Anda di halaman 1dari 8

Pengaruh Perilaku Masyarakat di Area Pesisir terhadap Kondisi Lingkungan Sekitar

Abstrak
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km serta luas lautan sekitar 3,1 juta km2 (0,3 juta km2 perairan teritorial dan 2,8
juta km2 perairan kepulauan), Indonesia memiliki potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang
sangat besar. Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah daratan yang berbatasan dengan laut,
batas di daratan meliputi daerah–daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang
masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam,
sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan
seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi
oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat padat
penduduknya, jumlah penduduk yang hidup di wilayah pesisir 50–70% dari jumlah penduduk dunia.
Di Indonesia sendiri 60% penduduknya hidup di wilayah pesisir, peningkatan jumlah penduduk yang
hidup di wilayah pesisir memberikan dampak tekanan terhadap sumberdaya alam pesisir seperti
degradasi pesisir, hutan mangrove, terumbu karang, pembuangan limbah ke laut, sedimentasi
sungai-sungai, erosi pantai, abrasi dan sebagainya. Di samping itu dengan bertambahnya jumlah dan
aktivitas penduduk menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya alam dan jasa-
jasa lingkungan pesisir. Potensi lautan ini sangat besar, sehingga diharapkan potensi ini dapat
memberdayakan masyarakat di sekitar area tersebut. Dengan melimpahnya potensi tersebut,
diharapkan kita dapat mengetahui bagaimana proses pemanfaatan potensi-potensi tersebut dengan
baik, tanpa perlu merusak lingkungan pesisir di sekitar kita dan dapat mengetahui apa yang harus
dilakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan tersebut terjadi, baik dari pemerintah daerah
maupun masyarakat setempat.

Pendahuluan

Latar Belakang

Pesisir merupakan area pertemuan antara darat dan laut; arah darat meliputi bagian daratan
baik yang kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang
surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan arah laut meliputi bagian laut yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air
tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan
dan pencemaran. Pengembangan wilayah pesisir seringkali mendapat tekanan dari berbagai
aktivitas manusia dan fenomena yang terjadi di darat maupun laut. Fenomena yang terjadi di
daratan antara lain abrasi, banjir dan aktivitas yang dilakukanoleh masyarakat yaitu
pembangunan permukiman, pembabatan hutan, pembangunan tambak dan sebagainya yang
pada akhirnya memberi dampak pada ekosistem pantai. Demikian pula fenomena-fenomena di
laut, seperti pasang surut air laut, gelombang badai dan sebagainya.
Wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan pesisir sangat penting artinya bagi
bangsa dan ekonomi Indonesia. Wilayah ini bukan hanya merupakan sumber pangan yang di
usahakan melalui kegiatan perikanan dan pertanian, tetapi merupakan pula lokasi bermacam
sumber daya alam, seperti mineral, gas dan minyak bumi serta pemandangan alam yang indah,
yang potensi-potensi tersebut dapat di manfaatkan untuk kesejahteraan manusia, perairan
pesisir juga penting artinya sebagai pelayaran (Pagoray, 2003).
Ciri khas wilayah pesisir jika ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut serta
sumber daya yang terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya intervensi manusia
pada wilayah tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan, seperti bentang alam
yang sulit diubah, proses pertemuan air dan tawar dan air laut yang menghasilkan ekosistem
yang khas. Ditinjau dari aspek kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumber daya yang
terkandung di dalamnya sering memiliki sifat terbuka.
Fungsi penting dari wilayah pesisir yaitu untuk kesejahteraan dalam hidup masyarakat,
khususnya pada masyarakat yang hidup dan tinggal di wilayah pesisir tersebut. Adanya fungsi
tersebut dalam memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitar area pesisir diantaranya adalah
sebagai penyedia jasa-jasa dari bentuk kenyamanan, dan jjuga sebagai penerima dari aktivitas
masyarakat yaitu limbah yang mana aktivitas berupa pembangunan yang berada di lahan
daratan misalnya seperti kegiatan permukiman, serta aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh
masyarakat, perikanan dan terakhir kegiatan industri.
Pengelolaan wilayah pesisir ini juga sangat dipengaruhi oleh pemberlakukan Undang-
Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang pada beberapa
pasalnya berkaitan dengan wilayah pesisir dan laut. UU ini diharapkan segera diikuti dengan
ketentuan seperti Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pelaksanaannya, sehingga
pengelolaan ataupun pemanfaatan laut tidak semakin kacau. Dalam UU itu disebutkan,
pemerintah daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayah
masing-masing, dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan (Pasal 10 UU 22/1999) sehingga pengelolaan sumber daya alam
yang diserahkan kepada pemerintah daerah, diharapkan bisa menimbulkan harapan baru untuk
pengelolaan kawasan pesisir yang lebih baik. Sebaliknya tanpa persiapan dan pembangunan
institusi, UU ini bisa menjadi bencana karena akan terjadi eksploitasi yang dapat memperparah
kerusakan.
Wilayah pesisir dan lautan tropis merupakan wilayah yang sangat produktif, karena wilayah
ini pada umumnya merupakan tempat pemusatan bagi berbagai kegiatan. Fungsi dan peran
wilayah pesisir dan lautan sekarang ini telah berkembang pesat dan lebih bervariasi. Wilayah
pesisir selain berfungsi sebagai wilayah penangkapan ikan, juga digunakan untuk kegiatan
penambangan minyak, gas bumi dan mineral-mineral lain untuk pembangunan ekonomi. Selain
itu, wilayah pesisir dan lautan juga digunakan untuk usaha aquakultur (budidaya lautan),
rekreasi dan pariwisata, agroindustri, transportasi dan pelabuhan, permukiman dan juga sebagai
lokasi pembuangan sampah. Akibat dari multi kegiatan manusia tersebut, baik yang
menggunakan metode tradisional ataupun modern, maka pada pengembangannya seringkali
menimbulkan dampak terhadap lingkungan di sekitarnya.

Rumusan Masalah

 Bagaimana kehidupan masyarakat di area pesisir?


 Bagaimana proses pemanfaatan potensi sumber daya di area pesisir?
 Apa dampak yang ditimbulkan dari proses pemanfaatan tersebut?
 Bagaimana solusi yang efektif untuk mengurangi dampak pemanfaatan sumber daya di
area pesisir?
Tujuan Penulisan :

1. Mengetahui keadaan masyarakat di area pesisir


2. Mengetahui akibat dari aktifitas masyarakat di area pesisir
3. Mengetahui solusi dari permasalahan yang disebabkan oleh aktifitas masyarakat di area
pesisir

Metode Penelitian :

Adapun metode yang digunakan adalah metode studi literatur dari sumber-sumber yang relevan.

Kata Kunci : pesisir, masyarakat, perilaku

Pembahasan

Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan
sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan
sumberdaya laut dan pesisir. Kelompok ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan
sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang
mendominasi permukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai pulau-pulau besar
dan kecil. Sebagian masyarakat nelayan pesisir ini adalah pengusaha skala kecil dan menengah.
Namun lebih banyak dari mereka yang bersifat subsisten, yaitu menjalani usaha dan kegiatan
ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga
hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka waktu sangat pendek. Dengan
demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan
potensi dan kondisi sumber daya pesisir dan lautan.
Masyarakat di kawasan pesisir Indonesia sebagian besar berprofesi sebagai nelayan yang
diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Karakteristik masyarakat nelayan
terbentuk mengikuti sifat dinamis sumber daya yang digarapnya, sehingga untuk mendapatkan
hasil tangkapan yang maksimal, nelayan harus berpindah-pindah. Selain itu, resiko usaha yang
tinggi menyebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras dimana selalu
diliputi oleh adanya ketidakpastian dalam menjalankan usahanya.
Aktivitas ekonomi merupakan suatu kegiatan penduduk yang didorong oleh motif tertentu
untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya dengan memanfaatkan lingkungan
(Biotik, Abiotik dan sosial). Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia
terbagi dua, yaitu barang dan jasa. Barang ialah segala benda dalam bentuk fisik yang berguna
untuk memenuhi kebutuhan manusia, sedangkan jasa ialah benda dalam bentuk nonfisik yang
berguna untuk memenuhi kebutuhan manusia. Aktivitas ekonomi dikelompokkan menjadi tiga
aktivitas utama, yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. (Crayonpedia, 2009).
Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, penduduk berusaha mencari lapangan kerja
yang sesuai dengan kemampuannya, secara umum aktivitas masyarakat dapat diklasifikasikan
menjadi dua golongan, yaitu berdasarkan tempat (desa dan kota) dan berdasarkan jenis
pekerjaan (pertanian dan bukan pertanian). Berdasarkan jenis pekerjaan, yang termasuk
pekerjaan disektor pertanian antara lain pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan
kehutanan. Sedangkan yang termasuk pekerjaan disektor non pertanian adalah pertambangan,
perindustrian, pariwisata, dan jasa.
Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (P3K) menjadi kawasan yang istimewa bagi
masyarakat Indonesia, karena menjadi sumber utama untuk pemenuhan gizi dari pangan laut. Di
kawasan tersebut, juga berdiam masyarakat pesisir yang secara tradisional dan turun temurun
berprofesi sebagai nelayan skala kecil yang memproduksi sumber daya ikan secara kontinu.
Secara umum, aktivitas masyarakat pesisir meliputi aktivitas ekonomi berupa
kegiatan perikanan yang memanfaatkan lahan darat, lahan air, dan laut terbuka; kegiatan
pariwisata dan rekreasi yang memanfaatkan lahan darat, lahan air, dan objek di bawah air;
kegiatan transportasi laut yang memanfaatkan lahan darat dan alokasi ruang di laut untuk
jalur pelayaran, kolam pelabuhan dan lain-lain; kegiatan indutri yang memanfaatkan lahan
darat; kegiatan pertambangan yang memanfaatkan lahan darat dan laut; kegiatan
pembangkit energi yang menggunakan lahan darat dan laut; kegiatan industri maritim yang
memanfaatkan lahan darat dan laut, pemukiman yang memanfaatkan lahan darat untuk
perumahan dan fasilitas pelayanan umum; dan kegiatan pertanian dan kehutanan yang
memanfaatkan lahan darat. Aktivitas ekonomi yang dilakukan bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan ketergantungannya terhadap kondisi
lingkungan dan sumber daya alam yang ada di sekitarnya, pemerintah dalam pengelolaan
lingkungan hidup dan sumberdaya alam, lembaga sosial aktivitas, ekonomi pendidikan,
kesehatan dan lain-lain. Namun demikian, setiap aktivitas dan perilaku
manusia berpengaruh terhadap lingkungan.
Sebagai nelayan skala kecil, masyarakat pesisir sudah terbiasa menggunakan kapal ikan
berukuran skala kecil di bawah 10 gros ton (GT). Bahkan, dari 643.100 kapal ikan yang ada di
Indonesia, 95,5 persen diantaranya diketahui menggunakan kapal berukuran di bawah 10 GT.
Itu artinya, sektor perikanan tangkap di Nusantara sampai sekarang masih di dominasi oleh
nelayan skala kecil. Dengan status tersebut, nelayan kecil tetap bisa memberikan kontribusinya
untuk industri perikanan nasional, karena bisa memasok kebutuhan ikan domestik hingga 80
persen dari total kebutuhan konsumsi nasional.
Aktivitas pariwisata di wilayah pesisir potensial dikembangkan baik terkait wisata
alam maupun buatan. Namun demikian, wilayah pesisir merupakan wilayah yang rentan
mengalami kerusakan akibat aktivitas pariwisata wisata. Hall (2001) dan Zahedi (2008)
mengungkapkan bahwa pariwisata pesisir menjadi jenis pariwisata yang paling berkembang
di berbagai belahan dunia namun memiliki peluang dampak kerusakan lingkungan yang
lebih besar pula menyangkut berbagai atraksi dan destinasi yang mampu mengubah
karakteristik kepesisiran. Pariwisata hanya berprioritas pada keuntungan secara ekonomi
bukan lingkungan sehingga perlu ada pembinaan terhadap masyarakat lokal tentang
bagaimana mengelola wisata agar berkelanjutan terhadap lingkungan (Walpole & Goodwin,
2001; Zahedi, 2008). Ini menunjukkan bahwa aktivitas pariwisata dan lingkungan saling
terkait karena melibatkan banyak aktivitas wisata yang akan berdampak pada lingkungan,
ekonomi, fisik, dan sosial (Shafei & Mohamed, 2012; Rabbany, Afrin, Rahman, Islam, &
Hoque, 2013).
Kurangnya pengelolaan wilayah pesisir, penggunaan sumber daya yang
tidak tepat, kurangnya standar lingkungan, dan kurangnya keseimbangan antara aktivitas
wisata dengan ruang fisik menyebabkan kerusakan wilayah pesisir akibat aktivitas wisata
semakin parah (Shafei & Mohamed, 2012). Hal ini akan berdampak pada kondisi
perekonomian masyarakat yang menggantungkan pada sumber daya pesisir serta
keberlanjutan wilayah pesisir.
Salah satu contoh buruknya pengelolaan daerah pesisir adalah Kecamatan Muaragembong,
Kabupaten Bekasi. Kecamatan Muaragembong dimana wilayah pesisirnya mempunyai luasan
sebesar 122.90 km2, yang mana pada kecamatan tersebut terdiri dari adanya 6 desa diantaranya
Desa Pantai Bahagia, Pantai Sederhana, Pantai Bakti, Pantai Jaya Sakti, Pantai Mekar dan Desa
Pantai Harapan Jaya.
Ekosistem hutan mangrove pada kawasan pesisir di Kecamatan Muaragembong mengalami
penurunan sejak tahun 2012 dimana luas hutan mangrove sekitar 822,24 hektare dan
mengalami penurunan ekosistem hutan mangrovenya sebesar 5,06% dari tahun sebelumnya.
Dari penurunan luas tersebut, maka dapat dikatakan bahwa luasan lahan ekosistem hutan
mangrove menjadi bentuk dari alih fungsi lahan dikarenakan lahan tersebut telah berubah
menjadi fungsi lahan tambak dan lahan permukiman masyarakat. Dengan adanya lahan tambak
dan lahan permukiman tersebut juga membuat kondisi ekosistem mangrove mengalami
kerusakan. Hal tersebut mengakibatkan terganggunya keseimbangan antara ekosistem dan
lingkungan di pesisir Kecamatan Muaragembong tersebut.
Mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Muaragembong adalah sebagai tambak dan
nelayan yaitu sebesar 49,85% dari jumlah masyarakatnya yang menetap disana, sedangkan
untuk mata pencaharian masyarakat lainnya seperti pedagang, jasa transportasi, buruh industri,
karyawan, dan juga sebagai wiraswasta.
Dengan adanya berbagai macam aktivitas masyarakat yang hidup di pesisir Kecamatan
Muaragembong mengakibatkan masyarakat harus membuka lahan yang mana awalnya
merupakan lahan untuk ekosistem hutan mangrove dan juga lahan untuk estuari pada kawasan
muara untuk mendukung perekonomian dalam memenuhi kehidupan masyarakat.
Dari adanya pengurangan lahan pada ekosistem tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
perubahan fungsi dari fungsi ekologi menjadi fungsi ekonomis, sehingga fungsi dari ekosistem
hutan mangrove berkurang dalam melindungi pantai dari abrasi, tempat hidupnya para biota
laut serta dalam pencarian makanan, dan berkurangnya dalam pengendalian banjir.
Pengurangan fungsi tersebut telah mengakibatkan pesisir Kecamatan Muaragembong terjadinya
abrasi sehingga garis pantai mengalami perubahan sampai lebih kurang dari sejauh 4 km. Selain
terjadinya perubahan garis pantai Kecamatan Muaragembong juga mengalami banjir yang
diakibatkan oleh gelombang pasang dari Sungai Citarum.
Sehingga dari kejadian tersebut masyarakat di Kecamatan Muaragembong mengalami
kerugian berupa rusaknya rumah, berkurangnya jumlah dari hasil produksi penangkapan seperti
ikan, udang, kepiting, serta kerang kemudian juga rusaknya jaringan jalan, sanitasi yang menjadi
kurang baik di lingkungan tersebut, dan wilayah pesisir juga tidak bisa dimanfaatkan menjadi
kawasan pariwisata karena lingkungan yang tidak mendukung dalam mengembangkan kegiatan
pariwisata. Kerugian tersebut terjadi pada ekonomi masyarakat di pesisir Kecamatan
Muaragembong dapat dilihat bahwa ketersediaan sumberdaya alam dengan tingkat pendapatan
masyarakatnya tidak seimbang.
Selain di Kecamatan Muaragembong, dampak dari pemanfaatan lingkungan pesisir dapat
kita lihat di Desa Takisung, Desa Kuala Tambangan, dan Desa Tabanio, Kabupaten Tanah Laut,
Provinsi Kalimantan Selatan. Jenis dan faktor penyebab terjadinya kerusakan lingkungan berupa
degradasi lingkungan pesisir yaitu hilangnya Hutan Mangrove. Hutan Mangrove semakin
berkurang dari tahun ke tahun karena pohon mangrove banyak digunakan untuk kayu bakar dan
pembukaan lahan baru untuk pemukiman. Hilangnya kawasan mangrove sebagai penahan
gelombang dan angin serta aliran air laut dan menimbulkan abrasi serta rob yang lebih cepat ke
daratan. Akibatnya sebagian tambak hilang, salinitas tambak meningkat, tegalan dan sawah
menjadi bersalinitas tinggi serta hilangnya sebagian pemukiman. Kondisi seperti ini terjadi di
Desa Tabanio.
Selain hilangnya mangrove, gelombang laut juga ikut terdampak di sana. Gelombang besar
hampir terjadi di seluruh pesisir Kabupaten Tanah Laut, terutama pada akhir tahun 2013 dan
awal tahun 2014 terjadi gelombang yang mencapai 3-4 meter. Gelombang disebabkan oleh
pemanasan global yang terjadi di seluruh dunia. Gelombang ini mengakibatkan pengikisan pantai
sehingga terjadi abrasi. Akibat langsung dari abrasi ini di Desa Kuala Tambangan adalah
hilangnya 13 buah rumah, dan pantai yang semakin sempit dari tahun ke tahun. Di samping itu
pepohonan juga banyak yang tumbang. Sedangkan yang terjadi di Desa Tabanio rusaknya rumah
di pinggir pantai dan semakin sempitnya pantai sehingga air laut semakin mendekati
pemukiman. Di Desa Takisung hantaman ombak ini tidak hanya mengenai pemukiman
masyarakat tetapi juga fasilitas umum seperti mesjid, fasilitas pariwisata, pepohonan juga
banyak yang tumbang dihantam gelombang.
Saat gelombang tinggi para nelayan banyak yang tidak berani melaut dan hanya sebagian
orang saja yang berani melaut. Aktivitas nelayan saat gelombang tinggi diantaranya ada yang
bekerja pergi ke sawah bila ada mempunyai lahan pertanian, ada yang memperbaiki alat tangkap
dan ada yang hanya istirahat di rumah. Dari hasil penelitian kebanyakan para nelayan tidak
berani pergi melaut hanya istirahat di rumah dan memperbaiki alat tangkap bila ada yang rusak.
Masing-masing daerah yang menjadi lokasi penelitian memiliki aktivitas berbeda-beda, seperti di
Tabanio banyak nelayan yang istirahat saja di rumah sambil memperbaiki alat tangkap yang
digunakan bila ada kerusakan. Daerah Kuala Tambangan nelayan nya kebanyakan beristirahat
saja dan hanya sebagian orang yang pergi ke kebun. Bagi daerah Takisung kebanyakan para
nelayan di sana menangkap ikan di malam hari dan di pagi hari ada yang berjualan dan sebagian
ada yang pergi ke kebun. Nelayan Tabanio bila kondisi cuaca buruk banyak yang memperbaiki
alat tangkap atau memperbaiki kapal dan hanya sebagian saja yang beristirahat.
Air pasang juga terjadi di hampir seluruh daerah pesisir Kabupaten Tanah Laut, terutama
pada akhir tahun 2013 dan awal tahun 2014. Air pasang yang terparah terjadi di Desa Tabanio,
apabila air pasang masuk ke pemukiman penduduk mencapai 500 meter dari pantai, dengan
tinggi mencapai ¼ meter di dalam rumah, air pasang ini tidak hanya merendam pemukiman
tetapi juga persawahan penduduk, fasilitas umum seperti sekolah, kuburan dan cagar budaya
(peninggalan sejarah berbentuk benteng). Di Desa Takisung air pasang masuk ke daratan
mencapai 200 meter yang merendam perumahan, fasilitas umum, persawahan serta tempat
wisata. Di Desa Kuala Tambangan masuknya air laut akibat pasang mencapai 200 meter sehingga
merendam perumahan dan fasilitas umum berupa sekolah, kuburan dan pasar.
Kekayaan alam kelautan dan sumberdaya pesisir yang dimiliki Indonesia tersebut antara lain
berupa sumberdaya perikanan, sumberdaya hayati (biodiversity) seperti mangrove, terumbu
karang, padang lamun, serta sumberdaya mineral seperti minyak bumi dan gas alam termasuk
bahan tambang lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Lahan pesisir (coastal land) yang
landai seperti pantai Timur Sumatera, Pantai Utara Jawa dan Pantai Barat Sulawesi Selatan pada
umumnya secara geologis terbentuk oleh endapan alluvial yang subur dan dapat menjadi lahan
pertanian produktif. Di samping itu, kini banyak terungkap bahwa wilayah lautan Indonesia
memiliki harta karun yang banyak di dasar laut akibat kapal-kapal pelayaran niaga yang karam
pada masa lalu.
Namun demikian, sejauh ini pemanfaatan sumberdaya kelautan masih jauh dari optimal.
Pembangunan yang dilakukan selama PJP II yang ditekankan pada wilayah daratan
menyebabkan kurang berkembangnya wilayah pesisir sehingga pada umumnya masyarakat
pesisir merupakan masyarakat miskin. Selain itu, kegiatan pembangunan di wilayah daratan juga
menyisakan beragam permasalahan yang mengancam kesinambungan pembangunan, seperti
pencemaran, gejala penangkapan ikan berlebih (overfishing), penangkapan ikan dengan bahan
peledak, penambangan terumbu karang untuk bahan bangunan, degradasi fisik habitat pesisir,
konflik pemanfaatan ruang, dan lain sebagainya.
Seiring dengan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, peran
Daerah akan menjadi besar, termasuk pula dalam pengelolaan pembangunan di sektor kelautan.
Selama masa Orde Baru, yang selain sistem pemerintahan cenderung sentralistis, juga telah
menempatkan pembangunan kelautan kurang memperoleh prioritas penanganan. Diharapkan
dengan dilaksanakannya otonomi daerah akan mendorong pertumbuhan lebih merata keseluruh
daerah, serta peran masyarakat dalam pembangunan dapat lebih diberdayakan.
Perlunya penataan ruang lautan terdapat dalam pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang menyebutkan bahwa penataan ruang wilayah
propinsi dan wilayah kabupaten, disamping meliputi ruang daratan, juga mencakup ruang lautan
dan ruang udara sampai batas tertentu yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa penataan ruang lautan dan penataan ruang udara di
luar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur secara terpusat dengan Undang-Undang.
Penataan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan kegiatan penataan ruang lautan
sebagaimana dimaksud pada pasal tersebut.
Selain peran dari pemerintah Daerah, masyarakat setempat juga diharapkan turut serta
dalam menjaga lingkungan area pesisir agar tidak terjadi kerusakan lingkungan, atau mengurangi
dampak kerusakan lingkungan yang ada. Seperti di Desa Kuala Tambangan, Kabupaten Tanah
Laut, Kalimantan Selatan, penduduk disana lebih menyadari pentingnya manfaat hutan bakau,
sehingga masyarakat melakukan penanaman bakau lebih intensif dan reboisasi hutan bakau
berhasil dilakukan di Desa Kuala Tambangan bahkan ada usaha pembibitan pohon bakau yang
dilakukan oleh kelompok usaha tani di desa tersebut.

Penutup

Kesimpulan
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah lautan meliputi hampir dua per
tiga bagian dari seluruh luas wilayah Nusantara yang potensial dengan sumberdaya pesisir dan
lautan berupa sumberdaya perikanan, mangrove, terumbu karang, padanglamun, sumberdaya
mineral minyak bumi dan gas alam termasuk bahan tambang lainnya yang memiliki nilai
ekonomi tinggi. Akan tetapi, jika tidak diiringi dengan penjagaan lingkungan maka potensi-
potensi tersebut akan rusak dan ekonomi nasional akan terpengaruh karenanya.

Daftar Pustaka

- Zulmiro Pinto. 2011. Kajian Perilaku Masyarakat Pesisir yang Mengakibatkan Kerusakan
Lingkungan (Studi Kasus di Pantai Kuwaru, Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan,
Kabupaten Bantul, Provinsi DIY). 3(3): 163-174. Tersedia pada:
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jwl/article/view/471
- Yurial Arief Lubis. 2014. Studi Tentang Aktivitas Ekonomi Masyarakat Pesisir Pantai
Pelabuhan. 2(2): 133-140. Tersedia pada:
http://ojs.uma.ac.id/index.php/jppuma/article/download/918/932
- Rima Mustika. 2017. Dampak Degradasi Lingkungan Pesisir Terhadap Kondisi Ekonomi
Nelayan: Studi Kasus Desa Takisung, Desa Kuala Tambangan, Desa Tabanio. 6(1): 28-34.
Tersedia pada: https://ojs.umrah.ac.id/index.php/dinamikamaritim/article/view/189
- Rokhimin Dahuri. 2001. Pengelolaan Ruang Wilayah Pesisir dan Lautan Seiring dengan
Pelaksanaan Otonomi Daerah. Dalam: Semiloka dan Pelatihan Penataan Ruang Wilayah
Propinsi, Kabupaten dan Kota Dalam Rangka Otonomi Daerah, kerjasama Bappeda
Propinsi dan LPPM Unisba, Bandung 2-3 Mei 2001. Tersedia pada:
https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/38
- Aldania. 2020. Dampak Perubahan Fungsi Ekosistem Pesisir terhadap Lingkungan di
Wilayah pesisir Kecamatan Muaragembong, di
https://www.kompasiana.com/aldania25/5e74b66c097f361f49363ea2/dampak-
perubahan-fungsi-ekosistem-pesisir-terhadap-lingkungan-di-wilayah-pesisir-kecamatan-
muaragembong?page=1 (Diakses pada 20 Mei 2020 Pukul 10.57 WITA).
- M Ambari. 2019. Kenapa Pembangunan Pesisir Terus Berdampak Negatif? di
https://www.mongabay.co.id/2019/01/18/kenapa-pembangunan-pesisir-terus-
berdampak-negatif/ (Diakses pada 20 Mei 2020 Pukul 10.55 WITA).

Anda mungkin juga menyukai