Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KASUS PENYIMPANGAN DISTRIBUSI OBAT

Dosen Pengampu:
Dosen : Dra. Apt, Pudiastuti RSP, M

Disusun Oleh :
Noela Riski Riani 24185671A
Teori 5

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Penulis mengucapkan
syukur kepada Tuhan atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat
fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah ini. Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis

Surakarta
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................
A. Latar Belakang...............................................................................
B. Perumusan Masalah.......................................................................
C. Tujuan Masalah..............................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................
A. Industri Farmasi.............................................................................
B. Manajemen Mutu Industri Farmasi................................................
BAB III PEMBAHASAN..........................................................................
A. Kasus CPOB 2018…………………………………………..............
B. Pembahasan Kasus Pelanggaran UU Narkotik..............................
BAB IV PENUTUP...................................................................................
A. Kesimpulan.....................................................................................
B. Saran...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada perkembangan zaman ini, masyarakat menginginkan kehidupan yang sehat, dan
kesehatan merupakan prioritas utama bagi masyarakat. Menurut UndangUndang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan merupakan keadaan sehat
baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomi. Kesehatan juga merupakan hak asasi manusia yang dimiliki setiap
masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang menyeluruh oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat secara terarah, terpadu dan
berkesinambungan, adil dan merata, serta aman, berkualitas, dan terjangkau oleh masyarakat.

Obat merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat. Ketersediaan obat dalam jumlah, jenis dan kualitas yang mencukupi menjadi
faktor penting dalam pembangunan kualitas pelayanan kesehatan nasional. Menurut CPOB
(Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik), obat adalah paduan bahan, termasuk
produk biologis, yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologis atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
dan peningkatan kesehatan untuk manusia. Obat tersebut dibuat oleh industri farmasi yang
telah memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau
bahan obat (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012:3)

Persaingan di industri farmasi yang semakin ketat mendorong setiap perusahaan farmasi
untuk menghasilkan obat yang bermutu, yaitu obat yang memenuhi persyaratan dalam
dokumen izin edar, tidak menimbulkan resiko yang dapat membahayakan pengguna dan
sesuai dengan tujuan penggunaannya. Mutu dari produk obat tersebut mutlak untuk dijaga
demi meningkatkan kepuasan pelanggan (Sari et all., 2015). Dalam persaingan di industri
farmasi yang semakin ketat setiap perusahaan farmasi dituntut untuk dapat menghasilkan obat
yang bermutu. Industri farmasi diharuskan memproduksi obat dengan sedemikian rupa
sehingga menghasilkan produk yang bermutu yaitu produk haruslah memenuhi persyaratan
yang tercantum dalam dokumen izin edar, tidak menimbulkan resiko yang dapat
membahayakan penggunanya dan sesuai dengan tujuan penggunaannya (Sari et all., 2015).

Maka dari itu berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik judul, pentingnya CPOB
dalam manajemen mutu industri farmasi agar menghasilkan produk yang baik sesuai CPOB
yang berlaku serta element tetpenting adalah izin dari BPOM mengenai produk yang dibuat
sebelum dipasarkan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kasus CPOB yang berhubungan dengan manajemen mutu industri farmasi?

2. Bagaiamana penanganan kasus terebut serta hubungannya terhadap penanganan kasus


industri farmasi?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui kasus CPOB yang berhubungan dengan manajemen mutu industri
farmasi?

2. Untuk mempelajari penanganan dalam kasus tersebut serta hubungan terhadap


penanganan kasus industri farmasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Industri Farmasi
Industri farmasi merupakan salah satu industri berbasis riset yang produknya diatur
secara ketat khususnya dalam hal mutu produk yang dihasilkan. Secara berkesinambungan
industri farmasi juga memerlukan inovasi, organisasi dan sistem pemasaran yang efektif,
serta promosi yang bersifat memberikan edukasi kepada konsumen. Industri farmasi
memiliki persyaratan khusus dalam manajemen mutu produknya yaitu harus memenuhi
aturan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) atau dikenal dengan Current Good
Manufacturing Practice (cGMP). Penerapan sistem manajemen mutu ini ditujukan untuk
menghasilkan obat yang berkualitas. Sesuai dengan Keputusan Menkes No
43/Menkes/SK/11/1988 tentang cara CPOB mengatur tentang penjaminan mutu obat yang
dihasilkan industri famasi di seluruh aspek melalui serangkaian kegiatan produksi. Sehingga
obat jadi yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu dan sesuai dengan tujuan
penggunaannya. Terkait dengan peraturan tersebut, industri farmasi harus bisa memenuhi
setiap aspek dalam CPOB.

Aspek-aspek yang harus dipenuhi dalam CPOB antara lain: Sistem Mutu, Personalia,
Bangunan dan Sarana Penunjang, Peralatan, Sanitasi dan Higiene, Produksi, Pengawasan
Mutu, Inspeksi Diri dan Audit Mutu, Penanganan Keluhan Terhadap Produk, Penarikan
Kembali Produk dan Produk Kembalian, Dokumentasi, Pembuatan dan Analisis
Berdasarkan Kontrak, Kualifikasi dan Validasi. Tujuannya agar perusahaan (industri
farmasi) ingin menghasilkan produk yang benar-benar memenuhi persyaratan yang
ditentukan dan sesuai dengan tujuan penggunaan.

Aspek-aspek CPOB yang diaplikasikan pada industri farmasi pada prinsipnya


memiliki kesamaan dengan aspek pada sistem manajemen mutu yang diterapkan di industri
lain seperti pada sistem manajemen mutu ISO 9000. Artinya perusahaan farmasi di
Indonesia telah menerapkan sistem manajemen mutu dengan memenuhi aspek aspek yang
terdapat dalam CPOB. Penerapan manajemen mutu ini pada akhirnya bertujuan untuk
meningkatkan kinerja perusahaan baik secara operasional dan bisnis. Dengan demikian
dapat dihipotesakan bahwa perusahaan farmasi yang telah menerapkan CPOB seharusnya
memiliki sistem manajemen mutu yang baik.

Untuk memperoleh izin usaha industry farmasi, diperlukan tahap persetujuan prinsip,
yang diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi setelah sebelumnya mengajukan permohonan Rencana Induk
Pembangunan (RIP) kepada Kepala Badan. Persetujuan Prinsip diberikan pada industry
farmasi untuk dapat langsung melakukan persiapan dan usaha pembangunan, pengadaan,
pemasangan instalasi, peralatan dan lain-lain yang diperlukan, termausk produksi percobaan
dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan di bidang obat. Persetujuan prinsip
tersebut selama jangka waktu 3 tahun dan selama jangka waktu tersebut, industri farmasi
yang bersangkutan harus menyampaikan laporan informasi kemajuan pembangunan fisik
setiap 6 bulan sekali kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.

B. Manajemen Mutu Industri Farmasi


Mutu dari suatu obat tersebut mutlak untuk dijaga, oleh karena itu diperlukan peran
serta setiap elemen yang ada di perusahaan (industri farmasi) termasuk manajemen dalam
menjaga mutu dari produk yang dihasilkan. Salah satu sistem manajemen mutu yang saat ini
sedang berkembang adalah sistem manajemen mutu yang didasarkan pada standar ISO yang
telah bertaraf internasional, dan di Indonesia kini harus menerapkan system CPOB (Cara
Pembuatan Obat yang Baik) (Sari et all., 2015). CPOB diterapkan untuk memastikan agar
mutu obat yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan penggunaan.mencakup
seluruh aspek produksi dan pengawasan mutu. CPOB merupakan pedoman yang sangat
penting, tidak hanya bagi industri farmasi dan regulator, tetapi juga bagi konsumen dalam
memenuhi kebutuhannya akan pengobatan yang aman, berkhasiat dan berkualitas
(Fatmawati, 2014).

Menurut Kepala Badan POM RI 5 tahun 2018 tentang Penerapan Pedoman Cara
Pembuatan Obat Yang Baik, pengertian dari Cara Pembuatan Obat yang Baik, yang
selanjutnya disingkat CPOB, adalah cara pembuatan obat yang bertujuan untuk memastikan
agar mutu obat yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan penggunaan. Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten,
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB
mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu.

Pemastian mutu suatu obat tidak hanya mengandalkan pada pelaksanaan pengujian
tertentu saja, namun obat hendaklah dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan dipantau
secara cermat. CPOB ini merupakan pedoman yang bertujuan untuk memastikan agar mutu
obat yang dihasilkan sesuai persyaratan dan tujuan penggunannya; bila perlu dapat
dilakukan penyesuaian pedoman dengan syarat bahwa standar mutu obat yang telah
ditentukan tetap dicapai. Pedoman ini juga dimaksudkan untuk digunakan oleh industri
farmasi sebagai dasar pengembangan aturan internal sesuai kebutuhan (BPOM, 2018).

Prinsip dari manajemen mutu yaitu industri farmasi harus membuat obat sedemikian
rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum
dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan
penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen bertanggung
jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan Mutu”, yang memerlukan
partisipasi dan komitmen jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok
dan para distributor. Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan,
diperlukan sistem Pemastian Mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara
benar serta menginkorporasi Cara Pembuatan Obat yang Baik termasuk Pengawasan Mutu
dan Manajemen Risiko Mutu. Hal ini hendaklah didokumentasikan dan dimonitor
efektivitasnya. Unsur dasar manajemen mutu adalah:

a. Suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat mencakup struktur organisasi, prosedur,
proses dan sumber daya; dan

b. Tindakan sistematis yang diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan tingkat


kepercayaan yang tinggi, sehingga produk (atau jasa pelayanan) yang dihasilkan akan
selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Keseluruhan tindakan tersebut disebut Pemastian Mutu. (BPOM, 2018).


Semua bagian sistem Pemastian Mutu hendaklah didukung dengan ketersediaan personil
yang kompeten, bangunan dan sarana serta peralatan yang cukup dan memadai. Tambahan
tanggung jawab legal hendaklah diberikan kepada kepala Manajemen Mutu (Pemastian
Mutu). Konsep dasar Pemastian Mutu, Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB),
Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu adalah aspek manajemen mutu yang saling
terkait (Kepala BPOM, 2018).

 Pemastian Mutu
Pemastian Mutu adalah suatu konsep luas yang mencakup semua hal baik secara
tersendiri maupun secara kolektif, yang akan memengaruhi mutu dari obat yang dihasilkan.
Pemastian Mutu adalah totalitas semua pengaturan yang dibuat dengan tujuan untuk
memastikan bahwa obat dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya.
Karena itu Pemastian Mutu mencakup CPOB ditambah dengan faktor lain seperti desain dan
pengembangan produk. Sistem Pemastian Mutu yang benar dan tepat bagi pembuatan obat
hendaklah memastikan bahwa:

a. desain dan pengembangan obat dilakukan dengan cara yang memerhatikan persyaratan
CPOB;

b. semua langkah produksi dan pengawasan diuraikan secara jelas dan CPOB diterapkan;

c. tanggung jawab manajerial diuraikan dengan jelas dalam uraian jabatan;


d. pengaturan disiapkan untuk pembuatan, pemasokan dan penggunaan bahan awal dan
pengemas yang benar;

e. semua pengawasan terhadap produk antara dan pengawasan selama-proses lain serta
dilakukan validasi;

f. pengkajian terhadap semua dokumen terkait dengan proses, pengemasan dan pengujian
tiap bets, dilakukan sebelum memberikan pengesahan pelulusan untuk distribusi produk
jadi. Penilaian hendaklah meliputi semua faktor yang relevan termasuk kondisi produksi,
hasil pengujian selama-proses, pengkajian dokumen pembuatan (termasuk pengemasan),
pengkajian penyimpangan dari prosedur yang telah ditetapkan, pemenuhan persyaratan
dari Spesifikasi Produk

Jadi dan pemeriksaan produk dalam kemasan akhir;


g. obat tidak dijual atau didistribusikan sebelum kepala Manajemen Mutu (Pemastian Mutu)
menyatakan bahwa tiap bets produksi dibuat dan dikendalikan sesuai dengan persyaratan
yang tercantum dalam izin edar dan peraturan lain yang berkaitan dengan aspek produksi,
pengawasan mutu dan pelulusan produk;
h. tersedia pengaturan yang memadai untuk memastikan bahwa, sedapat mungkin, produk
disimpan, didistribu-sikan dan selanjutnya ditangani sedemikian rupa agar mutu tetap
dijaga selama masa simpan obat;

i. tersedia prosedur inspeksi diri dan/atau audit mutu yang secara berkala mengevaluasi
efektivitas dan penerapan sistem Pemastian Mutu;

j. pemasok bahan awal dan bahan pengemas dievaluasi dan disetujui untuk memenuhi
spesifikasi mutu yang telah ditentukan oleh perusahaan;

k. penyimpangan dilaporkan, diselidiki dan dicatat;


l. tersedia sistem persetujuan terhadap perubahan yang berdampak pada mutu produk;

m. prosedur pengolahan ulang produk dievaluasi dan disetujui; dan


n. evaluasi berkala mutu obat dilakukan untuk verifikasi konsistensi proses dan memastikan
perbaikan proses yang berkesinambungan. (Kepala BPOM, 2018).

 Pengawasan Mutu
Pengawasan Mutu adalah bagian dari CPOB yang berhubungan dengan pengambilan
sampel, spesifikasi dan pengujian, serta dengan organisasi, dokumentasi dan prosedur
pelulusan yang memastikan bahwa pengujian yang diperlukan dan relevan telah dilakukan
dan bahwa bahan yang belum diluluskan tidak digunakan serta produk yang belum
diluluskan tidak dijual atau dipasok sebelum mutunya dinilai dan dinyatakan memenuhi
syarat. Setiap industri farmasi hendaklah mempunyai fungsi Pengawasan Mutu. Fungsi ini
hendaklah independen dari bagian lain. Sumber daya yang memadai hendaklah tersedia
untuk memastikan bahwa semua fungsi Pengawasan Mutu dapat dilaksanakan secara efektif
dan dapat diandalkan. Persyaratan dasar dari Pengawasan Mutu adalah bahwa:

a. Sarana dan prasarana yang memadai, personil yang terlatih dan prosedur yang disetujui
tersedia untuk pengambilan sampel, pemeriksaan dan pengujian bahan awal, bahan
pengemas, produk antara, produk ruahan dan produk jadi, dan bila perlu untuk
pemantauan lingkungan sesuai dengan tujuan CPOB;
b. Pengambilan sampel bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan dan
produk jadi dilakukan oleh personil dengan metode yang disetujui oleh Pengawasan
Mutu;

c. Metode pengujian disiapkan dan divalidasi;


d. Pencatatan dilakukan secara manual atau dengan alat pencatat selama pembuatan yang
menunjukkan bahwa semua langkah yang dipersyaratkan dalam prosedur pengambilan
sampel, inspeksi dan pengujian benar-benar telah dilaksanakan. Tiap penyimpangan
dicatat secara lengkap dan diinvestigasi;

e. Produk jadi berisi zat aktif dengan komposisi secara kualitatif dan kuantitatif sesuai
dengan yang disetujui pada saat pendaftaran, dengan derajat kemurnian yang
dipersyaratkan serta dikemas dalam wadah yang sesuai dan diberi label yang benar;

f. Dibuat catatan hasil pemeriksaan dan analisis bahan awal, bahan pengemas, produk
antara, produk ruahan, dan produk jadi secara formal dinilai dan dibandingkan terhadap
spesifikasi; dan

g. Sampel pertinggal bahan awal dan produk jadi disimpan dalam jumlah yang cukup untuk
dilakukan pengujian ulang bila perlu. Sampel produk jadi disimpan dalam kemasan akhir
kecuali untuk kemasan yang besar. (BPOM, 2018).

Pengawasan Mutu secara menyeluruh juga mempunyai tugas lain, antara lain
menetapkan, memvalidasi dan menerapkan semua prosedur pengawasan mutu,
mengevaluasi, mengawasi, dan menyimpan baku pembanding, memastikan kebenaran label
wadah bahan dan produk, memastikan bahwa stabilitas dari zat aktif dan produk jadi
dipantau, mengambil bagian dalam investigasi keluhan yang terkait dengan mutu produk,
dan ikut mengambil bagian dalam pemantauan lingkungan. Semua kegiatan tersebut
hendaklah dilaksanakan sesuai dengan prosedur tertulis dan dicatat. Personil Pengawasan
Mutu hendaklah memiliki akses ke area produksi untuk melakukan pengambilan sampel dan
investigasi bila diperlukan (Kepala BPOM, 2018).

 Pengkajian Mutu Produk


Pengkajian mutu produk secara berkala hendaklah dilakukan terhadap semua obat
terdaftar, termasuk produk ekspor, dengan tujuan untuk membuktikan konsistensi proses,
kesesuaian dari spesifikasi bahan awal, bahan pengemas dan produk jadi, untuk melihat tren
dan mengidentifikasi perbaikan yang diperlukan untuk produk dan proses. Pengkajian mutu
produk secara berkala biasanya dilakukan tiap tahun dan didokumentasikan, dengan
mempertimbangkan hasil kajian ulang sebelumnya dan hendaklah meliputi paling sedikit:

a. Kajian terhadap bahan awal dan bahan pengemas yang digunakan untuk produk, terutama
yang dipasok dari sumber baru;

b. Kajian terhadap pengawasan selama-proses yang kritis dan hasil pengujian produk jadi;

c. Kajian terhadap semua bets yang tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan dan
investigasi yang dilakukan;

d. Kajian terhadap semua penyim-pangan atau ketidaksesuaian yang signifikan, dan


efektivitas hasil tindakan perbaikan dan pencegahan;

e. Kajian terhadap semua perubahan yang dilakukan terhadap proses atau metode analisis;

f. Kajian terhadap variasi yang diajukan, disetujui, ditolak dari dokumen registrasi yang
telah disetujui termasuk dokumen registrasi untuk produk ekspor;

g. Kajian terhadap hasil program pemantauan stabilitas dan segala tren yang tidak
diinginkan;

h. Kajian terhadap semua produk kembalian, keluhan dan penarikan obat yang terkait
dengan mutu produk, termasuk investigasi yang telah dilakukan;

i. Kajian kelayakan terhadap tindakan perbaikan proses produk atau peralatan yang
sebelumnya;

j. Kajian terhadap komitmen pasca pemasaran dilakukan pada obat yang baru mendapatkan
persetujuan pendaftaran dan variasi persetujuan pendaftaran;

k. Status kualifikasi peralatan dan sarana yang relevan misal sistem tata udara
(HVAC), air, gas bertekanan, dan lain-lain; dan
l. Kajian terhadap Kesepakatan Teknis untuk memastikannya selalu mutakhir.
(BPOM, 2018).
Industri farmasi hendaklah melakukan evaluasi terhadap hasil kajian, dan suatu
penilaian hendaklah dibuat untuk menentukan apakah tindakan perbaikan dan pencegahan
ataupun validasi ulang hendaklah dilakukan. Alasan tindakan perbaikan hendaklah
didokumentasikan. Tindakan pencegahan dan perbaikan yang telah disetujui hendaklah
diselesaikan secara efektif dan tepat waktu. Hendaklah tersedia prosedur manajemen untuk
manajemen yang sedang berlangsung dan pengkajian aktivitas serta efektivitas prosedur
tersebut yang diverifikasi pada saat inspeksi diri. Bila dapat dibenarkan secara ilmiah,
pengkajian mutu dapat dikelompokkan menurut jenis produk, misal sediaan padat, sediaan
cair, produk steril, dan lain-lain (BPOM, 2018).

 Manajemen Resiko Mutu


Manajemen risiko mutu adalah suatu proses sistematis untuk melakukan penilaian,
pengendalian dan pengkajian risiko terhadap mutu suatu produk. Hal ini dapat diaplikasikan
secara proaktif maupun retrospektif. Manajemen risiko mutu hendaklah memastikan bahwa:

a. Evaluasi risiko terhadap mutu dilakukan berdasarkan pengetahuan secara ilmiah,


pengalaman dengan proses dan pada akhirnya terkait pada perlindungan pasien;

b. Tingkat usaha, formalitas dan dokumentasi dari proses manajemen risiko mutu sepadan
dengan tingkat risiko.

(Kepala BPOM, 2018).


Dalam mewujudkan pelaksanaan sistem Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
diperlukan pula aspek lainnya sehingga industri farmasi dapat membuat obat sedemikian
rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, yaitu:

• Personalia
Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem
pemastian mutu yang memuaskan dan pembuatan obat yang benar. Oleh sebab itu
industri farmasi bertanggung jawab untuk menyediakan personil yang terkualifikasi
dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas. Tiap personil hendaklah
memahami tanggung jawab masing-masing dan dicatat. Seluruh personil hendaklah
memahami prinsip CPOB serta memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan,
termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan dengan pekerjaannya.
• Bangunan dan fasilitas
Untuk pembuatan obat harus memiliki desain, konstruksi dan letak yang memadai, serta
disesuaikan kondisinya dan dirawat dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan
operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk
memperkecil resiko terjadi kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain, serta
memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindarkan
pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran, dan dampak lain yang dapat
menurunkan mutu obat.

• Peralatan
Untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran
yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat, agar mutu obat
terjamin sesuai desain serta seragam dari bets-ke-bets dan untuk memudahkan
pembersihan serta perawatan agar dapat mencegah kontaminasi silang, penumpukan
debu atau kotoran dan, hal-hal yang umumnya berdampak buruk pada mutu produk.

• Sanitasi dan hygiene


Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap aspek
pembuatan obat. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personil, bangunan,
peralatan dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, bahan pembersih dan
desinfeksi, dan segala sesuatu yang dapat merupakan sumber pencemaran produk.
Sumber pencemaran potensial hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi
dan higiene yang menyeluruh dan terpadu.

• Produksi
Dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan; dan memenuhi
ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa menghasilkan produk yang memenuhi
persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar.

• Pengawasan Mutu
Merupakan bagian yang esensial dari Cara Pembuatan Obat yang Baik untuk
memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai
dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang
berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu
mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi produk jadi.

• Inspeksi diri, audit mutu dan audit persetujuan pemasok


Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan
pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB. Program inspeksi diri
hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk
menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan. Inspeksi diri hendaklah dilakukan
secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan yang dapat
mengevaluasi penerapan CPOB secara obyektif. Inspeksi diri hendaklah dilakukan
secara rutin dan, di samping itu, pada situasi khusus, misalnya dalam hal terjadi
penarikan kembali obat jadi atau terjadi penolakan yang berulang. Semua saran untuk
tindakan perbaikan supaya dilaksanakan. Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaklah
didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang efektif.

• Penanganan keluhan terhadap produk dan penarikan kembali produk


Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi
kerusakan obat harus dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis. Untuk
menangani semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun suatu sistem, bila perlu
mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga cacat dari peredaran
secara cepat dan efektif.

• Dokumentasi
Bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian
yang esensial dari pemastian mutu. Dokumentasi yang jelas adalah fundamental untuk
memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas yang relevan secara jelas dan
rinci sehingga memperkecil risiko terjadi salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya
timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, Dokumen Produksi
Induk/Formula Pembuatan, prosedur, metode dan instruksi, laporan dan catatan harus
bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis. Keterbacaan dokumen adalah sangat
penting.

• Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak


Dibuat secara benar, disetujui dan dikendalikan untuk menghindarkan kesalahpahaman
yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan.
Kontrak tertulis antara Pemberi Kontrak dan Penerima Kontrak harus dibuat secara jelas
yang menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak harus
menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk diedarkan yang
menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu).

• Kualifikasi dan Validasi


CPOB mensyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang perlu
dilakukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan yang
dilakukan. Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan danproses yang dapat
memengaruhi mutu produk hendaklah divalidasi. Pendekatan dengan kajian risiko
hendaklah digunakan untuk menentukan ruang lingkup dan cakupan validasi. (BPOM,
2018).

BAB III
PEMBAHASAN

A. Kasus CPOB 2018 Bagian Sistim Mutu Industri Farmasi


PURWOKERTO, (PR).- Tingginya kasus jamu tradisional oplosan (campuran)
dengan bahan kimia obat (BKO) di Kabupaten Banyumas dan Cilacap, Jawa
Tengah, telah memukul industri penghasil jamu berbahan alami di wilayah tersebut.

Padahal masih banyak produsen yang menghasilkan jamu berbahan alami di


Kabupaten Banyumas dan Cilacap. Kini mereka sulit tumbuh meski sudah
menggandeng jasa apoteker."Selama ini wilayah Banyumas dan Cilacap, dikenal
sebagai penghasil jamu yang mengandung BKO. Padahal di wilayah ini banyak
tumbuh produsen jamu alami. Namun citra buruk sudah melekat, sehinga produksi
jamu alami sekalipun dicurigai sebagai jamu tradisional dengan kandungan BKO,"
kata Kepala Loka Pengawas Obat dan Makanan (POM) Banyumas, Sulianto disela-
sela acara forum group discussion (FGD) di Purwokerto, Selasa, 26 Maret 2019.
Karena pengusaha jamu yang nakal tetap saja ada, maka dari itu BPOM dan
Kepolisian baik tingkat polres hingga polda terus menggelar razia. Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Purwokerto, terus mendorong kepada
pengusaha jamu atau obat tradisional yang ada di wilayah Banyumas dan Cilacap
untuk meninggalkan bahan kimia obat (BKO).

Untuk itu, FGD digelar BPOM dengan menghadirkan berbagai pihak yang terkait
keamanan jamu tradisional alami ini. Seperti pengusaha jamu tradisional, apoteker,
perwakilan pemerintah, hingga akademisi dari sejumlah perguruan tinggi di
Purwokerto.

BPOM mendorong agar industri jamu atau obat tradisioanl yang ada di wilayah eks
Karesidenan Banyumas ini untuk menggunakan jasa apoteker. Ini untuk
meminimalisir pengunaan BKO, dan agar produk jamu sesuai dengan standar
kesehatan.

Ketua Perkumpulan Pelaku Jamu Alami Indonesia (PPJAI) Mukit Hendrayatno


mengakui, dari ratusan perusahaan jamu tradisional di wilayah Banyumas dan
Cilacap namun baru 10 perusahan yang telah mengantongi ijin. Perusahaan ini
juga sudah mempergunakan apoteker sebagai tenaga ahli, sisanya merupakan
perusahan ilegal.

"Kami berharap anggota UKM jamu yang belum punya ijin edar dan lainnya bisa
bergabung dan tidak lagi memproduksi jamu ilegal," kata Mukit.

B. Pembahasan Kasus CPOB 2018 Bagian Sistim Mutu Industri Farmasi


Berdasarkan kasus “Jamu Oplosan Rusak Citra Industri Jamu
Alami” Menurut Kepala Badan POM RI 5 tahun 2018 tentang CPOB, adalah cara
pembuatan obat yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan sesuai
dengan persyaratan dan tujuan penggunaan. Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek
produksi dan pengendalian mutu.

Pemastian mutu suatu obat tidak hanya mengandalkan pada pelaksanaan pengujian
tertentu saja, namun obat hendaklah dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan dipantau
secara cermat. Prinsip dari manajemen mutu yaitu industri farmasi harus membuat obat
sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang
tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang
membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen
bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan Mutu”, yang
memerlukan partisipasi dan komitmen jajaran di semua departemen di dalam perusahaan,
para pemasok dan para distributor. Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat
diandalkan, diperlukan sistem Pemastian Mutu yang didesain secara menyeluruh dan
diterapkan secara benar serta menginkorporasi Cara Pembuatan Obat yang Baik termasuk
Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu. Hal ini hendaklah didokumentasikan dan
dimonitor efektivitasnya. Unsur dasar manajemen mutu adalah:

a. Suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat mencakup struktur organisasi,
prosedur, proses dan sumber daya; dan

b. Tindakan sistematis yang diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan


tingkat kepercayaan yang tinggi, sehingga produk (atau jasa pelayanan) yang dihasilkan
akan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Keseluruhan tindakan tersebut
disebut Pemastian Mutu. (BPOM, 2018).

Semua bagian sistem Pemastian Mutu hendaklah didukung dengan ketersediaan


personil yang kompeten, bangunan dan sarana serta peralatan yang cukup dan memadai.
Tambahan tanggung jawab legal hendaklah diberikan kepada kepala Manajemen Mutu
(Pemastian Mutu). Konsep dasar Pemastian Mutu, Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB), Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu adalah aspek manajemen mutu
yang saling terkait (BPOM, 2018).

Masih banyaknya jamu dengan kandungan bahan kimia obat (BKO) yang beredar di
pasaran menyebabkan citra jamu menjadi buruk. Hal ini harus terus menjadi perhatian
serius pemerintah, khususnya Badan Pengawas Obat dan Makanan serta Kementerian
Kesehatan, yang wajib memberantas peredaran jamu ilegal tersebut. Seperti yang
disampaikan Ketua Umum Asosiasi Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional
Indonesia (GP Jamu) Charles Saerang

Jamu yang harus dimusnahkan karena membuat citra jamu buruk. Jadi orang yang
buat BKO itu tidak punya rasa kebanggaan terhadap produk jamu,, pemerintah seharusnya
mengayomi keberadaan jamu sebagai aset budaya. Minimnya sosialisasi dan pembinaan
dalam memberi suatu kejelasan informasi tentang penggunaan jamu yang benar dianggap
sebagai suatu alasan kenapa peredaran jamu dengan BKO masih terus ada.
Pembinaan ini tidak sekadar di-sweeping, ditangkap. Tetapi, harus ada yang namanya
pendidikan terkait masalah kesadaran minum jamu yang benar," bebernya. Di sisi lain,
masyarakat juga harus diberikan pemahaman dan informasi yang benar bahwa jamu yang
memiliki khasiat langsung alias cespleng justru jenis jamu yang berbahaya karena
mengandung BKO.

Menurut Saerang, cara kerja dari jamu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan vitamin.
Butuh sebuah proses atau tahapan hingga seseorang dapat betul-betul merasakan
manfaatnya. Jadi, tidak tiba-tiba langsung terasa manfaatnya."Kalau yang cespleng dan
namanya aneh-aneh harus diwaspadai. Karena isinya bisa berupaparacetamol, steroid,
aspirin, yang kita tidak tahu berapa kadar atau dosisnya," ungkapnya.

Untuk mengatasi hal ini, Saerang meminta kepada Badan POM untuk teratur
melakukan samplingproduk jamu yang beredar di pasaran. GP Jamu juga diharapkan ikut
terlibat dalam rangka melaporkan temuan produk jamu yang disinyalir mengandung BKO
setiap bulannya. Jadi ini butuh kerja sama semua sektor, jangan jalan sendiri-sendiri.

Jamu yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) memang sudah dilarang oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun karena industrinya tidak dihentikan,
peredarannya semakin merajalela. Hasil temuan Yayasan Pemberdayaan Konsumen
Kesehatan Indonesia (YPKKI) berdasarkan survei selama Januari 2013 ini menunjukkan,
jamu mengandung BKO yang sebelumnya pernah ditarik oleh BPOM ternyata masih
banyak ditemukan di pasaran. Survei produk jamu mengandung BKO oleh YPKKI
dilakukan di lima kota besar Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, dan
Surabaya.

Setelah melakukan survei dalam waktu satu bulan, kami menemukan 56 produk yang
masih beredar dari sekitar 200 produk jamu mengandung BKO yang sudah diumumkan
oleh BPOM. Berarti produk-produk yang sudah ditarik tidak benar-benar bersih dari
peredaran," ujar Ketua Tim Survey YPKKI Antoni Tarigan, Rabu (29/1/2013), di kawasan
Cikini, Jakarta.

Bahwa produk-produk jamu dengan BKO yang banyak ditemukan adalah produk jamu
impor asal Cina. Ini artinya masih lemahnya hukum yang ada di

Indonesia yang membatasi impor jamu berbahaya. Di Cina malah tidak bisa temukan
produk-produk jamu dengan BKO itu. Beberapa produk bahkan sudah diberi public
warning lebih dari satu kali, namun tetap saja beredar di pasaran, ujar Antoni. bahwa
kemungkinan produk-produk jamu berbahaya ini mengganti nama dagang mereka agar
lolos dari pengawasan. Oleh karenanya, ia mengimbau masyarakat untuk terus waspada,
dan menghindari produk-produk jamu yang mencurigakan.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemastian mutu suatu obat tidak hanya mengandalkan pada pelaksanaan pengujian tertentu
saja, namun obat hendaklah dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan dipantau secara cermat.
Prinsip dari manajemen mutu yaitu industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar
sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen
izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan penggunanya karena
tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif.

Jamu yang harus dimusnahkan karena membuat citra jamu buruk. Jadi orang yang
buat BKO itu tidak punya rasa kebanggaan terhadap produk jamu,, pemerintah
seharusnya mengayomi keberadaan jamu sebagai aset budaya. Minimnya sosialisasi dan
pembinaan dalam memberi suatu kejelasan informasi tentang penggunaan jamu yang
benar dianggap sebagai suatu alasan kenapa peredaran jamu dengan BKO masih terus
ada.

B. Saran
Perlu adanya tindak lanjuti oleh BPOM mengenai perusahaan jamu yang tidak
memiliki izin legal, pengawasan harus sebaik dan seketat mungkin, agar produk jamu
atau produk obat lainnya tidak tercemar hanya karena hadirnya jamu oplosan.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01309006/jamu-oplosan-rusak-citraindustri-jamu-
alami

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Tahun 2018
Tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik. 2012.

Jakarta.
Fatmawati, N. 2014. Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di PT Kalbe Farma, Tbk.
Kawasan Industri Delta Silicon Jl. M.JH.Thamrin Blok A3-1, Lippo Cikarang, Bekasi
Periode 17 Juni-12 Juli dan 14 Agustus 2013. Fakultas Farmasi, Program Profesi
Apoteker, Universitas Indknesia. Jakarta

Sari, D. P., A.Susanty, & A.A.Wibowo. 2015. Perencangan Sistem Dokumentasi Mutu
Berdasarkan ISO9001:2008 di PT. Degepharm Semarang. Seminar Nasional IENACO.
Semarang

Anda mungkin juga menyukai