Anda di halaman 1dari 88

[1]

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM


“Ibnu Bajjah”
FILSAFAT UMUM

Buku Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Filsafat Umum

Disusun oleh :

Nama: Muhammad Ramzi Nugraha (1171040098)

Jurusan: Tasawuf Psikoterapi

Semester: dua (2)

Kelas: D

JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2017/2018

[2]
[3]
BIOGRAFI

Lahir : 1095

Zaragoza, Andalusia

Meninggal : 1138 (umur 42-43)

Fez, Maroko

Kebangsaan : Andalusia

Bidang : Astronom, filsuf,

fisikawan, musisi,

sastrawan, ilmuwan

Memengaruhi : Ibnu Tufail, Al-Bitruji,

Averroes

[4]
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan pada kehadirat


Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan buku yang berjudul Filsafat
Islam “Ibnu Bajjah” dengan tepat waktu. Buku ini
bertujuan untuk memenuhi tugas semester satu oleh
dosen pengampu mata kuliah Filsafat Umum atas
bimbingannya sehingga buku ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya

Penulis berharap buku ini dapat memberi manfaat


dan menambah wawasan bagi pembaca. Penulis
memohon maklum jika buku ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yangdapat membangun dari pembaca.

Bandung, 03 Juni 2018

Penulis

[5]
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................1

DAFTAR ISI..................................................................6

PENDAHULUAN..........................................................8

Pengertian........................................................................8

Filsafat Islam.................................................................10

Ibnu Bajjah....................................................................24

Para Pendahulunya........................................................28

Karya karyanya.............................................................36

Filsafatnya....................................................................38

Materi Dan Bentuk.......................................................40

Psikologi.......................................................................43

Akal Dan Pengetahuan.................................................62

Tuhan, Sumber Pengetahuan........................................74

Filsafat Politik..............................................................76

[6]
Etika..............................................................................79

Tasawuf.........................................................................83

DAFTAR PUSTAKA..................................................88

BIOGRAFI PENULIS................................................89

[7]
PENDAHULUAN

A. Pengertian Filsafat

Dalam lisan Al-Arab,kata falsafat1 berakar dari


kata falsafa,yang memiliki arti al-hikmah2 sebuah kata
yang berasal dari luar bahasa Arab.3

Kata falsafah dipinjam dari kata Yunani yang


sangat terkenal,philosophia,4 yang berarti kecintaan pada
kebenaran (wisdom). Dengan sedikit perubahan,kata
falsafah diindonesiakan5 menjadi “filsafat” atau juga
“filosofi”(karena adanya pengaruh ucapan
Inggris,philosophy).dalam ungkapan arabnya yang lebih

1
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. [Bandung: Rosdakarya, 1990]; Asep
Ahmad Hidayat, Filsafat bahasa. [Bandung: Rosdakarya, 2006],hlm.
19.Al-Farabi, book of letters, [editor: M.Mahdi], Daar Al-Masyriq,
1970, hlm. 155; Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam,[terj. Amin
Abdullah], [Yogyakarta: IAIN, 1984], hlm. 20.
2
Ensiklopedia Hukum Islam, Depag. RI.,Jakarta, 1997, hlm. 550.
3
Ibnu Al-Manzur, Lisan Al-A’rab, [Beirut: Dar al-Fikr,1990], jilid 9,
Cetakan ke-1, hlm. 273.
4
Imam Barnadib, 1992:11]; [Arifin 1993:1]; [Abdul Munir Mulkan,
1993:38]; [Abu Ahmadi, 1982:9] dan [Asep Ahmad Hidayat,
2006:6].
5
Filsafat Agama: Titik Temu Akal dengan Wahyu, (Jakarta,
Pedoman ilmu Jaya, 1992), cet. ke-1, hlm. 3.

[8]
“asli”,cabang ilmu tradisional Islam ini disebut ‘ulum al-
hikmah atau secara singkat al-hikmah (padanan kata
Yunani Sophia),yang artinya ialah “kebijaksanaan”
atau,lebih tepat lagi ,”kawicaksanaan” (jawa) atau
wisdom (Inggris). Dengan demikian,failusuf (diambil
dari kata Yunani philosophos,pelaku filsafat),disebut
juga,al-hakim (ahli hikmah atau orang bijaksana),dengan
bentuk jamak al-hukama.6

Pengertian filsafat yang semula berarti cinta


kearifan ternyata menjadi luas sekali. Dahulu,kata
Sophia tidak hanya berarti kearifan saja,melainkan
berarti pula kebenaran pertama,pengetahuan
luas,kebijakan intelektual,pertimbangan sehat sampai
kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikan dalam
memutuskan soal-soal praktis.7

B. Filsafat Islam

6
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban. [Jakarta Yayasan
Paramadina, 1992], hlm. 218-219.
7
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu. [Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 1999], Cetakan keempat, hlm. 29;lihat pula F.E. Peters,
Greek Philosophical Terms: A History Lexicon, 1967, hlm. 156 &
179.

[9]
Filsafat islam ialah pembahasan meliputi
berbagai soal alam semesta dan bermacam masalah
manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun
bersama lahirnya agama islam.

Sebelum kami mendalami pembahasan


mengenai pelbagai persoalan tersebut dan sebelum
diketengahan beberapa masalah yang di hadapi dan
diusahakan pemecahannya oleh filsafat islam, baiklah
kami bicarakan lebih dulu: Apakah filsafat itu bercorak
islam atau bercorak arab. Pembicaraan mengenai hal itu
kami pandang perlu mengingat pengaruh pemisahan
corak tersebut terhadap soal filsafat itu sendiri.

Persoalan tersebut bukan hanya dihadapi oleh


para sejarawan masa silam, tetapi dihadapi juga oleh
para sejarawan abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Terutama setelah lahirmya nasionalisme Arab dan
tumbuhnya kesadaran bangsa Arab akan kepribadiannya.
Tentang persoalan itu, baik para ahli fikir masa silam
maupun yang hidup dalam zaman belakangan, masing-
masing mempunyai pendapatnya sendiri-sendiri.

[10]
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan islam,
kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh
orang-orang Arab, tampilah beberapa filosof seperti Al-
Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain. Kaum
sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang
kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para
penulis buku itu menyebut mereka kaum “filosof islam”.
Ada pula yang menamakan “para filosof beragama
Islam”. Kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan
“para ahli himah Islam” (Filasifatul-Islam,atau al-
Falasifatul-Islamiyyin atau Hukama’ul-Islam), mengikuti
sebutan yang diberikan Syahrustani, Al-Qifthi, Al-
Baihaqy dan lain-lain. Oleh karena itu Syaikh Mustafa’
Abdurrazak mengatakan dalam bukunya yang berjudul
Pengantar Sejarah Islam1: “para ahli filsafat telah sepakat
member nama demikian, karena pemberian nama lain
tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisruhkan”.
Selanjutnya ia menyimpulkan: “maka kami berpendapat
perlu menamakan filsafat itu sendiri, dengan nama yang
telah diberikan oleh para ahli filsafat itu senditi, Filsafat
Islam, dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri

[11]
Islam dan berada di bawah pengayoman Negara Islam.
Tanpa memandang agama dan bahasa para ahli filsafat
yang bersangkutan”.8

Seusai upacara pembukaan Universitas Mesir,


seorang ahli masalah ketimuran (orientalis) Profesor
Nellinou memberikan ceramah tentang Sejarah Ilmu
Falak (Astronomi) di Kalangan Orang Arab. Dalam
kesempatan itu ia menampilkan tentang penamaan
tersebuit dan mengupas beberapa tesis yang dibicarakan
para ahli filsafat dari kedua belah pihak (yakni yang
member nama Filsafat Islam dan yang memberi nama
Filsafat Arab). Antara lain mengatakan sebagai berikut:

“setiap pembicaraan mengenai masa jahiliyah,


atau masa awal kelahiran Islam, makna
sesungguhnya dan yang wajar dari kata-kata
“Arab” tidak diragukan lagi menunjuk pada
suatu bangsa yang bermukim di daerah
semenanjung yang dikenal dengan nama
‘Jazirah Arabia’.
8
Dr. Ahmad Fuad Al-ahwani, Filsafat Islam. (Jakarta : Pustaka
Firdaus,1985), hal. 7,8

[12]
Akan tetapi, jika pembicaraan itu beralih
ke abad-abad berikutnya, mulai abad pertama
Hijriyah kata “Arab” berubah menjadi suatu
istilah yang maknanya ialah segala bangsa dan
rakyat yang bermukim di seluruh wilayah
kerajaan Islam, yang pada umumnya
mempergunakan bahasa Arab dalam menulis
buku-buku ilmiah. Dengan demikian istilah
“Arab” mencakup orang Persia, India, Turki,
Suriah, Mesir, Barbar (Barber = penduduk
Afrika Utara) Andalusia dan lain-lain. Yaitu
orang yang berbagai kebangsaan yang menulis
buku-buku ilmiah dalam bahasa Arab, karena
mereka bernaung di bawah Negara-negara
Islam. Jika kita tidak menyebut mereka dengan
“Arab” ‘sukar sekali bagi kita untuk dapat
berbicara tentang ilmu falak, karena sangat
sedikit putera Qathan dan ‘Adnan2 yang
memiliki kecerdasan berfikir”.

Dari pernyataannya tersebut jelaslah bahwa Neliinou


menitik-beratkan pendapatnya pada bahasa. Karena itu ia

[13]
mengatakan, ilmu tersebut (filsafat) oleh orang-orang
Arabdiartikan ilmu yang ditulis dalam bahasa Arab.
Lantas Nellinou mengutip pendapat Ibnu Khaldun yang
mengatakan: “para ahli ilmu (filsafat) di kalangan ummat
Islam sebagian besar terdiri dari orang-orang ‘ajam (non
Arab)”.kemudian Nellinou membahas pendapat lain
tentang persoalan itu yang bersifat kebalikannya, yaitu
yang menamakan ilmu tersebut Filsafat Islam. Ia
menolak penamaan itu berdasarkan alas an, karena kata-
kata “Islam” atau “muslimim” menyingkirkan orang-
orang Nasrani, Yahudi, Shabi-ah dan para pemeluk
agama yang lain. Padahal andil mereka ini tidak kecil
dalam pelbagai cabang ilmu dan kesusastraan Arab,
khususnya ilmu pasti, ilmufalak, ilmu kedokteran dan
filsafat, Nellinou juga menegaskan penggunaan kata
“Islam” atau “Muslimin” mengharuskan orang
melakukan penelitian lagi mengenai buku-buku yang
ditulis oleh kaum muslimin dalam bahasa-bahasa asing
(bukan bahasa Arab), seperti bahasa Persia dan Turki
misalnya yang berada di luar pembicaraan kita.

[14]
Atas dasar pendapat-pendapat tersebut di atas
Nellinou menarik kesimpulan: “lebih tepatlah kiranya
kalau kita semua menyetujui dengan bulat apa yang
sudah lazim dipakai oleh para penulis zaman
belakangan, yaitu menggunakan kata “Arab” sebagai
istilah, yakni menurut bahasa yang digunakan untuk
menulis buku-buku itu. Bukan menurut kebangsaan para
penulisnya.”

Dalam suatu rangkaian studi tentang Filsafat


Islam yang diselenggarakan di Colonia tahun 1959,
rekan kami Al-An Qinwati mengumumkan hasil
penelitiannya pada tahun itu juga4. Hasil penelitiannya
itu berupa kesimpulan berdasarkan suatu angket yang
ditujukannya kepada para ahli filsafat Islam di seluruh
dunia. Semua jawaban yang diterima dikumpulkan,
kemudian disiarkan secara luas. Dari hasil angket
tersebut dapat diketahui dengan jelas adanya perbedaan
besar tentang penamaan filsafat tersebut. Di antara
beberapa penamaan yang saling berlainan itu ialah:
Filsafat Islam, Filsafat Arab, Filsafat Negara-negara
Islam, Filsafat dalam dunia Islam dan lain sebagainya.

[15]
Pada bagian ini kami ingin mengetengahkan beberapa
pendapat mengenai penamaan itu, karena persoalannya
memang cukup menarik.

Orang-orang Iran, India, dan Turki lebih suka


menamakan filsafat yang ditulis oleh orang Arab:
Filsafat Islam. Istilah mereka itu pada zaman kita dewasa
ini tidak mengherankan. Karena mereka telah sangat
lama terputus hubungannya dengan bahasa Arab, kecuali
beberapa orang saja yang ahli dengan bahasa itu.

Seorang asisten dosen pada Universitas Teheran


berpendapat, bahwa penamaan Filsafat Arab berarti
mengeluarkan para ahli fikirnya yang dari Iran,
Afghanistan, Pakistan dan India. Ia lebih suka memilih
istilah lain, misalnya: Filsafat Islam atau Filsafat Negeri-
Negeri Islam dan sekitarnya.

Professor Asynah mengatakan: “jika yang


dimaksud dengan istilah itu pemikiran filsafat yang
tersebar di sebagian permukaan bumi setelah Agama
Islam dan bahasa Arab meluas kemana-mana. Yaitu
pemikiran filsafat yang selalu dirumuskan dalam bahasa

[16]
Arab, atau yang kadang-kadang oleh para penulisnya
sendiri dirumuskan dalam bahasa Persia, maka
pemisahan sebagian dari pemikiran itu dari bagiannya
yag lain merupakan kejanggalan dan tampak dibuat-buat.
Apalagi kalau pemisahan itu didasarkan pada alat
(bahasa) yang dipergunakan untuk merumuskan
pemikiran filsafat itu, atau didasarkan pada keyakinan
agama para penulisnya. Bagaimana mungkin kita dapat
mengambil sebagian dari pemikiran seorang filosof yang
dituangkan dalam bahasa Persia kita abaikan?
Bagaimana mungkin kita dapat menolak begitu saja
pemikiran seorang filosof hanya karena ia beragama
Yahudi? Bagaimana halnya dengan pemikiran
Sahruwardi atau Ar-razi penulis buku Makhariqul-
Anbiya? Itulah sebabnya saya menghindari penamaan
Filsafat Arab atau Filsafat Islam. Saya lebih suka
menyebutnya Filsafat di Dunia Islam.

Courban, seorang Orientalis Perancis ahli


tentang Islam dan Iran mempertahankan istitlah Filsafat
Islam. Ia mengatakan: “jika kita berpegang pada
penamaan Filsafat Arab, maka pemikiran itu menjadi

[17]
sempit, bahkan keliru. Bagaimana kita bisa
menempatkan pemikiran Nashir Khasru, misalnya, atau
pemikiran Afdhal Kasyani dan para ahli fikir Persia
(Islam) lainnya yang hidup pada abad ke-11 hingga abad
ke-13. Mereka tidak menuliskan pemikirannya kecuali
dalam bahasa Persia! Jika sebutan ‘Arab’ dalam zaman
kita dewasa ini mencakup pengertian polotik dan
kebangsaan dapat dibenarkan, pengertian itu tidak bisa
membawa kita ke lapangan ilmu atau sastra. Lagipula
saya sendiri menolak mengaitkan pengertian keagamaan
dengan tanah air atau kebangsaan tertentu. Karena itu
istilah yang paling tepat dan benar ialah Filsafat Dalam
Islam, atau Filsafat Islam, atau Filsafat Di Negeri-Negeri
Islam. Kalau penamaan yang terakhir disebutkan terasa
terlampau panjang dan dianggap kurang baik untuk
dijadikan istilah, saya tetap menolak member predikat
‘muslimah’ (musulman) pada filsafat tersebut. Sebab
penamaan itu masih tetap mencakup keyakinan pribadi
filosof yang bersangkutan, sedangkan Filsafat Islam
mencakup segala hal-ihwal. Jika kita hendak
memasukkan para filosof yang beragama Nasrani dan

[18]
Yahudi ke dalam lingkaran pemikiran itu, bolehkah kita
menyebut filsafat itu Filsafat di Dalam Islam,
sebagaimana yang telah dilakukan De Boer5.

Orang-orang India juga menentang penamaan


Filsafat Arab.

Sehubungan dengan itu profesor Tarashand


mengatakan sebagai berikut:

“penamaan Filsafat Arab sama sekali tidak


sesuai. Pertama, karena mereka yang menekuni
bidang ilmu tersebut tidak semuanya orang
Arab, bahkan sebagian besar orang Persia atau
orang-orang dari negeri lain seperti Mesir,
negeri-negeri Asia Tengah, Andalusia, India,
dan lain-lain. Pemikiran filsafat tersebut tidak
hanya dituangkan dalam bahasa arab, tapi juga
dalam bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Persia,
dan sebagainya. Suatu hal yang lebih penting
lagi ialah, kenyataannya bahwa filsafat tersebut
tumbuh dari kebutuhan Islam pada argumentasi
dalam diskusi keagamaan untuk

[19]
mempertahankan prinsip-prinsip ajarannya.
Pada dasarnya filsafat tersebut menekankan
perhatian terhadap kepentingan memperkokoh
sendi-sendi akidah Islam, atau untuk
mengungkap dasar-dasar filsafatnya, atau untuk
menumbuhkan dan membentuk pemikiran
kegamaan secara teologis. Filsafat tersebut tidak
dapat dipandang sebagai criticism atau
opportunism yang mengeksploitasi keyakinan
agama, karena ia tetap berkisar di sekitar
pemikiran keagamaan. Adapun orang-prang
Nasrani dan Yahudi yang telah menulis buku-
buku filsafat criticism atau pemikiran-pemikiran
lain yang terpengaruh oleh Islam, mereka itu
patut dimasukkan ke dalam filsafat Islam secara
umum”.

Pada zaman berikutnya muncullah sekelompok kaum


penyanggah yang mengartikan Islam tidak hanya sebagai
agama saja, tetapi merupakan suatu yang lebih luas,
yakni suatu peradaban tertentu. Sama halnya dengan
yang dilakukan oleh Profesor Bouzani dari Italia, yang

[20]
mengartikan filsafat Islam sebagai peradaban, bukan
sebagai agama. Ia mengambil contoh Bergson, seorang
filosof Yahudi kelahiran Perancis yang memasukan
zaman sekarang ini ke dalam sejarah agama Nasrani di
Eropa. Demikian juga pendapat Doktor Ibrahim
Madzkur dengan pernyataannya:

“penamaan Filsafat Arab tidak berarti pemikiran


filsafat itu hasil karya suatu rasa tau suatu
bangsa, saya lebih suka menyebutnya Filsafat
Islam, karena Islam bukan hanya akidah atau
keyakinan semata-mata, melainkan juga
peradaban, dan setiap peradaban mencakup
segi-segi kehidupan moral, material, pemikiran
dan perasaan. Jadi Filsafat Islam ialah segala
studi filsafat yang ditulis di dalam dunia Islam,
baik penulisannya orang muslimin, Nasrani
ataupun Yahudi. Saya tidak perlu menyebut
kaum Nestorian, Jacobian dan Sabean (pemeluk
agama Shabiah) sebagai kaum yang merintis
studi filsafat. Sebab, sebagaimana anda ketahui

[21]
Ibnu Mai-mun (orang Yahudi) adalah penerus
karya-karya Al-Farabi dan Ibnu Rusyd”.

pembicaraan ini terjadi berkepanjangan jika kami


mengutip semua yang disebutkan oleh mereka yang
menekuni filsafat tersebut. Saya hendak mengakhiri
dengan pendapat yang telah saya kemukakan dalam buku
yang saya tulis dalam bahasa Inggris6 berjudul “Filsafat
Islam”. Saya katakan dalam buku tersebut sebagai
berikut:

“orang-orang yang menyebut pemikiran itu


Filsafat Arab beralasan karena pemikiran tersebut ditulis
dalam bahasa Arab. Dan karena pemikiran filsafat itu
pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Arab,
kemudian disusun oleh para filosof dan ditambahkan
keterangan-keterangan yang dituangkan dalam bahasa
Arab, akan tetapi harus diingat penerjemahan filsafat
Yunani ke dalam bahasa Arab tidak cukup dijadikan
alasan untuk menamakannya Filsafat Arab. Sebab
berbagai tokoh filsafat pada masa itu bukanlah orang-
orang Arab, melainkan orang Turki, seperti Al-Farabi

[22]
dan orang Persia seperti Ibnu Sina, misalnya. Bahkan
beberapa filosof menuliskan karya pemikiran mereka
dalam bahasa Persia. Dengan demikian karya pemikiran
mereka turut membentuk sebagian dari filsafat yang
dinamakan Filsafat Islam, karena di dalamnya terdapat
unsur baru yang telah mempengaruhi filsafat Yunani,
filsafat Iskandariyah dan pandangan filsafat lainnya.
Itulah filsafat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Para filosof pada masa itu berpegang pada pandangan
Islam sebagai pedoman dalam usaha mereka mencari
persesuaian antara Islam, unsur baru dan pandangan-
pandangan filsafat yang lain. Oleh karena itu, pemikiran
filsafat tersebut kita namakan saja Filsafat Islam dan di
dalam istilah tersebut tidak mengandung kekisruhan
9
sebagaimana yang dikatakan oleh sementara orang.”

IBNU BAJJAH

Abu bakar Muhammad ibn yahya al-sya’igh,yang


di kenal sebagai ibn bajjah atau avemface (meninggal
tahun 533 H/1138M),berasal dari keluarga al-

9
Dr. Ahmad Fuad Al-ahwani, Filsafat Islam. (Jakarta : Pustaka

[23]
tujib,karenanya ia juga di kenal sebagai al-tujibi. Ibn
bajjah lahir di Saragossa menjelang akhir abad ke-5 H/11
M,dan besar di sana.kami tidak mendapatkan petunjuk
mengenai kehidupan masa mudanya,pun kami tidak bisa
mengira-ngira siapa saja guru-gurunya yang
membimbingnya menyelesaikan pelajaran nya. Tapi
cukuplah kalau dikatakan bahwa dia merampungkan
jenjang akademisnya di Saragossa,sebab ketika dia pergi
ke Granada dia telah menjadi seorang sarjana bahasa dan
sastra arab yang ulung serta menguasai dua belas macam
ilmu pengetahuan. Hal ini di buktikan dengan adanya
peritiwa yang terjadi di masjid Granada sebagaimana di
catat oleh al-suyuti: “suatu hari ibn bajjah memasuki
masjid (jami’ah) Granada. Dia melihat seorang ahli tata
bahasa sedang memberikan pelajaran tatabahsa kepada
para murid yang duduk mengelilinginya. Melihat
seorang asing begitu dekat dengan mereka,para murid
muda itu menyapa ibn bajjah dengan sedikit mengejek :
“apa yang diajarkan oleh ahli hukum itu? Ilmu apa yang
dia kuasai dan bagaimana pandangannya? ’coba lihat,’
sahut ibn bajjah, ‘aku membawa uang dua belas ribu

[24]
dinar di bawah ketiakku.” Sambil berkata begitu dia
memperlihatkan dua belas butir mutiara yang sangat
indah,yang masing-masing berharga seribu dinar.dan
‘lanjut ibnu bajjah,’aku telah mengumpulkan
pengalaman dalam dua belas ilmu pengetahuan,terutama
dalam ilmu ‘arabiyah yang sedang kalian bahas ini. Aku
rasa kalian termasuk dalam kelompok ini. ‘dia kemudian
menyebutkan aliran mereka. Para murid muda itu
mengutarakan keheranan mereka dan memohon maaf
kepadanya.

Para ahli sejarah sama memandangnya sebagai


orang yang berpengatahuan luas dan mahir dalam
berbagai ilmu. Fath ibn khaqan,yang telah menuduh ibn
Bajjah sebagai ahli bid’ah dan mengecamnya dengan
pedas dalam karyanya Qala’id al-‘Iqyan,pun mengakui
keluasaan pengetahuannya dan tidak meragukan
keamatpandaiannya. Karena menguasai sastra,tatabahasa
dan filsafat kuno, oleh tokoh-tokoh sezamannya dia telah
disejajarkan dengan al-Syaikh al-Rais ibn Sina.

[25]
Lantara ketenarannya yang makin menanjak,abu
bakr Sahrawi,Gubernur Saragossa,mengangkatnya
sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahannya. Tapi
ketika Saragossa jatuh ke tangan Alfonso I,Raja
Aragon,pada tahun 512 H/1118 M,ibn Bajjah sudah
meninggalkan kota itu dan tiba di Seville lewat
Valencia,tinggal di sana dan menjadi tabib. Kemudian
dia pergi ke Granada,disana terjadi peristiwa di atas.
Lalu dia pergi ke Afrika barat-laut.

Setibanya di syatibah,ibn Bajjah dipenjarakan


oleh Amir abi Ishak Ibrahim ibn Yusuf ibn
Tasyifin,sangat boleh jadi karena dituduh sebagai ahli
bid’ah. Tapi menurut Renan,dia dibebaskan,barangkali
atas anjuran muridnya sendiri, bapak filosof Spanyol
termasyhur ibn Rusyd.

Kemudian,setibanya di Fez,ibn Bajjah memasuki


Istana Gubernur abu Bakr Yahya ibn Yusuf Tasyifin,dan
menjadi pejabat tinggi berkat kemampuan dan
pengetahuannya yang langka. Dia memegang jabatan
tinggi itu selama dua puluh tahun.

[26]
Ini adalah masa yang penh kesulitan dan
kekacauan dalam sejarah Spanyol dan Afrika barat-laut.
Para gubernur kota dan daerah menyatakan kemerdekaan
mereka. Pelanggaran hokum dan kekacauan melanda
seluruh negeri. Mereka yang bermusuhan saling
menuduh sebagai berbuat bid’ah demi meraih
keunggulan dan simpati rakyat. Musuh-musuh ibn
Bajjah sudah mencapnya sebagai ahli bid’ah dan
beberapa kali berusaha membunuhnya. Tapi semua
usaha mereka ternyata gagal. Tapi ibn Zuhr,seorang
dokter termasyhur pada masa itu,berhasil membunuhnya
dengan racun pada bulan Ramadhan tahun 533 H/1138
M di Fez, tempat dia dikubur di samping ibn al-Arabi
muda.10

A. Para Pendahulunya

10
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.143-145

[27]
Tidak ada keraguan lagi bahwa filsafat memasuki
Spanyol sesudah abad ke-3 H/ke-9 M. Sebagian salinan
naskah kuno Rasa’il Ikhwan al-Shafa yang terdapat di
Eropa dianggap berasal dari Maslamah ibn Ahmad al-
Majriti. Maslamah adalah seorang ahli matematika besar
Spayol.Dia termasyhur selama masa pemerintahan
Hakam II dan meninggal pada tahun 598 H/1003
M.Diantara para pengikutnya,ibn al-
Shafa,Zahwari,Karmani dan abu Muslim Umar ibn
Ahmad ibn Khaldun al-Hardhrami terkenal karena ilmu
matematika mereka.Karmani dan ibn Khaldun juga
dikenal sebagai filosof.ibn Khaldun berasal dari Seville
dan meninggal pada tahun 449 H/1054 M.Karmani ,yang
nama lengkapnya abu al-Hakam Amr ibn Abd al-
Rahman ibn Ahmad ibn Ali,berasal dari
Cordova,berkelana ke negeri-negeri Timur dan belajar
ilmu pengobatan dan ilmu hitung di Harran.
Sekembalinya ke Spayol dia menetap di Saragossa.
Menurut pernyataan Qadhi Sa’id8 dan maqqari,dia
merupakan orang pertama yang membawa naskah

[28]
Rasa’il Ikhwan al-Shafa ke Spayol.Karmani meninggal
di Saragossa pada tahun 450 H/1063 M.

Tapi sebenarnya filsafat telah memasuki Spayol


jauh sebelum Rasa’il Ikhwan al-Shafa diperkenalkan di
negeri itu.Muhammad ibn Abdun al-Jabali pergi ke
Timur pada tahun 347 H/952 M,belajar logika bersama
abu Sulaim Muhammad ibn Thahir ibn Bahran al-
Sijistani,dan kembali ke Spayol pada tahun 360 H/965M.
Begitu juga Ahmad dan Umar,dua orang putra Yunus al-
Barrani,memasuki Baghdad pada tahun 339H/935
M,mempelajari berbagai ilmu bersama Tsabit ibn Sinan
ibn Tsabit ibn Qurrah,dan setelah beberapa lama,kembali
ke Spayol pada tahun 351H/956 M. Dari sini jelas bahwa
filsafat berasal dari Timur dan dibawa ke Barat dan
bahwa pada abad ke-4 H/ke-10 M para pelajar dari
Spayol mempelajari matematika,hadis tafsir dan fiqh di
samping logika dan ilmu-ilmu filsafat di
Baghdad,Basrah,Damakus dan Mesir. Tapi sejak akhir
abad ke-4 H/ke-10 M,ketika filasat dan logika dikutuk di
Spayol dan para penganjur ilmu-ilmu ini dihukum
mati,orang awam tidak lagi menyukai ilmu-ilmu ini

[29]
sampai abad ke-5 H/ke-11 dan 12 M.inilah sebabnya ibn
Bajjah,ibn Tufail dan ibn Rusyd harus menghadapi
hukuman mati,penjara dan kutukan.hanya sedikit sekali
orang pada masa itu yang berani berurusan dengan ilmu-
ilmu rasional.

Di antara para pendahulu ibn Bajjah ,ibn Hazm


pantas diberi perhatian khusus. Ibn Hazm berada di
tempat yang sangat tinggi dalam teologi dan ilmu-ilmu
keagamaan lainnya.karyanya kitab al-fashl fi al-Milal
Wan-Nihal adalah unik,yang di dalamnya dia menulis
pernyataan-pernyataan kebenaran dan doktrin-doktrin
Kristen,Yahudi dan yang lain-lainnya tanpa menyatakan
prasagka apapun. Tapi dalam bidang filsafat dia tidak
pernah di sebut-sebut oleh sarjana Spayol mana pun dan
para filosof lainnya. Maqqari menulis: “Ibn Habban dan
yang lain berkata bahwa ibn Hazm adalah seorang ahli
hadis,ilmu hukum dan polemik. Dia menulis banyak
buku mengenai logika dan filsafat yang di dalamnya
terdapat banyak kesalahan.”11
11
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.145,146

[30]
B. Tokoh-tokoh sezamannya

Untuk mengemukakan para ahli pikir yang


sezaman dengan ibn Bajjah, kami hanya mendapatkan
sumber keterangan yang kuat dari muridnya sendiri,ibn
Imam,dan lewat dia kami memperoleh bahan-bahan
mengenai tulisan-tulisannya. Al-Wazir abu al-Hassan Ali
ibn Abd al-Azis ibn al-Imam,seorang murid setia ibn
Bajjah ,melestarikan tulisan-tulisan tokoh itu dalam
suatu antalogi (bunga rampai),yang di situ dia
memberikan kata pendahuluannya. Keamatsenangan ibn
Bajjah dengan muridnya ini,seorang penjabat
tinggi,tampak jelas sekali dari mukadimah surat-suratnya
yang ditujukannya kepadanya,yang kini terdapat pada
bunga rampai tersebut yang disimpan di Bodleian
Library,Oxford.13 Dalam kata pendahuluan bunga rampai
itu, ibn Imam mengatakan: “……… buku-buku filsafat
banyak beredar di kota-kota di Spayol pada masa
pemerintahan al-Hakam II (350 H/961 M – 366 H/976
M),yang telah mendatangkan karya-karya langka yang
digubah di Timur dan membuat penjelasan-penjelasan
atas karya-karya itu. Dia (ibn Bajjah) membuat catatan-

[31]
catatan sendiri atas buku-buku kuno ini serta yang lain-
lainnya,dan meneliti karya-karya tersebut. Caranya tidak
diketahui oleh peneliti mana pun sebelum dia (ibn
Bajjah). Dan tidak ada sesuatu pun,kecuali kesalahan dan
perubahan,dicatat olehnya menyangkut ilmu-ilmu kuno
itu. Sejumlah kesalahan,misalnya,dibuat oleh ibn
Hazm,yang merupakan salah seorang peneliti paling
masyhur pada zamannya,sementara sebagian besar
mereka bahkan tidak berusaha mencatat pemikiran-
pemikiran mereka. Ibn Bajjah lebih unggul dari ibn
Hazm dalam hal meneliti,dan lebih tajam dalam hal
membuat perbedaan-perbedaan. Cara-cara penelitian
dalam ilmu-ilmu itu hanya diketahui oleh sarjana ini (ibn
Bajjah) dan Malik ibn Wuhaib dari Seville,keduanya
hidup sezaman. Tapi tidak ada sesuatu pun yang di catat
oleh Malik kecuali sebuah risalah pendek mengenai
prinsip-prinsip logika. Kemudian dia tidak lagi meneliti
ilmu-ilmu ini dan membicarakan ilmu-ilmu tersebut
secara terbuka,dikarenakan oleh usaha-usahanya unttuk
membahas ilmu-ilmu filsafat dan menguasai subjek-
subjek ilmiah. Dia berpaling kepada ilmu-ilmu

[32]
keagamaan dan menjadi salah seorang tokoh dalam
bidang itu; tapi cahaya ilmu filsafat tidak menyinari
benaknya, pun dia tidak mencatat sesuatu dalam bidang
itu bagi penerusnya sepeninggalannya. Sedangkan
mengenai abu Bakr (semoga Allah mengasihinya),
keungggulan wataknya mendorongnya untuk tidak
berhenti meneliti,menarik kesimpulan dan membaca
semuanya,yang meninggalkan kesan nyata dalam
benaknya,pada berbagai kesempatan ketika keadaan
sedang berubah-ubah di zamnnya.”

Kata-kata ibn al-Imam secara jelas sekali


memperlihatkan penghargaannya kepada Malik yang
hidup sezaman dengan ibn bajjah,dan pendahulu-
pendahulunya seperti ibn Hazm. Pujian ibn al-Imam
terhadap gurunya ternyata sama dengan pujia sejumlah
ahli sejarah terhadap orang yang sama. Ibn
Tufail,pengarang termasyhur roman filosofis
terkemuka,Hayy Ibn Yaqzan,dan seorang tokoh lebih
muda yang hidup sezaman dengan ibn Bajjah,menyebuit
ibn Bajjah secara khusus dalam karya romannya yang
abadi itu dan melukiskannya sebagai berikut: “tapi tak

[33]
seorang pun dari mereka yang memiliki pikiran yang
lebih tajam,pandangan yang lebih akurat atau wawasan
yang lebih luas selain abu Bakr ibn al-Sha’igh.”

Al-Saqandi (meninggal tahun 629 H/1231


M),dalam suratnya yang terkenal,yang di dalamnya dia
menyebutkan satu persatu hasil-hasil yang telah dicapai
oleh orang-orang Muslim di Spayol untuk
diperbandingkan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh
orang-orang Afrika,menantang orang-orang Afrika itu
dengan mengatakan: “Apakah di antara kalian ada
seorang tokoh yang bisa menyami ibn Bajjah dalam
bidang music dan filsafat?” Maqqari menuliskan
pernyataan berikut ini : “Dan mengenai karya dalam
bidang musik,buku karangan ibn Bajjah dari Granada
saja sudah cukup hebat. Tempatnya di negeri Barat
sejajar dengan tempat abu Nasr al-Farabi di negeri
Timur.”

Tokoh lain yang hidup sezaman dengan ibn


Bajjah adalah al-Amir al-Muqtadir abn Hud,yang
memerintah Saragossa (438 H/1046 M-474 H/1081 M

[34]
). Dia disebutkan oleh al-Syaqandi,yang menujukan
kata-katanya kepada orang-orang Afrika,sebagai berikut:
“ Apakah kalian memiliki seorang raja yang ahli dalam
bidang matematika dan filsafat seperti al-Muqtadir ibn
Hud,penguasa Saragossa?” Putranya al-Mu’tamin
(meninggal tahun 474 H/1085 M) dalah seorang
pendukung ilmu-ilmu rasional.”12

C. Karya-karyanya

Di bawah ini kami berikan daftar karya-karya ibn


Bajjah:

1. The Bodleian MS., Arabic Pococke,No. 206,


berisi 222 folio.18 Ditulis pada bulan Rabi’ul Tsani
547 H/1152 M di Qus.MS. ini kekurangan risalah-
risalah mengenai ilmu pengobatan,dan risalat al-
Wada’.
12
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.146,146.148

[35]
2. The Berlin MS.No.5060 ( lihat Ahlwardt:
Catalogue), hilang pada masa Perang Dunia II.
3. The Escurial MS. No. 612. Hanya berisi risalah-
risalah yang ditulis oleh ibn Bajjah sebagai
penjelasan atas risalah-risalah al-Farabi dalam
masalah logika. Karya itu ditulis pada tahun 667
H/1307 M di’Seville.
4. The khediviah MS. Akhlak No. 290. Telah
diterbitkan oleh Dr. Omar Farrukh dalam bukunya
Ibn Bajjah wal-Falsafah al-Maghribiyyah.
Sebagai perbandingan, dapat dikatakan bahwa
buku itu merupakan ringkasan dari Tadbir al-
Mutawahhid – dalam arti bahwa buku itu
membuang sebagian besar teks aslinya, tapi tetap
mempertahankan kata-kata pengarangnya sendiri.
5. Brockelmann menyatakan bahwa The Berlin
Library memiliki sebuah syair pujian karya ibn
Bajjah berjudul Tardiyyah.
6. Karya-karya yang disunting oleh Asin Palacios
dengan terjemahan bahasa Spanyol dan catatan-
catatan yang diperlukan: (i) Kitab al-Nabat, al-

[36]
Andalus, jilid V, 1940; (ii) Risalah Ittisal al-‘Aql
bi al-Insan,al-Andalus, jilid VII, 1942; (iii)
Risalah al-Wada’, al-Andalus, jilid VIII, 1943;
(iv) Tadbir al-Mutawahhid berjudul El Regimen
Del Solitario,1946
7. Karya-karya yang disunting oleh Dr. M.Shagir
Hasan al-Masumi: (i) Kitab al-Nafs dengan
catatan dan pendahuluan dalam bahasa Arab,
Majallah al-Majma’ al-‘Ilm al-‘Arabi,
Damaskus,1958; (ii) Risalah al-Ghayah al-
Insaniyyah berjudul Ibn Bajjah on Human
End,dengan terjemahan bahasa Inggris, Journal of
Asiatic Society of Pakistan, jilid II, 195713

D. Filsafatnya

Ibnu Bajjah ahli baik dalam teori maupun praktek


ilmu-ilmu matematika, terutama astronomi dan musik,
mahir dalam ilmu pengobatan dan tekun dalam studi-
studi spekulatif seperti logika,filsafat alam dan

13
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.148,149

[37]
metafisika. Dalam pandangan de Boer,dia benar-benar
sesuai dengan al-Farabi dalam tulisan-tulisannya
mengenai logika dan secara umum setuju dengannya
nbahkan dengan doktrin-doktrin fisika dan
metafisikanya.19 Mari kita telaah sejauh mana kebenaran
pernyataan ini dengan petunjuk tulisan-tulisan ibn Bajjah
yang sampai kepada kita.

Ibn Bajjah,tak pelak lagi,menyandarkan filsafat


dan logikanya pada karya-karya al-Farabi,tapi jelas
bahwa dia telah memberikan sejumlah besar tambahan
pada karya-karya itu. Dan lagi, dia telah menggunakan
metode penelitian filsafat yang benar-benar lain. Tidak
seperti al-Farabi,dia berurusan dengan segala masalah
hanya berdasarkan nalar semata. Dia mengagumi filsafat
Aristoteles, yang di atasnya dia membangun sistemnya
sendiri. Tapi, dia berkata, untuk memahami metode
spekulatif Aristoteles, adalah penting untuk memahami
lebih dulu filsafatnya secara benar. Itulah sebabnya Ibn
Bajjah menulis uraian-uraian sendiri atas karya-karya
Aristoteles. Uraian-uraian ini merpakan bukti yang jelas
bahwa dia mempelajari teks-teks karya Aristoteles

[38]
dengan sangat teliti. Seperti juga dalam filsafat
Aristoteles, ibn Bajjah mendasarkan metafisika dan
psikologinya pada fisika,dan itulah sebabnya mengapa
tulisan-tulisannya penuh dengan wacana-wacana
mengenai fisika.14

E. materi dan bentuk

De Boer menulis: “Ibn Bajjah memulai dengan


suatu asumsi bahwa materi itu tidak bisa bereksistensi
tanpa adanya bentuk,sedangkan bentuk bisa bereksistensi
dengan sendirinya, tanpa harus ada materi.” Tapi
pernyataan ini salah. Menurut ibn Bajjah materi dapat
bereksistensi tanpa harus ada bentuk. Dia berargumen
jika materi berbentuk,maka ia akan terbagi menjadi
“materi” dan “bentuk” dan begitu seterusnya, ad
infinitum.20 Ibn Bajjah menyatakan bahwa “bentuk

14
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.149,150

[39]
pertama” merupakan suatu bentuk abstrak yang
bereksistensi dalam materi yang dikatakan sebagai tidak
mempunyai bentuk.

Aristoteles membuat definisi materi sebagai


sesuatu yang menerima bentuk dan yang dalam satu hal
bersifat universal. Materinya dalam hal ini berbeda dari
materi Plato yang, meskipun dia setuju definisi di atas,
berpendapat bahwa bentuk itu sendiri nyata dan tidak
membutuhkan sesuatu pun untuk bisa bereksistensi.
Tujuan Aristoteles bukan hanya untuk menyatakan
bahwa materi dan bentuk itu saling bergantung, tapi juga
untuk membedakan antara bentuk khusus sebuah spesies
dan bentuk khusus spesies lain. Bentuk sebuah tanaman
itu berbeda,misalnya,dengan bentuk seekor binatang, dan
bentuk sebuah benda mati berbeda dengan bentuk sebuah
tanaman, dan seterusnya.

Dalam tulisan-tulisan ibnu Bajjah,kata bentuk


dipakai untuk mencakup berbagai arti: jiwa, sosok,
kekuatan, makna, konsep. Menurut pendapatnya, bentuk
suatu tubuh memiliki tiga tingkatan: (1) bentuk jiwa

[40]
umum atau bentuk intelektual, (2) bentuk kejiwaan
khusus; dan (3) bentuk fisik.

Dia membagi bentuk kejiwaan sebagai berikut:

1. Bentuk-bentuk tubuh sirkular hanya memiliki


hubungan sirkular dengan materi, sehingga
bentuk-bentuk itu dapat membuat kejelasan
materi dan menjadi sempurna.
2. Kejelasan materi yang bereksistensi dalam
materi.
3. Bentuk-bentuk yang bereksistensi dalam indera-
indera jiwa - akal sehat,indera khayali, ingatan
dan sebagainya, dan yang berada di antara
bentuk-bentuk kejiwaan dan kejelasan materi.

Bentuk-bentuk itu yang berkaitan dengan aktif


oleh ibn Bajjah dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan
umum, dan bentuk-bentuk yang berkaitan dengan akal
sehat dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan khusus.
Pembedaan ini dilakukan karena bentuk-bentuk kejiwaan
umum hanya memiliki satu hubungan dan hubungan itu
ialah dengan yang menerima, sedangkan bentuk-bentuk

[41]
kejiwaan khusus memiliki dua hubungan – hubungan
khusus dengan yang berakal sehat dan hubungan umum
dengan yang terasa. Seorang manusia, misalnya, ingat
akan bentuk Taj Mahal; bentuk ini tidak berbeda dari
bentuk nyata Taj Mahal kalau benda itu berada di depan
mata- bentuk ini, selain memiliki hubungan khusu
seperti yang tersebut di ats, juga hubungan dengan
wujud umum yang terasa, sebab banyak orang melihat
Taj Mahal.15

F. Psikologi

Ibn Bajjah, seperti juga Aristoteles, mendasarkan


psikologinya pada fisika. Dia memulai pembahasannya
mengenai jiwa dengan definisi jiwa dan menyatakan
bahwa tubuh, baik yang alamiah maupun yang tidak
alamiah, tersusun dari materi dan bentuk;n bentuk
merupakan perolehan permanen atau kenyataan tubuh.
Kenyataan itu bermacam-macam: ia milik segala yang
bereksistensi yang melaksanakan fungsi mereka tanpa

15
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.150-151

[42]
harus digerakkan, atau segala yang bergerak atau aktif
bila mereka diaktifkan. Tubuh jenis kedua ini terdiri atas
penggerak dan yang digerakkan, sedangkan tubuh yang
tidak alamiah memliki penggerak luar. Nah, bentuk yang
membuat nyata sebuah tubuh alamiah disebut jiwa.
Karena itu, jiwa dianggap sebagai pernyata pertama
dalam tubuh alamiah dan teratur, yang bersifat nutritif,
sensitif dan imajinatif.

Para filosof kuno sebelum Aristoteles telah


membatasi studi mereka hanya pada jiwa manusia dan
menganggap studi mengenai jiwa binatang sebagai
bagian dari ilmu alam. Jiwa merupakan suatu istilah
yang mengandung banyak arti, sebab jiwa tidak bersifat
homogen. Jika jiwa itu homogen maka fungsi-fungsinya
pasti homogen pula. Nyatanya, fungsi-fungsinya bersifat
heterogen: nutritif, sensitif, imajinatif atau rasional.

Karena setiap makhluk yang fana harus


melaksanakan suatu fungsi khusus demi kedudukannya
di alam raya ini, maka yang nutrisi itu mempunyai dua
tujuan, yaitu pertumbuhan dan reproduksi. Unsure ini

[43]
tidak hanya menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan
untuk menjaga tubuh, melainkan juga menyediakan
suatu kelebihan bermanfaat untuk pertumbuhan dan
perkembangan tubuh. Tapi setelah pertumbuhan itu
tercapai, kelebihan itu digunakan untuk reproduksi di
dalam tubuh-tubuh itu yang bersifat reproduktif.

Unsur reproduksi itu berbeda dari unsur nutritif


yang bertindak berdasarkan makanan dan membuatnya
menjadi suatu bagian dari tubuh. Unsur ini adalah “Akal
Aktual” yang mengubah suatu spesies potensial menjadi
tubuh suatu spesies Aktual. Tubuh-tubuh itu yang tidak
reproduktif bergantung kepada pertumbuhan spontan
untuk melestarikan spesies mereka. Unsur reproduksi
merupakan akhir unsur pertumbuhan dan musnah hanya
pada usia lanjut setelah semuanya lenyap dan yang
tinggal hanyalah unsur nutritif.

Persepsi-inderawi bisa bersifat aktual atau


potensial. Yang bersifat potensial hanya dapat menjadi
aktual kalau ia diubah oleh sesuatu yang lain. Oleh
karena itu ia memerlukan suatu penggerak untuk

[44]
mengubahnya. Penggerak itu adalah yang merasa,
sedang yang digerakkan adalah organ-rasa.

Yang merasa atau kejadian-kejadian alamiah ada


dua macam: tubuh-tubuh alamiah yang khusus atau
tubuh-tubuh alamiah dan tidak alamiah yang umum; dan,
lagi-lagi, keduanya bisa menjadi penggerak atau yang
digerakkan. Mereka selalu digerakkan ke arah spesies-
spesies, karena suatu penggerak hanya menggerakkan
mereka sepanjang mereka itu spesies-spesies khusus, dan
bukan karena mereka memiliki materi. Setiap tubuh yang
berasa itu merupakan gabungan dari hasil suatu
pencampuran unsur-unsur yang berbeda. Pencampuran
ini dihasilkan oleh panas yang merupakan pembawaan
sejak lahir dan meningkatkan, misalnya, kondensasi dan
penjernihan bau,rasa dan warna. Tapi di samping taraf
material ini, timbul juga taraf-taraf lain seperti
reproduksi dan generasi spontan yang disebabkan oleh
akal atau penggerak lain.

Begitu proses pencampuran dimulai, bentuk


mulai diterima. Gerak dan penerimaan bentuk terjadi

[45]
secara serentak; dan kalau ruh telah mencapai
kesempurnaan, maka penerimaan bentuk itu pun
terlengkapi, dan karena itu materi dan bentuk menjadi
suatu kesatuan. Kalau bentuk itu dipisahkan dari materi,
ia tetap ada tapi terpisah dari materi, dan ia ada
sebagaimana terabstraksi dari materi, tapi tidak sama
dengan ketika ia berada dalam materi – dan ini mungkin
hanya kalau ia ada dalam pikiran dalam bentuk wujud
gagasan. Oleh karena itu, perasaan itu tidak kekal,
padahal sifat tidak kekal itu hanya ada pada materi?
Jawabnya begini. Istilah “materi” digunakan untuk
“unsur psikis” dan “unsur badaniah” secara samar-samar,
dan itu berarti kepenerimaan bentuk, yang lewat itu
sebuah tubuh yang memiliki unsur kepekaan menjadi
berasa. Oleh karena itu, unsur persepsi-rasa itu merpakan
suatu kapasitas pada organ-rasa yang menjadi suatu
bentuk benda yang tercerap.

Tapi sebuah pertanyaan lain timbul: jika persepsi


merupakan suatu bentuk materi, bagaimana materi itu
sesungguhnya bisa tereksistensi padahal dia tidak
berbentuk? Jawabnya sebagai berikut: “bahwa

[46]
‘pengertian’ ada dalam sub-strata dan identik dengannya
itu jelas; kalau tidak maka ‘pengertian’ tentu tidak
bersifat khusus. Tapi tidak begini jika bentuk tidak dapat
bereksistensi tanpa materi, sebab ‘pengertian’
merupakan penerimaan bentuk-bentuk yang dapat
dimengerti saja, dan itu disebut materi per pri us,
sedangkan materi ‘yang dapat dimengerti’ itu disebut
per posterius.”

Persepsi psikis ada dua macam: sensasi dan


imajinasi. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, sensasi
itu bersifat mendahului imajinasi, yang untuknya ia
mensuplai materi itu. Pendeknya, sensasi merupakan
suatu kapasitas tubuh yang diaktifkan oleh yang terasa.
Karena gerak itu banyak jumlahnya, maka sensasi pun
banyak jumlahnya; dan karena yang terasa itu bisa
bersifat umum atau khusus, maka sensasi pun bisa
bersifat umum atau khusus.

Panca indera itu – penglihatan, pendengaran,


penciuman, perasaan dan perabaan – merupakan lima
unsur dari suatu indera tunggal, yaitu akal sehat. Akal

[47]
sehat memainkan peranan materi, yang melaluinya
bentuk-bentuk segala suatu menjadi jelas. Melalui akal
sehatlah manusia menilai dan membedakan keadaan-
keadaan berlainan dari yang dapat dimengerti, dan
kemudian menyadari bahwa setiap bagian dari sebuah
apel, misalnya, mengandung rasa, bau, warna, kelezatan
atau kedinginan. Sebab unsur ini melestarikan kesan-
kesan dari yang dapat dirasa, yang memungkinkan
indera-indera itu memahami yang dapat dirasa itu. Akal
sehat merupakan realisasi penuh tubuh secara
keseluruhan dan karenanya disebut sebagai ruh (soul).
Unsur ini juga mensuplai materi untuk unsur imajinasi.

Karena dianggap sebagai realisasi penuh pertama


tubuh imajinatif yang terorganisasi, maka unsur
imajinatif ini didahului oleh sensasi yang mensuplai
materi kepadanya. Karena itu sensasi dan imajinasi telah
dianggap sebagai dua jenis persepsi ruh (soul). Tapi
perbedaan antara keduanya sangat jelas sepanjang
sensasi bersifat khusus dan imajinasi bersifat umum.
Unsur imajinatif berpuncak pada unsur penalaran, yang
melaluinya orang bisa mengungkapkan dirinya kepada

[48]
orang lain dan sekaligus mencapai serta membagi
pengetahuan.

Ruh (soul) yang berhasrat itu terdiri atas tiga


unsur: (1) Hasrat imajinatif, yang lewat hasrat tersebut
anak-keturunan dibesarkan, individu-individu dibawa ke
tempat-tempat tinggal mereka dan memiliki rasa sayang,
cinta, dan yang semacamnya. (2) Hasrat menengah, yang
lewat hasrat tersebut timbul nafsu akan makanan,
perumahan, kesenian, dan ilmu. (3) Hasrat berbicara,
yang lewathasrat itu timbul pengajaran dan, tidak seperti
kedua hasrat sebelumnya, merupakan hasrat khusus yang
dimiliki manusia.

Jiwa (soul) berhasrat itu dapat diterapkan pada


ketiga unsur per prius et per posterius. Setiap binatang
memiliki hasrat menengah yang membuatnya cenderung
mencari makan. Sebagian binatang tidak memiliki
keinginan imajinatif. Keinginan hasrat menengah itu
pada dasarnya mendahului hasrat imajinatif. Satu hal
yang jelas adalah bahwa tiap manusia memili dua unsur

[49]
– yang berhasrat dan yang rasional – dan keduanya
mendahului yang lain-lainnya.

Ruh yang berhasrat itu menghendaki suatu obyek


yang kekal. Kehendak ini disebut kesenangan, dan
tiadanya kehendak merupakan kejemuan, kesakitan dan
yang semacamnya. Kehendak bukan merupakan sesuatu
yang hanya dimiliki oleh manusia. Siapa pun yang
melakukan sesuatu atas dasar kehendak dianggap telah
bertindak atas dasar kebinatangan. Jelaslah, kalau orang
berbuat sesuatu dengan cara begitu, berarti dia
melakukannya bukan atas gagasan-gagasan. Dia
mencapai kekekalan hanya bila ia memiliki gagasan-
gagasan itu.

Meski tak kekal, namun ruh (soul) yang berhasrat


itu memiliki keinginan kuat untuk kekal. Ia hanya
menyukai bentuk imajiner menengah dan bentuk
imajiner. Ini adalah bentuk-bentuk yang hanya disenangi
oleh ruh (soul) yang berhasrat itu. Tapi karena bentuk itu
banyak jumlahnya, maka ruh (soul) yang berhasrat itu
tidak langsung berusaha mencapainya. Tapi, ruh (soul)

[50]
yang berhasrat itu mencari layanan alam, dan menderita
kesakitan dan malas kalau alam tidak bekerjasama
dengannya. Karena alam itu tidak sederhana maka ia
tidak selalu berada dalam satu keadaan. Karena alamlah,
ia merasa tidak puas kalau istirahat itu diperpanjang
waktunya.

Tapi kedua bentuk ini (yaitu bentuk imajiner


menengah dan bentuk imajiner) bersifat tidak kekal.
Maka ruh (soul) yang berhasrat itu tidak mencapai
kekekalan melainkan sesuatu yang menggambarkan
kekekalan itu, dan apa yang menggambarkannya tidak
sulit untuk dinilai, sebab individu-individu sebagai
individu –individu beranggapan bahwa mereka mencapai
kekekalan lewat kesempurnaan dan kesempurnaan lewat
pencapaian kekuasaan dan kebebasan. Maka timbulah
kekuasaan dan pembebasan para penguasa lalim yang
memerintah di banyak negeri di dunia ini. Kekuasaan
mereka yang tak terbatas, kekayaan mereka yang
melimpah-ruah dan tindakan-tindakan mereka yang tak
terkendali, bagaimana pun jua, tidak mendatangkan
keuntugan bagi mereka. Sebab sebagian besar di antara

[51]
mereka mti kelaparan dan merasa sangat menyesal
karena kehilangan milik mereka. Mereka terkecam rasa
lelah dan sedih dalam berurusan dengan ruh (soul) yang
berhasrat. Dalam hati mereka, tetap hidup kenangan
masa lalu mereka dan mereka merasa menyesal serta
sedih. Kalau hal ini menimpa para penguasa lalim itu,
lalu bagimana nasib orang-orang yang derajatnya lebih
rendah? Sama saja, sebab keinginan ruh (soul) berhasrat
mereka yaitu mengumpulkan apa yang mestinya tidak
mereka kumpulkan dan meraih yang mestinya tidak
mereka raih. Binatang-binatang yang tidak memiliki
nalar, tidak menderita kesedihan yang semacam ini,
sebab ruh (soul) berhasrat mereka tidak berambisi dan
mereka tidak memiliki kenangan akan tingkah mereka di
masa sebelumnya. Mereka hanya menderita kesedihan
alamiah, seperti usia lanjut, yang merupakan nasib yang
mesti diterima oleh setiap organisme alam.

Unsur imaginatif manusia merupakan unsur yang


melaluinya manusia menerima kesan-kesan itu ke dalam
imajinasinya setelah kesan-kesan itu hilang. Fungsi
unsur imajinatif ini berlangsung di kala jaga dan tidur.

[52]
Unsur ini juga mengkomposisi bentuk-bentuk obyek-
obyek imajinasi yang tak pernah terasa sebelumnya.
Kadang-kadang unsur ini membayangkan dan
mengomposisi yang bukan tunggal tetapi yang
keseluruhan.

Pada taraf akhir imajinasi, munculah akal, dan


unsur rasional pun mulai berfungsi; dan kita dapati pada
diri kita sendiri sesuatu yang membedakan kita dari
binatang lain yang hanya mencari makanan dan memiliki
organ-organ-rasa. Orang mendapati pada dirinya sendiri,
misalnya, beberapa obyek pengetahuan (konsepsi-
konsepsi) yang berisi pembedaan antara yang baik dan
yang buruk, yang bermanfaan dan yang mudharat. Dia
juga mendapati pada dirinya sendiri hal-hal yang
dianggapnya sungguh sejati, hal-hal yang hanya bersifat
terkaan, dan hal-hal yang salah. Obyek-obyek yang
dikenal ini yang ada di dalam jiwa (soul) disebut logos.
Logos dalam contoh pertama berkaitan dengan unsur
rasional yang potensial, yang fungsinya menerima
obyek-obyek pengetahuan. Hal ini terjadi karena pada
tahap-tahap permulaan, manusia tidak memiliki itu dan

[53]
hanya pada tahap-tahap berikutnya dia menerima. Istilah
“logos” berlaku pada obyek-obyek pengetahuan yang
secara potensial dapat diterima, dan yang benar-benar
bereksistensi dan diungkapkan lewat kata-kata. Obyek-
obyek pengetahuan ini (konsep-konsep), yang
bereksistensi dalam potensialitas dan menjadi aktual
dalam rasionalitas, kalau dikaitkan dengan obyek-obyek
yang mereka maksudkan, membentuk pengetahuan
mereka karena obyek-obyek pengetahuan itu dikenal
lewat dan diakui oleh mereka. Kalau obyek-obyek itu
dipandang sebagaimana yang tercerap oleh unsur
imajinatif dan diterapkan pada isi yang berasal dari
mereka, maka mereka disebut yang dapat dimengerti;
tapi kalau obyek-obyek itu seperti yang dicerap oleh
unsur rasional yang menyempurnakan mereka dan
membawa mereka dari potensialitas kepada aktualitas,
maka mereka disebut pikiran atau akal. Ada berbagai
tingkat pengetahuan, yang pertama adalah pengetahuan
mengenai obyek tertentu. Ini terutama maujud melalui
pencapaian pengertian yang tertentu itu di dalam unsur
imajinatif, secara umum saja, yaitu ia tidak dapat

[54]
dibayangkan secara khusus. Pun kualiatas apapun dari
obyek itu tak dapat dilukiskan. Tapi ia dibedakan lewat
cara umum tanpa mengetahui apapun dari kualitas-
kualitasnya. Inilah pengetahuan paling lemah suatu
obyek dan cermin imajinasi seekor binatang. Juga, kalau
keadaan yang tertentu itu bisa diterima dalam unsure
imajinatif, maka manusia mencapai yang tertentu ini
dengan karakteristik-karakteristik terincinya, yang
membantunya mengenalinya sebagai sama pada waktu-
waktu yang berbeda. Dia mengenali Zaid, misalnya,
sebagai orang yang tinggi, jujur dan lembut serta
memandang semua pelukisan ini dalam imajinasinya
seolah-olah pelukisan itu berkaitan dengan satu individu.
Tapi ada orang beranggapan bahwa kadang kata-kata
menjadi musykil, sebab kata-kata itu mengungkapkan
kemajemukan padahal hanya ada satu: misalnya, yang
tertentu yang dilukiskan oleh kata-kata “tinggi,” “jujur,”
dan seterusnya, tak lebih dari satu orang. Bagaimanapun,
inilah cara yang digunakan manusia untuk mengetahui
individu-individu tertentu. Karena kualita-kualitas
tersebut, yang melalui hal-hal itu individu-individu

[55]
tertentu dikenal, sebagaimana dilukiskan diatas,
merupakan kejadian-kejadian yang menyangkut
individu-individu yang berbeda, maka tidak ada
kesamaan antara dua individu manapun. Ketinggian
tubuh Zaid, misalnya, tidak akan benar-benar sama
dengan ketinggian tubuh Bakr.

Bila obyek-obyek imajinasi diperoleh dalam


unsur imajinatif, maka unsur rasional melihat obyek-
obyek itu melalui wawasannya, dan memahami makna-
maknanya yang universal. Lewat makna-makna
universal ini, unsur rasional membayangkan dan
mengenali sifat setiap obyek yang terbayangkan. Dan
bila kata-kata yang menunjukkan makna-makna
universal itu disebutkan, maka unsure rasional
mengenali mereka, menempatkan mereka di hadapan
pikiran, dan memahami mereka. Semua ini terjadi lebih
dari sekali.

1. Unsur rasional menempatkan makna-makna


universal di hadapan pikiran, dan
memahami nereka sebagai yang benar dari

[56]
individu-individu yang terbayangkan yang
ditandai oleh makna-makna tersebut. Lewat
wawasannya, unsur rasional melihat
makna-makna universal pada individu-
individu itu. Dengan begini unsur ini
mengenali makna-makna universal satu
sama lain sebagaimana dilukiskan di atas.
2. Menurut suatu metode lain, unsur rasional
mengenali sepenuhnya makna-makna
universal ini, tapi bila unsur itu melihat
makna-makna tersebut lewat wawasannya
dan menyajikan mereka sedemikian rupa
kepada ruh (soul), maka ia melihat mereka
melalui wawasannya dalam unsur imajinatif
yang juga bertindak berdasarkan mereka,
dan membuat mereka sama dengan makna-
makna universal serta menanamkan kepada
mereka bentuk-bentuk yang lazim bagi
lebih dari satu individu, tapi bukan bagi
semua individu yang bagi mereka makna
itu berlaku. Pematung menggambarkan

[57]
bentuk seekor kuda dengan batu, atau
seekor pelukis menggambarkan bentuk
seekor kuda di atas sebuah papan, tapi
penggambaran ini tidak sempurna, sebab ia
menggambarkan bentuk seekor kuda yang
mendapatkan makanan dan meringkik. Tapi
semua yang digambarkan itu tidak berlaku
bagi setiap kuda. Unsur imajinatif
menggambarkan hal-hal yang terbatas usia,
ukuran dan sebagainya. Gambaran seekor
kuda tidak berlaku bagi semua kuda, baik
yang sudah dewasa, masih muda maupun
yang masih bayi. Imajinasinya hanya
berlaku bagi kuda-kuda yang memiliki
ukuran atau usia tertentu yang digambarkan
oleh unsur imajinatif itu.

Begitu unsur rasional mengenali makna-makna


universal, dan menyajikannya kepada pikiran untuk
dipandang secara lebih teliti lewat wawasannya, pikiran
itu akan meneliti mereka lewat imaji yang digambarkan
oleh unsur imajinatif. Unsur rasional itu menentukan

[58]
apakah imaji itu sempurna atau tidak, biasa atau tidak.
Tanpa kesulitan, ia memikirkan makna-makna yang
dapat dimengerti. Dengan cara ini makna-makna
universal itu dicerap oleh para pelukis dan hamper
semua ilmuwan. Bila seorang seniman, misalnya,
berfikir tentang cara membuat sesuatu, ia menyodorkan
imaji yang tertentu kepada unsur imajinatifnya, dan
mempersiapkan rancangan perbuatannya. Begitu pula,
bila seorang ilmuwan meneliti suatu obyek pengetahuan
guna mengetahui sifat-sifatnya dan melukiskan obyek
itu, maka ia menyodorkan imaji obyek tersebut kepada
unsur imajinatifnya.

Ada dua metode yang melalui keduanya unsur


imajinatif melayani unsur rasional dengan menyodorkan
kepada unsur rasional itu gambaran-gambaran sebuah
obyek, baik gambaran-gambaran obyek individu itu
sendiri maupun gambaran-gambaran imajinya, yang
mewakili makna universal, seperti yang disebutkan
diatas. Unsure rasional menanamkan gambaran-
gambaran universal kepada obyek-obyek imajinasi.
Siapa pun yang membuat unsur rasional bertindak atas

[59]
dasar obyek-obyek yang diperoleh dalam unsur
imajinatif, akan mendapati pengukuran tentang apa yang
telah disebutkan dan akan melihat, lewat unsur
rasionalnya, karunia Tuhan yang melimpahi unsur ini.
Ini seperti seseorang yang melihat, dengan unsur
penglihatannya, sinar matahari lewat sinar matahari.

Jalan untuk mencerap apa-apa yang bisa dicerap


dan aktivitas unsur rasional yang actual ialah rahmat,
seperti sinar matahari yang melalui sinar itu orang
menyadari dan melihat ciptaan Tuhan dengan sangat
jelas sehingga dia menjadi orang yang beriman kepada-
Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan
akhirat, dan mengingat Tuhan di kala duduk, berdiri dan
berbaring. Setiap pemikiran dapat diperoleh lewat
rahmat ini, yang tidak lain adalah hubungan manusia
dengan akal aktif.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa ibn


Bajjah memulai dengan melukiskan “Psikologi
Aristoteles” dan mengakhiri dengan mencapai
kedudukan ibn Sina dan al-Ghazali, yang nama-nama

[60]
mereka disebut-sebutnya dengan penuh hormat dan
takzim.16

G. Akal dan Pengetahuan

Menurut ibn Bajjah, akal merupakan bagian


terpenting manusia. Ia berpendapat bahwa pengetahuan
yang benar dapat diperoleh lewat akal yang merupakan
satu-satunya sarana yang melaluinya kita mampu
mencapai kemakmuran dan membangun kepribadian.
Sesuatu telah dikatakan mengenai sumber akal dan cara
kerjanya. Kutipan-kutipan ini akan menjelaskan masalah
itu:

“perlu bagi orang melihat dengan wawasannya


sendiri isi unsur imajinatifnya, sebagaimana dia melihat
obyek-obyek dengan matanya dan dapat membedakan
sepenuhnya obyek-obyek itu. Dia yakin dapat
memahami bahwa obyek-obyek itu berkali-kali terkesan

16
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.151-159

[61]
pada unsur imajinatif. Banyak obyek yang dapat
dibayangkan memiliki satu atau lebih dari unsur individu
di dalam unsur imajinatifnya. Mereka juga memiliki hal-
hal yang menyangkut individu-individu itu, yaitu ukuran,
warna, pengetahuan, kesehatan, penyakit, gerakan,
waktu, ruang dan kategori-kategori lain. Dengan
menyadari semua ini, manusia lewat wawasannya
melihat bahwa unsur rasional itu menelaah obyek-obyek
imajinasi dan mencerap sifat-sifat umum mereka, yaitu
perbedaan yang membedakan mereka dari obyek-obyek
rasa, yaitu perbedaan yang atas dasar itu mereka
dipandang sebagai individu-individu dan dikenali
sebagai obyek-obyek yang dapat dipahami. Orang juga
harus menyadari bahwa semua perbedaan ini dilihat oleh
unsur rasional lewat rahmat Tuhan yang melimpahi
mereka, sebagaimana obyek-obyek pandangan tampak
oleh pikiran yang dapat mencerap lewat cahaya matahari
yang menimpa mereka, yang tanpa cahaya itu mereka
tetap tak terlihat. Melalui rahmat itu pula keseluruhannya
terkenali lewat bagian-bagiannya dan ditentukan sebagai
lebih besar dari bagian-bagian itu. Dan lagi, bilangan-

[62]
bilangan yang dianggap sebagai angka dinyatakan oleh
rahmat ini sebagai berbeda dan banyak bila penyelidikan
akan ciptaan Tuhan – makhluk-makhluk langit dan bumi,
malam dan siang, para rasul, wahyu, impian-impian, dan
apa yang diucapkan oleh lidah peramal – diulang-ulang
sehingga manusia mencerap hal-hal itu lewat unsur
imajinatif, dan unsur rasional melihat eksistensi obyek-
obyek yang tak tercerap oleh pikiran ataupun inderawi
lewat wawasannya yang murni, sederhana dan
khas.pandangannya menjadi luas dan ia ingin
mengetahui sebab-sebab adanya makhluk-makhluk itu
yang menjadi bisa dipahami. Unsur rasional tidak
mengenal obyek-obyek pengetahuan secara memadai
kecuali bila ia mengenal mereka lewat empat sebab –
bentuk, materi, agen dan tujuan. Adalah perlu
mengetahui semua sebab ini yang menyangkut obyek-
obyek yang tak dapat tidak memiliki mereka. Manusia
pada dasarnya cenderung menyelidiki dan mengenal
semua ini. Pencariannya mencakup keempat sebab
obyek-obyek persepsi-rasa. Ini jelas sekali pada obyek-
obyek seni dan obyek-obyek alam. Dia lebih tertarik

[63]
untuk mengetahui sebab-sebab obyek-obyek yang dapat
dipahami, sebab penyelidikan ini dianggap suci, tinggi
dan bermanfaat. Akhirnya, lewat penyelidikan akan
sebab-sebablah manusia mencapai keimanan kepada
Tuhan, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-
rasul-Nya dan akhirat.”

“lihatlah,” kata ibn Bajjah, “keajaiban-keajaiban


yang ada di antara akal dan unsur imajinasi lewat ruhmu
(soul) yang tajam. Engkau dapat melihat dengan pasti
bahwa akal mendapatkan obyek-obyek pengetahuan
yang disebut hal-hal yang dapat dicerap dari unsur
imajinatif, ambilah, sebagai misal, ideal-ideal moral dan
artistik, atau obyek-obyek pengetahuan yang merupakan
kejadian-kejadian yang bisa terjadi dan mewujud di
dalam unsure imajinatif sebelum kejadian-kejadian
tersebut terjadi atau kejadian-kejadian yang belum
terjadi tapi telah masuk ke dalam unsur imajinatif bukan
lewat organ-organ-rasa melainkan lewat akal, seperti
dalam hal impian yang benar. Hal yang paling
mencengangkan pada unsure imajinatif ialah
keterhubungannya dengan wahyu dan ramalan. Maka

[64]
jelaslah dalam hal ini bahwa apa yang diberikan oleh
akal kepada imajinasi manusia bukanlah berasal dari akal
itu sendiri, melainkan timbul dalam imajinasi lewat suatu
agen yang telah dikenal sebelumnya, dan mampu
menciptakannya. Tuhanlah yang, lewat kehendak-Nya,
menyebabkan penggerak lingkungan-lingkungan aktif
beraksi atas dasar lingkungan-lingkungan pasif.
Misalnya, bila Dia bermaksud mewujudkan apa yang
terjadi di alam raya ini, pertama-tama dia memberitahu
para malaikat dan lewat mereka pengetahuan itu
disampaikan kepada akal manusia. Pengetahuan ini
sampai kepada manusia sesuai dengan kemampuannya
untuk menerima kemampuan itu. Ini terbukti pada
hamba-hamba saleh Tuhan yang telah ditunjuki-Nya
jalan yang benar dan yang setia kepada-Nya, terutama
para rasul yang kepada mereka Dia mewujudkan
perristiwa-peristiwa menakjubkan yang akan terjadi di
alam raya ini lewat malaikat-malaikat-Nya, baik ketika
mereka sedang jaga maupun tidur.

“Tuhan SWT memanifestasikan pengetahuan dan


perbuatan kepada makhluk-makhluk-Nya yang ada.

[65]
Setiap makhluk menerima ini semua dari-Nya sesuai
dengan tingkat kesempurnaan eksistensi masing-masing:
akal menerima dari-Nya pengetahuan sesuai dengan
kedudukannya, dan lingkungan menerima dari-Nya
sosok-sosok dan bentuk-bentuk fisik sesuai dengan
tingkat dan kedudukan mereka. Setiap benda angkasa
memiliki akal dan ruh (soul), yang lewat keduanya ia
melakukan tindakan-tindakan tertentu yang bisa dicerap
lewat imajinasi, seperti imajinasi pemindahan dari suatu
tempat imajiner yang terus ada. Dikarenakan oleh
pemindahan khusus yang dapat dicerap inilah,
muncullah tindakan-tindakan tertentu yang dapat dicerap
oleh benda-benda yang mewujud dan lenyap. Hal ini
paling nyata pada matahari dan bulan di antara benda-
benda angkasa lain. Lewat akallah manusia mengenal
ilmu-ilmu yang disingkapkan kepadanya oleh Tuhan,
hal-hal yang dapat dipahami, peristiwa-peristiwa tertentu
yang terjadi pada saat sekarang dan masa mendatang,
dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu. Inilah
pengetahuan tentang yang gaib yang diberikan Tuhan

[66]
kepada hamba-hamba pilihan-Nya lewat malaikat-
malaikat-Nya.”

Selanjutnya ibn Bajjah memaparkan sifat


pengetahuan manusia dan tingkatan-tingakatannya, dia
berkata: “Pengetahuan manusia berarti bahwa dia
melihat yang bereksistensi dan eksistensi sempurna
mereka dalam akalnya lewat wawasan ruh (soul)nya,
yang merupakan rahmat dari Tuhan. Rahmat Tuhan ini
berbeda-beda, pada masing-masing manusia, wawasan
yang paling hebat adalah yang dimiliki oleh para nabi
yang paling mengenal-Nya beserta makhluk-makhluk-
Nya, dan mengecap pengetahuan suci itu dalam ruh
(soul) mereka sendiri lewat wawasan sempurna mereka
tanpa mempelajarinya dan tanpa berusaha
mempelajarainya. Pengetahuan yang paling tinggi yaitu
pengetahuan mengenai Tuhan sendiri dan malaikat-
malaikat-Nya, lalu pengetahuan mengenai kejadian-
kejadian apa yang telah terjadi atau akan terjadi di alam
raya ini – pengetahuan yang akan diperoleh lewat
wawasan hati mereka, tanpa menggunakan mata mereka.
Di bawah derajat para nabi ialah derajat para wali Tuhan

[67]
yang memiliki sifat paling baik, yang lewat sifat itu
mereka mendapatkan dari para nabi sesuatu yang
membuat mereka mampu mencapai pengetahuan
mengenai Tuhan dan pengetahuan mengenai malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari
kiamat dan rahmat yang paling tinggi, yang terus
menerus mereka saksikan dengan wawasan mereka
sesuai dengan tingkat rahmat Tuhan yang mereka terima.
Orang-orang saleh ini juga menerima sedikit
pengetahuan mengenai yang gaib dalam impian-impian
mereka. Wali-wali Tuhan itu meliputi Para Sahabat
Nabi. Setelah mereka ialah sejumlah orang yang
dikaruniai oleh Tuhan wawasan yang lewat wawasan itu
mereka menyadari sepenuhnya realitas segala suatu,
sampai tahap demi tahap mereka meraih pengetahuan
mengenai Tuhan, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, rasul-rasul-Nya dan Hari Kiamat. Mereka sadar
lewat wawasan mereka bahwa mereka telah memperoleh
kesempurnaan atau rahmat paling tinggi yang lestari
tanpa rusak, mulia tanpa aib, dan kaya tanpa takut akan

[68]
jatuh miskin. Orang-orang seperti ini, termasuk
Aristoteles, sangat sedikit jumlahnya.”

Ibn Bajjah percaya kepada kemajemukan akal


dan mengacu pada akal pertama dan akal kedua. Ia
berpendapat, akal manusia paling jauh adalah akal
pertama. Lebih jauh dia menjelaskan tingkat-tingkat akal
dengan mengatakan bahwa sebagian akal secara
langsung berasal dari akal pertama; sebagian lain berasal
dari akal-akal lain, hubungan antara yang diperoleh dan
tempat asal akal yang diperoleh itu sama dengan
hubungan cahaya matahari yang ada di dalam rumah
dengan cahaya matahari yang ada di halaman rumah.

Pegetahuan tentang sifat segala yang ada yang


dimiliki oleh akal, ada dua jenis: (1) yang dapat
dipahami tapi tidak dapat ditemukan, dan (2) yang dapat
dipahami dan dapat ditemukan. Akal itu sendiri ada dua
jenis pula: (1) akal teoritis, yang lewat akal itu manusia
memahami segala yang tidak dapat dimunculkannya,
dan (2) akal praktis, yang lewat akal itu dia
mengangankan benda-benda tiruan yang dapat dia

[69]
temukan. Kesempurnaan akal praktis ada dalam
pemahaman manusia akan obyek-obyek tiruan dan
memaujudkan obyek-obyek tersebut sesuai dengan
kehendaknya sendiri. Semua ini ditemukan lewat organ-
organ tubuh manusia, baik dengan gerak organ-organ itu
tanpa bantuan dari luar, maupun dengan menggerakkan
organ-organ itu yang pada gilirannya menggerakkan
beberapa instrument luar. Hal ini terjadi bila obyek-
obyek tiruan itu disempurnakan oleh kemauan manusia.

Organ-organ manusia bergerak dengan


sendirinya, tapi bila sebuah obyek tiruan dibuat, maka
organ-organ itu digerakkan oleh kemauan pertama-tama
di dalam pikiran, lantas obyek itu dihasilkan diluar
pikiran sesuai dengan imaji yang terbentuk di dalam
pikiran itu sebelum organ-organ itu mewujudkannya,
imaji ini merupakan suatu bayangan di dalam indera
imajinatif ruh (soul) dan bersifat umum. Imaji ini lenyap
dari ruh (soul) yang memperoleh imaji lain, dan proses
itupun berlangsung terus. Kapan pun orang berkeinginan
membuat satu obyek tertentu, maka dia membentuk
suatu imaji di dalam unsur imajinatif. Lalu dia dapat

[70]
melihat lewat wawasannya bahwa sebuah unsur lain ruh
(soul) mengabstraksikan imaji ini di dalam unsur
imajinatif dan mengalihkannya dari satu keadaan ke
keadaan lain sampai eksistensinya sempurna di dalam
ruh (soul), lalu dia menggerakkan organ-organ itu
dengan memaujudkan obyek itu. Unsur ini, yang
memahami dan mengabstraksikan dalam imajinasi
disebut akal praktis. Bila dalam unsur imajinatif akal
praktis itu pertama-tama mengabstraksikan imaji obyek
tiruan itu sesuai dengan suatu bentuk dan ukuran
tertentu, maka unsur yang bergerak itu menggerakkan
organ-organ untuk menemukan obyek tersebut. Oleh
karena itu, akal merupakan pembuat pertama obyek dan
bukan organ-organ yang digerakkan oleh ruh (soul),
bukan pula unsur yang menggerakkan organ-organ itu.
Jelaslah bahwa daya organ-organ bukanlah yang pertama
ditemukan melainkan dimaujudkan oleh unsur akal yang
menyebabkannya maujud dalam imajinasi, dan baru
kemudian organ-organ tersebut menyebabkan terbuatnya
obyek-obyek itu melalui kemauan.

[71]
Unsur imajinatif mengupayakan bantuan
persepsi-rasa pada saat menemukan obyek itu untuk
menyodorkannya kepada unsur yang telah
menggerakkan organ-organ tersebut, dan untuk
memampukan akal membandingkan dan melihat apakah
obyek yang terbayangkan itu milik persepsi-rasa atau
unsur imajinatif.

Akal memiliki dua fungsi: (1) memberikan imaji


obyek yang akan diciptakan kepada unsur imajinasi, dan
(2) memiliki obyek yang dibuat di luar ruh (soul) dengan
menggerakkan organ-organ tubuh.

Menurut ibn Bajjah, akal manusia setapak demi


setapak mendekati akal pertama dengan: (1) meraih
pengetahuan yang didasarkan pada bukti, yang dalam hal
itu akal paling tinggi direalisasikan sebagai bentuk; dan
(2) memperoleh pengetahuan tanpa mempelajarinya atau
berusaha meraihnya. Metode kedua ini adalah metode
orang-orang sufi, khususnya metode al-Ghazali; metode
ini memampukan orang memperoleh pengetahuan
tentang Tuhan.

[72]
Dari sini jelaslah bahwa meskipun ibn Bajjah
telah menekankan metode spekulatif, namun dia tidak
mengecam metode mistis, sebagaimana beberapa orang
Eropa berusaha membuat kita percaya. 2117

H. Tuhan,Sumber Pengetahuan

Mengenai rahmat Tuhan, yang lewat rahmat


tersebut unsur rasional mengenali perbedaan-perbedaan,
seorang manusia melebihi manusia yang lainnya, dan hal
itu sesuai dengan kapasitas yang telah dikaruniakan
Tuhan kepadanya. Tapi kedua rahmat ini merupakan
pembawaan sejak lahir, bukan diupayakan. Kapasitas
dan rahmat yang mesti diupayakan bukanlah pembawaan
sejak lahir, dan keduanya diperoleh dengan melakukan
apa-apa yang dapat sesuai dengan kehendak Tuhan,
dibawah bimbingan para nabi. Oleh karena manusia
harus menyambut seruan Nabi Suci dan melaksanakan
apa yang diperintahkannya. Dengan begitu dia dapat

17
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.159-165

[73]
melihat lewat wawasan hatinya sifat setiap makhluk, asal
mulanya dan ketentuan akhirnya. Dengan begitu pula,
dia dapat mengetahui bahwa Tuhan merupakan suatu
kemaujudan – mesti dengan sendirinya, tunggal, tidak
bersekutu dan pencipta segalanya; bahwa segala selain
Dia ada yang menyamai dan berasal dari esensi
sempurna-Nya; bahwa pengetahuan-diri-Nya meliputi
pengetahuan-Nya tentang semua obyek; dan bahwa
pengetahuan-Nya tentang semua obyek itu merupakan
sebab mewujudnya obyek-obyek tersebut.

Untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, ibn


Bajjah menasehati kita untuk melakukan tiga hal: (1)
membuat lidah kita selalu mengingat Tuhan dan
memuliakan-Nya, (2) membuat organ-organ tubuh kita
bertindak sesuai dengan wawasan hati, dan (3)
menghindari segala yang membuat kita lalai mengingat
Tuhan atau membuat hati kita berpaling dari-Nya. Ini
semua mesti dilaksanakan terus menerus sepanjang
hidup.18
18
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.165

[74]
I. Filsafat Politik

Ibn Bajjah menulis sejumlah risalah kecil


mengenai pemerintahan Dewan-Negara dan
pemerintahan Negara-Kota, tapi buku yang sekarang
masih bisa dibaca hanyalah Tadbir al-Mutawahhid
(Rezim Satu Orang). Sebagaimana dijelaskan dalam
buku ini, ibn Bajjah sangat menyetujui teori politik al-
Farabi. Misalnya, dia menerima pendapat al-Farabi yang
membagi Negara menjadi Negara yang sempurna dan
yang tidak sempurna. Dia juga setuju dengan al-Farabi
yang beranggapan bahwa individu yang berbeda dari
sebuah bangsa memiliki watak yang berbeda pula –
sebagian dari mereka lebih suka memerintah dan
22
sebagian yang lain lebih suka diperintah. Tapi ibn
Bajjah memberikan tambahan kepada system al-Farabi
ketika dia mendesakkan pendapatnya bahwa manusia
yang memerintah secara sendirian itu (mutawahhid atau
filosof yang berfikiran tajam) harus selalu berada lebih
tinggi dari orang lain pada kesempatan-kesempatan

[75]
tertentu. Meskipun menghindari orang lain itu sendiri
tidak diinginkan, namun hal itu diperlukan untuk
mencapai kesempurnaan. Dia juga menasehati agar
filosof menemui masyarakatnya hanya pada beberapa
kesempatan tertentu dalam waktu sebentar saja, dan dia
harus pindah ke Negara-negara tempat dia dapat
memperoleh pengetahuan; perpindahan itu harus
dilakukan di bawah hukum-hukum ilmu politik. 23

dalam Risalat al-Wada’ ibn Bajjah memberikan


dua fungsi alternatif Negara: (1) untuk menilai perbuatan
rakyat guna membimbing mereka mencapai tujuan yang
mereka inginkan. Fungsi ini paling baik dilaksanakan di
dalam Negara ideal oleh seorang penguasa yang
berdaulat. (2) Fungsi alternatif ini yaitu merancang cara-
cara mencapai tujuan-tujuan tertentu, persis sebagaimana
seorang penunggang, sebagai latihan pendahuluan,
mengendalikan tali kekang demi menjadi penunggang
yang mahir. Ini merupakan fungsi pelaksana-pelaksana
Negara-negara yang tidak ideal. Dalam hal sang
penguasa disebut rais (pemimpin). Sang pemimpin

[76]
menerapkan di Negara itu suatu sistem tradisional untuk
menentukan seluruh tindakan rakyat.

Dalam sistem al-Farabi dan ibn Bajjah, konstitusi


harus disusun oleh Kepala Negara, yang telah disamakan
oleh al-Farabi dengan seorang nabi atau Imam. Ibn
Bajjah tidak menyebutkan identitas ini secara terperinci,
tapi secara tidak langsung dia setuju dengan pendapat al-
Farabi ketika dia menyatakan bahwa manusia takkan
mencapai kesempurnaan kecuali lewat yang dibawa oleh
para rasul dan Tuhan Yang Mahatinggi (yaitu Hukum
Tuhan atau Syari’ah). mereka yang mengikuti petunjuk
Tuhan takkan sesat.”24 Oleh karena itu, adalah terlalu
lancang bila mengatakan bahwa “Dia (ibn Bajjah)
mengabaikan relevansi politis Hukum Tuhan (syari’ah)
dan nilai edukatifnya bagi manusia sebagai warga
Negara.”2519

J. Etika

19
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.165-167

[77]
Ibn Bajjah membagi tindakan menjadi tindakan
hewani dan manusiawi. Yang pertama dikarenakan oleh
kebutuhan-kebutuhan alamiah, bersifat hewani sekaligus
manusiawi. Makan, misalnya, bersifat hewani sepanjang
hal itu dilakukan demi memenuhi kebutuhan dan
keinginan, juga bersifat manusiawi sepanjang hal itu
dilakukan untuk menjaga kekuatan dan kehidupan demi
meraih karunia-karunia spiritual.

Ibn Bajjah membawa perhatian kita kepada


unsur-unsur manusiawi yang aktif, sebab manusia terlalu
tinggi untuk dikualifikasikan dengan unsur-unsur pasif
yang bersifat material atau hewani. Unsur manusia untuk
mempelajari merupakan unsur pasif, begitu pula dalam
arti yang berbeda. Unsur aktif berkeinginan mencapai
kesempurnaan saja, sesudah itu dia berhenti sebagaimana
dalam cara yang digunakan untuk menyelesaikan suatu
urusan dagang. Tapi pengulangan cara itu dilaksanakan
hanya lewat pendapat dan ruh (soul) yang berhasrat. Apa
yang dilaksanakan karena ruh (soul) yang mengandung
hasrat merupakan tindakan yang dilakukan oleh sang
agen oleh dirinya sendiri. Dan, apa yang dilakukan oleh

[78]
pendapat merupakan tindakan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan yang lain. Ruh (soul) yang mengandung
asrat menginginkan suatu obyek yang bersifat kekal,
keinginan itu disebut kesenangan, dan ketiadaannya
disebut kejemuan dan kesakitan. Siapa pun yang
bertindak dengan cara ini dianggap sebagai telah
melakukan tindakan hewani. Dan mereka yang bertindak
melalui pendapat atau pikirannya bertindak secara
manusiawi. Pendapat menggerakkan orang ke arah yang
secara esensia kekal, atau ke arah yang kekal karena hal
itu berlimpah-limpah. Jika tindakan bersifat kekal
dikarenakan kelimpahan, maka tujuan akan
menggantikan tindakan permulaan. Pengupayaan tujuan
ini terjadi karena kecenderungan semata, yang dalam hal
itu ia merupakan suatu tindakan hewani, atau karena
pendapat yang bertujuan mencapai kesempurnaan.
Tujuan itu beragam sesuai dengan sifat individu-
individu; beberapa orang, misalnya, lahir untuk menjadi
pembuat sepatu, dan yang lain untuk menguasai
ketrampilan lain. Tujuan-tujuan saling melayani, dan
mereka semua menuju ke satu tujuan akhir yang sama –

[79]
yaitu tujuan utama. Manusia utama tentu saja adalah
yang mempersiapkan dirinya untuk mencapai tujuan
utama itu, dan mereka yang tidak siap untuk itu tentu
saja tunduk. Oleh karena itu sebagian orang tentu saja
patuh dan diperintah oleh yang lain, dan sebagian
memiliki wewenang alamiah dan memerintah yang lain.

Pendapat secara esensial kadang-kadang benar.


Hal itu terjadi bila ia menginginkan hal kekal. Kadang-
kadang ia secara kebetulan benar dan bukan secara
esensi. Pendapat-pendapat orang yang pandai, misalnya,
adalah benar tentang obyek-obyek yang telah mereka
bangun; tapi tidak benar dalam diri mereka sendiri.
Pendapat-pendapat ini secara relatif benar, tapi secara
universal tidak benar. Tanaman colocynth bermanfaat
bagi orang yang berdarah dingin, tapi tidak untuk semua
orang. Di pihak lain, roti dan daging bermanfaat secara
alamiah dan secara universal. Pendapat yang secara
relatif dan umum benar adalah benar secara mutlak. Tapi
kadang-kadang apa yang secara relatif benar tidak benar
secara umum, dan karena itu ia benar dalam satu segi
dan salah dalam segi lain.

[80]
Untuk menyatakan apakah suatu tindakan itu
bersifat hewani atau manusiawi, perlulah memiliki
spekulasi di samping kemauan. Dengan memperhatikan
sifat kemauan dan spekulasi ibn Bajjah membagi
kebajikan menjadi dua jenis, kebajikan formal atau
spekulatif. Kebajikan formal merupakan pembawaan
sejak lahir tanpa pengaruh kemauan atau spekulasi,
seperti kejujuran seekor anjing, sebab mustahil bagi
seekor anjing untuk tidak jujur. Kebajikan ini tidak
bernilai bagi manusia. Kebajikan spekulatif didasarkan
pada kemauan bebas dan spekulasi. Tindakan yang
dilakukan demi kebenaran dan bukan untuk memenuhi
keinginan alamiah disebut tindakan ketuhanan bukan
manusiawi, sebab hal ini jarang terdapat pada manusia.
Yang baik, menurut ibn Bajjah merupakan eksistensi,
dan yang jahat merupakan ketiadaan. Dengan kata lain,
yang jahat,baginya,benar-benar tidak jahat.2021

20

21
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.167-168

[81]
K. Tasawuf

Renan berpendapat benar bahwa ibn Bajjah


memiliki kecenderungan kepada tasawuf, tapi tentu salah
ketika dia menganggap bahwa ibn Bajjah menyerang al-
Ghazali karena dia menandaskan intuisi dan tasawuf.
Sesungguhnya, ibn Bajjah mengagumi al-Ghazali dan
menyatakan bahwa metode al-Ghazali memampukan
orang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, dan
bahwa metode itu didasarkan pada ajaran-ajaran Nabi
Suci. Sang Sufi menerima cahaya di dalam hatinya.
Cahaya di dalam hatinya ini merupakan suatu spekulasi,
yang lewat spekulasi itu hati melihat hal-hal yang dapat
dipahami seperti orang melihat obyek yang tertimpa
sinar matahari lewat penglihatan mata; dan lewat
pemahaman hal-hal yang dapat dipahami ini dia melihat
semua yang, melalui implikasi mendahului mereka atau
menggantikan mereka.

Ibn Bajjah menjunjung tinggi para wali Allah


(auliya’Allah) dan menempatkan mereka di bawah para
nabi. Menurutnya, sebagian orang dikuasai oleh

[82]
keinginan jasmaniah belaka – mereka berada di tingkat
paling bawah – dan sebagian lagi dikuasai oleh
spiritualitas – kelompok ini sangat langka, dan termasuk
dalam kelompok ini Uwais al-Qarni dan Ibrahim ibn
Adham.26

Terhadap Tuhan dan ketentuan-Nya, ibn Bajjah


hamper menyatakan dirinya sebagai seorang fatalis.
Dalam salah satu risalah-Nya, dia menyatakan bahwa
seandainya kita berpaling kepada ketetapan Tuhan dan
kekuasaan-Nya maka kita benar-benar memperoleh
kedamaian dan kebahagiaan. Segala yang ada berada
dalam pengetahuan-Nya dan hanya Dia yang mampu
mendatangkan kebaikan kepada mereka. Karena dia
mengetahui segala suatu secara esensial, maka dia
memberikan perintah-perintah kepada suatu perantara
untuk menemukan suatu bentuk seperti yang ada dalam
pengetahuan-Nya dan kepada penerima bentuk-bentuk
untuk menerima bentuk itu. Inilah yang terjadi pada
semua yang ada, bahkan pada materi yang fana serta akal
manusia. Untuk menunjang pandangannya bahwa Tuhan
adalah Pencipta Utama segala tindakan, ibn Bajjah

[83]
mengacu pada pandangan al-Ghazali yang dikatakannya
pada bagian akhir dari karyanya Misykat al-Anwar,*)
bahwa prinsip pertama itu menciptakan agen-agen dan
obyek-obyek tindakan ; dan dia selanjutnya mengambil
penunjang lain untuk pandangannya ini dari pengamatan
al-Farabi dalam ‘ujun al-Masa’il, bahwa semuanya
berkaitan dengan Prinsip Pertama sebab Yang Pertama
itu merupakan pencipta mereka. Ibn Bajjah juga
menyatakan bahwa Aristoteles mengatakan dalam
bukunya Physics bahwa agen Pertama adalah agen
sebenarnya, dan agen yang dekat tidak bertindak kecuali
lewat yang Pertama. Yang pertama membuat aksi yang
dekat dan obyek tindakan. Yang dekat itu dikenal
sebagai agen oleh sebagian besar orang hanya dalam
masalah-masalah material. Raja yang adil, misalnya,
pantas menerima sebutan adil, meskipun dia jauh
tingkatannya dari dia yang ada di bawahnya dalam
rangkaian agen itu. Siapa pun yang menganggap bahwa
suatu tindakan berasal dari agen yang dekat sama saja
dengan seekor anjing yang menggigit sebuah batu yang
membenturnya. Tapi penganggapan bahwa tindakan itu

[84]
berasal dari agen yang dekat adalah mustahil dalam
masalah-masalah yang tidak bersangkut paut dengan
materi-materi fisik. Akal yang aktif yang mengelilingi
benda-benda angkasa itu merupakan agen dekat dari hal-
hal yang tak kekal. Tapi Dia yang menciptakan akal
yang aktif dan benda-benda angkasa itulah agen kekal
yang sejati.

Tuhan menyebabkan keberadaan suatu benda


berlanjut tanpa akhir setalah ketakberadaan fisiknya. Bila
suatu yang ada mencapai kesempurnaan, maka dia tidak
akan ada lagi dalam zaman tapi ada selamanya dalam
keterus-menerusan masa (dahr). Ibn Bajjah disini
mengingatkan kita akan salah satu sabda Nabi Suci:
“janganlah menyalahgunakan dahr karena dahr itu
Allah.” Dengan penafsiran begitu, perkataan itu
mengandung makna bahwa akal manusia itu kekal.
Untuk menunjang penafsiran kata dahr ini, ibn Bajjah
menyebutkan para pendahulunya seperti al-Farabi dan
al-Ghazali.22
22
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.168-170

[85]
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. {Bandung:
Rosdakarya, 1990}

2. Dr. Ahmad Fuad Al-ahwani, Filsafat Islam.


(Jakarta : Pustaka Firdaus)

3. Moeflih hasbullah, M.A, Dedi Supriyadi, M.Ag


(Bandung : Pustaka Setia, 2012)

[86]
4. Sirajuddin Zar , Filsafat Islam ( filosof Dan
Filsafatnya) Jakarta : Cet. Kelima, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2012)

5. Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka


Setia, 2004

6. Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta:


Bulan Bintang, 1990

7. Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: PT Rineka


Cipta. 2004

BIOGRAFI PENULIS
Muhammad Ramzi Nugraha dilahirkan di
Sukabumi pada tamggal 13 Februari 1998, Alamat di
Kp. Sinagar Desa Nagrak Utara Kecamatan Nagrak
Kabupaten Sukabumi.
Latar Belakang Pendidikan Sekolah Dasar di
SDN Negeri 3 Nagrak, Sekolah Menegah Pertama di
MTs Al Hidayah Sukabumi, Sekolah Menengah Atas di
MA Al Hidayah Sukabumi, Selanjutnya memilih

[87]
perkuliahan di Universitas Islam Negri (UIN) Sunan
Gunung Djati Bandung Jurusan Tasawuf Psikoterapi
Fakultas Ushuluddin.

[88]

Anda mungkin juga menyukai