Anda di halaman 1dari 19

DESENTRALISASI KESEHATAN

A. DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH


Menurut International Encyclopedia of Social Science (1968), desentralisasi
adalah sebuah terminologi yang merefer kepada transfer kekuasaan dari sebuah
pemerintah pusat kepada otoritas yang berfungsi secara spesial dan legal personal
berbeda (sebagai contoh, peningkatan tingkat otonomi dari sebuah pemerintah daerah
atau sebuah perusahaan publik atau BUMN). Secara lebih luas Bank Dunia (World
Bank) mendefinisikan desentralisasi sebagai penugasan dan responsibiltas dari aspek
keuangan, politik dan administrasi yang diberikan kepada tingkatan-tingkatan
pemerintahan yang lebih rendah (Litvack, Ahmad dan Bird, 1998). Berdasarkan
beberapa definisi di atas, konsep desentralisasi berhubungan dengan transfer kekuasaan
dan kewenangan dari level pemerintahan yang tinggi kepada yang lebih rendah dalam
suatu sistem pemerintahan.
Konsep desentralisasi dalam tulisan ini dapat secara umum diberi karakteristik
sebagai transfer dari tugas-tugas, resources dan kekuatan politik kepada level menengah
(regions) dan level yang lebih rendah (communities) dalam kerangka hubungan yang
sekooperatif mungkin (Marz, 2001). Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang
pemerintahan ke pemerintah daerah otonom guna mengatur dan mengurus segala urusan
pemerintah dalam sistem NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dengan adanya
desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi
sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan
sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan
Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan
karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan Paradigma
pemerintahan di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa desentralisasi
berhubungan dengan otonomi daerah. Sebab, otonomi daerah merupakan kewenangan
suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada
campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat.
Desentralisasi tidak bisa lepas dari aspek kewenangan, sumber daya, dan
akses masyarakat. Ketiga hal ini tentunya saling berkaitan, dengan kewenangan
memungkinkan daerah merencanakan program dan kegiatan yang sesuai dengan kondisi
lokal. Kewenangan dapat terlaksana dengan baik ketika daerah memiliki sumber daya
yang memadai yang pada akhirnya diharapkan masyarakat memiliki akses yang lebih
baik dalam pelayanan publik sektor kesehatan.
Pengertian Desentralisasi Menurut Ahli Lainnya :
1. Sills
Menurut Sills, desentralisasi merupakan aktivitas penyerahan wewenang dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah, baik di
bidang legislatif, administratif, maupunyudikatif.
2. Soejipto
Menurut Soejipto, pengertian desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan yang
dilakukan pemerintah kepada pihak lainnya untuk dilaksanakan. Desentralisasi
dapatdiibaratkan sebagai suatu sistem pemerintahanyang pelaksanaannya
berkebalikan dengan sistem sentralisasi
3. United Nations
Menurut United Nations, desentralisasi merupakan sebuah proses kewenangan yang
dilakukan oleh pusat kepada daerah. Proses kewenangan ini dilakukan melalui dua
macam cara yaitu dengan cara devolusi kepada badan otonomi daerah, dan dengan
jalan delegasi kepada pejabat pejabat yang ada di daerah
Tujuan Desentralisasi secara umum dapat dikatakan adalah untuk mewujudkan
kemandirian daerah dalam meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Atau
sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk mengikutsertakan rakyat
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Penyusunan program-
program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat local sehingga dapat lebih
realistis.
Sedangkan menurut Sadu Wasistiono ( 2001), secara umum tujuan desentralisasi
dalam rangka otonomi daerah dikelompokkan dalam tiga tujuan yakni :
1. Tujuan politik dari desentralisasi adalah membangun infrastruktur dan suprastruktu
rpolitik tingkat lokal menjadi lebih demokratis yang meliputi : Pemilihan kepala
daerah, Parpol dan DPRD.
2. Tujuan administrasi dari desentralisasi adalah menciptakan birokrasi pemerintahan
lokal yang mampu memaksimalkan nilai efektivitas, efisiensi, kesetaraan serta
ekonomis yang meliputi kegiatan pembagian urusan pemerintahan, pembagian
sumber keuangan, pembaharuan manajemen pemerintahan dan penataan pelayanan
publik.
3. Tujuan sosial ekonomi dari desentralisasi adalah meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan agar menjadi lebih baik dibandingkan dengan
keadaan sebelumnya dengan indikator : Peningkatan IPM, Ketahanan Sosial dan
Kerukunan Sosial.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, dengan Desentralisasi maka tugas-tugas
pemerintahan dan pembangunan akan dapat memperoleh manfaat sebagai berikut :
1. Efesiensi
2. Efektifitas
3. Memungkinkan melakukan inovasi
4. Meningkatkan motivasi moral, komitmen, dan produktifitas

Ciri – Ciri Desentralisasi
Smith (1985) mengungkapkan Desentralisasi mempunyai ciri-ciri tertentu, ialah seperti :

1. Penyerahan wewenang untuk dapat melaksanakan fungsi pemerintahan tertentu dan


juga pemerintah pusat kepada daerah otonom,
2. Fungsi yang diserahkan ialah dapat dirinci, atau fungsi yang tersisa (residual
functions),
3. Penerima wewenang ialah daerah otonom,
4. Penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan juga melaksanakan
kebijakan; wewenang mengatur dan juga mengurus (regelling en bestuur)
kepentingan yang sifatnya lokal,
5. Wewenang mengatur ialah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang berlaku
umum dan juga bersifat abstrak,
6. Wewenang mengurus ialah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang
sifatnya individual dan juga konkrit (beschikking, acte administrative,
verwaltungsakt),
7. Keberadaan daerah otonom ialah di luar hirarki dari organisasi pemerintah pusat,
8. Menunjukkan kepada pola hubungan antar organisasi,
9. Menciptakan political variety dan juga diversity of structure didalam sistem politik.

Beberapa Istilah
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Asas Otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan
Otonomi Daerah.
Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada
daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota
sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.
Instansi Vertikal adalah perangkat kementerian dan/atau lembaga pemerintah
nonkementerian yang mengurus Urusan Pemerintahan yang tidak diserahkan kepada
daerah otonom dalam wilayah tertentu dalam rangka Dekonsentrasi.
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom
untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota
untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
provinsi.

Dampak Positif dan Negatif Desentralisasi


Berikut ini Merupakan Dampak Positif dan Negatif Dari Desentralisasi.
Segi Ekonomi
Dari segi ekonomi banyak sekali keuntungan dari penerapan sistem
desentralisasi ini dimana pemerintahan daerah akan mudah untuk mengelola sumber
daya alam yang dimilikinya, dengan demikian apabila sumber daya alam yang dimiliki
telah dikelola secara maksimal maka pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat
akan meningkat.
Seperti yang diberitakan pada majalah Tempo Januari 2003 “Desentralisasi:
Menuju Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis Komunitas Lokal”. Tetapi,
penerapan sistem ini membuka peluang yang sebesar-besarnya bagi pejabat daerah
(pejabat yang tidak benar) untuk melalukan praktek KKN. Seperti yang dimuat pada
majalah Tempo Kamis 4 November 2004 (www.tempointeraktif.com) “Desentralisasi
Korupsi Melalui Otonomi Daerah”.
“Setelah Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, resmi menjadi tersangka
korupsi pembelian genset senilai Rp 30 miliar, lalu giliran Gubernur Sumatera Barat
Zainal Bakar resmi sebagai tersangka kasus korupsi anggaran dewan dalam APBD 2002
sebesar Rp 6,4 miliar, oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Dua kasus korupsi
menyangkut gubernur ini, masih ditambah hujan kasus korupsi yang menyangkut
puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di berbagai wilayah di Indonesia,
dengan modus mirip: menyelewengkan APBD”.
Segi Sosial Budaya
Dengan diadakannya desentralisasi, akan memperkuat ikatan sosial budaya pada
suatu daerah. Karena dengan diterapkannya sistem desentralisasi ini pemerintahan
daerah akan dengan mudah untuk mengembangkan kebudayaan yang dimiliki oleh
daerah tersebut. Bahkan kebudayaan tersebut dapat dikembangkan dan di perkenalkan
kepada daerah lain. Yang nantinya merupakan salah satu potensi daerah tersebut.
Sedangkan dampak negatif dari desentralisasi pada segi sosial budaya adalah
masing- masing daerah berlomba-lomba untuk menonjolkan kebudayaannya masing-
masing. Sehingga, secara tidak langsung ikut melunturkan kesatuan yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia itu sendiri.
Segi Keamanan dan Politik
Dengan diadakannya desentralisasi merupakan suatu upaya untuk
mempertahankan kesatuan Negara Indonesia, karena dengan diterapkannya
kebijaksanaan ini akan bisa meredam daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dengan
NKRI, (daerah-daerah yang merasa kurang puas dengan sistem atau apa saja yang
menyangkut NKRI). Tetapi disatu sisi desentralisasi berpotensi menyulut konflik antar
daerah. Sebagaimana pada artiket Asian Report 18 juli 2003 ”Mengatur Desentralisasi
Dan Konflik Disulawesi Selatan” .
Dibidang politik, dampak positif yang didapat melalui desentralisasi adalah
sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di
daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Hal ini menyebabkan
pemerintah daerah lebih aktif dalam mengelola daerahnya.
Tetapi, dampak negatif yang terlihat dari sistem ini adalah euforia yang
berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkat kepentingan golongan dan
kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal
tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.

BEBERAPA URUSAN PEMERINTAHAN

URUSAN PEMERINTAHAN

CONCURRENT
ABSOLUT (Urusan bersama
(Mutlak urusan Pusat) Pusat, Provinsi, dan Kab/Kota)

- Pertahanan PILIHAN/OPTIONAL WAJIB/OBLIGATORY


(Sektor Unggulan) (Pelayanan Dasar)
- Keamanan
Contoh: kesehatan,
- Moneter Contoh: pertanian,
pendidikan, lingkungan
industri, perdagangan,
hidup, pekerjaan umum,
- Yustisi pariwisata, kelautan dsb
dan perhubungan

- Politik Luar Negeri


- Agama
SPM
(Standar Pelayanan Minimal)

Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), Pemerintah Pusat:
a. melaksanakan sendiri; atau
b. melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.
Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang
menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan
Pemerintahan Pilihan.
Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Urusan
Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang
tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya
merupakan Pelayanan Dasar.
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
f. sosial.
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. tenaga kerja;
b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
c. pangan;
d. pertanahan;
e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
j. komunikasi dan informatika;
k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan olah raga;
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan.
Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) meliputi:
a. kelautan dan perikanan;
b. pariwisata;
c. pertanian;
d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya mineral;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.

Pembangunan bidang kesehatan, merupakan urusan wajib dasar yang diserahkan


atau didelegasikan ke daerah, tetapi ada juga urusan-urusan kesehatan yang masih
menjadi kewenangan pusat. Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan,
yang menyatakan bahwa pemerintah pusat bertanggung jawab atas ketersediaan fasilitas
pelayanan kesehatan. Sementara pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis
fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi di daerahnya dengan
mempertimbangkan luas wilayah, kebutuhan kesehatan, jumlah dan persebaran
penduduk, pola penyakit, pemanfaatannya, fungsi sosial, dan kemampuan dalam
memanfaatkan teknologi.
Penanganan terhadap bidang kesehatan juga merupakan kewenangan dari
pemerintah daerah. Penangan bidang kesehatan dapat berupa penyediaan sarana dan
prasarana kesehatan seperti rumah sakit atau puskesmas. Tidak hanya itu, penanangan
terhadap bidang kesehatan juga mencakup penyediaan tenaga kesehatan di lingkungan
daerah. Secara fakta, penanganan pemerintah di dalam bidang kesehatan masih tidak
merata. Ada beberapa daerah di Indonesia yang masih kesulitan untuk mencari
puskesmas atau rumah sakit terdekat karena letaknya yang jauh. Melalui adanya
kewenangan pemeritnah dalam otonomi daerah, seharusnya penanganan di bidang
kesehatan dapat menjadi lebih baik dan merata demi menjangkau masyarakat daerahnya
masing-masing.
Secara umum yankes seperti RS dan Puskesmas diserahkan kepada Pemda, dalam
hal ini Pemda Kab/Kota, karena otonomi daerah adalah Kab kota bukan Provinsi,
Namun dalam pengelolaannya ada pembagian tugas untuk kelancarannya antar pemda
dan Pusat. Hal ini tercermin dari pengalokasian dana bagi pembangunan kesehatan baik
yang melalui DAU atau DAK dan dekonsentrasi.. DAU atau dana alokasi Umum
menjadi kewenangan penuh pemda untuk pengaturannya, sehingga terjadi kurang
pasnya alokasi penganggaran masing2 bidang pembangunan,, salah satunya yg terjadi di
bidang kesehatan. Apa yg terjadi sebelum pemerintah pusat membuat kebijakan DAK ?
Respon pemda terhadap pengelolaan dana DAK fisik terbilang kurang. Hal ini
berdampak pada hangusnya DAK yang disebabkan permasalahan internal maupun
administrasi seperti terjadinya gagal lelang kegiatan pengadaan barang /jasa. Itulah yang
menjadi permaslahan pelaksanaan DAK di daerah, terutama setelah gencarnya
pemberantasan korupsi oleh KPK. sehingga aparat di daerah merasa ragu untuk
melakukannya. Tapi terkait Pengelolaan DAU oleh daerah, dianggap oleh Pemerintah
pusat, pemda tidak dapat mengalokasikan secara merata sesuai kebutuhan atau prioritas
masing-masing sektor. Anggaran untuk sector kesehatan termasuk alokasi anggaran
yang relative kecil, padahal terdapat kesekatan untuk anggaran kesehatan di APBD
provinsi maupun Kabupaten/Kota minimal 10% dari APBD..
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada pemerintah daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Hal tersebut yang menimbulkan kebjikan baru
pemerintah pusat dengan mengeluarkan bukan hanya DAU tapi juag DAK. Cikal bakal
DAU itu karena ada undang-undang tentang Keuangan Daerah dan Perimbangan
Keuangan, sehingga berdampak DAU masing-masing daerah tidak sama besarnya.
Selain didasarkan pada jumlah penduduk dan luas daerah, dana perimbangan juga
didasarkan pada sumbangan daerah melalui Tambang dan hasil lainnya kedalam
Pendapatan dari APBN. daerah yg memiliki tambang migas, dan hasil tambang lainnya,
sehingga daerah yang memiliki tambang dan lain-lain akan mendapat alokasi dana yang
besar sesuai dengan seberapa besar sumbangan tambang tersebut terhadap APBN. DAK
dimaksudkan untuk membantu daerah-daerah yang alokasi DAU nya relatif kecil,
termasuk Prov Lampung. Provinsi Lampung tidak punya hasil tambang. DAK
merupakan alokasi anggaran yang sudah ditentukan peruntukannya secara global,
sedangkan perencanaan rincinya oleh daerah.. Misal, DAK untuk pembangunan RS di
TUBABA, DPRD dan pemerintah daerah setempat tidak boleh mengalihkan peruntukan
itu kepada sektor lainnya, karena itu akan menyalahi.
Dengan demikian, alokasi pembanganan di daerah bisa berjalan lebih baik, dan
sesuai dengan kebutuhan dari daerah tersebut. Kita di daerah Punya aparat pengawasan
intern, yaitu Inspektorat Provinsi maupun Kab/kota., termasuk juga peran dan fungsi
DPRD.
Pemerintah pusat melalui masing-masing kementerian memiliki pengawas intern
seperti Inspektorat jendaral, juga ada pengawas eksternal yaitu, BPK, BPKP, termasuk
juga KPK. Di sektor kesehatan juga tidak semua urusan pembangunan kesehatan
diserahkan kedaerah. Seperti : pengawasan ketersediaan pemerataan, dan
keterjangkauan obat dan alat kesehatan, Urusan-urusan kesehatan yang berdampak atau
mengenai banyak wilayah lintas daerah menjadi kewenangan pusat, seperti : Kesehatan
pelabuhan, laut maupun udara. Juga pengawasan obat, makanan dan minuman,
sehingga di daerah masih ada Balai POM.
Dasar Hukum Desentralisasi

1. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;


2. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
3. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur wewenang serta
tanggung jawab politik dan administratif pemerintah pusat, provinsi, kota, dan
kabupaten dalam struktur yang terdesentralisasi, yang diperbaharui dengan UU no
23 tahun 2014.
4. Undang-undang No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah memberikan dasar hukum bagi desentralisasi fiskal dengan
menetapkan aturan baru tentang pembagian sumber-sumber pendapatan dan
transfer antar pemerintah.
5. UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
6. PP Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah
7. Kumulatif Defisit APBN dan APBD serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah;
8. PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan;
9. PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Keuntungan desentralisasi
Sehubungan dengan keuntungan dari desentralisasi, banyak studi yang
menggambarkan bahwa desentralisasi mempuyai dampak positif bukan
hanya dalam hal meningkatkan efisiensi dan pelayanan publik, tapi juga
dapat meningkatkan akuntabilitas politik dan partisipasi publik. Pertama,
dalam hal efisiensi ekonomi dan pelayanan publik, desentralisasi dapat
meningkatkan efisensi dengan menolong biaya internal dan mengurangi
biaya-biaya transaksi. Dalam kontek ini, desentralisasi memicu lebih
effisienya pelayanan publik melalui pengurangan biaya, dan mengungkap
masalah-masalah dalam mekanisme pelayanan dan memunculkan perilaku
simpatik yang lebih tinggi terhadap program-program pemerintah baik
dalam hal infrasuruktur ekonomi atau kesejahteraan sosial. (Cheema dan
Rondinelli, 1983, dikutip dari Kirkpatrick dkk 2002). Senada dengan hal itu,
Oates (1999, dikutip dalam Azfar dkk, 1999) menyatakan bahwa pelayanan
publik yang terdesentralisasi meningkatkan kesejahteraan ekonomi diatas
hasil dari service yang seragam di bawah pelayanan tingkat nasional.
Crook dan Manor (1998) mengungkapkan bahwa penyerahan
kekuasaan dalam pengambilan keputusan kepada aktor-aktor lokal dapat
mengurangi biaya-biaya transaksi administratif dan manajemen melalui
pendekatan partisipasi lokal para pengambil keputusan dan akses kepada
keahlian dan informasi lokal. Sebagai contoh, Laporan Bank Dunia (World
Bank) pada tahun 1994 tentang infrastruktur mengutip beberapa kasus
peningkatan kualitas dan penghematan biaya dalam proyek infrastriktur
setelah masyarakat lokal diberikan sebagain kewenangan dalam manajemen.
Data dari beberapa negara berkembang mengunkapkan bahwa biaya
perkapita air dalam proyek-proyek air yang dibiayai oleh Bank Dunia 4 kali
lebih tinggi dalam sistem yang menganut sentralisasi dari pada dalam sistem
yang secara penuh terdesentralisasi. Akhirnya, sebuah studi desentralisasi
yang dilakukan oleh Alderman (1998) menyatakan bahwa ada beberapa
perolehan yang baik dalam mentargetkan efisiensi dan efektifitas biaya
setelah desentralisasi di Albania. Yang kedua, sehubungan dengan
akuntabilitas politik dan partisipasi publik Bardhan (2002) menyatakan
bahwa ketika potensi untuk menjaring pemerintah daerah adalah serius,
maka program-program desentralisasi harus berfokus kepada perhatian yang
besar unutk menguatkan mekanisme akuntabilitas lokal. Dalam konteks ini,
Data hasil survey pemilu di India pada tahun 1996 menyarankan bahwa di
West bengal, 51 % dari reseponden penelitian mengekspresikan level
kepercayaan yang tinggi kepada pemerintah daerah mereka (Bardhan
2002:1950). Di Porto Alegre Brazil, pertemuan-pertemuan parlemen lokal
dan asosiasi-asosiasi setempat mempuyai dampak yang positif dalam
mengelola pelayanan air untuk masyarakat (Bardhan, 2002: 195). Studi yang
dilakukan oleh Wade (1997) menyimpulkan bahwa birokrasi pengelolaan
irigasi di Korea Selatan dan India selatan membawa dampak pada
pentingnya akuntabilitas lokal dalam pelayanan infrastruktur. Di Cina,
pejabat partai komunis kadang sangat responsif pada kebutuhan lokal dalam
pelayanan pendidikan dasar di tingkat lokal (Bardhan, 2002).

Kelemahan Desentralisasi
Sebagaimana diungkap oleh Bardhan (2002), disebabkan karena
kebanyakan dari studi desentralisasi adalah deskriptif, bukan analitik dan
sering menggambarkan hubungan korelasi dari pada studi kasus dan bukan
berdasar pada data per kepala keluarga jadi sangat sulit untuk mengambil
kesimpulan yang menggambarkan dampak-dampak positif desentralisasi.
Asia Research Centre (2001) yang melakukan penelitian desentralisasi
diberbagai negara berkembang juga menyarankan bahwa kebijakan
desentralisasi yang sukses tidak dapat secara sederhana direplika dimana
pun, mengingat luas dan berbedanya insitusi (institusi politik, tradisi,
framwork peraturan, hak milik, latar belakan hubungan negara dan
bisnis, normanorma budaya dan sosial) juga keadaan khusus yang
berlaku pada masing-masing negara pada waktu tertentu.
Dalam kondisi seperti itu tidak ada standar kebijakan desentralisasi
yang dapat dipertimbangkan sebagai superior untuk yang lainnya. Bagi
mereka yang condong pada teori publik choice yang berargumen bahwa
desentraliasi dapat meningkatkan kinerja pelayanan publik, ekualitas, dan
stabilitas ekonomi makro, namun telah ditantang oleh beberapa studi dan
penelitian yang dilakukan kemudian. Studi-studi tersebut menyatakan bahwa
sangat sulit untuk menjastifikasi apakah kinerja pelayanan publik dapat
ditingkatkan melalui perbandingan sebelum dan sesudah desentralisasi.
Terlebih, efisiensi, dan responsibilitas menjadi sulit untuk diukur dan
indikatornya sangat sulit tersedia.

B. DESENTRALISASI KESEHATAN
Desentralisasi kesehatan pasca reformasi di Indonesia hingga kini masih menjadi
bahan diskusi yang sangat menarik banyak pihak, dari yang mendukung maupun yang
meragukan keberhasilannya karena dianggap belum memberikan hasil pada peningkatan
kinerja pembangunan di Indonesia. Perjalanan pelaksanaan desentralisasi kesehatan
yang sudah lebih dari 18 tahun, merupakan momentum penting untuk melakukan
refleksi dan evaluasi berbagai polemik dan masalah yang muncul.
Kebijakan desentralisasi sektor kesehatan dapat dimaknai sebagai strategi penting
dalam melaksanakan reformasi pelayanan kesehatan. Prinsip dasarnya adalah pelayanan
publik akan lebih efisien jika dilaksanakan oleh otoritas yang memiliki kontrol
geografis paling minimal.
Penyelenggaraan desentralisasi dipengaruhi banyak faktor, begitu juga dengan
desentralisasi kesehatan, prosesnya melibatkan banyak faktor. Hal tersebut misalnya
diungkapkan Katarina, et.al (2007) yang menyatakan bahwa: ”Desentralisasi merupakan
sebuah kekuatan utama dari reformasi sektor kesehatan. Di satu sisi pemahaman banyak
Negara akan manfaat desentralisasi semakin meningkat, namun di lain pihak
pengetahuan faktor apa yang mempengaruhi pelaksanaan desentralisasi masih dirasakan
masih lemah.” Desentralisasi yang menekankan pada otonomi daerah seluas-luasnya
dan bertanggung jawab menuntut peran dan kreativitas dari pemerintah daerah dalam
mengelola dan mengembangkan daerahnya. Kewenangan dan Sumber Daya diantara
level pemerintahan menjadi fakta empirik bagi pemerintah dalam mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan. Keterkaitan antara kewenangan dan sumber daya,
yang akhirnya diharapkan meningkatkan akses masyarakat dalam penyelenggaraan
desentralisasi digambarkan oleh Jauhari (2012) yang mengatakan bahwa:
Desentralisasi kesehatan rnempunyai berbagai rnacam bentuk yang tidak hanya
bergantung pada struktur politik pernerintahan dan administrasi tetapi juga pada pola
organisasi pelayanan kesehatan yang terdapat di masing-masing negara. Bidang
kesehatan merupakan satu dari berbagai fungsi pemerintahan sehingga sangat
dipengaruhi struktur pernerintahan. Akibatnya rnaka kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah akan berkaitan dengan sektor kesehatan.
“Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola dan memanfaatkan sumber
daya memberikan dampak bagi daerah. Kewenangan yang dimiliki oleh
pemerintah daerah dan pengelolaan sumber daya perlu dimaksimalkan dengan
tetap memperhatikan pola koordinasi dan luasnya kewenangan yang dimiliki.
Perdebatan mengenai kewenangan dan potensi sumber daya yang dimiliki
ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya”.

Masalah Yang Muncul Dalam Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan


Memperhatikan kondisi yang berkembang dalam pelaksanaan desentralisasi kesehatan
penekanan peran kebijakan dalam good governance seperti yang sudah dikemukakan
sebelumnya, menjadi penting. Ada beberapa ha1 penting dalam konsep good-governance
antara lain partisipasi masyarakat, transparasi, akuntabilitas dan mengutamakan aturan
hukum. Dalam konteks penetapan kebijakan, maka pemerintah pusat saat ini masih
merangkap fungsi sebagai penetap kebijakan dan regulasi sekaligus sebagai pernain, sebagai
contoh Direktorat Jenderal Pelayanan Medik dengan masih membawahi rurnah sakit umum
pusat Perijinan rumah sakit hingga kini belum jelas padahal secara pe~ndangan kewenangan
tersebut telah diserahkan kepada daerah. Inti munculnya permasalahan yang ada dalam era
desentralisasi kesehatan ini adalah adanya kegagalan konsolidasi pemerintah daerah pada
level provinsi dan kabupaten lkota. Hal lain yang memperberat masalah desentralisasi
kesehatan adalah fakta bahwa kesehatan di Indonesia belum pernah menjadi isu politik yang
penting. Padahal di Amerika Serikat, sebagai contoh, calon presiden bisa mendapat
dukungan yang besar karena program jaminan kesehatannya. Desentralisasi disertai berbagai
upaya menuju akuntabilitas yang leblh baik dan salah satu pilar good governance adalah
akuntabilitas. Ada dua rnacarn akuntabilitas yaitu akutanbilitas politik sebagai contoh
melalui sistern pemilu yang diperbaharui dan akunbtabilitas publik diantaranya melalui
kebebasan pers dan berbagai mekanisme partisipasi masyarakat.
Kebijakan: sebuah Kebutuhan (Widodo J Pudjirahardjo, Evie Sopacua)
Dari berbagai studi kasus dan penelitian menunjukkan bahwa di era desentralisasi
kesehatan ini ada beberapa ha1 penting terkait dengan partisipasi masyarakat (Dewi Shita L
dan Basri Hasan M, 2004):
1. Mulai terbentuknya niat para pengambil keputusan di daerah untuk memperhatikan opini
public dalam kebijakan kesehatan.
2. Masih rendahnya kepercayaan para pengambil keputusan terhadap kemampuan
masyarakat dalam membuat penilaian yang baik. Hal ini menjadi pendorong bagi
masyarakat untuk lebih meningkatkan kapasitas dalam membuat analisis kebijakan yang
seimbang, komprehensif, obyektif dan bersifat solusif. Sedangkan di sisi pemerintah
dibutuhkan sikap yang lebih matang dalam berdemokrasi dan legitimasi yang lebih kuat
untuk partisipasi masyarakat.
3. Media masa memainkan peran penting dalam menyuarakan opini publik mulai dari
munculnya berbagai topik kesehatan dalam pemberitaan khususnya yang dipicu oleh
laporan masyarakat.
4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai salah satu faktor civil society sudah
menempatkan diri dalam hubungannya antara pemerintah dan masyarakat. Joint Health
Council (JHC) sebagai salah satu bentuk civil society sejak awal dirumuskan sebagai
dewan pertimbangan, dewan penyantun dalam organisasi, board of directors, oversight
body hingga perekat sistem kesehatan. JHC diperlukan antara lain karena sub sistem
berjalan sendiri-sendiri, masyarakat tidak mengetahui apa yang dilakukan pelaku
kebijakan sebab tidak ada keterwakilan masyarakat atau masyarakat tidak bisa bermain
dalam kancah kebijakan dan DPR/DPRD tidak bisa menjadi wasit permainan dalam
bidang kesehatan meskipun ha1 tersebut merupakan fungsi mereka. Menjalankan JHC
tidak mudah, terbukti dari penilaian obyektif terhadap peran dan kinerja JHCdi
Yogyakarta. Dengan menggunakan berbagai kriteria kunci, penilaian menunjukkan
peran dan kinerja JHC masih kurang, hanya 35%. Ketua dijabat oleh pejabat pemerintah
dan tidakada independensi struktur karena berada langsung dibawah gubernur.

Kebutuhan Kebijakan Dalam Desentrallsasl Kesehatan


Peran pusat, provinsi dan kabupaten/kota sudah ditetapkan dalam peraturan
pemerintah tetapi belum disertai dengan kebijakan yang memadai sehingga menyebabkan
hilangnya koordinasi dalam konteks sistem. Kebijakan akan menjadi sangat penting pada
saat peran pemerintah baik di pusat, provinsiLdan kabupaten/kota adalah sebagai pengarah
dalam kegiatan pembangunan kesehatan, seperti pada era desentralisasi saat ini. Pengarah
menurut WHO (2000) adalah suatu fungsi pemerintahan yang bertanggung jawab atas
kesejahteraan penduduk, yang berkaitan dengan kepercayaan dan legitimasi penduduk
terhadap aktivitas pemerintah, khususnya di bidang kesehatan. Pengarah terdiri dari 3 (tiga)
komponen yaitu a) formulasi kebijakan kesehatan anatar lain mendefinisikan visi dan arah
sistem kesehatan daerahnya, b) regulasi menetapkan aturan main yang adil di bidang
kesehatan dan c) Kemampuanl keterampilan dalam menilai kinerja dan membagi informasi
yang berkaitan dengan kesehatan. Jadi salah satu tugas pokok peran pengarah adalah
merumuskan dan menetapkan kebijakan arah pernbangunan kesehatan, terutama pada
tingkat makro. Oleh karena itu di dalam kerangka desentralisasi. pemerintah juga
mempunyai tugas mengembangkan kebijakan sistem regulasi wilayah.
Dalam melaksanakan berbagai kebijakan yang berkenaan dengan desentralisasi
kesehatan, Kementerian Kesehatan dan seluruh jajarannya perlu secara terus-menerus
melakukan kajian yang berkaitan dengan analisis kebijakan, yang sampai saat ini belum
terlihat. Analisis kebijakan disini diperlukan untuk menguraikan dan menjelaskan masalah
yang muncul dalam pelaksanaan desentralisasi kesehatan disebabkan berbagai kebijakan
pada proses perumusan kebijakan (Policy Formulation), penerapan kebijakan (Policy
Implementation), dan evaluasi kebijakan (Policy Review). Analisis dilakukan dalam suatu
siklus yang tidak terputus dan menghasilkan informasi untuk pengambilan keputusan dalam
kebijakan. Dalam analisis kebijakan, kata analisis digunakan dalam pengertian yang paling
umum: termasuk penggunaan intuisi, pengungkapan pendapat. mencakup tidak hanya
pengujian kebijakan dengan memilah-milahnya ke dalam sejumlah komponen, tetapi
rancangan dan sintesis alternatif baru.
HASIL PENELITIAN : MEILINDA EKA
Arah kebijakan bidang kesehatan pada awalnya bertumpu pada upaya
pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Selanjutnya, arah kebijakan
pun bergeser ke arah penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh
dengan penekanan pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan
(preventif dan promotif). Pergeseran juga terjadi pada titik berat arah kebijakan
bidang kesehatan yang awalnya menitikberatkan pada kesehatan individual
yang kemudian bergeser pada kesehatan masyarakat. Sementara itu,
stakeholders yang terlibat pada bidang kesehatan turut diperluas dengan
meningkatkan partisipasi masyarakat dan peran swasta.
Perubahan pengaturan kewenangan mengatur pemerintah daerah di
bidang kesehatan pada era otonomi luas dikelompokkan menjadi dua periode
menurut Mailinda. Periode pertama yakni perubahan dari sentralisasi menjadi
desentralisasi atau dalam perspektif ruang mengatur ruang sempit hingga
mengatur ruang luas. Selanjutnya, periode kedua yaitu desentralisasi menjadi
“re(sentralisasi)” yang dalam pendekatan ruang mengatur perubahan dari
mengatur ruang luas menjadi sedang.
Ada empat hal yang dapat dilakukan untuk mencapai kebijakan
pengaturan bidang kesehatan yang ideal. Pertama, pemerintah harus
memastikan bahwa arah kebijakan pengaturan bidang kesehatan adalah
desentralisasi luas asimetris. Kedua, pemerintah harus memberikan waktu
transisi yang cukup bagi daerah untuk meningkatkan kemampuannya
melaksanakan desentralisasi kesehatan. Ketiga, yang perlu dilakukan
pemerintah pusat adalah melakukan evaluasi terkait kemampuan daerah untuk
merealisasikan pengaturan di bidang kesehatan. Keempat, pemerintah perlu
segera mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi amanat UU
Kesehatan dan UU Pemerintahan Daerah termasuk SPM dan NSPK bidang
kesehatan

Desentralisasi : Konsep, Teori Dan Perdebatannya (Sait Abdullah)

Anda mungkin juga menyukai