traumatis berulang
d) Tekanan psikologis yang intens atau dalam saat terpapar isyarat internal atau
eksternal yang melambangkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatic.
e) Reaksi fisiologis yang ditandai dengan isyarat internal atau eksternal yang
melambangkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatik.
3) Penghindaran stimuli yang terus-menerus terkait dengan kejadian traumatis,
dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh salah
satu atau kedua hal berikut:
a) Penghindaran atau upaya untuk menghindari kenangan, pikiran, atau perasaan
yang menyusahkan. atau terkait erat dengan kejadian traumatis.
b) Penghindaran atau upaya untuk menghindari pengingat eksternal yang
membangkitkan kenangan, pikiran, atau perasaan yang menyedihkan tentang
atau terkait erat dengan peristiwa traumatis.
4) Perubahan negatif dalam kognisi dan suasana hati yang terkait dengan kejadian
traumatis, awal atau perburuk setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana
dibuktikan oleh dua (atau lebih) hal berikut:
a) Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari kejadian traumatis
b) Keyakinan negatif atau eksploitatif yang berlebihan terhadap diri sendiri,
orang lain, atau dunia
c) Kognisi yang terus-menerus dan menyimpang tentang penyebab atau
konsekuensi dari kejadian traumatis yang menyebabkan individu
menyalahkan dirinya sendiri atau orang lain.
d) Keadaan emosional negatif yang terus-menerus (mis., Takut, ngeri, marah,
bersalah, atau malu
e) Secara jelas mengurangi partisipasi insterestor dalam aktivitas signifikan
f) Perasaan atau detasemen atau keterasingan dari orang lain.
g) Ketidakmampuan terus-menerus untuk mengalami emosi positif
5) Perubahan yang ditandai dalam reaktivitas rangsang dengan awal atau
pemburukan traumatis setelah kejadian traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan
oleh dua (atau lebih) dari:
a) Perilaku yang tidak mudah marah dan ledakan biasanya dinyatakan sebagai
verbal. atau agresi fisik terhadap orang atau benda.
b) Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri
c) Hipervigilance
d) Respon mengejutkan yang berlebihan
e) Masalah dengan konsentrasi
f) Gangguan tidur
6) Durasi gangguan (kriteria B, C, D dan E lebih dari 1 bulan
7) Gangguan tersebut menyebabkan gangguan atau penurunan signifikan secara
klinis di area kerja sosial, pekerjaan, atau area penting lainnya yang tidak
berfungsi.
8) Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis atau zat (misalnya obat-
obatan, alkohol) atau kondisi medis lainnya.25
c. Penanganan
1) Debriefing Stress Insiden Kritikal
Debriefing Stress Insiden Kritikal adalah perilaku mengintervensi dalam
masa ketika orang-orang berada dalam fase akut periode pasca trauma. Perilaku
mengintervensi sebanyak mungkin korban selamat dalam 24 hingga 72 jam
setelah terjadinya peristiwa traumatik, tepat sebelum PTSD memilki kesempatan
untuk berkembang, dan mendorong mereka untuk mengkaji secara detail apa yang
telah terjadi dan mengekspresikan sekuat mungkin perasaan mereka tentang
kejadian mengerikan tersebut.
2) Pendekatan Kognitif dan Behavioral
Sebagaimana yang sudah diketahui, prinsip dasar terapi perilaku berbasis
pemaparan adalah cara terbaik untuk mengurangi atau menghapus rasa takut
adalah dengan menghadapkan orang bersangkutan dengan sesuatu yang paling
ingin dihindarinya. Walaupun demikian, melakukan terapi pemaparan semacam
itu merupakan hal yang sulit bagi pasien dan terapis karena melakukan kajian
ulang secara rinci terhadap kejadian yang menyebabkan trauma. Kondisi pasien
untuk sementara dapat lebih buruk pada tahap-tahap awal terapi, dan terapis
sendiri dapat merasa sedih ketika mereka mendengarkan penuturan tentang
kejadian mengerikan yang dialami pasien.
American Psychiatric Association, “ Diagnostic and Statistical Manual of Mental (5th ed), Washington
25

DC: American Psychiatric Publishing, 2013


3) Pendekatan Psikoanalisis
Pendekatan psikodinamika memiliki banyak kesamaan dengan
penanganan yang telah disebutkan sebelumnya, karena mendorong pasien untuk
membahasa trauma dan memaparkan diri mereka pada kejadian yang memicu
PTSD.
4) Pendekatan Biologis
Berbagai obat-obatan psikoaktif telah digunakan untuk para pasien PTSD.
Termasuk antidepresan dan tranquilizer (rangkuman obat-obatan yang digunakan
untuk menangani seluruh gangguan anxietas.26

26
Umniyah, Saleh, “Anxiety Disorder (Memahami Gangguan Kecemasan: Jenis-jenis, Gejala, Perspektif
Teoritis, dan Penanganan)”, 54-58

Anda mungkin juga menyukai