Anda di halaman 1dari 8

OPTIMASI ENERGI HIJAU PADA SISTEM KELISTRIKAN NIAS

Oleh:

Tim Kajian Ekonomi Energi Magister Teknik Elektro 2020 (Grup 4)

Kepulauan Nias merupakan pulau di sebelah barat Sumatera Utara yang masuk ke dalam
wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara. Mungkin banyak warga Indonesia yang belum
mengetahui tentang Pulau Nias, pulau yang memiliki potensi wisata yang dinilai dapat
menyamai Pulau Bali. Pulau Nias memiliki potensi wisata alam khususnya pantai dan laut yang
indah yang belum banyak dijamah. Apalagi dengan wilayah geografis yang dekat dengan
Singapura dan Malaysia memungkinkan Pulau Nias menjadi alternatif tujuan para wisatawan
mancanegara dari negara tetangga. Pulau Nias memiliki luas wilayah sekitar 5.625 km 2.
Kepulauan Nias terdiri dari lima daerah, yakni Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Utara,
Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Selatan, dan Kota Gunung Sitoli dengan penduduk
sekitar 1 Juta jiwa.
Pulau Nias dengan potensi wisata yang bagus akan berkembang dan dapat menunjang
perekonomian jika ditunjang dengan infrastruktur yang baik, khususnya dari segi penyediaan
infrastruktur listrik. Rasio elektrifikasi saat ini yang masih berada pada angka 51,38% di pulau
Nias, masih memerlukan peningkatan rasio elektrifikasi yang tinggi agar seluruh penduduk
Pulau Nias dapat memiliki kesempatan sama untuk membuka peluang pariwisata dengan
kondisi kelistrikan yang mumpuni. Dengan kapasitas daya mampu pembangkitan 47,4
megawatt (MW), Nias saat ini memiliki Beban Puncak rata-rata sekitar 30 MW menurut RUPTL,
dengan panjang jaringan tegangan menengah 8.603,01 kms dan tegangan rendah 1,413.77
kms. Nias saat ini memiliki Gardu Induk 70 kV sebanyak 2 buah, terletak di Gunungsitoli dan
Teluk Dalam, dengan kapasitas trafo daya 2x30 MVA. Kondisi surplus ini tentunya sangat
mendukung PLN dan Pemda, serta seluruh stakeholder untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di
Pulau Nias. Sistem kelistrikan Nias terpisah dari sistem kelistrikan Sumatera, walaupun masuk
ke dalam wilayah Sumatera Utara. Menurut data bahwa bahan bakar pembangkit listrik di Nias
47 % adalah pembangkit dengan bahan bakar BBM, sedangkan 53 % dengan bahan bakar
Non-BBM
Profil Bahan Bakar Pembangkit Nias

53% 47%

KIT BBM KIT NON-BBM

Pada tahun 2016, Pemerintah dalam hal ini KemenESDM (Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral) telah memasukkan Pulau Nias ke dalam PIT (Program Indonesia Terang). Dengan
berbagai sumber energi listrik yang ada diharapkan seluruh masyarakat Pulau Nias bisa
menikmati listrik sehingga mendukung perekonomian melalui berbagai sektor salah satunya
adalah pariwisata.

Pada artikel ini tim kami yang merupakan Mahasiswa program Magister Teknik Elektro Teknik
Tenaga Elektrik Institut Teknologi Bandung pada kelompok penelitian Ekonomi Energi akan
mereview RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) dan melakukan analisis skenario
optimalisasi pengembangan energi hijau atau energi baru dan terbarukan.

Berdasarkan RUPTL 2019-2028 pertumbuhan beban puncak tahunan di Nias diproyeksikan


memiliki asumsi yang sama dengan wilayah Sumatra Utara yaitu mencapai rata-rata 7,43%
dengan peningkatan tertinggi mencapai 9,94% pada tahun 2022 atau kenaikan lebih dari 27,14
MW hingga 2028. Pada tahun 2024 kebutuhan listrik di Nias akan mencapai 44,18 MW yang
berarti perlu dilakukan pengembangan pembangkit listrik karena kebutuhan listrik yang sudah
melebihi reserve margin dari kapasitas pembangkitan saat ini. Menurut RUPTL tersebut, untuk
sistem kecil seperti Nias yang belum terinterkoneksi dengan sistem kelistrikan Sumatra, maka
perencanaan pembangkitan harus dibuat dengan kriteria N-2, yaitu cadangan harus lebih besar
dari 1 unit terbesar pertama dan 1 unit terbesar kedua. Sebagai tambahan pembangkit dalam
sistem Nias, sampai dengan periode 5 tahun ke depan (2019-2024) direncanakan penambahan
pembangkit PLTMG (Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas) dan PLTBm (Pembangkit Listrik
Tenaga Biomassa) sedangkan untuk pemenuhan beban puncak masih akan tetap disuplai oleh
PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) dengan bahan bakar HSD (High Speed Diesel).

Selain itu akhir akhir ini isu mengenai pengurangan energi fosil menjadi energi yang lebih
ramah lingkungan yaitu Renewable energy telah banyak digaungkan oleh masyarakat dunia.
Bahkan pada tahun 2016, Menteri ESDM saat itu Archandra Tahar pada suatu konferensi
energi, berujar bahwa Renewable energy bukanlah suatu pilihan, namun suatu keharusan.
Indonesia adalah negara dengan potensi EBT (energi baru terbarukan) yang melimpah,
mengutip ucapan mantan Wakil Presiden Republik Indonesia pada acara IIGCE (Indonesia
International Geothermal Convention and Exhibition ) pada tahun 2016 yang menyampaikan
bahwa potensi geothermal di Indonesia mencapai 30.000 MW atau lebih dari 40% dari potensi
dunia. Panas bumi yang sudah dimanfaatkan hanya 1,5 GW. Jika dalam 10 tahun mendatang
berencana menghasilkan listrik dari panas bumi sebesar 7.000 MW, maka masih tersedia 70%
yang siap untuk dikelola pada masa-masa mendatang. Selain itu potensi lain seperti
pembangkit tenaga air, angin, surya, dan lain-lain yang melimpah di Indonesia yang belum
sepenuhnya dimanfaatkan.

Potensi Energi di Pulau Nias dari hasil kajian beberapa studi menunjukkan bahwa PLTBm
mempunyai kapasitas potensi 15,8 MW disusul PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dengan
kapasitas 10 MW, lalu PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) sebesar 2 MW diikuti PLTMH (
Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) dan pembangkit listrik tenaga tidal dengan kapasitas
masing-masing 0,5 MW dan 0,8 MW, maka total potensi energi di pulau Nias sebesar 29,1 MW
di mana hampir 45 % dari potensi energi yang ada merupakan Renewable energy. Selain itu
sesuai RUPTL bahwa di Pulau Nias akan masuk 3 Pembangkit yaitu PLTMG dua unit pada 2020
dan 2021 dengan masing-masing kapasitas 10 MW dan PLTBm pada tahun 2023 dengan
kapasitas 9,8 MW.
Berdasarkan data yang telah dijelaskan dan hasil kajian, tim mencoba membuat analisa
penambahan pembangkit dalam 5 tahun ke depan hingga tahun 2024 di sistem kelistrikan
Pulau Nias dengan membuat 6 skenario pembangunan pembangkitan, di mana skenario ini
memprioritaskan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil atau HSD, dan peningkatan
penetrasi Renewable energy. Hasil yang ingin dicapai oleh tim adalah mengetahui nilai LCOE
(Levelized Cost of Energy) dari setiap skenario dan biaya emisi CO 2 dari setiap skenario, Selain
LCOE dan biaya Emisi CO2, kajian energy security juga dilakukan melalui penilaian terhadap
kondisi pembebanan, kualitas tegangan dan losses dari masing-masing skenario tersebut.

Skenario pertama mengacu pada RUPTL dimana tidak ada penetrasi Renewable energy,
penambahan pembangkit terletak pada PLTBm sebesar 16 %, PLTMG 74 %, dan PLTD dengan
Bahan Bakar HSD 10 % .

Skenario kedua penetrasi Renewable energy sebesar 9 %, dimana seluruh Renewable energy
menggunakan PLTS (100 %), lalu PLTBm sebesar 24 %, dan PLTMG 67 % , tanpa PLTD (HSD).

Skenario ketiga penetrasi Renewable energy sebesar 15 %, dimana seluruh Renewable


energy menggunakan PLTS (100 %), lalu PLTBm sebesar 16 %, dan PLTMG 69 % , tanpa PLTD
(HSD).
Skenario keempat penetrasi Renewable energy sebesar 16 %, dimana Renewable energy
menggunakan PLTS (95 %) dan sisanya PLTMh, lalu PLTBm sebesar 15 %, dan PLTMG 69 % ,
tanpa PLTD (HSD).

Skenario kelima penetrasi Renewable energy sebesar 18 %, dimana Renewable energy


menggunakan PLTS (73 %) dan sisanya PLTMh dan PLTB, lalu PLTBm sebesar 15 %, dan
PLTMG 67 % , tanpa PLTD (HSD).

Skenario keenam penetrasi Renewable energy sebesar 18 %, dimana Renewable energy


menggunakan PLTS (75 %) dan sisanya PLTMh dan PLTB, lalu PLTBm sebesar 21 %, dan
PLTMG 61 % , tanpa PLTD (HSD).

Penilaian terhadap Affordability (LCOE) dan Sustainability (Biaya Emisi CO2) menggunakan
aplikasi EnergyPLAN Aalborg University. Affordability ditinjau dari nilai total annual cost
pembangkit selama 5 tahun sedangkan Sustainability ditinjau dari nilai emisi CO 2 cost selama 5
tahun. Efisien atau energy security, ditentukan oleh kehandalan pada pembebanan, kualitas
tegangan dan losses. Pada kajian ini, diasumsikan semua skenario handal dalam pembebanan,
sedangkan tegangan dan losses jaringan akan diuji dengan mempergunakan Load Flow
Analysis dengan Software ETAP. Skema Trilemma digunakan untuk menentukan skenario
terbaik dalam pemilihan alternatif energi yang efisien, sustain (green energy), dan affordable
(terjangkau), pada skema ini Energy Security memiliki bobot 30%, Affordability memiliki bobot
30%, dan Sustainability memiliki bobot 40%.

Gambar Skema Trilemma


Hasil dari analisis yang telah dilakukan yaitu Skenario (1) RUPTL akan menghasilkan nilai LCOE
pada tahun 2024 sebesar 0,1389 USD/Kwh (Rp. 1.978/Kwh) dengan Biaya Emisi CO 2 selama 5
tahun mencapai 9,7 Juta USD. Dari 6 skenario yang diajukan, maka nilai LCOE terendah
sebesar 0,1082 USD/Kwh (Rp. 1.541/Kwh) diperoleh pada skenario ke-6 dengan penetrasi
Renewable energy sebesar 18% dari total energi primer yang dipergunakan. Selanjutnya,
Skenario ke-6 yang diajukan juga menghasilkan nilai biaya CO 2 terendah sebesar 6,9 juta USD
artinya nilai ini ekivalensi dengan penurunan emisi CO 2 sebesar 91,14 kilo Ton CO2
dibandingkan dengan skenario RUPTL.

Dari sudut pandang analisis energy security melalui penilaian terhadap tegangan dan losses
Jaringan, dari 6 skenario yang diajukan, nilai terbaik dicapai oleh skenario ke-4 yaitu ketika
penetrasi Renewable energy sebesar 16% dari total suplai energi primer dengan PLTS
mencapai 95% dari keseluruhan Renewable Energy.

Pemilihan alternatif terbaik dari 6 skenario tersebut dilakukan dengan konsep energy Trilemma,
yang menggabungkan penilaian (scoring) atas unsur Energy security, Affordability (LCOE), dan
Sustainability (Emisi CO2). Dari hasil scoring tiga unsur energi berdasarkan skema trilemma,
maka skenario yang menjadi alternatif terbaik adalah skenario ke-6 dimana penetrasi
Renewable energy sebesar 18 %, dengan Renewable energy menggunakan PLTS sebesar 75 %
dari keseluruhan Renewable energy.

Berdasarkan data Aplikasi EnergyPLAN Aalborg University, dapat dinyatakan bahwa


meningkatnya penetrasi Renewable energy mampu menurunkan nilai LCOE atau biaya pokok
produksi kelistrikan suatu wilayah pada periode tertentu. Dapat disimpulkan bahwa penetrasi
Renewable energy pada sistem berdampak baik pada penurunan biaya pokok produksi
kelistrikan yang bisa dikatakan ini adalah sebuah penghematan biaya kelistrikan, dan skenario
terbaik dari hasil analisis tim kami adalah skenario ke-6. Selain itu, peningkatan penetrasi
Renewable energy yang tepat mampu menurunkan tingkat emisi CO2 pada suatu wilayah.

Tim merupakan Mahasiswa program Magister Teknik Elektro, Teknik Tenaga Elektrik, Institut
Teknologi Bandung (ITB) pada Kelompok Kajian Ekonomi Energi Magister Teknik Elektro 2020
(Grup 4)

Anggota Tim :

1. Heri Sutikno (Ketua Tim Riset) – 23219005


2. Boy Ihsan (Wakil Ketua Tim) – 23219044
3. Nuriyanto Eko Saputro – 23219040
4. Mohamad Ramdan Febriana H – 23219045
5. Komaruddin – 23219024
6. Nungky Prameswari – 23219038

Anda mungkin juga menyukai