Dosen Pengampu:
Dosen : Dra. Apt, Pudiastuti RSP, M
Disusun Oleh :
Noela Riski Riani 24185671A
Teori 5
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Penulis mengucapkan
syukur kepada Tuhan atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat
fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah ini. Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis
Surakarta
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................
A. Latar Belakang...............................................................................
B. Perumusan Masalah.......................................................................
C. Tujuan Masalah..............................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................
A. Industri Farmasi.............................................................................
B. Manajemen Mutu Industri Farmasi................................................
BAB III PEMBAHASAN..........................................................................
A. Kasus CPOB 2018…………………………………………..............
B. Pembahasan Kasus Pelanggaran UU Narkotik..............................
BAB IV PENUTUP...................................................................................
A. Kesimpulan.....................................................................................
B. Saran...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada perkembangan zaman ini, masyarakat menginginkan kehidupan yang sehat, dan
kesehatan merupakan prioritas utama bagi masyarakat. Menurut UndangUndang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan merupakan keadaan sehat
baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomi. Kesehatan juga merupakan hak asasi manusia yang dimiliki setiap
masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang menyeluruh oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat secara terarah, terpadu dan
berkesinambungan, adil dan merata, serta aman, berkualitas, dan terjangkau oleh masyarakat.
Obat merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat. Ketersediaan obat dalam jumlah, jenis dan kualitas yang mencukupi menjadi
faktor penting dalam pembangunan kualitas pelayanan kesehatan nasional. Menurut CPOB
(Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik), obat adalah paduan bahan, termasuk
produk biologis, yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologis atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
dan peningkatan kesehatan untuk manusia. Obat tersebut dibuat oleh industri farmasi yang
telah memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau
bahan obat (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012:3)
Persaingan di industri farmasi yang semakin ketat mendorong setiap perusahaan farmasi
untuk menghasilkan obat yang bermutu, yaitu obat yang memenuhi persyaratan dalam
dokumen izin edar, tidak menimbulkan resiko yang dapat membahayakan pengguna dan
sesuai dengan tujuan penggunaannya. Mutu dari produk obat tersebut mutlak untuk dijaga
demi meningkatkan kepuasan pelanggan (Sari et all., 2015). Dalam persaingan di industri
farmasi yang semakin ketat setiap perusahaan farmasi dituntut untuk dapat menghasilkan obat
yang bermutu. Industri farmasi diharuskan memproduksi obat dengan sedemikian rupa
sehingga menghasilkan produk yang bermutu yaitu produk haruslah memenuhi persyaratan
yang tercantum dalam dokumen izin edar, tidak menimbulkan resiko yang dapat
membahayakan penggunanya dan sesuai dengan tujuan penggunaannya (Sari et all., 2015).
Maka dari itu berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik judul, pentingnya CPOB
dalam manajemen mutu industri farmasi agar menghasilkan produk yang baik sesuai CPOB
yang berlaku serta element tetpenting adalah izin dari BPOM mengenai produk yang dibuat
sebelum dipasarkan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kasus CPOB yang berhubungan dengan manajemen mutu industri farmasi?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui kasus CPOB yang berhubungan dengan manajemen mutu industri
farmasi?
A. Industri Farmasi
Industri farmasi merupakan salah satu industri berbasis riset yang produknya diatur
secara ketat khususnya dalam hal mutu produk yang dihasilkan. Secara berkesinambungan
industri farmasi juga memerlukan inovasi, organisasi dan sistem pemasaran yang efektif,
serta promosi yang bersifat memberikan edukasi kepada konsumen. Industri farmasi
memiliki persyaratan khusus dalam manajemen mutu produknya yaitu harus memenuhi
aturan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) atau dikenal dengan Current Good
Manufacturing Practice (cGMP). Penerapan sistem manajemen mutu ini ditujukan untuk
menghasilkan obat yang berkualitas. Sesuai dengan Keputusan Menkes No
43/Menkes/SK/11/1988 tentang cara CPOB mengatur tentang penjaminan mutu obat yang
dihasilkan industri famasi di seluruh aspek melalui serangkaian kegiatan produksi. Sehingga
obat jadi yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu dan sesuai dengan tujuan
penggunaannya. Terkait dengan peraturan tersebut, industri farmasi harus bisa memenuhi
setiap aspek dalam CPOB.
Aspek-aspek yang harus dipenuhi dalam CPOB antara lain: Sistem Mutu, Personalia,
Bangunan dan Sarana Penunjang, Peralatan, Sanitasi dan Higiene, Produksi, Pengawasan
Mutu, Inspeksi Diri dan Audit Mutu, Penanganan Keluhan Terhadap Produk, Penarikan
Kembali Produk dan Produk Kembalian, Dokumentasi, Pembuatan dan Analisis
Berdasarkan Kontrak, Kualifikasi dan Validasi. Tujuannya agar perusahaan (industri
farmasi) ingin menghasilkan produk yang benar-benar memenuhi persyaratan yang
ditentukan dan sesuai dengan tujuan penggunaan.
Untuk memperoleh izin usaha industry farmasi, diperlukan tahap persetujuan prinsip,
yang diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi setelah sebelumnya mengajukan permohonan Rencana Induk
Pembangunan (RIP) kepada Kepala Badan. Persetujuan Prinsip diberikan pada industry
farmasi untuk dapat langsung melakukan persiapan dan usaha pembangunan, pengadaan,
pemasangan instalasi, peralatan dan lain-lain yang diperlukan, termausk produksi percobaan
dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan di bidang obat. Persetujuan prinsip
tersebut selama jangka waktu 3 tahun dan selama jangka waktu tersebut, industri farmasi
yang bersangkutan harus menyampaikan laporan informasi kemajuan pembangunan fisik
setiap 6 bulan sekali kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Menurut Kepala Badan POM RI 5 tahun 2018 tentang Penerapan Pedoman Cara
Pembuatan Obat Yang Baik, pengertian dari Cara Pembuatan Obat yang Baik, yang
selanjutnya disingkat CPOB, adalah cara pembuatan obat yang bertujuan untuk memastikan
agar mutu obat yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan penggunaan. Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten,
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB
mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu.
Pemastian mutu suatu obat tidak hanya mengandalkan pada pelaksanaan pengujian
tertentu saja, namun obat hendaklah dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan dipantau
secara cermat. CPOB ini merupakan pedoman yang bertujuan untuk memastikan agar mutu
obat yang dihasilkan sesuai persyaratan dan tujuan penggunannya; bila perlu dapat
dilakukan penyesuaian pedoman dengan syarat bahwa standar mutu obat yang telah
ditentukan tetap dicapai. Pedoman ini juga dimaksudkan untuk digunakan oleh industri
farmasi sebagai dasar pengembangan aturan internal sesuai kebutuhan (BPOM, 2018).
Prinsip dari manajemen mutu yaitu industri farmasi harus membuat obat sedemikian
rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum
dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan
penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen bertanggung
jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan Mutu”, yang memerlukan
partisipasi dan komitmen jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok
dan para distributor. Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan,
diperlukan sistem Pemastian Mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara
benar serta menginkorporasi Cara Pembuatan Obat yang Baik termasuk Pengawasan Mutu
dan Manajemen Risiko Mutu. Hal ini hendaklah didokumentasikan dan dimonitor
efektivitasnya. Unsur dasar manajemen mutu adalah:
a. Suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat mencakup struktur organisasi, prosedur,
proses dan sumber daya; dan
Pemastian Mutu
Pemastian Mutu adalah suatu konsep luas yang mencakup semua hal baik secara
tersendiri maupun secara kolektif, yang akan memengaruhi mutu dari obat yang dihasilkan.
Pemastian Mutu adalah totalitas semua pengaturan yang dibuat dengan tujuan untuk
memastikan bahwa obat dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya.
Karena itu Pemastian Mutu mencakup CPOB ditambah dengan faktor lain seperti desain dan
pengembangan produk. Sistem Pemastian Mutu yang benar dan tepat bagi pembuatan obat
hendaklah memastikan bahwa:
a. desain dan pengembangan obat dilakukan dengan cara yang memerhatikan persyaratan
CPOB;
b. semua langkah produksi dan pengawasan diuraikan secara jelas dan CPOB diterapkan;
e. semua pengawasan terhadap produk antara dan pengawasan selama-proses lain serta
dilakukan validasi;
f. pengkajian terhadap semua dokumen terkait dengan proses, pengemasan dan pengujian
tiap bets, dilakukan sebelum memberikan pengesahan pelulusan untuk distribusi produk
jadi. Penilaian hendaklah meliputi semua faktor yang relevan termasuk kondisi produksi,
hasil pengujian selama-proses, pengkajian dokumen pembuatan (termasuk pengemasan),
pengkajian penyimpangan dari prosedur yang telah ditetapkan, pemenuhan persyaratan
dari Spesifikasi Produk
i. tersedia prosedur inspeksi diri dan/atau audit mutu yang secara berkala mengevaluasi
efektivitas dan penerapan sistem Pemastian Mutu;
j. pemasok bahan awal dan bahan pengemas dievaluasi dan disetujui untuk memenuhi
spesifikasi mutu yang telah ditentukan oleh perusahaan;
Pengawasan Mutu
Pengawasan Mutu adalah bagian dari CPOB yang berhubungan dengan pengambilan
sampel, spesifikasi dan pengujian, serta dengan organisasi, dokumentasi dan prosedur
pelulusan yang memastikan bahwa pengujian yang diperlukan dan relevan telah dilakukan
dan bahwa bahan yang belum diluluskan tidak digunakan serta produk yang belum
diluluskan tidak dijual atau dipasok sebelum mutunya dinilai dan dinyatakan memenuhi
syarat. Setiap industri farmasi hendaklah mempunyai fungsi Pengawasan Mutu. Fungsi ini
hendaklah independen dari bagian lain. Sumber daya yang memadai hendaklah tersedia
untuk memastikan bahwa semua fungsi Pengawasan Mutu dapat dilaksanakan secara efektif
dan dapat diandalkan. Persyaratan dasar dari Pengawasan Mutu adalah bahwa:
a. Sarana dan prasarana yang memadai, personil yang terlatih dan prosedur yang disetujui
tersedia untuk pengambilan sampel, pemeriksaan dan pengujian bahan awal, bahan
pengemas, produk antara, produk ruahan dan produk jadi, dan bila perlu untuk
pemantauan lingkungan sesuai dengan tujuan CPOB;
b. Pengambilan sampel bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan dan
produk jadi dilakukan oleh personil dengan metode yang disetujui oleh Pengawasan
Mutu;
e. Produk jadi berisi zat aktif dengan komposisi secara kualitatif dan kuantitatif sesuai
dengan yang disetujui pada saat pendaftaran, dengan derajat kemurnian yang
dipersyaratkan serta dikemas dalam wadah yang sesuai dan diberi label yang benar;
f. Dibuat catatan hasil pemeriksaan dan analisis bahan awal, bahan pengemas, produk
antara, produk ruahan, dan produk jadi secara formal dinilai dan dibandingkan terhadap
spesifikasi; dan
g. Sampel pertinggal bahan awal dan produk jadi disimpan dalam jumlah yang cukup untuk
dilakukan pengujian ulang bila perlu. Sampel produk jadi disimpan dalam kemasan akhir
kecuali untuk kemasan yang besar. (BPOM, 2018).
Pengawasan Mutu secara menyeluruh juga mempunyai tugas lain, antara lain
menetapkan, memvalidasi dan menerapkan semua prosedur pengawasan mutu,
mengevaluasi, mengawasi, dan menyimpan baku pembanding, memastikan kebenaran label
wadah bahan dan produk, memastikan bahwa stabilitas dari zat aktif dan produk jadi
dipantau, mengambil bagian dalam investigasi keluhan yang terkait dengan mutu produk,
dan ikut mengambil bagian dalam pemantauan lingkungan. Semua kegiatan tersebut
hendaklah dilaksanakan sesuai dengan prosedur tertulis dan dicatat. Personil Pengawasan
Mutu hendaklah memiliki akses ke area produksi untuk melakukan pengambilan sampel dan
investigasi bila diperlukan (Kepala BPOM, 2018).
a. Kajian terhadap bahan awal dan bahan pengemas yang digunakan untuk produk, terutama
yang dipasok dari sumber baru;
b. Kajian terhadap pengawasan selama-proses yang kritis dan hasil pengujian produk jadi;
c. Kajian terhadap semua bets yang tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan dan
investigasi yang dilakukan;
e. Kajian terhadap semua perubahan yang dilakukan terhadap proses atau metode analisis;
f. Kajian terhadap variasi yang diajukan, disetujui, ditolak dari dokumen registrasi yang
telah disetujui termasuk dokumen registrasi untuk produk ekspor;
g. Kajian terhadap hasil program pemantauan stabilitas dan segala tren yang tidak
diinginkan;
h. Kajian terhadap semua produk kembalian, keluhan dan penarikan obat yang terkait
dengan mutu produk, termasuk investigasi yang telah dilakukan;
i. Kajian kelayakan terhadap tindakan perbaikan proses produk atau peralatan yang
sebelumnya;
j. Kajian terhadap komitmen pasca pemasaran dilakukan pada obat yang baru mendapatkan
persetujuan pendaftaran dan variasi persetujuan pendaftaran;
k. Status kualifikasi peralatan dan sarana yang relevan misal sistem tata udara
(HVAC), air, gas bertekanan, dan lain-lain; dan
l. Kajian terhadap Kesepakatan Teknis untuk memastikannya selalu mutakhir.
(BPOM, 2018).
Industri farmasi hendaklah melakukan evaluasi terhadap hasil kajian, dan suatu
penilaian hendaklah dibuat untuk menentukan apakah tindakan perbaikan dan pencegahan
ataupun validasi ulang hendaklah dilakukan. Alasan tindakan perbaikan hendaklah
didokumentasikan. Tindakan pencegahan dan perbaikan yang telah disetujui hendaklah
diselesaikan secara efektif dan tepat waktu. Hendaklah tersedia prosedur manajemen untuk
manajemen yang sedang berlangsung dan pengkajian aktivitas serta efektivitas prosedur
tersebut yang diverifikasi pada saat inspeksi diri. Bila dapat dibenarkan secara ilmiah,
pengkajian mutu dapat dikelompokkan menurut jenis produk, misal sediaan padat, sediaan
cair, produk steril, dan lain-lain (BPOM, 2018).
b. Tingkat usaha, formalitas dan dokumentasi dari proses manajemen risiko mutu sepadan
dengan tingkat risiko.
• Personalia
Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem
pemastian mutu yang memuaskan dan pembuatan obat yang benar. Oleh sebab itu
industri farmasi bertanggung jawab untuk menyediakan personil yang terkualifikasi
dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas. Tiap personil hendaklah
memahami tanggung jawab masing-masing dan dicatat. Seluruh personil hendaklah
memahami prinsip CPOB serta memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan,
termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan dengan pekerjaannya.
• Bangunan dan fasilitas
Untuk pembuatan obat harus memiliki desain, konstruksi dan letak yang memadai, serta
disesuaikan kondisinya dan dirawat dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan
operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk
memperkecil resiko terjadi kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain, serta
memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindarkan
pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran, dan dampak lain yang dapat
menurunkan mutu obat.
• Peralatan
Untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran
yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat, agar mutu obat
terjamin sesuai desain serta seragam dari bets-ke-bets dan untuk memudahkan
pembersihan serta perawatan agar dapat mencegah kontaminasi silang, penumpukan
debu atau kotoran dan, hal-hal yang umumnya berdampak buruk pada mutu produk.
• Produksi
Dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan; dan memenuhi
ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa menghasilkan produk yang memenuhi
persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar.
• Pengawasan Mutu
Merupakan bagian yang esensial dari Cara Pembuatan Obat yang Baik untuk
memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai
dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang
berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu
mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi produk jadi.
• Dokumentasi
Bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian
yang esensial dari pemastian mutu. Dokumentasi yang jelas adalah fundamental untuk
memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas yang relevan secara jelas dan
rinci sehingga memperkecil risiko terjadi salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya
timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, Dokumen Produksi
Induk/Formula Pembuatan, prosedur, metode dan instruksi, laporan dan catatan harus
bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis. Keterbacaan dokumen adalah sangat
penting.
BAB III
PEMBAHASAN
Untuk itu, FGD digelar BPOM dengan menghadirkan berbagai pihak yang terkait
keamanan jamu tradisional alami ini. Seperti pengusaha jamu tradisional, apoteker,
perwakilan pemerintah, hingga akademisi dari sejumlah perguruan tinggi di
Purwokerto.
BPOM mendorong agar industri jamu atau obat tradisioanl yang ada di wilayah eks
Karesidenan Banyumas ini untuk menggunakan jasa apoteker. Ini untuk
meminimalisir pengunaan BKO, dan agar produk jamu sesuai dengan standar
kesehatan.
"Kami berharap anggota UKM jamu yang belum punya ijin edar dan lainnya bisa
bergabung dan tidak lagi memproduksi jamu ilegal," kata Mukit.
Pemastian mutu suatu obat tidak hanya mengandalkan pada pelaksanaan pengujian
tertentu saja, namun obat hendaklah dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan dipantau
secara cermat. Prinsip dari manajemen mutu yaitu industri farmasi harus membuat obat
sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang
tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang
membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen
bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan Mutu”, yang
memerlukan partisipasi dan komitmen jajaran di semua departemen di dalam perusahaan,
para pemasok dan para distributor. Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat
diandalkan, diperlukan sistem Pemastian Mutu yang didesain secara menyeluruh dan
diterapkan secara benar serta menginkorporasi Cara Pembuatan Obat yang Baik termasuk
Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu. Hal ini hendaklah didokumentasikan dan
dimonitor efektivitasnya. Unsur dasar manajemen mutu adalah:
a. Suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat mencakup struktur organisasi,
prosedur, proses dan sumber daya; dan
Masih banyaknya jamu dengan kandungan bahan kimia obat (BKO) yang beredar di
pasaran menyebabkan citra jamu menjadi buruk. Hal ini harus terus menjadi perhatian
serius pemerintah, khususnya Badan Pengawas Obat dan Makanan serta Kementerian
Kesehatan, yang wajib memberantas peredaran jamu ilegal tersebut. Seperti yang
disampaikan Ketua Umum Asosiasi Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional
Indonesia (GP Jamu) Charles Saerang
Jamu yang harus dimusnahkan karena membuat citra jamu buruk. Jadi orang yang
buat BKO itu tidak punya rasa kebanggaan terhadap produk jamu,, pemerintah seharusnya
mengayomi keberadaan jamu sebagai aset budaya. Minimnya sosialisasi dan pembinaan
dalam memberi suatu kejelasan informasi tentang penggunaan jamu yang benar dianggap
sebagai suatu alasan kenapa peredaran jamu dengan BKO masih terus ada.
Pembinaan ini tidak sekadar di-sweeping, ditangkap. Tetapi, harus ada yang namanya
pendidikan terkait masalah kesadaran minum jamu yang benar," bebernya. Di sisi lain,
masyarakat juga harus diberikan pemahaman dan informasi yang benar bahwa jamu yang
memiliki khasiat langsung alias cespleng justru jenis jamu yang berbahaya karena
mengandung BKO.
Menurut Saerang, cara kerja dari jamu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan vitamin.
Butuh sebuah proses atau tahapan hingga seseorang dapat betul-betul merasakan
manfaatnya. Jadi, tidak tiba-tiba langsung terasa manfaatnya."Kalau yang cespleng dan
namanya aneh-aneh harus diwaspadai. Karena isinya bisa berupaparacetamol, steroid,
aspirin, yang kita tidak tahu berapa kadar atau dosisnya," ungkapnya.
Untuk mengatasi hal ini, Saerang meminta kepada Badan POM untuk teratur
melakukan samplingproduk jamu yang beredar di pasaran. GP Jamu juga diharapkan ikut
terlibat dalam rangka melaporkan temuan produk jamu yang disinyalir mengandung BKO
setiap bulannya. Jadi ini butuh kerja sama semua sektor, jangan jalan sendiri-sendiri.
Jamu yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) memang sudah dilarang oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun karena industrinya tidak dihentikan,
peredarannya semakin merajalela. Hasil temuan Yayasan Pemberdayaan Konsumen
Kesehatan Indonesia (YPKKI) berdasarkan survei selama Januari 2013 ini menunjukkan,
jamu mengandung BKO yang sebelumnya pernah ditarik oleh BPOM ternyata masih
banyak ditemukan di pasaran. Survei produk jamu mengandung BKO oleh YPKKI
dilakukan di lima kota besar Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, dan
Surabaya.
Setelah melakukan survei dalam waktu satu bulan, kami menemukan 56 produk yang
masih beredar dari sekitar 200 produk jamu mengandung BKO yang sudah diumumkan
oleh BPOM. Berarti produk-produk yang sudah ditarik tidak benar-benar bersih dari
peredaran," ujar Ketua Tim Survey YPKKI Antoni Tarigan, Rabu (29/1/2013), di kawasan
Cikini, Jakarta.
Bahwa produk-produk jamu dengan BKO yang banyak ditemukan adalah produk jamu
impor asal Cina. Ini artinya masih lemahnya hukum yang ada di
Indonesia yang membatasi impor jamu berbahaya. Di Cina malah tidak bisa temukan
produk-produk jamu dengan BKO itu. Beberapa produk bahkan sudah diberi public
warning lebih dari satu kali, namun tetap saja beredar di pasaran, ujar Antoni. bahwa
kemungkinan produk-produk jamu berbahaya ini mengganti nama dagang mereka agar
lolos dari pengawasan. Oleh karenanya, ia mengimbau masyarakat untuk terus waspada,
dan menghindari produk-produk jamu yang mencurigakan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemastian mutu suatu obat tidak hanya mengandalkan pada pelaksanaan pengujian tertentu
saja, namun obat hendaklah dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan dipantau secara cermat.
Prinsip dari manajemen mutu yaitu industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar
sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen
izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan penggunanya karena
tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif.
Jamu yang harus dimusnahkan karena membuat citra jamu buruk. Jadi orang yang
buat BKO itu tidak punya rasa kebanggaan terhadap produk jamu,, pemerintah
seharusnya mengayomi keberadaan jamu sebagai aset budaya. Minimnya sosialisasi dan
pembinaan dalam memberi suatu kejelasan informasi tentang penggunaan jamu yang
benar dianggap sebagai suatu alasan kenapa peredaran jamu dengan BKO masih terus
ada.
B. Saran
Perlu adanya tindak lanjuti oleh BPOM mengenai perusahaan jamu yang tidak
memiliki izin legal, pengawasan harus sebaik dan seketat mungkin, agar produk jamu
atau produk obat lainnya tidak tercemar hanya karena hadirnya jamu oplosan.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01309006/jamu-oplosan-rusak-citraindustri-jamu-
alami
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Tahun 2018
Tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik. 2012.
Jakarta.
Fatmawati, N. 2014. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di PT Kalbe Farma, Tbk.
Kawasan Industri Delta Silicon Jl. M.JH.Thamrin Blok A3-1, Lippo Cikarang, Bekasi
Periode 17 Juni-12 Juli dan 14 Agustus 2013. Fakultas Farmasi, Program Profesi
Apoteker, Universitas Indknesia. Jakarta
Sari, D. P., A.Susanty, & A.A.Wibowo. 2015. Perencangan Sistem Dokumentasi Mutu
Berdasarkan ISO9001:2008 di PT. Degepharm Semarang. Seminar Nasional IENACO.
Semarang