Anda di halaman 1dari 9

Nama : Swasti Telaumbanua

NIM : 160204026
Kelas : PSIK 4.1
Hari/Tgl : Senin, 16 Maret 2020

Jawaban tugas keperawatan Manajemen :


Soal:
1. Buatlah masing-masing contoh cari konflik baik interpersonal, intraposonal
dan inter kelompok

Jawabannya:
a. Contoh konflik interpersonal:
 Karena adanya perbedaan jabatan anatara satu dengan yang lainnya.
 Karena munculnya perbedaan bidang kerja
 Perbedaan status

b. Konflik Intrapersonal
Contoh konflik intrapersonal:

Terjadi jikalau keyakinan yang dianut oleh seseorang bertentangan
dengan nilai budaya dengan masyarakat
 Ketika seseorang memiliki keinginan namun keinginan tersebut
tidaklah sesuai dengan komponen ynag dimilikinya
c. Konflik interkelompok
Contoh konflik interkelompok:
 Seseorang perawat tidak mendokumentasikan rencana tindakan
perawatan pasien sehingga akan mempengaruhi kinerja perawat
lainnya dalam satu tim untuk mencapai tujuan perawatan di ruang
rersebut

2. Buatlah masing-masig prusos konflik (konflik laten, konflik yang dirahasiakan,


konflik yang dimanifestasikan, konflik yang dipersepsikan). Buat contohnya.
Jawabannya:
a. Konflik Laten adalah suatu kondisi yang didalamnya berisi banyak
potensi konflik yang sifatnya tersembunyi karenanya perlu diangkat ke
permukaan agar bisa ditangani.
Contohnya: keterbatasan staf dan perubahan yang ceapat kondisi
tersebut memicu pada ketidak stabilan organisasi dan kualitas produksi.
Meksipun yang da kadang tidak Nampak secara nyata atau tidak pernah
terjadi
b. Konflik yang dirahaisakan
Contoh: adanay sesuatu yang dirahasiakan sebagai ancaman, ketakutan,
tidak percaya dan marah
c. Konflik yang dimanifestasikan
Contoh: konflik yang jelas dan diperlukan adanya tindakan-tindakannya
dapat berupa persaingan, debat, saling ,mengalahkan atau penyelesaian
konflik
d. Konflik yang dipersepsikan
Contoh: dua departemen dalam satu organisasi ingin mendapatkan
fasilitas ruang yang sama.

3. Buatlah contoh kasus mengelola konflik berdasarkan Margis Huston & Huston
(2010)
Jawabannya :

Contoh Kasus Perawat R (wanita) 48 tahun (S2 Keperawatan, pengalaman


bekerja 18 tahun) adalah manajer keperawatan di unit perawatan neuroscience
di sebuah rumah sakit di Chicago. Beliau memiliki keinginan untuk melakukan
renovasi pada unit perawatan yang dipimpinnya dan perawat R pun menemui
direktur keperawatan di RS tersebut. Ketika bertemu dan menyampaikan
keinginannya, ternyata menurut direktur keperawatan, RS hanya memiliki
biaya untuk merenovasi 1 unit saja untuk tahun ini, dan direktur mengatakan
sudah ada perawat J (laki-laki) 56 tahun (S1 Keperawatan, pengalaman bekerja
30 tahun) yang merupakan manajer keperawatan di unit perawatan bedah
ortopedi yang juga mengajukan proposal untuk renovasi. Direktur
menyarankan mereka untuk bertemu satu sama lain untuk membahas masalah
yang terjadi agar mendapatkan keputusan yang tepat. Perawat R dan Perawat J
sebelumnya juga pernah berkonflik tentang penyusunan standar tindakan
keperawatan sehingga mereka jarang menjalin komunikasi secara langsung.
Perawat R pun merasa terpaksa harus menemui Perawat J, dan dalam
pertemuan tersebut terjadi perbedaan pendapat antara keduanya, dimana kedua
belah pihak beranggapan bahwa renovasi di unit perawatan mereka lebih
penting dari renovasi di unit perawatan lainnya. Perawat J juga menganggap
perawat R tidak berkewenangan untuk melakukan negosiasi dengannya, yang
memiliki kewenangan tersebut adalah direktur keperawatan. Konflik ini
berdampak pula pada kinerja staf perawat yang bekerja di unit masing-masing
terutama dalam hal kolaborasi. Direktur keperawatan merasa bertanggung
jawab terhadap kondisi ini, dan ingin segera menyelesaikannya.

Analisa Kasus
Analisa Gaya Kepemimpinan
Konflik terjadi dari suatu ketidaksetujuan antara dua orang atau lebih dalam
suatu organisasi dimana seseorang tersebut merasa ada yang akan mengancam
kepentingannya. Sumber-sumber konflik di organisasi dapat ditemukan pada
kekuasaan, komunikasi, tujuan seseorang dan organisasi, ketersediaan sarana,
perilaku kompetisi dan personaliti serta peran yang membingungkan.

Seorang pemimpin harus bisa mempengaruhi orang lain sebagai modal utama
pemimpin dalam menyelesaikan konflik, untuk memperoleh kesan, rasa
hormat, kepatuhan, loyalitas, dan kerjasama serta menimbulkan harapan.
Dengan kemampuan ini pula seorang pemimpin dapat mengubah kepercayaan,
nilai-nilai, pendapat, sikap, dan prilaku orang lain. Tanpa kemampuan ini
seorang pemimpin tidak dapat menyelesaikan konflik dengan efektif (Harsono,
2010). Pemimpin juga harus mampu menggunakan kekuatan, otoritas, dan
pengaruhnya dalam memutuskan strategi penyelesaian konflik yang tepat. Hal
ini sesuai dengan model “CAPI” (Coaleshing Authority, Power, and Influence)
yang dicetuskan oleh Shetach (2012).

Menurut Hudson, dkk (2005), pemimpin, dalam kasus ini adalah direktur
keperawatan, harus memiliki kemampuan untuk memahami sumbersumber
konflik dan mengelola konflik tersebut agar konflik bisa dijadikan sebagai
ekplorasi ide-ide yang kreatif, sehingga bisa meningkatkan kualitas dalam
pemberian asuhan keperawatan kepada klien.
Dalam kasus diatas teori keperawatan yang dapat diterapkan adalah
participative theories dimana pemimpin yang baik mempertimbangkan apa
yang orang lain miliki sebagai masukan. Jenis kepemimpinan pada teori ini
memberikan kepercayaan terhadap bawahan untuk bersama-sama

menyelesaikan konflik. Sedangkan gaya kepemimpinan yang sesuai dipakai


oleh direktur keperawatan untuk menyelesaikan kasus di atas adalah
democratic style dimana pemimpin mendorong partisipasi bawahan untuk
berkontribusi pada proses pengambilan keputusan. Direktur keperawatan tetap
membuat keputusan akhir tetapi kedua manajer keperawatan terlibat dalam
brainstorming dan diskusi. Direktur keperawatan juga harus menjalankan
perannya sebagai seorang pemimpin dalam menyelesaikan konflik pada kasus
di atas, yaitu: a. Peran interpersonal Untuk menyelesaikan konflik pada kasus
diatas, seorang direktur keperawatan harus bisa menjalankan fungsinya sebagai
seorang leader, dimana direktur keperawatan harus bisa mengajak perawat R
sebagai manajer keperawatan ruangan neuroscience dan perawat J sebagai
manajer ruangan orthopedic untuk duduk bersama dalam menyelesaikan
konflik. Selain itu direktur keperawatan harus menjadi fasilitator antara kedua
manager keperawatan dalam menyelesaikan konflik tersebut. b. Peran
informasional Direktur keperawatan harus melakukan pengamatan dan
pemeriksaan langsung ke ruangan neuroscience dan ruangan orthopedic untuk
mendapatkan informasi yang valid, yakni melihat ruangan mana yang lebih
prioritas untuk dilakukan renovasi. c. Peran pembuat keputusan Direktur
keperawatan harus menjalankan fungsinya sebagai pembuat keputusan, dimana
direktur keperawatan harus memilih ruangan mana yang akan di renovasi
terlebih dahulu agar tidak salah dalam mendistribusikan sumber dana yang ada.
Direktur keperawatan harus mampu melakukan negosiasi kepada perawat R
dan perawat J selaku manager keperawatan terkait sumber dana yang ada,
sehingga dihasilkan keputusan yang win-win solution antara kedua belah
pihak.
Analisa Strategi Penyelesaian Konflik
Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a conflict-
competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika
terjadinya suatu konflik, memahami reaksi konflik, respon konstruktif, dan
membangun suatu organisasi yang mampu menangani konflik secara efektif (a
conflict-competent organization) (Runde and Flanagan, 2007). Menurut Rahim
(2002) proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi,
dan evaluasi (feedback). Berdasarkan kasus di atas, berikut adalah langkah-
langkah yang dilakukan sebagai bentuk strategi penyelesaian konflik.

a. Diagnosis (Measurement dan analisis)


1) Identifikasi batasan konflik Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang
ada antara lain konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intra
kelompok dan konflik antar kelompok. Berdasarkan kasus di atas, terdapat 2
jenis konflik yang terjadi antara lain konflik interpersonal dan konflik antar
kelompok. Konflik interpersonal yang terjadi adalah antara Perawat J dan
Perawat R yang sebelumnya sudah pernah berkonflik dan jarang menjalin
komunikasi satu sama lain. Konflik kedua adalah konflik antar kelompok.
Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerja untuk
mencapai tujuan kelompoknya masingmasing, dalam kasus ini kelompok yang
dimaksud adalah kelompok perawat yang bekerja di unit perawatan
neuroscience dan perawat yang bekerja di unit perawatan bedah ortopedi yang
sama-sama menuntut adanya renovasi di unit perawatan masing-masing.
2) Identifikasi penyebab konflik Konflik dapat muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut
juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu :
komunikasi,

struktur, dan variabel pribadi (Robbins, 2008). Dalam kasus di atas sumber
terjadinya konflik adalah 3 kategori tersebut. Kurangnya komunikasi yang
terjalin antara Perawat J dan Perawat R menyebabkan komunikasi dua arah
sulit tercapai. Perbedaan jenis kelamin menjadi salah satu penghambat dalam
berkomunikasi asertif, dimana laki-laki cenderung agresif, independen, dan
jarang melibatkan emosi, sebaliknya wanita cenderung pasif, dependen, dan
melibatkan emosi (Brewer et al, 2002). Istilah struktur dalam konteks ini
mencakup adanya perbedaan tujuan dan kepentingan masing-masing
kelompok, sedangkan variabel pribadi yang dimaksud adalah tipe kepribadian
masing-masing pimpinan kelompok berbeda satu dengan yang lainnya.
Menurut Shetach (2012) konflik juga dapat disebabkan oleh perbedaan
interpersonal dan perbedaan kepentingan. Dalam kasus ini perbedaan
interpersonal yang terjadi terkait pada dimensi-umur, jenis kelamin, latar
belakang pendidikan, dan pengalaman bekerja. Hal ini juga sesuai dengan
pendapat Ayoko and Hartel, 2006 yang mengatakan bahwa diversitas atau
keragaman yang menjadi sumber konflik potensial adalah budaya, gender,
posisi (jabatan), pengalaman, dan umur. Kemudian untuk perbedaan
kepentingan dapat dilihat dari adanya dua kelompok perawat yang memiliki
tujuan dan kepentingan yang berbeda (terkait posisi, peran, status, dan tingkat
hirarki). 3) Identifikasi sumber daya yang dapat dioptimalkan dan yang dapat
menjadi penghalang untuk manajemen konflik Sebelum menentukan strategi-
strategi dalam penyelesaian konflik, Direktur keperawatan harus melakukan
pengkajian faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyelesaian konflik, salah
satunya sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang dimaksud adalah
pemimpin terkait kemampuan, peran dan fungsi kepemimpinan, serta gaya
kepemimpinannya yang selanjutnya mempengaruhi pilihan strategi manajemen
konflik yang dihadapi.

4) Identifikasi strategi penyelesaian konflik Konflik dapat menjadi konstruktif


atau destruktif tergantung dari cara menyelesaikan atau memanajemen konflik.
Kondisi konstruktif dapat dirasakan ketika solusi yang diambil memuaskan dan
menguntungkan pihak-pihak yang mengalami konflik. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan Brewer (2002), penentuan gaya penyelesaian
konflik ditentukan dari gender, yaitu feminine group cenderung memilih gaya
avoiding, masculine group memilih dominating, dan androgynous group
(transgender) cenderung memilih strategi integrating. Dalam penelitian tersebut
tidak ditemukan kelompok gender tertentu yang khusus memilih strategi
compromising dan obliging. Sedangkan menurut Hassan (2011) pemilihan
strategi penyelesaian konflik adalah berdasarkan suasana komunikasi. Bila
suasana komunikasi terjalin baik, strategi yang bisa digunakan adalah obliging,
integrating, dan compromising. Sebaliknya, bila suasana komunikasi bersifat
defensif, dominating dan avoiding menjadi pilihan. Berdasarkan kasus di atas,
gaya penyelesaian konflik yang dipilih adalah berdasarkan suasana komunikasi
bukan berdasarkan gender, yaitu compromising. Gaya ini menempatkan
seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara
kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan
saling memberi dan menerima (give and take approach) dari pihak-pihak yang
terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang
melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan
yang sama, dan penyelesaian masalah dianggap sebagai prioritas agar tidak
berkembang menjadi konflik baru yang melibatkan pihak lain (Hoffmann,
2005). Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis
dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Outcome resolusi konflik yang
diharapkan dari kasus di atas adalah win-win solution.

b. Intervensi Strategi intervensi penanganan konflik yang dipakai dalam kasus


di atas adalah fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi. Ketiga strategi itu melibatkan
pihak ketiga yang dalam hal ini adalah direktur keperawatan. Fasilitasi
dilakukan dengan cara mempertemukan kedua pihak yang berkonflik untuk
membangun komunikasi dua arah, misalnya dalam suatu rapat. Mediasi dimana
pihak ketiga membantu menjalin hubungan yang baik antara kedua belah pihak
yang berkonflik. Kemudian arbitrasi adalah proses selanjutnya dari mediasi,
dimana pihak ketiga akan mendengarkan persepsi atau sudut pandang kedua
pihak. Hal ini juga membantu pemimpin untuk menentukan prioritas tindakan
dan membantu untuk tercapainya suatu kesepakatan yang adil. Ketiga proses
ini juga menjamin terbentuknya komunikasi yang baik sehingga kompromi
merupakan hal yang tepat untuk dipilih. Dalam hal ini kesepakatan yang
mungkin ditawarkan dengan menggunakan prinsip kompromi adalah : -
Melakukan renovasi tahap pertama di kedua unit dengan biaya operasional
dibagi 2, yaitu 50% untuk unit neuroscience, kemudian 50% untuk unit bedah
ortopedi, kemudian di tahun selanjutnya renovasi dilanjutkan kembali. - Unit
perawatan bedah ortopedi melakukan renovasi fisik dengan biaya 75%,
sedangkan unit neuroscience membeli perlengkapan sekunder untuk unitnya
dengan biaya 25%, di tahun berikutnya dilakukan barter, unit neuroscience
mendapatkan 75% untuk renovasi fisik, dan unit bedah ortopedi mendapat 25%
untuk melengkapi sarana dan prasarana lainnya.
c. Evaluasi Setelah strategi-strategi manajemen konflik dilaksanakan,
pemimpin melakukan evaluasi:

1) Evaluasi proses

Evaluasi terhadap keseluruhan proses manajemen konflik yang terdiri dari:


- Bagaimana proses berjalan?
- Terdapat progress atau tidak?
- Berapa orang yang terlibat?
- Apakah option yang ditawarkan diterima oleh pihak yang berkonflik?
- Bagaimana reaksi pihak yang berkonflik (negatif/positif, verbal/nonverbal)?
-Apakah strategi yang dipilih mengarah pada penyelesaian masalah atau
memunculkan masalah baru?
- Apakah terdapat hambatan dalam implementasi strategi yang direncanakan
dalam intervensi?

2) Evaluasi hasil

Membandingkan hasil yang didapatkan dengan indikator yang telah


direncanakan dalam intervensi. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah hasil
manajemen konflik mengarah pada proses yang konstruktif atau destruktif.
Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses
kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama,
dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap
perkembangan individu atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan
masalahnya (Hendel, 2005). Sedangkan konflik bersifat destruktif bila berfokus
hanya pada satu individu saja, menggunakan emosi yang bersifat negatif, dan
menurunkan fungsi suatu grup atau organisasi (Runde and Flanagan, 2007).

Anda mungkin juga menyukai