Disusun oleh :
Kelas: D
FAKULTAS USHULUDDIN
[2]
[3]
BIOGRAFI
Lahir : 1095
Zaragoza, Andalusia
Fez, Maroko
Kebangsaan : Andalusia
fisikawan, musisi,
sastrawan, ilmuwan
Averroes
[4]
KATA PENGANTAR
Penulis
[5]
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................1
DAFTAR ISI..................................................................6
PENDAHULUAN..........................................................8
Pengertian........................................................................8
Filsafat Islam.................................................................10
Ibnu Bajjah....................................................................24
Para Pendahulunya........................................................28
Karya karyanya.............................................................36
Filsafatnya....................................................................38
Psikologi.......................................................................43
Filsafat Politik..............................................................76
[6]
Etika..............................................................................79
Tasawuf.........................................................................83
DAFTAR PUSTAKA..................................................88
BIOGRAFI PENULIS................................................89
[7]
PENDAHULUAN
A. Pengertian Filsafat
1
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. [Bandung: Rosdakarya, 1990]; Asep
Ahmad Hidayat, Filsafat bahasa. [Bandung: Rosdakarya, 2006],hlm.
19.Al-Farabi, book of letters, [editor: M.Mahdi], Daar Al-Masyriq,
1970, hlm. 155; Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam,[terj. Amin
Abdullah], [Yogyakarta: IAIN, 1984], hlm. 20.
2
Ensiklopedia Hukum Islam, Depag. RI.,Jakarta, 1997, hlm. 550.
3
Ibnu Al-Manzur, Lisan Al-A’rab, [Beirut: Dar al-Fikr,1990], jilid 9,
Cetakan ke-1, hlm. 273.
4
Imam Barnadib, 1992:11]; [Arifin 1993:1]; [Abdul Munir Mulkan,
1993:38]; [Abu Ahmadi, 1982:9] dan [Asep Ahmad Hidayat,
2006:6].
5
Filsafat Agama: Titik Temu Akal dengan Wahyu, (Jakarta,
Pedoman ilmu Jaya, 1992), cet. ke-1, hlm. 3.
[8]
“asli”,cabang ilmu tradisional Islam ini disebut ‘ulum al-
hikmah atau secara singkat al-hikmah (padanan kata
Yunani Sophia),yang artinya ialah “kebijaksanaan”
atau,lebih tepat lagi ,”kawicaksanaan” (jawa) atau
wisdom (Inggris). Dengan demikian,failusuf (diambil
dari kata Yunani philosophos,pelaku filsafat),disebut
juga,al-hakim (ahli hikmah atau orang bijaksana),dengan
bentuk jamak al-hukama.6
B. Filsafat Islam
6
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban. [Jakarta Yayasan
Paramadina, 1992], hlm. 218-219.
7
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu. [Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 1999], Cetakan keempat, hlm. 29;lihat pula F.E. Peters,
Greek Philosophical Terms: A History Lexicon, 1967, hlm. 156 &
179.
[9]
Filsafat islam ialah pembahasan meliputi
berbagai soal alam semesta dan bermacam masalah
manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun
bersama lahirnya agama islam.
[10]
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan islam,
kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh
orang-orang Arab, tampilah beberapa filosof seperti Al-
Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain. Kaum
sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang
kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para
penulis buku itu menyebut mereka kaum “filosof islam”.
Ada pula yang menamakan “para filosof beragama
Islam”. Kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan
“para ahli himah Islam” (Filasifatul-Islam,atau al-
Falasifatul-Islamiyyin atau Hukama’ul-Islam), mengikuti
sebutan yang diberikan Syahrustani, Al-Qifthi, Al-
Baihaqy dan lain-lain. Oleh karena itu Syaikh Mustafa’
Abdurrazak mengatakan dalam bukunya yang berjudul
Pengantar Sejarah Islam1: “para ahli filsafat telah sepakat
member nama demikian, karena pemberian nama lain
tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisruhkan”.
Selanjutnya ia menyimpulkan: “maka kami berpendapat
perlu menamakan filsafat itu sendiri, dengan nama yang
telah diberikan oleh para ahli filsafat itu senditi, Filsafat
Islam, dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri
[11]
Islam dan berada di bawah pengayoman Negara Islam.
Tanpa memandang agama dan bahasa para ahli filsafat
yang bersangkutan”.8
[12]
Akan tetapi, jika pembicaraan itu beralih
ke abad-abad berikutnya, mulai abad pertama
Hijriyah kata “Arab” berubah menjadi suatu
istilah yang maknanya ialah segala bangsa dan
rakyat yang bermukim di seluruh wilayah
kerajaan Islam, yang pada umumnya
mempergunakan bahasa Arab dalam menulis
buku-buku ilmiah. Dengan demikian istilah
“Arab” mencakup orang Persia, India, Turki,
Suriah, Mesir, Barbar (Barber = penduduk
Afrika Utara) Andalusia dan lain-lain. Yaitu
orang yang berbagai kebangsaan yang menulis
buku-buku ilmiah dalam bahasa Arab, karena
mereka bernaung di bawah Negara-negara
Islam. Jika kita tidak menyebut mereka dengan
“Arab” ‘sukar sekali bagi kita untuk dapat
berbicara tentang ilmu falak, karena sangat
sedikit putera Qathan dan ‘Adnan2 yang
memiliki kecerdasan berfikir”.
[13]
mengatakan, ilmu tersebut (filsafat) oleh orang-orang
Arabdiartikan ilmu yang ditulis dalam bahasa Arab.
Lantas Nellinou mengutip pendapat Ibnu Khaldun yang
mengatakan: “para ahli ilmu (filsafat) di kalangan ummat
Islam sebagian besar terdiri dari orang-orang ‘ajam (non
Arab)”.kemudian Nellinou membahas pendapat lain
tentang persoalan itu yang bersifat kebalikannya, yaitu
yang menamakan ilmu tersebut Filsafat Islam. Ia
menolak penamaan itu berdasarkan alas an, karena kata-
kata “Islam” atau “muslimim” menyingkirkan orang-
orang Nasrani, Yahudi, Shabi-ah dan para pemeluk
agama yang lain. Padahal andil mereka ini tidak kecil
dalam pelbagai cabang ilmu dan kesusastraan Arab,
khususnya ilmu pasti, ilmufalak, ilmu kedokteran dan
filsafat, Nellinou juga menegaskan penggunaan kata
“Islam” atau “Muslimin” mengharuskan orang
melakukan penelitian lagi mengenai buku-buku yang
ditulis oleh kaum muslimin dalam bahasa-bahasa asing
(bukan bahasa Arab), seperti bahasa Persia dan Turki
misalnya yang berada di luar pembicaraan kita.
[14]
Atas dasar pendapat-pendapat tersebut di atas
Nellinou menarik kesimpulan: “lebih tepatlah kiranya
kalau kita semua menyetujui dengan bulat apa yang
sudah lazim dipakai oleh para penulis zaman
belakangan, yaitu menggunakan kata “Arab” sebagai
istilah, yakni menurut bahasa yang digunakan untuk
menulis buku-buku itu. Bukan menurut kebangsaan para
penulisnya.”
[15]
Pada bagian ini kami ingin mengetengahkan beberapa
pendapat mengenai penamaan itu, karena persoalannya
memang cukup menarik.
[16]
Arab, atau yang kadang-kadang oleh para penulisnya
sendiri dirumuskan dalam bahasa Persia, maka
pemisahan sebagian dari pemikiran itu dari bagiannya
yag lain merupakan kejanggalan dan tampak dibuat-buat.
Apalagi kalau pemisahan itu didasarkan pada alat
(bahasa) yang dipergunakan untuk merumuskan
pemikiran filsafat itu, atau didasarkan pada keyakinan
agama para penulisnya. Bagaimana mungkin kita dapat
mengambil sebagian dari pemikiran seorang filosof yang
dituangkan dalam bahasa Persia kita abaikan?
Bagaimana mungkin kita dapat menolak begitu saja
pemikiran seorang filosof hanya karena ia beragama
Yahudi? Bagaimana halnya dengan pemikiran
Sahruwardi atau Ar-razi penulis buku Makhariqul-
Anbiya? Itulah sebabnya saya menghindari penamaan
Filsafat Arab atau Filsafat Islam. Saya lebih suka
menyebutnya Filsafat di Dunia Islam.
[17]
sempit, bahkan keliru. Bagaimana kita bisa
menempatkan pemikiran Nashir Khasru, misalnya, atau
pemikiran Afdhal Kasyani dan para ahli fikir Persia
(Islam) lainnya yang hidup pada abad ke-11 hingga abad
ke-13. Mereka tidak menuliskan pemikirannya kecuali
dalam bahasa Persia! Jika sebutan ‘Arab’ dalam zaman
kita dewasa ini mencakup pengertian polotik dan
kebangsaan dapat dibenarkan, pengertian itu tidak bisa
membawa kita ke lapangan ilmu atau sastra. Lagipula
saya sendiri menolak mengaitkan pengertian keagamaan
dengan tanah air atau kebangsaan tertentu. Karena itu
istilah yang paling tepat dan benar ialah Filsafat Dalam
Islam, atau Filsafat Islam, atau Filsafat Di Negeri-Negeri
Islam. Kalau penamaan yang terakhir disebutkan terasa
terlampau panjang dan dianggap kurang baik untuk
dijadikan istilah, saya tetap menolak member predikat
‘muslimah’ (musulman) pada filsafat tersebut. Sebab
penamaan itu masih tetap mencakup keyakinan pribadi
filosof yang bersangkutan, sedangkan Filsafat Islam
mencakup segala hal-ihwal. Jika kita hendak
memasukkan para filosof yang beragama Nasrani dan
[18]
Yahudi ke dalam lingkaran pemikiran itu, bolehkah kita
menyebut filsafat itu Filsafat di Dalam Islam,
sebagaimana yang telah dilakukan De Boer5.
[19]
mempertahankan prinsip-prinsip ajarannya.
Pada dasarnya filsafat tersebut menekankan
perhatian terhadap kepentingan memperkokoh
sendi-sendi akidah Islam, atau untuk
mengungkap dasar-dasar filsafatnya, atau untuk
menumbuhkan dan membentuk pemikiran
kegamaan secara teologis. Filsafat tersebut tidak
dapat dipandang sebagai criticism atau
opportunism yang mengeksploitasi keyakinan
agama, karena ia tetap berkisar di sekitar
pemikiran keagamaan. Adapun orang-prang
Nasrani dan Yahudi yang telah menulis buku-
buku filsafat criticism atau pemikiran-pemikiran
lain yang terpengaruh oleh Islam, mereka itu
patut dimasukkan ke dalam filsafat Islam secara
umum”.
[20]
mengartikan filsafat Islam sebagai peradaban, bukan
sebagai agama. Ia mengambil contoh Bergson, seorang
filosof Yahudi kelahiran Perancis yang memasukan
zaman sekarang ini ke dalam sejarah agama Nasrani di
Eropa. Demikian juga pendapat Doktor Ibrahim
Madzkur dengan pernyataannya:
[21]
Ibnu Mai-mun (orang Yahudi) adalah penerus
karya-karya Al-Farabi dan Ibnu Rusyd”.
[22]
dan orang Persia seperti Ibnu Sina, misalnya. Bahkan
beberapa filosof menuliskan karya pemikiran mereka
dalam bahasa Persia. Dengan demikian karya pemikiran
mereka turut membentuk sebagian dari filsafat yang
dinamakan Filsafat Islam, karena di dalamnya terdapat
unsur baru yang telah mempengaruhi filsafat Yunani,
filsafat Iskandariyah dan pandangan filsafat lainnya.
Itulah filsafat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Para filosof pada masa itu berpegang pada pandangan
Islam sebagai pedoman dalam usaha mereka mencari
persesuaian antara Islam, unsur baru dan pandangan-
pandangan filsafat yang lain. Oleh karena itu, pemikiran
filsafat tersebut kita namakan saja Filsafat Islam dan di
dalam istilah tersebut tidak mengandung kekisruhan
9
sebagaimana yang dikatakan oleh sementara orang.”
IBNU BAJJAH
9
Dr. Ahmad Fuad Al-ahwani, Filsafat Islam. (Jakarta : Pustaka
[23]
tujib,karenanya ia juga di kenal sebagai al-tujibi. Ibn
bajjah lahir di Saragossa menjelang akhir abad ke-5 H/11
M,dan besar di sana.kami tidak mendapatkan petunjuk
mengenai kehidupan masa mudanya,pun kami tidak bisa
mengira-ngira siapa saja guru-gurunya yang
membimbingnya menyelesaikan pelajaran nya. Tapi
cukuplah kalau dikatakan bahwa dia merampungkan
jenjang akademisnya di Saragossa,sebab ketika dia pergi
ke Granada dia telah menjadi seorang sarjana bahasa dan
sastra arab yang ulung serta menguasai dua belas macam
ilmu pengetahuan. Hal ini di buktikan dengan adanya
peritiwa yang terjadi di masjid Granada sebagaimana di
catat oleh al-suyuti: “suatu hari ibn bajjah memasuki
masjid (jami’ah) Granada. Dia melihat seorang ahli tata
bahasa sedang memberikan pelajaran tatabahsa kepada
para murid yang duduk mengelilinginya. Melihat
seorang asing begitu dekat dengan mereka,para murid
muda itu menyapa ibn bajjah dengan sedikit mengejek :
“apa yang diajarkan oleh ahli hukum itu? Ilmu apa yang
dia kuasai dan bagaimana pandangannya? ’coba lihat,’
sahut ibn bajjah, ‘aku membawa uang dua belas ribu
[24]
dinar di bawah ketiakku.” Sambil berkata begitu dia
memperlihatkan dua belas butir mutiara yang sangat
indah,yang masing-masing berharga seribu dinar.dan
‘lanjut ibnu bajjah,’aku telah mengumpulkan
pengalaman dalam dua belas ilmu pengetahuan,terutama
dalam ilmu ‘arabiyah yang sedang kalian bahas ini. Aku
rasa kalian termasuk dalam kelompok ini. ‘dia kemudian
menyebutkan aliran mereka. Para murid muda itu
mengutarakan keheranan mereka dan memohon maaf
kepadanya.
[25]
Lantara ketenarannya yang makin menanjak,abu
bakr Sahrawi,Gubernur Saragossa,mengangkatnya
sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahannya. Tapi
ketika Saragossa jatuh ke tangan Alfonso I,Raja
Aragon,pada tahun 512 H/1118 M,ibn Bajjah sudah
meninggalkan kota itu dan tiba di Seville lewat
Valencia,tinggal di sana dan menjadi tabib. Kemudian
dia pergi ke Granada,disana terjadi peristiwa di atas.
Lalu dia pergi ke Afrika barat-laut.
[26]
Ini adalah masa yang penh kesulitan dan
kekacauan dalam sejarah Spanyol dan Afrika barat-laut.
Para gubernur kota dan daerah menyatakan kemerdekaan
mereka. Pelanggaran hokum dan kekacauan melanda
seluruh negeri. Mereka yang bermusuhan saling
menuduh sebagai berbuat bid’ah demi meraih
keunggulan dan simpati rakyat. Musuh-musuh ibn
Bajjah sudah mencapnya sebagai ahli bid’ah dan
beberapa kali berusaha membunuhnya. Tapi semua
usaha mereka ternyata gagal. Tapi ibn Zuhr,seorang
dokter termasyhur pada masa itu,berhasil membunuhnya
dengan racun pada bulan Ramadhan tahun 533 H/1138
M di Fez, tempat dia dikubur di samping ibn al-Arabi
muda.10
A. Para Pendahulunya
10
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.143-145
[27]
Tidak ada keraguan lagi bahwa filsafat memasuki
Spanyol sesudah abad ke-3 H/ke-9 M. Sebagian salinan
naskah kuno Rasa’il Ikhwan al-Shafa yang terdapat di
Eropa dianggap berasal dari Maslamah ibn Ahmad al-
Majriti. Maslamah adalah seorang ahli matematika besar
Spayol.Dia termasyhur selama masa pemerintahan
Hakam II dan meninggal pada tahun 598 H/1003
M.Diantara para pengikutnya,ibn al-
Shafa,Zahwari,Karmani dan abu Muslim Umar ibn
Ahmad ibn Khaldun al-Hardhrami terkenal karena ilmu
matematika mereka.Karmani dan ibn Khaldun juga
dikenal sebagai filosof.ibn Khaldun berasal dari Seville
dan meninggal pada tahun 449 H/1054 M.Karmani ,yang
nama lengkapnya abu al-Hakam Amr ibn Abd al-
Rahman ibn Ahmad ibn Ali,berasal dari
Cordova,berkelana ke negeri-negeri Timur dan belajar
ilmu pengobatan dan ilmu hitung di Harran.
Sekembalinya ke Spayol dia menetap di Saragossa.
Menurut pernyataan Qadhi Sa’id8 dan maqqari,dia
merupakan orang pertama yang membawa naskah
[28]
Rasa’il Ikhwan al-Shafa ke Spayol.Karmani meninggal
di Saragossa pada tahun 450 H/1063 M.
[29]
sampai abad ke-5 H/ke-11 dan 12 M.inilah sebabnya ibn
Bajjah,ibn Tufail dan ibn Rusyd harus menghadapi
hukuman mati,penjara dan kutukan.hanya sedikit sekali
orang pada masa itu yang berani berurusan dengan ilmu-
ilmu rasional.
[30]
B. Tokoh-tokoh sezamannya
[31]
catatan sendiri atas buku-buku kuno ini serta yang lain-
lainnya,dan meneliti karya-karya tersebut. Caranya tidak
diketahui oleh peneliti mana pun sebelum dia (ibn
Bajjah). Dan tidak ada sesuatu pun,kecuali kesalahan dan
perubahan,dicatat olehnya menyangkut ilmu-ilmu kuno
itu. Sejumlah kesalahan,misalnya,dibuat oleh ibn
Hazm,yang merupakan salah seorang peneliti paling
masyhur pada zamannya,sementara sebagian besar
mereka bahkan tidak berusaha mencatat pemikiran-
pemikiran mereka. Ibn Bajjah lebih unggul dari ibn
Hazm dalam hal meneliti,dan lebih tajam dalam hal
membuat perbedaan-perbedaan. Cara-cara penelitian
dalam ilmu-ilmu itu hanya diketahui oleh sarjana ini (ibn
Bajjah) dan Malik ibn Wuhaib dari Seville,keduanya
hidup sezaman. Tapi tidak ada sesuatu pun yang di catat
oleh Malik kecuali sebuah risalah pendek mengenai
prinsip-prinsip logika. Kemudian dia tidak lagi meneliti
ilmu-ilmu ini dan membicarakan ilmu-ilmu tersebut
secara terbuka,dikarenakan oleh usaha-usahanya unttuk
membahas ilmu-ilmu filsafat dan menguasai subjek-
subjek ilmiah. Dia berpaling kepada ilmu-ilmu
[32]
keagamaan dan menjadi salah seorang tokoh dalam
bidang itu; tapi cahaya ilmu filsafat tidak menyinari
benaknya, pun dia tidak mencatat sesuatu dalam bidang
itu bagi penerusnya sepeninggalannya. Sedangkan
mengenai abu Bakr (semoga Allah mengasihinya),
keungggulan wataknya mendorongnya untuk tidak
berhenti meneliti,menarik kesimpulan dan membaca
semuanya,yang meninggalkan kesan nyata dalam
benaknya,pada berbagai kesempatan ketika keadaan
sedang berubah-ubah di zamnnya.”
[33]
seorang pun dari mereka yang memiliki pikiran yang
lebih tajam,pandangan yang lebih akurat atau wawasan
yang lebih luas selain abu Bakr ibn al-Sha’igh.”
[34]
). Dia disebutkan oleh al-Syaqandi,yang menujukan
kata-katanya kepada orang-orang Afrika,sebagai berikut:
“ Apakah kalian memiliki seorang raja yang ahli dalam
bidang matematika dan filsafat seperti al-Muqtadir ibn
Hud,penguasa Saragossa?” Putranya al-Mu’tamin
(meninggal tahun 474 H/1085 M) dalah seorang
pendukung ilmu-ilmu rasional.”12
C. Karya-karyanya
[35]
2. The Berlin MS.No.5060 ( lihat Ahlwardt:
Catalogue), hilang pada masa Perang Dunia II.
3. The Escurial MS. No. 612. Hanya berisi risalah-
risalah yang ditulis oleh ibn Bajjah sebagai
penjelasan atas risalah-risalah al-Farabi dalam
masalah logika. Karya itu ditulis pada tahun 667
H/1307 M di’Seville.
4. The khediviah MS. Akhlak No. 290. Telah
diterbitkan oleh Dr. Omar Farrukh dalam bukunya
Ibn Bajjah wal-Falsafah al-Maghribiyyah.
Sebagai perbandingan, dapat dikatakan bahwa
buku itu merupakan ringkasan dari Tadbir al-
Mutawahhid – dalam arti bahwa buku itu
membuang sebagian besar teks aslinya, tapi tetap
mempertahankan kata-kata pengarangnya sendiri.
5. Brockelmann menyatakan bahwa The Berlin
Library memiliki sebuah syair pujian karya ibn
Bajjah berjudul Tardiyyah.
6. Karya-karya yang disunting oleh Asin Palacios
dengan terjemahan bahasa Spanyol dan catatan-
catatan yang diperlukan: (i) Kitab al-Nabat, al-
[36]
Andalus, jilid V, 1940; (ii) Risalah Ittisal al-‘Aql
bi al-Insan,al-Andalus, jilid VII, 1942; (iii)
Risalah al-Wada’, al-Andalus, jilid VIII, 1943;
(iv) Tadbir al-Mutawahhid berjudul El Regimen
Del Solitario,1946
7. Karya-karya yang disunting oleh Dr. M.Shagir
Hasan al-Masumi: (i) Kitab al-Nafs dengan
catatan dan pendahuluan dalam bahasa Arab,
Majallah al-Majma’ al-‘Ilm al-‘Arabi,
Damaskus,1958; (ii) Risalah al-Ghayah al-
Insaniyyah berjudul Ibn Bajjah on Human
End,dengan terjemahan bahasa Inggris, Journal of
Asiatic Society of Pakistan, jilid II, 195713
D. Filsafatnya
13
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.148,149
[37]
metafisika. Dalam pandangan de Boer,dia benar-benar
sesuai dengan al-Farabi dalam tulisan-tulisannya
mengenai logika dan secara umum setuju dengannya
nbahkan dengan doktrin-doktrin fisika dan
metafisikanya.19 Mari kita telaah sejauh mana kebenaran
pernyataan ini dengan petunjuk tulisan-tulisan ibn Bajjah
yang sampai kepada kita.
[38]
dengan sangat teliti. Seperti juga dalam filsafat
Aristoteles, ibn Bajjah mendasarkan metafisika dan
psikologinya pada fisika,dan itulah sebabnya mengapa
tulisan-tulisannya penuh dengan wacana-wacana
mengenai fisika.14
14
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.149,150
[39]
pertama” merupakan suatu bentuk abstrak yang
bereksistensi dalam materi yang dikatakan sebagai tidak
mempunyai bentuk.
[40]
umum atau bentuk intelektual, (2) bentuk kejiwaan
khusus; dan (3) bentuk fisik.
[41]
kejiwaan khusus memiliki dua hubungan – hubungan
khusus dengan yang berakal sehat dan hubungan umum
dengan yang terasa. Seorang manusia, misalnya, ingat
akan bentuk Taj Mahal; bentuk ini tidak berbeda dari
bentuk nyata Taj Mahal kalau benda itu berada di depan
mata- bentuk ini, selain memiliki hubungan khusu
seperti yang tersebut di ats, juga hubungan dengan
wujud umum yang terasa, sebab banyak orang melihat
Taj Mahal.15
F. Psikologi
15
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.150-151
[42]
harus digerakkan, atau segala yang bergerak atau aktif
bila mereka diaktifkan. Tubuh jenis kedua ini terdiri atas
penggerak dan yang digerakkan, sedangkan tubuh yang
tidak alamiah memliki penggerak luar. Nah, bentuk yang
membuat nyata sebuah tubuh alamiah disebut jiwa.
Karena itu, jiwa dianggap sebagai pernyata pertama
dalam tubuh alamiah dan teratur, yang bersifat nutritif,
sensitif dan imajinatif.
[43]
tidak hanya menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan
untuk menjaga tubuh, melainkan juga menyediakan
suatu kelebihan bermanfaat untuk pertumbuhan dan
perkembangan tubuh. Tapi setelah pertumbuhan itu
tercapai, kelebihan itu digunakan untuk reproduksi di
dalam tubuh-tubuh itu yang bersifat reproduktif.
[44]
mengubahnya. Penggerak itu adalah yang merasa,
sedang yang digerakkan adalah organ-rasa.
[45]
secara serentak; dan kalau ruh telah mencapai
kesempurnaan, maka penerimaan bentuk itu pun
terlengkapi, dan karena itu materi dan bentuk menjadi
suatu kesatuan. Kalau bentuk itu dipisahkan dari materi,
ia tetap ada tapi terpisah dari materi, dan ia ada
sebagaimana terabstraksi dari materi, tapi tidak sama
dengan ketika ia berada dalam materi – dan ini mungkin
hanya kalau ia ada dalam pikiran dalam bentuk wujud
gagasan. Oleh karena itu, perasaan itu tidak kekal,
padahal sifat tidak kekal itu hanya ada pada materi?
Jawabnya begini. Istilah “materi” digunakan untuk
“unsur psikis” dan “unsur badaniah” secara samar-samar,
dan itu berarti kepenerimaan bentuk, yang lewat itu
sebuah tubuh yang memiliki unsur kepekaan menjadi
berasa. Oleh karena itu, unsur persepsi-rasa itu merpakan
suatu kapasitas pada organ-rasa yang menjadi suatu
bentuk benda yang tercerap.
[46]
‘pengertian’ ada dalam sub-strata dan identik dengannya
itu jelas; kalau tidak maka ‘pengertian’ tentu tidak
bersifat khusus. Tapi tidak begini jika bentuk tidak dapat
bereksistensi tanpa materi, sebab ‘pengertian’
merupakan penerimaan bentuk-bentuk yang dapat
dimengerti saja, dan itu disebut materi per pri us,
sedangkan materi ‘yang dapat dimengerti’ itu disebut
per posterius.”
[47]
sehat memainkan peranan materi, yang melaluinya
bentuk-bentuk segala suatu menjadi jelas. Melalui akal
sehatlah manusia menilai dan membedakan keadaan-
keadaan berlainan dari yang dapat dimengerti, dan
kemudian menyadari bahwa setiap bagian dari sebuah
apel, misalnya, mengandung rasa, bau, warna, kelezatan
atau kedinginan. Sebab unsur ini melestarikan kesan-
kesan dari yang dapat dirasa, yang memungkinkan
indera-indera itu memahami yang dapat dirasa itu. Akal
sehat merupakan realisasi penuh tubuh secara
keseluruhan dan karenanya disebut sebagai ruh (soul).
Unsur ini juga mensuplai materi untuk unsur imajinasi.
[48]
orang lain dan sekaligus mencapai serta membagi
pengetahuan.
[49]
– yang berhasrat dan yang rasional – dan keduanya
mendahului yang lain-lainnya.
[50]
yang berhasrat itu mencari layanan alam, dan menderita
kesakitan dan malas kalau alam tidak bekerjasama
dengannya. Karena alam itu tidak sederhana maka ia
tidak selalu berada dalam satu keadaan. Karena alamlah,
ia merasa tidak puas kalau istirahat itu diperpanjang
waktunya.
[51]
mereka mti kelaparan dan merasa sangat menyesal
karena kehilangan milik mereka. Mereka terkecam rasa
lelah dan sedih dalam berurusan dengan ruh (soul) yang
berhasrat. Dalam hati mereka, tetap hidup kenangan
masa lalu mereka dan mereka merasa menyesal serta
sedih. Kalau hal ini menimpa para penguasa lalim itu,
lalu bagimana nasib orang-orang yang derajatnya lebih
rendah? Sama saja, sebab keinginan ruh (soul) berhasrat
mereka yaitu mengumpulkan apa yang mestinya tidak
mereka kumpulkan dan meraih yang mestinya tidak
mereka raih. Binatang-binatang yang tidak memiliki
nalar, tidak menderita kesedihan yang semacam ini,
sebab ruh (soul) berhasrat mereka tidak berambisi dan
mereka tidak memiliki kenangan akan tingkah mereka di
masa sebelumnya. Mereka hanya menderita kesedihan
alamiah, seperti usia lanjut, yang merupakan nasib yang
mesti diterima oleh setiap organisme alam.
[52]
Unsur ini juga mengkomposisi bentuk-bentuk obyek-
obyek imajinasi yang tak pernah terasa sebelumnya.
Kadang-kadang unsur ini membayangkan dan
mengomposisi yang bukan tunggal tetapi yang
keseluruhan.
[53]
hanya pada tahap-tahap berikutnya dia menerima. Istilah
“logos” berlaku pada obyek-obyek pengetahuan yang
secara potensial dapat diterima, dan yang benar-benar
bereksistensi dan diungkapkan lewat kata-kata. Obyek-
obyek pengetahuan ini (konsep-konsep), yang
bereksistensi dalam potensialitas dan menjadi aktual
dalam rasionalitas, kalau dikaitkan dengan obyek-obyek
yang mereka maksudkan, membentuk pengetahuan
mereka karena obyek-obyek pengetahuan itu dikenal
lewat dan diakui oleh mereka. Kalau obyek-obyek itu
dipandang sebagaimana yang tercerap oleh unsur
imajinatif dan diterapkan pada isi yang berasal dari
mereka, maka mereka disebut yang dapat dimengerti;
tapi kalau obyek-obyek itu seperti yang dicerap oleh
unsur rasional yang menyempurnakan mereka dan
membawa mereka dari potensialitas kepada aktualitas,
maka mereka disebut pikiran atau akal. Ada berbagai
tingkat pengetahuan, yang pertama adalah pengetahuan
mengenai obyek tertentu. Ini terutama maujud melalui
pencapaian pengertian yang tertentu itu di dalam unsur
imajinatif, secara umum saja, yaitu ia tidak dapat
[54]
dibayangkan secara khusus. Pun kualiatas apapun dari
obyek itu tak dapat dilukiskan. Tapi ia dibedakan lewat
cara umum tanpa mengetahui apapun dari kualitas-
kualitasnya. Inilah pengetahuan paling lemah suatu
obyek dan cermin imajinasi seekor binatang. Juga, kalau
keadaan yang tertentu itu bisa diterima dalam unsure
imajinatif, maka manusia mencapai yang tertentu ini
dengan karakteristik-karakteristik terincinya, yang
membantunya mengenalinya sebagai sama pada waktu-
waktu yang berbeda. Dia mengenali Zaid, misalnya,
sebagai orang yang tinggi, jujur dan lembut serta
memandang semua pelukisan ini dalam imajinasinya
seolah-olah pelukisan itu berkaitan dengan satu individu.
Tapi ada orang beranggapan bahwa kadang kata-kata
menjadi musykil, sebab kata-kata itu mengungkapkan
kemajemukan padahal hanya ada satu: misalnya, yang
tertentu yang dilukiskan oleh kata-kata “tinggi,” “jujur,”
dan seterusnya, tak lebih dari satu orang. Bagaimanapun,
inilah cara yang digunakan manusia untuk mengetahui
individu-individu tertentu. Karena kualita-kualitas
tersebut, yang melalui hal-hal itu individu-individu
[55]
tertentu dikenal, sebagaimana dilukiskan diatas,
merupakan kejadian-kejadian yang menyangkut
individu-individu yang berbeda, maka tidak ada
kesamaan antara dua individu manapun. Ketinggian
tubuh Zaid, misalnya, tidak akan benar-benar sama
dengan ketinggian tubuh Bakr.
[56]
individu-individu yang terbayangkan yang
ditandai oleh makna-makna tersebut. Lewat
wawasannya, unsur rasional melihat
makna-makna universal pada individu-
individu itu. Dengan begini unsur ini
mengenali makna-makna universal satu
sama lain sebagaimana dilukiskan di atas.
2. Menurut suatu metode lain, unsur rasional
mengenali sepenuhnya makna-makna
universal ini, tapi bila unsur itu melihat
makna-makna tersebut lewat wawasannya
dan menyajikan mereka sedemikian rupa
kepada ruh (soul), maka ia melihat mereka
melalui wawasannya dalam unsur imajinatif
yang juga bertindak berdasarkan mereka,
dan membuat mereka sama dengan makna-
makna universal serta menanamkan kepada
mereka bentuk-bentuk yang lazim bagi
lebih dari satu individu, tapi bukan bagi
semua individu yang bagi mereka makna
itu berlaku. Pematung menggambarkan
[57]
bentuk seekor kuda dengan batu, atau
seekor pelukis menggambarkan bentuk
seekor kuda di atas sebuah papan, tapi
penggambaran ini tidak sempurna, sebab ia
menggambarkan bentuk seekor kuda yang
mendapatkan makanan dan meringkik. Tapi
semua yang digambarkan itu tidak berlaku
bagi setiap kuda. Unsur imajinatif
menggambarkan hal-hal yang terbatas usia,
ukuran dan sebagainya. Gambaran seekor
kuda tidak berlaku bagi semua kuda, baik
yang sudah dewasa, masih muda maupun
yang masih bayi. Imajinasinya hanya
berlaku bagi kuda-kuda yang memiliki
ukuran atau usia tertentu yang digambarkan
oleh unsur imajinatif itu.
[58]
apakah imaji itu sempurna atau tidak, biasa atau tidak.
Tanpa kesulitan, ia memikirkan makna-makna yang
dapat dimengerti. Dengan cara ini makna-makna
universal itu dicerap oleh para pelukis dan hamper
semua ilmuwan. Bila seorang seniman, misalnya,
berfikir tentang cara membuat sesuatu, ia menyodorkan
imaji yang tertentu kepada unsur imajinatifnya, dan
mempersiapkan rancangan perbuatannya. Begitu pula,
bila seorang ilmuwan meneliti suatu obyek pengetahuan
guna mengetahui sifat-sifatnya dan melukiskan obyek
itu, maka ia menyodorkan imaji obyek tersebut kepada
unsur imajinatifnya.
[59]
dasar obyek-obyek yang diperoleh dalam unsur
imajinatif, akan mendapati pengukuran tentang apa yang
telah disebutkan dan akan melihat, lewat unsur
rasionalnya, karunia Tuhan yang melimpahi unsur ini.
Ini seperti seseorang yang melihat, dengan unsur
penglihatannya, sinar matahari lewat sinar matahari.
[60]
mereka disebut-sebutnya dengan penuh hormat dan
takzim.16
16
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.151-159
[61]
pada unsur imajinatif. Banyak obyek yang dapat
dibayangkan memiliki satu atau lebih dari unsur individu
di dalam unsur imajinatifnya. Mereka juga memiliki hal-
hal yang menyangkut individu-individu itu, yaitu ukuran,
warna, pengetahuan, kesehatan, penyakit, gerakan,
waktu, ruang dan kategori-kategori lain. Dengan
menyadari semua ini, manusia lewat wawasannya
melihat bahwa unsur rasional itu menelaah obyek-obyek
imajinasi dan mencerap sifat-sifat umum mereka, yaitu
perbedaan yang membedakan mereka dari obyek-obyek
rasa, yaitu perbedaan yang atas dasar itu mereka
dipandang sebagai individu-individu dan dikenali
sebagai obyek-obyek yang dapat dipahami. Orang juga
harus menyadari bahwa semua perbedaan ini dilihat oleh
unsur rasional lewat rahmat Tuhan yang melimpahi
mereka, sebagaimana obyek-obyek pandangan tampak
oleh pikiran yang dapat mencerap lewat cahaya matahari
yang menimpa mereka, yang tanpa cahaya itu mereka
tetap tak terlihat. Melalui rahmat itu pula keseluruhannya
terkenali lewat bagian-bagiannya dan ditentukan sebagai
lebih besar dari bagian-bagian itu. Dan lagi, bilangan-
[62]
bilangan yang dianggap sebagai angka dinyatakan oleh
rahmat ini sebagai berbeda dan banyak bila penyelidikan
akan ciptaan Tuhan – makhluk-makhluk langit dan bumi,
malam dan siang, para rasul, wahyu, impian-impian, dan
apa yang diucapkan oleh lidah peramal – diulang-ulang
sehingga manusia mencerap hal-hal itu lewat unsur
imajinatif, dan unsur rasional melihat eksistensi obyek-
obyek yang tak tercerap oleh pikiran ataupun inderawi
lewat wawasannya yang murni, sederhana dan
khas.pandangannya menjadi luas dan ia ingin
mengetahui sebab-sebab adanya makhluk-makhluk itu
yang menjadi bisa dipahami. Unsur rasional tidak
mengenal obyek-obyek pengetahuan secara memadai
kecuali bila ia mengenal mereka lewat empat sebab –
bentuk, materi, agen dan tujuan. Adalah perlu
mengetahui semua sebab ini yang menyangkut obyek-
obyek yang tak dapat tidak memiliki mereka. Manusia
pada dasarnya cenderung menyelidiki dan mengenal
semua ini. Pencariannya mencakup keempat sebab
obyek-obyek persepsi-rasa. Ini jelas sekali pada obyek-
obyek seni dan obyek-obyek alam. Dia lebih tertarik
[63]
untuk mengetahui sebab-sebab obyek-obyek yang dapat
dipahami, sebab penyelidikan ini dianggap suci, tinggi
dan bermanfaat. Akhirnya, lewat penyelidikan akan
sebab-sebablah manusia mencapai keimanan kepada
Tuhan, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-
rasul-Nya dan akhirat.”
[64]
jelaslah dalam hal ini bahwa apa yang diberikan oleh
akal kepada imajinasi manusia bukanlah berasal dari akal
itu sendiri, melainkan timbul dalam imajinasi lewat suatu
agen yang telah dikenal sebelumnya, dan mampu
menciptakannya. Tuhanlah yang, lewat kehendak-Nya,
menyebabkan penggerak lingkungan-lingkungan aktif
beraksi atas dasar lingkungan-lingkungan pasif.
Misalnya, bila Dia bermaksud mewujudkan apa yang
terjadi di alam raya ini, pertama-tama dia memberitahu
para malaikat dan lewat mereka pengetahuan itu
disampaikan kepada akal manusia. Pengetahuan ini
sampai kepada manusia sesuai dengan kemampuannya
untuk menerima kemampuan itu. Ini terbukti pada
hamba-hamba saleh Tuhan yang telah ditunjuki-Nya
jalan yang benar dan yang setia kepada-Nya, terutama
para rasul yang kepada mereka Dia mewujudkan
perristiwa-peristiwa menakjubkan yang akan terjadi di
alam raya ini lewat malaikat-malaikat-Nya, baik ketika
mereka sedang jaga maupun tidur.
[65]
Setiap makhluk menerima ini semua dari-Nya sesuai
dengan tingkat kesempurnaan eksistensi masing-masing:
akal menerima dari-Nya pengetahuan sesuai dengan
kedudukannya, dan lingkungan menerima dari-Nya
sosok-sosok dan bentuk-bentuk fisik sesuai dengan
tingkat dan kedudukan mereka. Setiap benda angkasa
memiliki akal dan ruh (soul), yang lewat keduanya ia
melakukan tindakan-tindakan tertentu yang bisa dicerap
lewat imajinasi, seperti imajinasi pemindahan dari suatu
tempat imajiner yang terus ada. Dikarenakan oleh
pemindahan khusus yang dapat dicerap inilah,
muncullah tindakan-tindakan tertentu yang dapat dicerap
oleh benda-benda yang mewujud dan lenyap. Hal ini
paling nyata pada matahari dan bulan di antara benda-
benda angkasa lain. Lewat akallah manusia mengenal
ilmu-ilmu yang disingkapkan kepadanya oleh Tuhan,
hal-hal yang dapat dipahami, peristiwa-peristiwa tertentu
yang terjadi pada saat sekarang dan masa mendatang,
dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu. Inilah
pengetahuan tentang yang gaib yang diberikan Tuhan
[66]
kepada hamba-hamba pilihan-Nya lewat malaikat-
malaikat-Nya.”
[67]
yang memiliki sifat paling baik, yang lewat sifat itu
mereka mendapatkan dari para nabi sesuatu yang
membuat mereka mampu mencapai pengetahuan
mengenai Tuhan dan pengetahuan mengenai malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari
kiamat dan rahmat yang paling tinggi, yang terus
menerus mereka saksikan dengan wawasan mereka
sesuai dengan tingkat rahmat Tuhan yang mereka terima.
Orang-orang saleh ini juga menerima sedikit
pengetahuan mengenai yang gaib dalam impian-impian
mereka. Wali-wali Tuhan itu meliputi Para Sahabat
Nabi. Setelah mereka ialah sejumlah orang yang
dikaruniai oleh Tuhan wawasan yang lewat wawasan itu
mereka menyadari sepenuhnya realitas segala suatu,
sampai tahap demi tahap mereka meraih pengetahuan
mengenai Tuhan, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, rasul-rasul-Nya dan Hari Kiamat. Mereka sadar
lewat wawasan mereka bahwa mereka telah memperoleh
kesempurnaan atau rahmat paling tinggi yang lestari
tanpa rusak, mulia tanpa aib, dan kaya tanpa takut akan
[68]
jatuh miskin. Orang-orang seperti ini, termasuk
Aristoteles, sangat sedikit jumlahnya.”
[69]
temukan. Kesempurnaan akal praktis ada dalam
pemahaman manusia akan obyek-obyek tiruan dan
memaujudkan obyek-obyek tersebut sesuai dengan
kehendaknya sendiri. Semua ini ditemukan lewat organ-
organ tubuh manusia, baik dengan gerak organ-organ itu
tanpa bantuan dari luar, maupun dengan menggerakkan
organ-organ itu yang pada gilirannya menggerakkan
beberapa instrument luar. Hal ini terjadi bila obyek-
obyek tiruan itu disempurnakan oleh kemauan manusia.
[70]
melihat lewat wawasannya bahwa sebuah unsur lain ruh
(soul) mengabstraksikan imaji ini di dalam unsur
imajinatif dan mengalihkannya dari satu keadaan ke
keadaan lain sampai eksistensinya sempurna di dalam
ruh (soul), lalu dia menggerakkan organ-organ itu
dengan memaujudkan obyek itu. Unsur ini, yang
memahami dan mengabstraksikan dalam imajinasi
disebut akal praktis. Bila dalam unsur imajinatif akal
praktis itu pertama-tama mengabstraksikan imaji obyek
tiruan itu sesuai dengan suatu bentuk dan ukuran
tertentu, maka unsur yang bergerak itu menggerakkan
organ-organ untuk menemukan obyek tersebut. Oleh
karena itu, akal merupakan pembuat pertama obyek dan
bukan organ-organ yang digerakkan oleh ruh (soul),
bukan pula unsur yang menggerakkan organ-organ itu.
Jelaslah bahwa daya organ-organ bukanlah yang pertama
ditemukan melainkan dimaujudkan oleh unsur akal yang
menyebabkannya maujud dalam imajinasi, dan baru
kemudian organ-organ tersebut menyebabkan terbuatnya
obyek-obyek itu melalui kemauan.
[71]
Unsur imajinatif mengupayakan bantuan
persepsi-rasa pada saat menemukan obyek itu untuk
menyodorkannya kepada unsur yang telah
menggerakkan organ-organ tersebut, dan untuk
memampukan akal membandingkan dan melihat apakah
obyek yang terbayangkan itu milik persepsi-rasa atau
unsur imajinatif.
[72]
Dari sini jelaslah bahwa meskipun ibn Bajjah
telah menekankan metode spekulatif, namun dia tidak
mengecam metode mistis, sebagaimana beberapa orang
Eropa berusaha membuat kita percaya. 2117
H. Tuhan,Sumber Pengetahuan
17
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.159-165
[73]
melihat lewat wawasan hatinya sifat setiap makhluk, asal
mulanya dan ketentuan akhirnya. Dengan begitu pula,
dia dapat mengetahui bahwa Tuhan merupakan suatu
kemaujudan – mesti dengan sendirinya, tunggal, tidak
bersekutu dan pencipta segalanya; bahwa segala selain
Dia ada yang menyamai dan berasal dari esensi
sempurna-Nya; bahwa pengetahuan-diri-Nya meliputi
pengetahuan-Nya tentang semua obyek; dan bahwa
pengetahuan-Nya tentang semua obyek itu merupakan
sebab mewujudnya obyek-obyek tersebut.
[74]
I. Filsafat Politik
[75]
tertentu. Meskipun menghindari orang lain itu sendiri
tidak diinginkan, namun hal itu diperlukan untuk
mencapai kesempurnaan. Dia juga menasehati agar
filosof menemui masyarakatnya hanya pada beberapa
kesempatan tertentu dalam waktu sebentar saja, dan dia
harus pindah ke Negara-negara tempat dia dapat
memperoleh pengetahuan; perpindahan itu harus
dilakukan di bawah hukum-hukum ilmu politik. 23
[76]
menerapkan di Negara itu suatu sistem tradisional untuk
menentukan seluruh tindakan rakyat.
J. Etika
19
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.165-167
[77]
Ibn Bajjah membagi tindakan menjadi tindakan
hewani dan manusiawi. Yang pertama dikarenakan oleh
kebutuhan-kebutuhan alamiah, bersifat hewani sekaligus
manusiawi. Makan, misalnya, bersifat hewani sepanjang
hal itu dilakukan demi memenuhi kebutuhan dan
keinginan, juga bersifat manusiawi sepanjang hal itu
dilakukan untuk menjaga kekuatan dan kehidupan demi
meraih karunia-karunia spiritual.
[78]
pendapat merupakan tindakan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan yang lain. Ruh (soul) yang mengandung
asrat menginginkan suatu obyek yang bersifat kekal,
keinginan itu disebut kesenangan, dan ketiadaannya
disebut kejemuan dan kesakitan. Siapa pun yang
bertindak dengan cara ini dianggap sebagai telah
melakukan tindakan hewani. Dan mereka yang bertindak
melalui pendapat atau pikirannya bertindak secara
manusiawi. Pendapat menggerakkan orang ke arah yang
secara esensia kekal, atau ke arah yang kekal karena hal
itu berlimpah-limpah. Jika tindakan bersifat kekal
dikarenakan kelimpahan, maka tujuan akan
menggantikan tindakan permulaan. Pengupayaan tujuan
ini terjadi karena kecenderungan semata, yang dalam hal
itu ia merupakan suatu tindakan hewani, atau karena
pendapat yang bertujuan mencapai kesempurnaan.
Tujuan itu beragam sesuai dengan sifat individu-
individu; beberapa orang, misalnya, lahir untuk menjadi
pembuat sepatu, dan yang lain untuk menguasai
ketrampilan lain. Tujuan-tujuan saling melayani, dan
mereka semua menuju ke satu tujuan akhir yang sama –
[79]
yaitu tujuan utama. Manusia utama tentu saja adalah
yang mempersiapkan dirinya untuk mencapai tujuan
utama itu, dan mereka yang tidak siap untuk itu tentu
saja tunduk. Oleh karena itu sebagian orang tentu saja
patuh dan diperintah oleh yang lain, dan sebagian
memiliki wewenang alamiah dan memerintah yang lain.
[80]
Untuk menyatakan apakah suatu tindakan itu
bersifat hewani atau manusiawi, perlulah memiliki
spekulasi di samping kemauan. Dengan memperhatikan
sifat kemauan dan spekulasi ibn Bajjah membagi
kebajikan menjadi dua jenis, kebajikan formal atau
spekulatif. Kebajikan formal merupakan pembawaan
sejak lahir tanpa pengaruh kemauan atau spekulasi,
seperti kejujuran seekor anjing, sebab mustahil bagi
seekor anjing untuk tidak jujur. Kebajikan ini tidak
bernilai bagi manusia. Kebajikan spekulatif didasarkan
pada kemauan bebas dan spekulasi. Tindakan yang
dilakukan demi kebenaran dan bukan untuk memenuhi
keinginan alamiah disebut tindakan ketuhanan bukan
manusiawi, sebab hal ini jarang terdapat pada manusia.
Yang baik, menurut ibn Bajjah merupakan eksistensi,
dan yang jahat merupakan ketiadaan. Dengan kata lain,
yang jahat,baginya,benar-benar tidak jahat.2021
20
21
Moeflih hasbulloh,M.A, Dedi Supriadi,M.Ag (Bandung : Pustaka
Setia,2012),hal.167-168
[81]
K. Tasawuf
[82]
keinginan jasmaniah belaka – mereka berada di tingkat
paling bawah – dan sebagian lagi dikuasai oleh
spiritualitas – kelompok ini sangat langka, dan termasuk
dalam kelompok ini Uwais al-Qarni dan Ibrahim ibn
Adham.26
[83]
mengacu pada pandangan al-Ghazali yang dikatakannya
pada bagian akhir dari karyanya Misykat al-Anwar,*)
bahwa prinsip pertama itu menciptakan agen-agen dan
obyek-obyek tindakan ; dan dia selanjutnya mengambil
penunjang lain untuk pandangannya ini dari pengamatan
al-Farabi dalam ‘ujun al-Masa’il, bahwa semuanya
berkaitan dengan Prinsip Pertama sebab Yang Pertama
itu merupakan pencipta mereka. Ibn Bajjah juga
menyatakan bahwa Aristoteles mengatakan dalam
bukunya Physics bahwa agen Pertama adalah agen
sebenarnya, dan agen yang dekat tidak bertindak kecuali
lewat yang Pertama. Yang pertama membuat aksi yang
dekat dan obyek tindakan. Yang dekat itu dikenal
sebagai agen oleh sebagian besar orang hanya dalam
masalah-masalah material. Raja yang adil, misalnya,
pantas menerima sebutan adil, meskipun dia jauh
tingkatannya dari dia yang ada di bawahnya dalam
rangkaian agen itu. Siapa pun yang menganggap bahwa
suatu tindakan berasal dari agen yang dekat sama saja
dengan seekor anjing yang menggigit sebuah batu yang
membenturnya. Tapi penganggapan bahwa tindakan itu
[84]
berasal dari agen yang dekat adalah mustahil dalam
masalah-masalah yang tidak bersangkut paut dengan
materi-materi fisik. Akal yang aktif yang mengelilingi
benda-benda angkasa itu merupakan agen dekat dari hal-
hal yang tak kekal. Tapi Dia yang menciptakan akal
yang aktif dan benda-benda angkasa itulah agen kekal
yang sejati.
[85]
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. {Bandung:
Rosdakarya, 1990}
[86]
4. Sirajuddin Zar , Filsafat Islam ( filosof Dan
Filsafatnya) Jakarta : Cet. Kelima, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2012)
BIOGRAFI PENULIS
Muhammad Ramzi Nugraha dilahirkan di
Sukabumi pada tamggal 13 Februari 1998, Alamat di
Kp. Sinagar Desa Nagrak Utara Kecamatan Nagrak
Kabupaten Sukabumi.
Latar Belakang Pendidikan Sekolah Dasar di
SDN Negeri 3 Nagrak, Sekolah Menegah Pertama di
MTs Al Hidayah Sukabumi, Sekolah Menengah Atas di
MA Al Hidayah Sukabumi, Selanjutnya memilih
[87]
perkuliahan di Universitas Islam Negri (UIN) Sunan
Gunung Djati Bandung Jurusan Tasawuf Psikoterapi
Fakultas Ushuluddin.
[88]