Anda di halaman 1dari 25

PENELITIAN TINDAKAN BIMBINGAN DAN KONSELING

“Pelaksanaan Konseling Individual dengan Teknik Asertif dalam Upaya


Menghilangkan Kebiasaan Merokok pada Siswa SMKN 2 Kendari”

Oleh:

MUH. NURUL HAQ

A1Q117044

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konseling Individual


2.1.1 Pengertian Konseling Individual
Konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan
seseorang dengan seseorang yaitu individu yang mengalami
masalah yang tidak dapat diatasinya, dengan seorang petugas
profesional yang telah memperoleh latihan dan pengalaman untuk
membantu agar klien memecahkan kesulitannya (Sofyan, 2007:18).
Konseling individual yaitu layanan bimbingan dan
konseling yang memungkinkan peserta didik atau konseli
mendapatkan layanan langsung tatap muka dengan guru
pembimbing dalam rangka pembahasn pengentasan masalah
pribadi yang diderita konseli (Hellen, 2005:84)
Pengertian konseling individual mempunyai makna spesifik
dalam arti pertemuan konselor dengan klien secara individual, di
mana terjadi hubungan konseling yang bernuansa rapport, dan
konselor berupaya memberikan bantuan untuk pengembangan
pribadi klien serta klien dapat mengantisipasi masalah-masalah
yang dihadapinya (Sofyan, 2007:159).
Konseling individual adalah kunci semua kegiatan
bimbingan dan konseling. Karena jika menguasai teknik konseling
individual berarti akan mudah menjelaskan proses konseling yang
lain. Proses konseling individu berpengaruh besar terhadap
peningkatan klien karena pada konseling individu konselor
berusaha meningkatkan sikap sisa dengan cara berinteraksi selama
jangka waktu tertentu dengan cara bertatap muka secara langsung
untuk menghasilkan peningkatan-peningkatan pada diri klien, baik
cara berpikir, berperasaan, sikap, dan perilaku (Holipah, 2011)
Konseling ditujukan pada individu yang normal, yang
menghadapi kesukaran dalam mengalami masalah pendidikan,
pekerjaan dan sosial di mana ia tidak dapat memilih dan
memutuskan sendiri. Dapat disimpulkan bahwa konseling hanya
ditujukan pada individu-individu yang sudah menyadari kehidupan
pribadinya.
Isi layanan konseling individu tidak ditentukan oleh
konselor sebelum proses konseling dilaksanakan. Dengan
perkataan lain, masalah yang dibicarakan dalam konseling individu
tidak ditetapkan oleh konselor sebelum proses konseling
dilaksanakan. Masalah sesungguhnya baru dapat diketahui setelah
dilakukan identifikai baru ditetapkan masalah yang mana yang
akan dibicarakan (yang menjadi isi layanan konseling perorangan)
sebaiknya ditentukan oleh peserta layanan sendiri dengan
mendapat pertimbangan dari konselor.
Masalah-masalah yang bisa dijadikan isi layanan konseling
individu mencakup: (a) masalah-masalah yang berkenaan dengan
bidang pengembangan pribadi, (b) bidang pengembangan sosial.
(c) bidang pengembangan karir, (d) bidang pengembangan
pendidikan atau kegiatan belajar, (e) bidang pengembangan
kehidupan berkeluarga, dan (f) bidang pengembangan kehidupan
beragama.

2.1.2 Tujuan dan Fungsi Layanan Konseling Individual

Tujuan umum konseling individu adalah membantu klien


menstrukturkan kembali masalahnya dan menyadari gaya hidup
serta mengurangi penilaian negatif terhadap dirinya sendiri serta
perasaan-perasaan inferioritasnya. Kemudian membantu dalam
mengoreksi persepsinya terhadap lingkungan, agar klien bis
mengarahkan tingkah laku serta mengembangkan kembali minat
sosialnya (Prayitno, 2005:52)

Lebih lanjut Prayitno (2005) mengemukakan tujuan khusus


konseling individu dalam 5 hal. Yakni , fungsi pemahaman, fungsi
pengentasan, fungsi pengembangan atau pemeliharaan, fungsi
pencegahan dan fungsi advokasi.
Secara lebih khusus, tujuan layanan konseling individu
adalah merujuk kepada fungsi-fungsi bimbingan dan konseling
sebagaimana telah dikemukakan di atas. Pertama, merujuk kepada
fungsi pemahaman, maka tujuan layanan konseling adalah agar
klien memahami seluk beluk yang dialami secara mendalam dan
komprehensif, positif dan dinamis. Kedua, merujuk kepada fungsi
pengentasan, maka layanan konseling individu bertujuan untuk
mengentaskan klien dari masalah yang dihadapinya. Ketiga, dilihat
dari fungsi pengembangan dan pemeliharaan, tujuan layanan
konseling individu adalah untuk mengembangkan potensi-potensi
individu dan memelihara unsur-unsur positif yang ada pada diri
klien. Dan seterusnya sesuai dengan fungsi-fungsi bimbingan dan
konseling di atas.
Adapun tujuan layanan konseling individu adalah sebagai
berikut:

1. Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai


keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik
dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman
sebaya, sekolah, tempat kerja, maupun masyarakat pada
umumya.
2. Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain saling
menghormati dan memilihara hak dan kewajibannya masing-
masing.
3. Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat
fluktuatif antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak
menyenangkan (musibah), serta mampu meresponnya secara
positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
4. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan
konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun
kelemahan, baik fisik maupun psikis.
5. Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan
orang lain.
6. Memiliki kemampuan melakukan pilihan secara sehat.
7. Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau
menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga
dirinya.
8. Memiliki rasa tanggung jawab yang diwujukan dalam bentuk
komitmen terhadap tugas atau kewajibannya.
9. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial, yang diwujudkan
dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau
silaturahim dengan sesama manusia.
10. Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah)
baik bersifat internal maupun orang lain.
11. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara
efektif. (Syamsu, 2005:14)

Dari fungsi-fungsi di atas, sangatlah jelas bahwa tujuan


layanan konseling individu adalah untuk membantu
mengembangkan potensi dan memahami seluk beluk permasalahan
dengan sangat positif dan dinamis. Agar peseta didik dapat
menghadapi setiap situasi lingkungan lebih baik.
2.1.3 Tahap Layanan Konseling Individu

Konseling mengandung suatu proses komunikasi antar


pribadi yang berlangsung melalui saluran komunikasi verbal dan
non verbal. Dengan menciptakan kondisi-kondisi seperti empati,
penerimaan serta penghargaan, keikhlasan serta kejujuran, dan
perhatian yang tulen (W.S. Winkel, 2006:316).
Setiap tahapan proses konseling individu membutuhkan
keterampilan-keterampilan khusus. Namun keterampilan-
keterampilan itu bukanlah yang utama jika hubungan konseling
individu tidak mencapai rapport. Dengan demikian proses
konseling individu ini tidak dirasakan oleh peserta konseling
sebagai hal yang menjemukan. Akibatnya, keterlibatan mereka
dalam proses konseling sejak awal hingga akhir dirasakan sangat
bermakna dan berguna. Secara umum proses konseling individu
dibagi atas tiga tahapan (Sofyan, 2007:51) yaitu:
1. Tahap Awal Konseling
Tahap ini terjadi sejak klien menemui konselor hingga
berjalan proses konseling sampai konselor dan klien
menemukan definisi masalah klien atas dasar isu, kepedulian,
atau masalah klien. Adapun proses konseling tahap awal
sebagai berikut:
a. Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien
Hubungan konseling bermakna ialah jika klien terlibat
berdiskusi dengan konselor. Hubungan tersebut dinamakan
a working relationship, yakni hubungan yang berfungsi,
bermakna dan berguna. Keberhasilan proses konseling
individu amat ditentukan oleh keberhailan pada tahap awl
ini. Kunci keberhasilan terletak pada: (pertama)
keterbukaan konselor, (kedua) keterbukaan klien, artinya
dia dengan jujur mengungkapkan isi hati, perasaan,
harapan, dan sebagainya. Namun, keterbukaan ditentukan
oleh faktor konselor yakni dapat dipercayai klien karea dia
tidak berpura-pura, akan tetapi jujur, asli, mengerti, dan
menghargai, (ketiga) konselor mampu melibatkan klien
terus menerus dalam proses konseling. Karena dengan
demikian, maka proses konseling individu akan lancar dan
segera dapat mencapai tujuan konseling individu.
b. Memperjelas dan mendefinisikan masalah
Jika hubungan konseling telah terjalin dengan baik
dimana klien telah melibatkan diri, berarti kerjasama antara
konselor dengan klien akan dapat mengangkat isu,
kepedulian, atau masalah yang ada pada klien. Seiring klien
tidak begitu mudah menjelaskan masalahnya, walaupun
mungkin dia hanya mengetahui gejala-gejala yang
dialaminya. Karena itu amatlah penting peran konselor
untuk membantu memperjelas masalah klien. Demikian
pula klien tidak memahami potensi apa yang dimilikinya,
maka tugas konselor untuk membantu mengembangkan
potensi, memperjelas masalah, dan membantu
mendefinisikan masalahnya bersama-sama.
c. Membuat penafsiran dan penjajakan
Konselor berusaha menjajaki atau menaksir
kemungkinan mengembangkan isu atau masalah, dan
merancang bantuan yang mungkn dilakukan, yaitu dengan
membangkitkan semua potensi klien dan dia proses
menentukan berbagai alternatif yang sesuai bagi antisipasi
masalah.
d. Menegosiasi kontrak
Kontrak artinya perjanjian antara konselor dengan
klien. Hal itu berisi: (1) kontrak waktu, yaitu berapa lama
waktu yang diinginkan untuk pertemuan dengan klien, dan
apakah konselor bersedia, (2) kontrak tugas, artinya
konseor mengetahui tugasnya, demikian dengan klien, (3)
kontrak kerjasama dalam proses konseling. Kontrak
menggariskan kegiatan konseling, termasuk kegiatan klien
dan konselor. Artinya mengandung makna bahwa konseling
adalah urusan yang saling ditunjuk, dan bukan pekerjaan
konselor sebagai ahli. Disamping itu juga mengandung
makna tanggung jawab klien, dan ajakan untuk kerjasama
dalam proses konseling.
2. Tahap Pertengahan (Tahap Kerja)
Kegiatan selanjutnya adalah memfokuskan pada: (1)
penjelajahan masalah klien; (2) bantuan apa yang akan
diberikan berdasarjan penilaian kembali apa yang telah
dijelajah tentang masalah klien.
Menilai kembali masalah klien akan membantu klien
memperoleh perspektif baru, alternatif baru, yang mungkin
berbeda dari sebelumnya, dalam rangka mengambil keputusan
dan tindakan. Dengan adanya perspektif baru, berarti ada
dinamika pada diri klien menuju perubahan. Tanpa perspektif
maka klien akan sulit untuk berubah. Adapun tujuan dari tahap
pertengahan ini yaitu:
a. Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah, isu dan
kepedulian klien lebih jauh.
Dengan penjelajahan ini, konseor berusaha agar
kliennya mempunyai perspektif dan alternatif baru terhadap
masalahnya. Konselor mengadakan re-assesment (penilaian
kembali) dengan melibatkan klien, artinya masalah itu
dinilai bersama-sama. Jika klien bersemangat, berarti dia
sudah terlibat dan terbuka. Dia akan melihat masalahnya
dari perspektif yang lain yang lebih objektif dan mungkin
pula berbagai alternatif.
b. Menjaga agar hubungan konseling selalu terpelihara
Hal ini bisa terjadi jika: pertama, klien merasa senang
terlibat dalam pembicaraan atau wawancara konseling, serta
menampakkan kebutuhan untuk mengembangkan potensi
diri dan memecahkan masalahnya. Kedua, konselor
berupaya kreatif dengan keterampilan yang bervariasi, serta
memelihara keramahan, empati, kejujuran, keikhlasan
dalam memberi bantuan. Kreativitas konselor dituntut pula
untuk membantu klien menemukan berbagai alternatif
sebagai upaya untuk menyusun rencana bagi penyelesaian
masalah dari pengembangan diri.
c. Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak
Kontrak dinegosiasikan agar memperlancar proses
konseling. Karena itu konselor dan klien agar selalu
menjaga perjanjian dan selalu mengingat dalam pikirannya.
Pada tahap pertengahan konseling ada lagi beberapa
strategi yang perlu digunakan konselor yaitu: pertama,
mengkomunikasikan nilai-nilai inti, yakni agar klien selalu
jujur dan terbuka, dan menggali lebih dalam masalahnya.
Karena kondisi sudah amat kondusif, maka klien sudah
merasa aman, dekat, terundang sehingga dia mempunyai
strategi baru dan rencana baru, melalui pilihan dari
beberapa alternatif, untuk meningkatkan dirinya.
3. Tahap Akhir Konseling (Tahap Tindakan)
Pada tahap akhir konseling tindai beberapa hal yaitu:
a. Menurunnya kecemasn klien. Hal ini diketahui setelah
konseor menanyakan kecemasannya.
b. Adanya perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif,
sehat dan dinamis.
c. Adanya rencana hidup masa yang akan datang dengan
program yang jelas.
d. Terjadinya perubahan sikap positif, yaitu mulai dapat
mengoreksi diri dan meniadakan sikap yang suka
menyalahkan dunia luar, seperti orang tua, guru, teman,
keadaan tidak menguntungkan dan sebagainya. Jadi klien
sudah berfikir realistik dan percaya diri.
Tujuan-tujuan tahap akhir adalah sebagai berikut:
a. Memutuskan perubahan sikap dan perilaku yang memadai
Klien dapat melakukan keputusn tersebut karena dia
sejak awal sudah menciptakan berbagai alternatif dan
mendiskusikannya dengan konselor, lalu klien memutuskan
alternatif mana yang terbaik. Pertimbangan keputusan itu
tentunya berdasarkan kondisi objektif yang ada pada diri
dan di luar diri. Saat ini klien sudah berpikir realitstik dan
sudah mengetahui keputusan yang mungkin dapat
dilaksanakan sesuai tujuan utama yang ia inginkan.
b. Terjadinya transfer of learning pada diri klien
Klien belajar dari proses konseling mengenai
perilakunya dan hal-hal yang membuatnya terbuka untuk
mengubah perilakunya di luar proses konseling. Artinya,
klien mengambil makna dari hubungan konseling untuk
kebutuhan akan suatu perubahan.
c. Melaksanakan perubahan perilaku
Pada akhir konseling klien akan sadar akan perubahan
sikap dan perilakunya. Sebab klien datang meminta bantuan
atas kesadaran akan perlunya perubahan pada dirinya,
d. Mengakhiri hubungan konseling
Mengakhiri konseling harus atas persetujuan klien.
Sebelum mengakhiri konseling ada beberapa tugas klien
yaitu: pertama, membuat kesimpulan-kesimpulan mengenai
hasil proses konseling. Kedua, mengevaluasi jalannya
proses konseling. Ketiga, membuat perjanjian untuk
pertemuan berikutnya.

2.1.4 Kegiatan Pendukung Konseling Individu

Sebagaimana layanan-layanan lain, konseling individu juga


memerlukan kegiatan pendukung. Adapun kegiatan-kegiatan
pendukung layanan konseling individu adalah: aplikasi
instrumentai, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah,
dan alih tangan kasus (Tohirin, 2007:164).
Pertama, aplikasi instrumentai. Dalam layanan konseling
individu, hasil instrumentasi baik berupa tes maupun non tes dapat
digunakan secara langsung maupun tidak langsung dalam layanan.
Hasil tes, hasil ujian, hasil AUM (alat ungkap masalah),
sosiometri, angket dan lain sebagainya dapat dijadikan konten (isi)
yang diwacanakan dalam proses layanan konseling individu.
Kedua, himpunan data. Seperti halnya hasil instrumentasi,
daya uang tercantum dalam himpunan data selain dapat dijadikan
pertimbangan untuk memanggil siswa juga dapat dijadikan konten
yang diwacanakan dalam layanan konseling individu. Selanjutnya,
data proses dan hasil layanan harus didokumentasikan di dalam
himpunan data.
Ketiga, konferensi kasus. Seperti dalam layanan-layanan
yang lain, konferensi kasus bertujuan untuk memperoleh data
tambahan tentang klien untuk memperoleh dukungan serta
kerjasama dari berbagai pihak terutama pihak yang diundang
dalam konferensi kasus untuk pengentasan masalah klien.
Konferensi kasus bisa dilaksanakan sebelum dan ssesudah
dilaksanakannya layanan konseling individu. Pelaksanaan
konferensi kasus setelah layanan konseling individu dilakukan
untuk tindak lanjut layanan. Kapanpun konferensi kasus
dilaksanakan, rahasia pribadi klien harus tetap terjaga dengan ketat.
Keempat, kunjungan rumah. Bertujuan untuk memperoleh
data tambahan tentang klien. Selain itu juga untuk memperoleh
dukungan dan kerjasama dari orang tua dalam rangka
mengentaskan masalah klien. Kunjungan rumah juga bisa
dilaksanakan sebelum dan sesudah layanan konseling individu.
Kelima, alih tangan kasus. Tidak semua masalah yang
dialami individu menjadi kewenangan konselor.

2.2 Teknik Asertif


2.3.1 Pengertian Teknik Asertif

Teknik asertif atau latihan asertif (assertive training)


digunakan untuk melatih individu yang mengalami kesulitan untuk
menyatakan diri dalam tindakannya adalah layak atau benar.
Latihan ini terutama berguna diantaranya untuk membantu orang
yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung,
kesulitan menyatakan “tidak”, mengungkapkan afeksi dan respon
positif lainnya (Latipun, 2005:18).
Latihan asertif dapat diterapkan terutama pada situai-situasi
interpersonal di mana individu mengalami kesulitan untuk
menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri
adalah tindakan yang layak dan benar (Corey, 2013:13).
Menurut Taubman (Corey, 2009), asertif (assertive) dapat
diartikan sebagai ekspresi dari perasaan-perasaan dan kebutuhan-
kebutuhan, belajar bertindak atas dasar perasaan-perasaan,
keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan serta menghormati
perasaan-perasaan, keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan
orang lain, ekspresi yang tepat dan pikiran dan perasaan serta
ekspresi (tingkah laku) yang tepat dari keinginan-keinginan yang
dimiliki.
Jadi dapat disimpulkan bahwa teknik asertif adalah teknik
yang dapat digunakan konselor pada klien yang mengalami
kesulitan untuk mengungkapkan perasaan yang dialaminya dan
tidak memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapatnya.

2.3.2 Tujuan Teknik Asertif

Tujuan utama dari teknik asertif adalah untuk mengatasi


kecemasan yang dihadapi oleh seseorang akibat perlakuan yang
dirasakan tidak adil oleh lingkunannya, meningkatkan kemampuan
untuk bersikap jujur terhadap diri sendiri dan lingkungan, serta
meningkatkan kehidupan pribadi dan sosial agar lebih efektif.
Serta membiasakan individu berperilaku asertif dalam
berhubungan dengan orng lain di lingkungan sekitarnya. Perilaku
asertif merupakan perilaku dalam hubungan antar pribadi yang
menyangkut ekpresi emosi, perasaan, pikiran, serta keinginan dan
kebutuhan secara terbuka, tepat dan jujur, tanpa perasaan cemas
atau tegang terhadap orang lain tanpa merugikan diri sendiri atau
orang lain (Farid, 2012:151).
Menurut Sunardi, inti dari perilaku asertif adalah kejujuran,
yaitu cara hidup atau bentuk komunikasi yang berlandaskan
kejujuran dari hati yang paling dalam sebagai bentuk penghargaan
pada orang lain, dengan cara-cara yang positif untuk
mengekspresikan diri tanpa menghina, melukai, mencerca,
menyinggung, atau menyakiti perasaan orang lain, mampu
mengontrol perasan diri sendiri tanpa rasa takut atau marah.
Sedangkan menurut Fauzan (2010) terdapat beberapa
tujuan assertive training yaitu:
1. Mengajarkan individu untuk menyatakan diri mereka dalam
suatu cara sehingga memantulkan kepekaan kepada perasaan
dan hak-hak orang lain.
2. Meningkatkan keterampilan behavioralnya sehingga mereka
bisa menentukan pilihan apakah pada situasi tertentu perlu
berperilaku seperti apa yang diinginkan atau tidak.
3. Mengajarkan pada individu untuk mengungkapkan diri dengan
cara sedemikian rupa sehingga terefleksi kepekaannya terhadap
perasaan dan hak orang lain.
4. Meningkatkan kemampuan inividu untuk menyatakan dan
mengekspresikan dirinya dengan baik dalam berbagai situasi
sosial.
5. Menghindari kesalahpahaman dari pihak lawan komunikasi.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tujuan teknik latihan asertif


adalah untuk membuat siswa menjadi pribadi yang lebih terbuka
dapat mengekspresikan apa yang dirasakan serta tidak canggung
atau malu lagi jika harus mengemukakan pendapat atau jawaban
bila sedang ditanya oleh guru, dengan siswa lebih terbuka ia akan
mampu mengatasi perilakunya yang pasif ketika saat pembelajaran
berlangsung.

2.3.3 Langkah-Langkah Strategi Teknik Asertif

Teknik asertif menggunakan prosedur-prosedur bermain


peran. Kecakapan-kecapakan bergaul yang baru akan diperoleh
sehingga individu-individu diharapkan mampu belajar untuk
mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka
secara lebih terbuka.
Adapun langkah-langkah dalam strategi teknik asertif
adalah sebagai berikut:
1. Rasional strategi, yaitu konselor memberikan rasional atau
maksud penggunaan strategi. Konselor memberikan overview
tahapan-tahapan implementasi strategi.
2. Identifikasi persoalan yang menimbulkan permasalahan.
Konselor meminta klien untuk menceritakan secara terbuka
permasalahan yang dihadapi dan sesuatu yang dilakukan atau
dipikirkan pada saat permasalahan timbul.
3. Membedakan perilaku asertif dan tidak asertif serta
mengeksplorasi target.
Konselor dan klien membedakan perilaku asertif dan perilaku
tidak asertif serta menentukan perubahan perilaku yang
diharapkan.
4. Bermain peran, pemberian umpan balik serta pemberian model
perilaku yang lebih baik.
Klien bermain peran sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi. Konselor memberi umpan balik secara verbal,
pemberian model perilaku yang lebih baik, pemberian
penguatan positif dan penghargaan.
5. Melaksanakan latihan dan praktik.
Klien mendemonstrasikan perilaku yang asertif sesuai dengan
target perilaku yang diharapkan.
6. Mengulang latihan.
Klien mengulang kembali latihan tanpa pembimbing.
7. Tugas rumah atau tindak lanjut
Konselor memberikan tugs rumah pada klien, dan meminta
klien mempraktekkan perilaku yang diharapkan dan memeriksa
perilaku klien apakah sudah dilakukan dalam kehidupan sehari-
hari.
2.3.4 Kelebihan dan Kekurangan Teknik Asertif
1. Kelebihan teknik asertif akan tampak pada:
a. Pelaksanaanya yang cukup mudah
b. Penerapannya dikombinasikan dengan beberapa pelatihan
seperti relaksasi, ketika individu lelah dan jenuh ketika
berlatih, kita dapat melakukan relaksasi supaya
menyegarkan individu kembali. Pelatihannya juga bis
menggunakan teknik modelling, mislnya konselor
mencontohkan sikap asertif langsung dihadapan klien.
Selain itu juga dapat dilakukan melalui kursi kosong,
misalnya setelah konseli hendak mengatakan apa yang
hendak diutarakan, ia langsung mengutarakannya di depan
kursi yang seolah-olah dikursi itu ada seseorang yang
dimaksud oleh konseli.
c. Pelatihan ini dapat mengubah perilaku individu secara
langsung melalui perasaan dan sikapnya.
d. Disamping dilakukan secara peroangan pelatihan ini dapat
dilakukan secara kelompok, melalui latihan-latihan tersebut
individu diharapkan mampu menghilangkan kecemasan-
kecemasan yang ada pada dirinyam mampu berpikir
realistis terhadap konsekuensi atas keputusan yang
diambilnya serta yang paling penting adalah
menerapkannya dalam kehidupan ataupun situasi yang
nyata.
2. Kelemahan teknik asertif akan tampak pada:
a. Meskipun sederhana namun membutuhkan waktu yang
tidak sedikit, ini juga tergantung dari kemampuan individu
itu sendiri,
b. Bagi konselor yang kurang dapat mengkombinasikan
dengan teknik lainnya, pelatihan asertif ini kurang dapat
berjalan dengan baik atau bahkan membuat jenuh dan
bosan konseli atau peserta atau juga membutuhkan waktu
yang cukup lama.

2.3 Kebiasaan Merokok


2.3.1 Pengertian Kebiasaan Merokok

Masa remaja merupakan tahapan perkembangan antara


masa kanak-kanak dan masa dewasa, yaitu antara usia 13 hingga
18 tahun. Pada masa ini terjadi perubahan pesat baik secara fisik,
psikis, emosional, maupun sosial. Terdapat dua fase pada remaja,
yaitu masa pubertas dan masa adolesen (Suwardi, 2010:26).
Fase adolesen menitikberatkan perubahan-perubahan
psikis, masa ini merupakan masa mencari identitas diri. Siswa pada
umumnya tidak asing dengan rokok, di lingkungan sekitar bahkan
di rumah pun rokok sudah banyak ditemui oleh para remaja. Ini
membuat mereka rentan untuk melakukan kebiasaan merokok,
meskipun rokok sangat membahayakan dan merugikan, tetapi
hanya sebagian kecil yang menyadari itu.
Kebiasan merokok sebagaian orang merupakan salah satu
hal yang nikmat apabila dilakukan, tetapi tidak bagi orang lain.
Kebiasaan merokok menurut Watson meruapakan tanggapan atau
balasan (respon) terhadap stimulus, karena rangsangan sangat
mempengaruhi tingkah laku (dalam Sawono, 2001). Jadi, tingkah
laku itu muncul karena ada stimulus. Dalam arti bahwa
perkembangan dipelajari dan seringkali berubah tergantung dari
pengalaman lingkungan disekitar individu disebabkan pengaruh
lingkungan individu dan kognitif (Santrock, 2003).
Pengertian rokok itu sendiri adalah lintangan atau gulungan
tembakau yang digulung/dibungkus dengan kertas, daun atau kulit
jagung, sebesar kelingking dengan panjang 8-10 cm, biasanya
dihisap seseorang setelah dibakar ujungnya, biasanya dihisap
seseorang setelah dibakar ujungnya.
Herwanto dalam Fahrosi (2013) menyebutkan bahwa rokok
adalah silinder kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm
(bervariasi tergantung negara). Diameter sekitar 10 mm yang berisi
daun-daun yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu
ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dihirup lewat mulut
pada ujungnya yang lain. Merokok adalah kegiatan mengeluarkan
asap dengan membakar tembakau secara langsung melalui mulut.
Pada hakekatnya merokok adalah menghisap rokok,
sedangkan rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus oleh
daun ripah atau kerta (Poerwadarminta, dalam Perwitasari, 2006).
Aritonang (1997), merokok adalah perilaku kompleks, karena
merupakan hasil interaksi dari aspek kognitif, kondisi psikologis
dan keadaan fisiologis dalam konteks rokok. Menurut Kartono
(2003), perilaku adalah setiap tindakan manusia yang dapat dilihat.
Perilaku merokok seseorang secara keseluruhan dapat
dilhat dari jumlah rokok yang dihisapnya. Seberapa banyak
seseorang merokok dapat diketahui melalui intensi merokoknya.
Intensi merokok dapat diartikan sebagai besaran atau kekuatan
untuk suatu tingkah laku. Berdasarkan hal tersebut perilaku
merokok seseorang dapat dikatakan tinggi maupun rendah yang
dapat diketahui dari intensi merokoknya yaitu banyaknya
seseorang dalam merokok (Kartono, 2003).
Rokok juga termasuk zat adiktif karena dapat menyebabkan
adiksi (ketagihan) dan dependasi (ketergantungan)bagi orang yang
menghisapnya. Dengan kata lain, rokok termasuk golongan
NAPZA (Narkotika, Psikotoprika, Alkohol, dan Zat Adiktif).
Jadi dapat disimpulkan bahwa merokok merupakan
kebiasaan yang memberikan kenikmatan bagi perokok, namun
dipihak lain dapat menimbulkan dampak buruk bagi perokok itu
sendiri dan orang lain.

2.3.2 Tahapan Menjadi Perokok

Kebiasaan merokok tidak terjadi karena kebetulan ada


beberapa tahap yang dilalui seseorang perokok sebelum ia menjadi
perokok reguler yaitu seseorang yang telah menganggap rokok
telah menjadi bagia dalam hidupnya. Menurut Leventhal dan
Cleary (1980) dala Rochadi K (2004) ada beberapa tahapan dalam
perkembangan perilaku-perilaku merokok, yaitu:

1. Tahap persiapan
Tahap ini berlangsung saat seorang individu belum pernah
merokok. Ditahap ini terjadi pembentukan opini pada diri
individu terhadap perilaku merokok. Hal ini disebabkan
adanya pengaruh perkembangan sikap dan intensi mengeni
rokok serta citra yang diperoleh dari perilaku merokok.
Informasi rokok dan perilaku merokok diperoleh dari
observasi terhadap orang tua atau orang lain seperti kerabat
ataupun lewat berbagai media.
2. Tahap inisiasi
Meruapakan tahap yang kritis pada seseorang individu karena
merupakan tahap coba-coba dimana ia beranggap bahwa
dengan merokok kelihatan dewasa sehingga ia akan memulai
mencoba beberapa batang rokok.
3. Tahap menjadi seorang perokok
Pada tahap ini seseorang individu mulai memberikan label
pada dirinya sebagai seorang perokok dan ia mulai memahami
ketergantungan kepada rokok.
4. Tahap tetap menjadi perokok
Ditahap ini faktor psikologis dan mekanisme biologi
digabungkan menjadi suatu pola perilaku merokok. Faktor-
faktor psikologis seperti kecanduan, penurunan kecemasan dan
ketegangan, relaksasi yang menyenangkan, cara berteman dan
stimulus. Faktor mekanisme biologis seperti efek penguatan
nikotin dan level nikotin yang dibutuhkan dalam aliran darah.

2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok


Menurut Juniarti (1991) dalam Mu’tadin (200) dalam
Poltekkes Depkes Jakarta I (2002), faktor yang mempengaruhi
kebiasan merokok adalah sebagai berikut:
1. Pengaruh orang tua
Salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa anak-
anak muda yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia,
di mana orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya
dan memberikan hukuman fisik yang keras, lebih mudah untuk
menjadi perokok dibanding anak-anak muda yang berasal dari
lingkungan rumah tangga yang bahagia (Baer dan Corado
dalam Atkinson 1999:294). Remaja yang berasal dari keluarga
konservatif yang menekankan nilai-nilai sosial dan agama
dengan baik dengan tujuan jangka panjang lebih sulit untuk
terlibat dengan rokok/tembakau/obat-obatan dibandingkan
dengan keluarga yang permisif dengan penekanan pada falsafah
“kerjakan urusanmu sendiri-sendiri”. Yang paling kuat
pengaruhnya adalah bila orang tua sendiri menjadi figur
contoh, yaitu perokok berat, maka anak-anaknya akan mungkin
sekali untuk mencontohkannya. Perilaku merokok lebih banyak
ditemui pada mereka yang tinggal dengan satu orang tua
(single parent). Daripada ayah yang perokok, remaja akan lebih
cepat berperilaku sebagai perokok justru bila ibu mereka yang
merokok, hal ini lebih terlihat pada remaja putri (Al Bachri,
1991).
2. Pengaruh teman
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa bila semakin banyak
remaja yang merokok, maka semakin besar kemungkinan
teman-temannya adalah perokok dan demikian sebaliknya. Dari
fakta tersebut ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama,
remaja tadi terpengaruh oleh teman-temannya atau bahkan
teman-teman remaja tersebut dipengaruhi oleh remaja, hingga
akhirnya mereka semua menjadi perokok. Diantara remaja
perokok, 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih
sahabat yang perokok, begitu pula dengan remaja bukan
perokok.
3. Faktor kepribadian
Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau
ingin melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, dan
membebaskan diri dari kebosanan.
4. Pengaruh iklan
Melihat iklan di mediia massa dan elektronik yang
menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang
kejantanan atau glamour, membuat remaja sering kali terpicu
untuk mengikuti perilaku seperti yang ada di dalam iklan
tersebut (Juniarti, 1991 dalam Poltekkes Depkes Jakarta I,
2012).

2.4 Penelitian yang Relevan

Dalam kajian pustaka ini peneliti akan mengungkapkan beberapa


hasil penelitian yang relevan judul penelitian namun berbeda dalam objek
dalam kajiannya. Penelitian yang memiliki relevansi diantaranya sebagai
berikut:
1. Identifikasi Lingkungan Sosial Perokok Remaja di Kec. Tampan oleh
Putri Febrianiko, Fakulta Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau, 2010. Penelitian ini berisi mengenai lingkungan
sosial perokok remaja di Kec. Tampan, dari hasil penelitian yang
dilakukan terdapat gambaran umum mengenai perokok. Secara umum
remaja pria di sekolah menengah yang menjadi objek penelitian ini
pernah mencoba merokok. Setengah dari remaja yang telah mencoba
rokok berkelanjutan menjadi perokok aktif hingga saat ini. Merokok
sendiri merupakan perilaku yang dipelajari dan lingkungan sosial
remaja berperan sebagai imitasi dari perilaku merokok.
2. Upaya Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Mencegah Siswa
menjadi Perokok di SMP Negeri 15 Yogyakarta, ditulis oleh Abdullah
Salam Fakultas Dakwah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011.
Penelitian ini membahas tentang bentuk-bentuk layanan bimbingan
dan konseling untuk mencegah siswa menjadi perokok. Persamaan dari
penetilian ini dengan peneliti yaitu sama-sama mengkaji tentang
rokok. Namun, perbedannya terletak pada layanan yang digunakan.
Penelitian ini menggunakan upaya layanan bimbingan dan konseling
sedangkan peneliti menggunakan konseling individual pada siswa
perokok.

Adapun penelitian yang peneliti angkat saat ini berjudul


“Pelaksanaan Konseling Individual dengan Teknik Asertif dalam Upaya
Menghilangkan Kebiasaa Merokok pada siswa SMK Negeri 2 Kendari”.
Oleh karena itu dapat peneliti simpulkan bahwa penelitian yang peneliti
lakukan belum pernah diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya.

2.5 Kerangka Pikir

Merokok adalah suatu perilaku yang telah umum dilakukan oleh


banyak orang, tidak terkecuali siswa remaja. Perilaku tersebut dilakukan di
mana saja dan kapan saja. Dalam hasil wawancara dengan guru bimbingan
dan konseling di SMK Negeri 2 Kendari, perilaku merokok tampak
dijumpai ketika para siswa berangkat ke sekolah, jam istirahat, setelah
pulang sekolah, bahkan saat berada di kantngain sekolah. Perilaku
merokok tersebut sudah menjadi kebiasaan sehingga pelaku tidak
memperhatikan tempat dan waktu. Selain itu, para siswa sudah
mengetahui bahaya rokok itu sendiri namun tetap tidak
memperdulikannya. Sering kali ditemukan siswa yang kedapatan
membawa rokok bahkan sedang merokok dengan alasan yang bermacam-
macam, ada yang beralasan ikut-ikut teman, ada yang mengaku
kecanduan, bahkan ada yang mengatakan merokok agar tidak stress
terhadap masalah yang sedang dialaminya.
Dampak rokok bagi kesehatan sangat berbahaya. Rokok
mengandung 4.000 zat. Sebanyak 43 zat bersifat karsinogenik yang
memicu sel kanker. Rokok merupakan penyumbang utama faktor resiko
penyakit tidak menular namun mematikan seperti jantung koroner, kanker,
gangguan pernafasan dan stroke.
Berdasarkan penjelasn di atas, maka perilaku kebiasaan merokok
pada siswa perlu mendapat perhatian. Perilaku tersebut harus segera
dikurangi dan dihilangkan karena rokok sangat berbahaya bagi tubuh
manusia.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan layanan konseling
individual dengan teknik asertif yang bertujuan untuk menghilangkan
perilaku kebiasaan merokok siswa. Penggunaan teknik asertif dalam
layanan ini agar siswa yang memiliki kebiasaan merokok dapat
dihilangkan dan mereka bisa menentukan pilihan apakah pada situasi
tertentu perlu berperilaku seperti apa yang diinginkan atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. 2013. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung:
Refika Aditama

Gunarsa, Singgih D. 2004. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT Gunung Mulya

Hellen. 2005. Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Quantum Teaching

Holipah. 2011. The Using of Individual Counseling Service to Improve Student’s


Learning Attitude and Habbit at the Second Grade Student of SMP PGRI 6
Bandar Lampung (Jounral Counseling

Khan, Rosa Imani. 2012. Perilaku Asertif, Harga diri dan Kecenderungan
Depresi. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia

Komalasari, Gantina. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT. Indeks

Prayitno, H dan Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling.


Jakarta: Asdi Mahasatya

Prayitno. 2005. Konseling Perorangan. Padang: Universitas Negeri Padang

Rahman, Hibana. S. 2003. Bimbingan dan Konseling Pola 17. Jakarta: Rineka
Cipta

Sugito, Bachtiar Ganang. 2016. Mengurangi Perilaku Merokok Siswa Melalui


Konseling Pendekatan REBT dengan Teknik Time Projection. UNNES:
Indonesian Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application.
Tohirin, 2007. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah. Jakarta: PT
Raja Gravindo Persada

Willis, Sofyan S. 2007. Konseling Individual: Teori dan Praktek. Bandung: CV


Alfabeta

Willis, Sofyan S. 2011. Konseling Keluarga. Bandung: CV Alfabeta

Winkel, Hastutisri. 2006. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan.


Jakarta: Media Abadi

Irvan, Teknik Asertif Training. Diakses dari


http://irvanhavefun.blogspot.com/2012/03/tekniaksesk-asertif-training.html. Pada
tanggal 2 Mei 2020

Anda mungkin juga menyukai