Anda di halaman 1dari 13

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA MADIUN

TUGAS ETIKA MORAL

KASUS KORUPSI BERJAMAAH DPR-RI

DISUSUN OLEH:

NAMA : MAILA PINGGAOFIT

NIM : 71418012

PRODI : PSIKOLOGI
KORUPSI BERJAMAAH DPR-RI

ABSTRAK :

Hati nurani yaitu hati manusia yang memiliki pengetahuan. Sebenarnya


proporsi hati yang mengetahui sama sekali tidak tepat. Soal pengetahuan tak pernah
merupakan soal hati, melainkan soal akal budi (rasio). Dan sebab itu, jika dikatakan
hati nurani mengetahui, maksudnya ialah hati kita memiliki semacam pertimbangan
yang membimbing kehendak kita.

Pengetahuan hati seringkali lebih merupakan pengetahuan yang dicurahkan,


dipatrikan, ditancapkan dalam hati kita. Karena hati tidak bisa berpikir bahwa hanya
akal budi saja yang bisa berpikir. Hati nurani seringkali disebut sebagai suara allah.
Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak beragama/tidak mengenal tuhan? Apakah
mereka mempunyai hati nurani juga?

Meskipun tidak mengenal tuhan dan sabda-sabdanya, manusia dapat


melanggar perintah tuhan karena dengan hati nuraninya tuhan hadir di dalam diri
mereka. Tidak ada alasan bagi manusia yang tidak mengenal tuhan untuk bertindak
sekenanya, sebab mereka memiliki hati nurani yang dapat membimbing perbuatan
mereka. Fenomena hati nurani adalah fenomen pertimbangan boleh/ tidak boleh atau
baik/buruk mengenai segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia. Hati nurani
sepertinya mengajukan paradigma nilai-nilai yang disumberkan dan tuhan sendiri.

Hati nurani disebut juga”synderesis”. Dalam bahasa inggris disebut


“conscience”. Yang berkaitan langsung dengan kesadaran. Hati nurani menjadi
seperti kapasitas/daya/kekuatan yang pertimbangan dan pemeriksaannya mengatasi
hokum, fenomen baik/buruk sebagaimana digagas oleh public kebanyakan, mengatasi
larangan/perintah dalam peratutan-peraturan yang dimiliki dalam hidup manusia. Hati
nurani dalam pengertian ini lantas dipahami sebagai suatu kesadaran batin/interior
yang ada dalam hati manusia yang pemeriksaannya atas problem kehidupan bersifat
sekaligus/serentak/menyeluruh bak elang yang melihat segala sesuatu secara
keseluruhan.

Karena hati nurani adalah “suara tuhan” aneka pertimbangan yang


diberikannya mengantar manusia kepada allah. Jadi, hati nurani tidak sekedar
berurusan dengan salah benar secara etis, melainkan langsung menunjuk kepada
relasi manusia dengan allah dalam cara-cara yang tidak bisa direduksi sekedar dalam
agama-agama formal.

I. Pendahuluan

Pertengahan 2008, masyarakat Indonesia dihebohkan oleh terungkapnya sejumlah


kasus korupsi, yang melibatkan banyak anggota DPR-RI. Para anggota Dewan ini
secara “berjamaah” menerima suap dari berbagai kalangan, yang menginginkan agar
kepentingan mereka diakomodir, didukung, atau digolkan lewat produk undang-
undang oleh anggota DPR.
Maklum, berbeda dengan zaman Orde Baru, di mana anggota DPR kalah pengaruh
oleh eksekutif, di era reformasi ini anggota DPR berperan cukup signifikan. Mereka
dapat mensahkan rancangan undang-undang (yang dampaknya bisa menguntungkan/
merugikan pihak tertentu), atau menyetujui/menolak usulan pengangkatan pejabat
negara tertentu.
Contohnya, seorang anggota DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Agus Condro
Prayitno, belum lama ini terang-terangan mengaku telah menerima uang Rp 500 juta,
sebagai imbalan atas dukungan terhadap pemilihan Miranda Goeltom sebagai Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia.
Agus mengklaim, banyak temannya sesama anggota DPR-RI di Komisi IX juga telah
menerima uang suap. Total uang yang digelontorkan untuk menyuap puluhan anggota
DPR ini mencapai puluhan miliar rupiah. Kasusnya kini mulai ditangani oleh KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi).
Fenomena “korupsi berjamaah” di berbagai tingkatan, dan kasus-kasus konkret
seperti tersebut di atas, mendorong penulis, untuk mengangkatnya menjadi suatu
permasalahan, yang akan dibahas dari aspek etika, khususnya dengan konsep “hati
nurani.”

II. Permasalahan
Perilaku “korupsi berjamaah” di lingkungan anggota DPR itu menimbulkan sejumlah
pertanyaan. Seperti: Bagaimana sebenarnya etika, moral, dan hati nurani para anggota
DPR itu, yang notabene bukanlah orang sembarangan, sehingga mereka sampai hati
menerima suap dan mengkhianati kepercayaan rakyat terhadapnya?
Mereka orang yang cukup terdidik, cukup cerdas, tidak kekurangan secara material
(gaji anggota DPR sudah puluhan juta rupiah per bulan). Selain itu, mereka semua
secara formal adalah penganut agama tertentu, yang secara tegas mengharamkan
perilaku korupsi. Setidaknya identitas keagamaan itu tertera jelas di KTP mereka.
Jadi, tidaklah masuk akal jika dikatakan bahwa mereka melakukan korupsi karena
tidak tahu bahwa korupsi itu salah. Mereka pasti tahu, korupsi itu melanggar hukum
dan undang-undang. Korupsi itu melanggar sumpah jabatan sebagai pejabat negara.
Korupsi itu bertentangan dengan ajaran moral agama. Korupsi itu juga berarti
mengkhianati rakyat dan konstituen mereka, yang dalam pemilu sebelumnya telah
memberikan suara pada mereka, sehingga mereka bisa terpilih menjadi anggota DPR.

Pertanyaan yang lebih spesifik adalah: Di manakah “suara hati nurani” para anggota
DPR tersebut, ketika mereka dengan sadar melakukan korupsi, sementara mereka
tahu bahwa perilaku korupsi itu salah?
III. Pemahaman Konsep

Hati Nurani:
Setiap manusia mempunyai pengalaman tentang hati nurani,dan mungkin pengalaman
itu merupakan perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai kenyataan. Sulit
untuk menunjukkan pengalaman lain yang dengan begitu terus terang menyingkapkan
dimensi etis dalam hidup kita. Maka, pengalaman tentang hati nurani itu merupakan
jalan masuk yang tepat untuk suatu studi tentang etika.

Yang dimaksud dengan “hati nurani” adalah penghayatan tentang baik atau buruk,
berhubungan dengan tingkah laku konkret kita. Hati nurani ini memerintahkan atau
melarang kita untuk melakukan sesuatu kini dan di sini. Ia berbicara tentang situasi
yang sangat konkret, bukan sesuatu yang bersifat umum atau di awang-awang.

Jadi, di dalam diri kita seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi moral
perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Hati nurani merupakan semacam “saksi’
tentang perbuatan-perbuatan moral kita.

Kesadaran dan Pengenalan:


Hati nurani berkaitan dengan kenyataan bahwa manusia memiliki kesadaran
(consciousness). Yang dimaksud dengan “kesadaran” di sini adalah kesanggupan
manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang dirinya.

Hanya manusia yang memiliki kesadaran. Binatang tidak memilikinya. Binatang


hanya memiliki pengenalan (knowledge), melalui inderanya. Binatang bisa melihat,
mencium, dan mendengar, seperti manusia. Binatang juga bisa merasa takut, berahi,
marah, dan sebagainya. Tetapi binatang tidak bisa berpikir atau berefleksi tentang
dirinya sendiri.
Sedangkan manusia bisa menjadi subyek, sekaligus menjadikan dirinya sendiri
sebagai obyek pengenalannya. Seorang manusia sadar bahwa dirinya adalah manusia.
Sedangkan seekor gajah tidak menyadari bahwa dirinya adalah seekor gajah.

Dua Macam Hati Nurani:

Hati Nurani Restrospektif:


Ada dua bentuk hati nurani: hati nurani retrospektif dan hati nurani prospektif. Hati
nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan yang telah berlangsung
di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang, dan menilai
perbuatan-perbuatan yang sudah lewat. Ia menyatakan, apakah perbuatan-perbuatan
yang sudah dilakukan itu baik atau tidak baik.

Hati nurani akan menuduh atau mencela, jika perbuatannya jelek; dan akan memuji
atau memberi rasa puas, jika perbuatannya dianggap baik. Jadi, hati nurani ini
merupakan instansi kehakiman dalam batin kita tentang perbuatan yang telah
berlangsung.

Jika hati nurani menghukum dan menuduh kita, batin kita merasa gelisah, atau kita
mempunyai a bad conscience. Sebaliknya, jika telah bertingkah laku dengan baik,
kita mempunyai a good conscience atau a clear conscience. Hati nurani kita dalam
keadaan tenang dan puas, dan kita mengalami kedamaian batin.

Hati Nurani Prospektif:


Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita
yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu,
atau mengatakan “jangan” dan melarang untuk melakukan sesuatu.

Dalam hati nurani prospektif ini terkandung semacam ramalan. Ia menyatakan, hati
nurani pasti akan menghukum kita, jika kita memilih terus melakukan perbuatan itu.
Dalam arti ini, hati nurani prospektif menunjuk kepada hati nurani retrospektif yang
akan datang, jika (niat) perbuatan menjadi kenyataan.

Pembedaan hati nurani retrospektif dan prospektif itu menimbulkan kesan seolah-olah
hati nurani hanya menyangkut masa lalu dan masa depan. Padahal, hati nurani dalam
arti sebenarnya justru menyangkut perbuatan yang sedang berlangsung kini dan di
sini. Hati nurani terutama adalah conscience, “turut mengetahui”, pada ketika
perbuatan itu berlangsung. Dalam perbuatan itu sendiri, si pelaku telah mengalami –
atas dasar hati nurani-- bahwa perbuatan yang dilakukannya itu baik atau buruk.

Hati Nurani Personal dan Adipersonal

Hati nurani bersifat personal, artinya selalu berkaitan erat dengan pribadi
bersangkutan. Karena tak ada manusia yang sama, maka tidak ada dua hati nurani
yang persis sama. Hati nurani diwarnai oleh kepribadian kita. Hati nurani akan
berkembang bersama dengan perkembangan seluruh kepribadian kita. Hati nurani
seseorang ketika masih remaja tentu berbeda dengan ketika dia sudah dewasa.

Hati nurani hanya memberi penilaian atas perbuatan saya sendiri, bukan perbuatan
orang lain. Maka, jika ada yang menggunakan istilah “hati nurani bangsa,” seolah-
olah ada kolektivitas dalam kepemilikan hati nurani. Namun, ungkapan itu
sebenarnya hanya bersifat kiasan.
Namun, hati nurani menunjukkan juga suatu aspek adipersonal. Selain bersifat
pribadi, hati nurani seolah-olah melebihi pribadi kita, seolah-olah merupakan instansi
di atas kita. Hati nurani memiliki suatu aspek transenden, artinya melebihi pribadi
kita. Karena aspek adipersonal itu, orang beragama kerap menyatakan, hati nurani
adalah suara Tuhan atau bahwa Tuhan berbicara melalui hati nurani.
Bagi orang beragama, hati nurani memang memiliki dimensi religius. Mungkin,
malah tidak ada cara yang lebih jelas untuk menghayati hubungan antara moral dan
agama daripada justru pengalaman hati nurani ini. Tetapi, adalah sangat naif dan
berbahaya, jika orang menganggap bahwa melalui hati nurani Tuhan berbisik-bisik
dalam hatinya. Seorang fanatik beragama bisa saja meyakini tindakan mereka atas
perintah Tuhan, padahal bagi masyarakat luas tindakan itu tak lain adalah kejahatan.

Hati nurani tidak melepaskan kita dari kewajiban untuk bersikap kritis dan
mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita secara obyektif. Bahkan, orang
yang tidak mengakui adanya Tuhan pun memiliki hati nurani, yang mengikat mereka
sama seperti orang beragama.

Hati Nurani sebagai Norma Moral yang Subyektif

Dalam sejarah filsafat, sering dipersoalkan apakah hati nurani termasuk perasaan,
kehendak, atau rasio. Namun, dalam filsafat sekarang, diyakini bahwa manusia tak
bisa dipisahkan dalam pelbagai fungsi atau daya. Kita harus bertolak dari kesatuan
manusia, di mana pelbagai fungsi dapat dibedakan, tetapi tidak boleh dipisahkan.

Dalam hati nurani pula, perasaan, kehendak, dan rasio tersebut memainkan peranan.
Namun, ada kecenderungan kuat untuk mengakui bahwa hati nurani secara khusus
harus dikaitkan dengan rasio. Alasannya, hati nurani memberi suatu penilaian,
artinya, suatu putusan (judgment). Ia menegaskan: ini baik dan harus dilakukan atau
itu buruk dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan putusan jelas adalah suatu
fungsi dari rasio.

Ada dua macam rasio: rasio teoretis dan rasio praktis. Rasio teoretis bersifat abstrak,
dan merupakan sumber pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Sedangkan rasio praktis
bersifat konkret, terarah pada tingkah laku manusia. Rasio praktis menjawab
pertanyaan seperti: Apa yang harus saya lakukan? Maka, hati nurani yang bersifat
konkret, terkait dengan rasio praktis.

Meski putusan hati nurani bersifat rasional, itu tidak berarti bahwa ia mengemukakan
suatu penalaran logis (reasoning). Ucapan hati nurani umumnya bersifat intuitif,
artinya, langsung menyatakan: ini baik dan terpuji atau itu buruk dan tercela.
Pemikiran intuitif berlangsung “satu kali tembak,” tidak melalui tahapan-tahapan
perkembangan seperti dalam sebuah argumentasi. Meski begitu, kadang-kadang
putusan hati nurani bisa memiliki sifat-sifat yang mengingatkan kita pada suatu
argumentasi, terutama hati nurani prospektif.

Mengikuti hati nurani merupakan hak dasar setiap manusia. Dalam Deklarasi
Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948) disebutkan juga “hak atas
kebebasan hati nurani” (pasal 18). Konsekuensinya, negara harus menghormati
putusan hati nurani para warganya, bahkan sekalipun kewajiban itu menimbulkan
konflik dengan kepentingan lain.

Maka bisa disimpulkan, hati nurani memiliki kedudukan kuat dalam hidup moral kita.
Bahkan bisa dikatakan: dipandang dari sudut subyek, hati nurani adalah norma
terakhir untuk perbuatan-perbuatan kita. Atau dengan kata lain, putusan hati nurani
adalah norma moral yang subyektif bagi tingkah laku kita.

Meski demikian, belum tentu perbuatan yang sesuai dengan hati nurani adalah baik
juga secara obyektif. Hati nurani bisa keliru. Bisa saja hati nurani menyatakan sesuatu
adalah baik, bahkan wajib dilakukan, padahal secara obyektif perbuatan itu adalah
buruk.

Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan subyektif dari
hati nurani akan sesuai dengan kualitas obyektif dari perbuatannya. Pada orang
semacam itu, yang baik secara subyektif akan sama dengan yang baik secara
obyektif. Maka manusia wajib mengembangkan hati nurani dan seluruh kepribadian
etisnya sampai menjadi matang dan seimbang.

IV. Pembahasan

Dalam kasus korupsi oleh anggota DPR yang mengemuka dalam pemberitaan media
massa akhir-akhir ini, bisa kita katakan, bahwa konsep hati nurani yang terkait di sini
adalah hati nurani retrospektif, sebab perilaku atau tindakan korupsi itu sudah selesai
dilakukan. Di sini para anggota DPR bersangkutan melihat ke belakang, menilai
tindakan (korupsi) yang sudah mereka lakukan di masa lalu. Apakah tindakan itu
benar, atau salah?

Namun, bukan berarti selesai sampai di situ. Para anggota DPR ini juga memikirkan
apa yang akan mereka lakukan sekarang dan di masa depan. Dalam konteks masa
depan ini, terkait konsep hati nurani prospektif.

Ketika kasus korupsi ini sedikit demi sedikit mulai terungkap, apa yang sebaiknya
mereka lakukan? Apakah mereka akan mengaku terus terang, seperti yang sudah
dilakukan Agus Condro, bahwa betul mereka sudah menerimsa uang suap? Atau
apakah mereka terus bertahan dengan versi kebohongan yang sudah ada, secara
konsisten (dalam kebohongan), dengan segala risikonya?

Kemudian, apabila kasus yang ada sekarang bisa terselesaikan (dalam arti kasus
korupsi mereka tidak terungkap dan posisi mereka sudah aman), apakah mereka
masih akan melakukan korupsi baru di masa depan, manakala ada peluang, atau
situasi memungkinkan?

Faktanya, mereka masih menjabat sebagai anggota DPR, sampai hasil pemilu 2009
menentukan anggota-anggota DPR yang baru. Bahkan sebagian anggota DPR, yang
dituduh menerima suap sekarang, juga masih terdaftar sebagai caleg dalam pemilu
2009. Artinya, ada peluang mereka akan terpilih lagi sebagai anggota DPR-RI untuk
masa jabatan 2009-2014.

Tentu saja, kita sulit mengetahui jawaban semua pertanyaan itu, karena semua itu
berlangsung internal pada hati nurani setiap anggota DPR. Hanya para anggota DPR
bersangkutan yang bisa menjawabnya.

Yang bisa kita analisis di sini adalah para anggota DPR itu tampaknya sudah
“melangkahi” sejumlah tahapan gugatan hati nurani, sehingga mereka bisa
melakukan korupsi. Tahapan itu bisa ditunjukkan dari sejumlah “pelanggaran moral”
yang sudah mereka lakukan, yang tentunya melalui suatu pergulatan tertentu di dalam
batin.

Tahapan-tahapan itu adalah, bahwa dengan menerima suap atau melakukan korupsi,
mereka telah:
1. Mengingkari janji atau berbohong kepada rakyat/konstituen dalam kampanye
pemilu sebelumnya (2004), bahwa mereka akan membela kepentingan rakyat, dan
tidak akan mendahulukan kepentingan pribadi.
2. Melanggar komitmen moral partai politik, untuk mengedepankan politik yang
bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Meskipun mungkin komitmen
partai ini dalam praktiknya lebih bersifat basa-basi, secara normatif dan dalam
program resmi yang tertulis dan dikampanyekan, setiap partai politik mengklaim akan
serius mendukung gerakan antikorupsi.
3. Melanggar peraturan kelembagaan yang berlaku di lembaga tinggi negara
(parlemen), bahwa anggota DPR tidak boleh menerima suap.
4. Melanggar sumpah kepada Tuhan, bahwa mereka akan menjalankan amanat
sebagai anggota DPR dengan sebaik-baiknya. Sumpah jabatan itu mereka bacakan,
ketika mereka dilantik sebagai anggota DPR tahun 2004.
5. Melanggar ajaran agama yang mereka anut, yang secara tegas mengharamkan
korupsi, suap, dan berbagai penyimpangan keuangan lainnya.

Jika melihat begitu banyaknya janji, sumpah, dan norma yang telah dilanggar,
sehingga terjadi kasus suap/korupsi besar-besaran tersebut, tindakan “pengabaian
suara hati nurani” yang dilakukan oleh para anggota DPR tersebut betul-betul telah
mencapai tingkatan yang luar biasa.
DAFTAR PUSTAKA

http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2008/10/hati-nurani-dan-etika-kasus-
korupsi.html

Dewantara, A. (2017). Filsafat Moral (Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia).

Anda mungkin juga menyukai