Anda di halaman 1dari 11

Prosiding SENASBASA http://research-report.umm.ac.id/index.

php/SENASBASA
(Seminar Nasional Bahasa dan Sastra) Volume 3 Nomor 2 Tahun 2019
Halaman 812-822 E-ISSN 2599-0519

MAKNA ALAM SEBAGAI SIMBOLISASI KRITIK SOSIAL DALAM


CERPEN MENGAPA ILALANG BERRLUBANG
KARYA GABRIELA MISTRAL

Naura Diah Siswanti


Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Malang
nauradiahs@gmail.com

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna simbolisme alam dari kritik sosial
dalam cerpen Mengapa Ilalang Berrlubangkarya Gabriela Mistral yang diterjemahkan oleh Tia
Setiadi. Untuk menjabawab permasalahan tersebut maka digunakan konsep simbol atau tanda
melalui pendekatan semiotika. Penelitian ini merupakan jenis kualitatif dengan bentuk deskriptif.
Sumber data penelitian ini berasal dari cerpen Mengapa Ilalang Berrlubangkarya gabriela Mistral
yang diterjemahkan oleh Tia Setiadi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca
keseluruhan isi cerpen. Analisis data dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) membaca
keseluruhan isi cerpen, 2) mengidentifikasi data, 3) mengumpulkan data, 4) menganalisis dalam
bentuk deskriptif dengan dipahami, 5) pemberian tanda pada tanda, 6) menulis hasil laporan
penelitian. Teknik ini dilakukan dengan membaca dekat, mengidentifikasi data, baca catat dan
memberikan tanda pada data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam cerpenMengapa Ilalang
Berrlubangkarya gabriela Mistral yang diterjemahkan oleh Tia Setiadi ini menghadirkan cerita
pendek yang berisi makna alam sebagai simbolisasi kritik sosial. Seperti, ilalang simbol pemimpin,
angin sebagai penghasut, para binatang, hutan dan semak belukar ialah masyarakat, dan lain-lain.

Kata Kunci: Semiotika, Kritik Sosial dan Simbolisme Alam

PENDAHULUAN
Alam memiliki kesinambungan erat dengan kehidupan manusia. Sedangkan kehidupan
manusia akan selalu dipengaruhi oleh kondisi sosial. Dari kondisi sosial inilah yang dapat memicu
timbulnya sebuah kritik sosial. Kemudian kritik sosial sendiri pasti ditandai dengan adanya simbol.
Alam merupakan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, yang memiliki kesinambungan
dengan lingkungan kehidupan yang dijalani manusia. Alam sendiri yaitu segala sesuatu yang
termasuk dalam satu kesatuan lingkungan kehidupan, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia.
Dalam hal ini, alam sebagai simbolisme kritik sosial dalam kajian semiotik digunakan sebagai alat
untuk mengkritik dan menciptakan sindiran-sindiran yang diciptakan melalui pengilustrasian alam
tersebut. Hal ini digambarkan seperti pada cerpen Mengapa Ilalang Berlubang karya Gabriela
Mistral.
Simbol dianggap penting ketika memiliki makna secara tajam kemudian proses
penyimbolan ini ialah proses simbolisasi yang estetik dan digunakan sebab memiliki keterkaitan
erat dengan suatu hasil karya sastra Langer (Sachari, 2002: 18). Simbolisme sendiri memiliki artian
dalam suatu karya sastra sangatlah berguna, hal ini merupakan pemakaian yang digunakan untuk
mengekspresikan atau menggambarkan ide-ide yang akan dituangkan dalam karya sastra. Simbol
sendiri memberikan ruang bagi pengguna untuk memakai bahasa dan pola terstilir untuk
mengungkapkan reaksi menentang realisme. Maksudnya, simbol dalam hal ini digunakan sebagai
bentuk yang memiliki arti maupun makna tersendiri sehingga akan mempunyai makna ganda

812 | Halaman
dengan disesuaikan cara pandang seseorang tekait pemaknaan itu tersendiri yang
berkesinambungan dengan kehidupan nyata.
Sedangkan kesinambungan dengan karya sastra sendiri simbol merupakan sesuatu yang
berperan dalam menampilkan karya sastra yang mempunyai nilai estetik. Biasanya, estetika novel
dapat dilakukan peninjauan berdasarkan dua aspek, yaitu aspek bahasa dan simbol (Tarigan, 1986
17-56). Kemudian, karya sastra diciptakan mencakup dari berbagai peristiwa atau aspek dalam
kehidupan yang bersifat kompleks. Kompleks dalam hal ini maksudnya, akan mengungkap rentetan
kehidupan yang dapat dikatakan cukup rumit dan biasanya ada permasalahan yang pelik, namun
aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkesinambungan. Biasanya karya sastra
merupakan hasil dunia khayalan yang dipengaruhi oleh keadaan sekitar lingkungan seorang
pengarang.
Permasalahan tersebut yang tergambarkan dalam cerpen ini adalah makna alam sebagai
simbolisasi sebagai kritik sosial yang terjadi. Cerpen Mengapa Ilalang Berlubang karya Gabriela
Mistral yang diterjemahkan oleh Tia Setiadi, ini mengisahkan tentang sebuah lingkup wilayah suatu
masyarakat yang memiliki pemimpin kemudian digambarkan dengan tumbuhan, binatang dan
manusia sehingga memilikiMengapa Ilalang BerrlubangmaknaMengapa Ilalang Berrlubangganda
pada karya sastra tersebut. Pada cerpen ini “Ilalang” digambarkan sebagai pemimpin yang angkuh
dan memiliki ego yang tinggi, sedangkan “Pepohonan, bunga, binatang dan manusia” digambarkan
sebagai masyarakat. Dalam cerpen ini juga diceritakan bahwa akibat dari pemerintahan ilalang
tersebut, mengalami beberapa dampak. Salah satunya, adanya kesenjangan sosial yang terjadi di
dalam lingkup masyarakat yang digambarkanMengapa Ilalang Berrlubangsebagai tetumbuhan,
tanaman dan binatang.
Dalam kasus permasalahan ini dapat dilihat bahwa suatu karya sastra pasti ada yang
menggunakan simbol bermakna yang digunakan dalam penciptaan karya sastra. Cerita yang
diciptakan oleh Gabriela Mistral ini menunjukkan adanya permasalahan terkait kritik sosial yang
terjadi pada masanya. Hal ini tercipta akibat dari pengaruh yang ada dari lingkungan sekitar
pengarang, sehingga mendorongnya untuk menciptakan dan ikut menyuarakan sebuah kritik sosial
berbentuk cerpen melalui karya sastra yang diciptakannya pada masa dahulu. Jadi, identifikasi
pokok permasalahan yang ada pada penelitian ini yaitu apa saja makna tersembunyi dibalik
semiotik yang digunakan dalam cerpen Mengapa Ilalang Berlubang karya Gabriela Mistral yang
diterjemahkan oleh Tia Setiadi. Gambaran tentang permasalahan yang ada ini dibuktikan dengan
adanya alur cerita dari cerpen yang diteliti, lebih jauh diteliti diceritakan bahwa manusia tak lagi
memiliki roti, buah-buahan, makanan untuk hewan ternak, dan mengalami berbagai kesulitan
lainnya, yang diakibatkan oleh sang pemimpin yang memiliki ego yang tinggi yaitu “Ilalang”.
Dalam cerpen ini ilalang telah mencapai ketinggiannya namun dalamnya terdapat kekosongan.
Penelitian terdahulu pada cerpen Mengapa Ilalang BerlubangMengapa Ilalang
Berrlubangkarya Gabriela Mistral yang diterjemahkan oleh Tia Setiadi, belum ada yang melakukan
penelitian dan mengkaji cerpen ini sebelumya. Jadi, penyebab adanya kritik sosial pada masa
dahulu timbul karena yang pertama; adanya pemberontakan yang dilakukan oleh ilalang yang
angkuh dan egonya yang tinggi, kedua; terjadinya kesenjangan yang terjadi pada masa dahulu
terkait kepeimpinan ilalang yang mengalami kemunduran, ketiga; terjadinya kemiskinan,
kelaparan, kesulitan diantara tumbuhan, binatang dan manusia. Beberapa penyebab itulah yang
kemudian terjadinya kritik sosial untuk mengecam para ilalang yang acuh terhadap pohon karet,
bunga, dan lain-lain.
Melalui penggambaran tersebut sangat perlu dilakakannya penelitian yang mengkaji
permasalahan karya sastra dengan berfokus pada makna simbol dari kritik sosial yang terjadi dalam
cerpen Mengapa Ilalang Berlubang karya Gabriela Mistral yang diterjemahkan oleh Tia Setiadi,
untuk menyelesaikan permasalahan ini menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce.
Dipilihnya teori dan pendekatan semiotika yang digunakan dalam penelitian ini memiliki beberapa
alasan, diantaranya yakni, pertama permasalahanMengapa Ilalang Berrlubangsimbolisme kritik

813 | Halaman
sosial dalam cerpen Mengapa Ilalang Berrlubangkarya Gabriela Mistral yang diterjemahkan oleh
Tia Setiadi adalah penggambaran tokoh di ilustrasikan menggunakan tumbuhan dan memiliki
hubungan kuat dengan alam serta lingkungan sekitar. Kedua, pengilustrasian kehidupan di
masyarakat menggunakan tumbuhan kemudian terjadinya kritik sosial.
Bentuk kritik terhadap manusia modern atau orang-orang kota maupun pemimpin-
pemimpin yang berkuasa tanpa memperdulikan rakyatnya, yang memicu timbulnya kritik sosial
yang ada pada masa tersebut. Semiotik adalah sebuah kajian yang khusus memaparkan tentang
suatu tanda yang digunakan dalam proses penggunaan tanda (van Zoest, 1993:1). Semiotik
adalah ilmu yang mengkaji dan mendalami beragam objek, peristiwa kehidupan maupun
kebudayaan sebagai tanda. Semiotik merupakan sebuah tanda yang diperbarui kemudian
digunakan dalam interaksi komunikasi dan lebih disempurnakan menjadi suatu kode yang
dipahami untuk kemudian menjadi ciri khas yang disepakati dengan segala gejala-gejala
sastra yang ada A. Teeuw (1984:6). Cabang ilmu yang relatif masih baru, yaitu semiotik.
Pemakaian tanda dan segala simbol yang digunakan secara sistematis dalam hal ini dipelajari,
ditandai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand
de Saussure (1857 - 1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce
(1839 - 1914). Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik menjadi istilah
yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda. Semiologi de Saussure berbeda dengan
semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda.
Semiologi didasarkan pada paradigma bahwa selama perilaku atau tata laku manusia
mengandung makna, atau selama berperan menjadi tanda, harus ada di belakang sistem
pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Dimana ada tanda, di sana ada
sistem (de Saussure, 1988:26). Dihubungkan dengan pembahasan dengan konteks maka alam
dan kritik sosial memiliki pengertian yaitu, dalam prespektif kritik sosial, hal ini pasti timbul
akibat adanya pemicu yang berupa permasalahan pokok. Kritik sosial juga di pandang
sebagai sindiran, tanggapan, yang diajukan pada suatu hal yang terjadi dalam masyarakat
manakala terdapat sebuah konfrontasi dengan realitas berupa kepincangan atau kecacatan
(Waluyo, 1987: 61-65).
Kritik sosial dalam sastra sendiri merupakan sebuah tampilan ilustrasi tentang
kehidupan bermasyarakat (Damono, 1984: 11). Hal ini dapat mempengaruhi suatu kondisi
dan lingkungan pikiran pengaram dalam menciptakan karya sastra. Kritik sosial diangkat
ketika kehidupan dinilai tidak selaras dan harmonis, ketika banyaknya permasalahan yang
timbul dalam suatu negara dan tidak dapat diatasi, sehingga perubahan mengarah kepada
dampak-dampak disasosiatif dalam masyarakat. Kritik sosial tersebut ada karena terdapat
berbagai ketimpangan atau kesenjangan sosial yang menimbulkan masalah sosial. Kritik
sosial dapat disampaikan melalui berbagai media, mengingat zaman sudah semakin maju,
berkembang pesat dan maju, penyebaran kritik sosial dalam berbagai macam bentuk media,
salah satunya memanfaatkan dan melestarikan hasil karya sastra dengan menciptakan inovatif
yang terbaru untuk menciptakan sebuah kritik sosial yang akan ditujukan dalam suatu sistem
sosial tersebut.
Melalui perkembangan karya sastra, dapat dilihat dan dibuktikan dengan
perkembangan teori sastra bahwa, hingga abad ke-20, perkembangan teori sastra tidak dapat
dilepaskan dari strukturalisme sebagai teori dan aliran terdahulu. Sehingga, muncul teori-teori
baru yang berkesinambungan dengan objek (karya sastra) dan perkembangannya kemudian
diciptakan teori dengan dalih penyempurnaan namun memang membawa perubahan dan
berguna bagi. Seperti halnya teori Strukturalisme genetik dengan tokohnya Goldman,
Semiotika oleh Saussure dan Peirce, Dekonstruksi oleh Derrida, Postrukturalisme oleh
Genette, Chatman, Bakhtin, White, Barthes, Eco, Foucault, Lyotard, Baudrillard, dan Resepsi
oleh Jauss, Riffatere, Culler, Interteks oleh Kristeva, serta masih banyak lagi lainnya
(Nyoman, 2004:4-5). Para tokoh tersebut memperhatikan perkembangan karya sastra dengan

814 | Halaman
perhatian khusus dan fokus untuk menciptakan paradigma secara ilmiah mengenai unsur
pembangun karya sastra, serta peran karya sastra di dunia luar, serta kehidupan manusia yang
penuh dengan makna tersembunyi. Artinya, penciptaan suatu teori ini bersifat dinamis, selalu
dapat berubah menyesuaikan setiap masa ke masa kemudian mengalami kemajuan.
Dalam hal ini, teori merupakan alat yang dipergunakan untuk mengacu dan membantu
memahami objek secara maksimal, dengan fungsi yang statis dan dinamis untuk
menghadirkan konsep dasar, berisikan unsur-unsur, hubungan, dan totalitas. Karena pada
teori strukturalisme mempunyai acuan yang kaku, sehingga fokus pembahasan hanya pada
struktur karya sastra, oleh karena itu seiring dengan perkembangan yang terjadi, secara
beriringan muncul semiotika, bertahan hingga memunculkan paradigma untuk kedua teori
tersebut adalah teori yang identik, mengacu pada struktur karya sastra dengan strukturalisme
berbicara pada karya, dan semiotika berbicara pada tanda atau simbol, pada karya sastra.
Cabang ilmu yang relatif masih baru, yaitu semiotik. Pemakaian tanda dan segala simbol
yang digunakan secara sistematis dalam hal ini dipelajari (Teeuw, 1984:6).
Secara semiotis, karya sastra yang mewakilkan suatu jaman dipresepsikan dunia yang
terbangun adalah dunia yang dipenuhi oleh tanda atau simbol sebagai perantara antara karya
sastra dengan segala aspek yang berada di ligkungan sekitar, serta yang berada di dalam
karya sastra itu sendiri. dalam berkomunikasi konteks pada karya sastra, semiotik memiliki
peran yang sangat besar, karena teori semiotika merupakan teori yang masih baru dan belum
diketahui banyak orang. Karya sastra tidak hanya semata dimaknai sebagai karya yang
memiliki unsur-unsur dalam pembangunannya, namun juga memiliki tanda-tanda yang dapat
dimaknai sebagai simbol, beserta perangkat tanda lainnya (sign, ikon, indeks) yang
membutuhkan konsep dalam memahami dan menangkap makna dibalik kata serta unsur
pembangun karya dalam menyampaikan, dan mengekspresikan hal yang berada di luar karya
sastra, maupun hal yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra seperti cerpen yang dikaji
saat ini.
Pada lahirnya suatu karya sastra tertentu, memiliki peran yang memungkinkan adanya
segala aspek. Sehingga antara sastra dan teori sastra memiliki kesinambungan yang erat pada
masing-masing terciptanya teori. Demikian pula, dengan semiotika pada dunia karya sastra.
Sudut pandang karya sastra melalui sistem tanda atau simbol yang terkandung dalam karya
sastra untuk dimaknai, dan dipahami sebagai petunjuk atas aspek pembangun karya sastra
(pengarang, pembaca, karya sastra, lingkungan, serta nilai-nilai), keterkaitan antara sastra,
teori sastra, serta perkembangannya akan membantu dalam memahami dan memaknai karya
sastra (de Saussure, 1988:26).
Semiotika dalam tindak penelitian sastra menjadi salah satu pendekatan, yang
terhitung kerap digunakan beragam penelitian suat karya sastra. Penemuan nilai dan makna
melalui tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra tentunya akan terkait erat dengan
semiotika yang memiliki fokus pada sistem tanda maupun simbol. Terkait dengan tindakan
analisis semiotik terhadap karya sastra, pada fokus pembicaraan cerpen ini, maka penelitian
sastra (semiotika) akan melibatkan bahasa yang dianggap sebagai media komunikasi dalam
bentuk bahasa yang memuat banyak sistem tanda atau simbol.
Hal ini, berkenaan dengan penelitian yang dikaji dalam cerpen Mengapa Ilalang
Berrlubangkarya Gabriela Mistral yang diterjemahkan oleh Tia Setiadi, kritik sosial yang dibahas
dalam cerpen ini berisi tentang sebuah kepemimpinan yang mengalami kemunduran yang
diakibatkan oleh sang pemimpin yang angkuh. Kritik ini ditujukan untuk “Ilalang” yang
diilustrasikan sebagai pemimpin yang kemudian mengalami kekosongan padahal “Ilalang” telah
mencapai ketinggian yang diinginkannya. Dalam kepemimpinan ini juga menimbulkan bebrapa
dampak, diantaranya yaitu adanya kesenjangan sosial yang berupa kemiskinan, kelaparan, kesulitan
dalam suatu daerah tumbuh-tumbuhan yang digambarkan sebagai masyarakatnya. Oleh karena itu,

815 | Halaman
penelitian merujuk kritik sosial sebagai pembahasan yang dijadikan acuan. Makna sebenarnya dari
alam sebagai simbol kritik sosial yang terjadi pada masa cerpen diciptakan.
Jadi pemaparan di atas menjelaskan bagaimana paradigma atau tanggapan orang lain
mengenai simbol atau tanda yang digunakan dalam cerpen. Sedangkan terbentuknya
paradigma pemahaman mengenai makna yang terkandung dalam cerpen menyesuaikan
pembaca dalam memahami alur yang ada pada cerpen. Jadi, dapat dikatakan paradigma
pembaca sangat berpengaruh dan bergantung pada kemampuan pembaca dalam membaca dan
menelisik maksud dan inti dari cerpen yang diciptakan oleh pengarang.

METODE
Berdasarkan penelitian data yang dapat diperoleh ini mengarah pada teks, penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif, artinya yaitu suatu pendekatan dalam studi sastra
yang digunakan untuk menemukan data berupa teks yang di dalam data mengandung sutu makna.
Sedangkan, penelitian kualitatif sendiri adalah langkah-langkah penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa teks tertulis. Penelitian ini menggunakan prinsip metode analisis data kualitatif
yang dapat digunakan untuk memahami pesan simbol dari sebuah teks.
Sumber data dari penelitian ini adalah cerpen terjemahan dengan judul Mengapa Ilalang
Berrlubangkarya Gabriela Mistral yang diterjemahkan oleh Tia Setiadi. Adapun pendekatan yang
digunakan yaitu semiotika Charles Sanders Peirce. Semiotika sendiri membahas tentang Semiotik
merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda.Mengapa Ilalang BerrlubangCabang ilmu yang relatif masih baru,
yaitu semiotik. Pemakaian tanda dan segala simbol yang digunakan secara sistematis dalam
hal ini dipelajari, ditandai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss
bernama Ferdinand de Saussure (1857 - 1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama
Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Peirce menyebut dengan semiotik digunakan untuk
ilmu tentang tanda. Adapun data penelitian yang didapat yaitu melalui cerpen yang dibaca
kemudian dipahami teknik ini biasanya disebut membaca dekat, kemudian menganalisis data secara
lengkap hal ini dilakukan secara spesifik dan melakukan simak catat pada cerpen serta memberikan
tanda dibagian data yang diperlukan dalam penelitan dengan cara digaris bawahi.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca keseluruhan isi cerpen. Analisis
data dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) membaca keseluruhan isi cerpen, 2)
mengidentifikasi data, 3) mengumpulkan data, 4) menganalisis dalam bentuk deskriptif dengan
dipahami, 5) pemberian tanda pada tanda, 6) menulis hasil laporan penelitian. Teknik analisis data
ini dilakukan dengan membaca dekat, mengidentifikasi data, baca catat dan memberikan tanda pada
data dengan seksama.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Teori Semiotik Charles Sanders Peirce
Dapat diketahui bahwa teori semiotik digunakan dalam sebuah penelitian karya sastra
sebagai sarana komunikasi yang bersifat estetis, pembagian sarana komunikasi dapat
dipergunakan agar menjadi jelas dengan dilengkapi secara terperinci dan terpisah (Segers,
2000). Secara bebas, memahami karya sastra dengan pendekatan semiotik dapat mengacu
pada beberapa konsep teori semiotik. Beberapa yang ditawarkan Peirce dengan tiga faktor
yang menentukan adanya tanda, seperti tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda
baru yang terjadi dalam batin penerima tanda menghadirkan dan melahirkan intepretasi di
benak penerima sebagai tanda baru yang diciptakan oleh penerima pesan. Dan tiga jenis tanda
yang oleh Peirce terbagi atas ikon, indeks, dan simbol, dapat dimanfaatkan pada karya sastra
dalam pemahaman makna melalui tanda. Teknik penelitian dengan menggunakan pendekatan
semiotik ini dapat menggunakan menelaah kata, memahami secara keseluruhan konteks yang
diteliti, dan kemudian memaknai secara keseluruhan.

816 | Halaman
Untuk beberapa masa, perbincangan mengenai semiotika sempat tenggelam dan tidak
menarik perhatian para filsuf atau pemerhati ilmu bahasa dan kesastraan lainnya. Baru setelah
seorang filsuf Logika Amerika pertama, C.S. Peirce (1834-1914) menuliskan pikirannya
untuk mendapatkan perhatian pada tahun 30-an, semiotika kembali dikenal di abad barunya.
Hal ini diperkenalkan oleh Charles (Amerika). Perkembangan semiotika sebagai salah satu
cabang ilmu memang tergolong sebagai ilmu tua yang baru. Perkembangan teori semiotika
tidak dapat dikatakan pesat. Ilmu tanda, sistem tanda, serta proses dalam penggunaan tanda
hingga pada taraf pemahaman melalui makna memerlukan kepekaan yang besar. Makna yang
berada dibalik setiap karya sastra atau bahasa, dengan kepekaan tersebut akan dapat diungkap
dan dipahami dengan baik. Pengertian semiotik yang pernah dikatakan pada catatan sejarah
semiotik, bahwasanya semiotik merupakan ilmu tentang tanda-tanda yang menganggap
peristiwa komunikasi sosial atau masyarakat dan kebudayaan.
Semiotika secara teoritis yang dianggap sebagai pengembangan dari aliran
strukturalis, membawa pula sastra sebagai lingkup dunia kajiannya. Sistem tanda yang
melekat di banyak tempat, salah satunya pada dunia sastra, menghadirkan semiotika sastra
sebagai pintu masuk memahami makna tanda yang berada di balik karya sastra. Denotatum
(mengarah pada denotasi) sebuah penunjukkan mengenai makna pada kelugasan atas dasar
konvensi dan bersifat objektif, dalam karya sastra merupakan sebuah kata-kata,
kemungkinan, dan fiksional sebagai dunia dengan pandangan bahwa segala sesuatu
mempunyai kemungkinan untuk menjadi tanda, bersifat konkret atau abstrak. Tiga sifat
denotatum (Nyoman, 2004:114) yaitu ikon, indeks, dan simbol. Dengan pemahaman (Peirce:
Suwardi, 2008) bahwa ikon merupakan tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan
arti yang ditunjuk. Indeks merupakan tanda yang mengandung hubungan kausal dengan apa
yang ditandakannya. Dan Simbol merupakan tanda yang memiliki hubungan makna dengan
yang ditandakannya bersifat arbitrer, sesuia dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu.
Dalam hal tersebut digambarkan pada cerpen Mengapa Ilalang Berlubang karya
Gabriel Mistral ini, menggunakan simbolisasi alam sebagai kritik sosial yang terjadi pada
masa tersebut. Juga, dalam cerpen tersebut penggunaan sistem tanda atau simbol mengarah
pada makna denotasi yang diciptakan melalui cerpen karya Gabriela Mistral tersebut. Berikut
merupakan pemaknaan terhadap alam sebagai simbolisasi kritik sosial.
Dalam cerpen Mengapa Ilalang Berrlubangkarya Gabriela Mistral ini banyak
ditemukan makna alam sebagai simbolisasi kritik sosial. Makna-makna tersebut dapat terlihat
pada pembahasan berikut ini.

Ilalang Sebagai Pemimpin


Secara etimologis, istilah semiotic berasal dari kata Yunani semion berarti tanda.
Dalam pengertian ini, tanda merupakan sesuatu yang dapat mewakili sesuatu (Sobur, 2006:
95). Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas semiotik merupakan ilmu yang membahs
tentang tanda atau simbol untuk penciptaan karya sastra. Artinya, suatu simbol atau tanda
memiliki nilai estetis tersendiri bagi pengarang untuk menciptakan karyanya. Sehingga dalam
pembahasan penelitian ini, alam sebagai simbolisasi kritik sosial pada cerpen ini akan digambarkan
pada kutipan berikut:

“Bahkan di dunia damai tetumbuhan, revolusi sosial pernah terjadi suatu ketika.
Dikisahkan bahwa dalam kasus ini para pemimpinnya adalah ilalang-ilalang
yang angkuh. Jagonya pemberontakan, ...” (paragraf 1, hlm 1).

Data tersebut add pada cerpen paragraf pertama dan halaman pertama juga, dijelaskan
didalamnya bahwa suatu tanda digunakan untuk menciptakan gaya bahasa dalm menghasilkan
sebuah karya sastra. Pemaknaan yang pertama dibahas yaitu “Ilalang” ilalang dalam cerpen ini

817 | Halaman
digambarkan sebagai pemberontak, angkuh dan memiliki ego yang tinggi. Sedangkan makna
“Ilalang” sebagai pemimpin ini ilalang merupakan benalu yang hanya hidup dengan menumpang
dan membawa kerugian, dengan cara hidupnya yang menumpang membawa kesusahan bagi
tetumbuhan lain. Sama halnya dengan ilalang yang hanya mengandalkan ketinggian tanpa
memperhatikan isinya, maka ia menjadi tidak seimbang. Sehingga ilalang diilustrasikan sebagai
kritik sosial menjadi sesuatu yang tidak menguntungkan, mencampurkan pengaruh buruk pada
sesuatu yang baik.

Angin Sebagai Penghasut


Dalam hal ini, semiotika sendiri merupakan ilmu yang bersifat dinamis. Artinya semiotika
dapat berkembang mengikuti waktu yang semakin maju, dinamis sendiri juga dapat diartikan ilmu
yang luwes tentang tanda atau simbol. Nyatanya, semiotika ialah ilmu yang terbuka dari berbagai
intepretasi. Inepretasi disini merupakan suatu logika yang tidak dapat diukur dengan batasan
tertentu, benar dan salahnya, namun intepretasi merupakan sebuah logika, kelogisan berpikir
seseorang terkait permasalahan yang dikajinya. Dalam semiotika sendiri intepretasi dianggap
sebagai ilmu yang paling masuk akal dari yang lainnyaMengapa Ilalang Berrlubang(Tinarbuko,
2009: xi). Dalam pembahasan penelitian ini, angin pada cerpen ini tergambarkan pada kutipan
berikut :

“...... sang angin, menyebarkan propaganda, dan dalam waktu singkat gagasan
ihwal revolsi menjadi pembicaraan di pusat-pusat tanaman.” (paragraf 1, hlm. 1).

Berdasarkan data yang diperoleh dari cerpen tersebut, pemaknaan angin dalam hal ini
bersifat tak kasat mata. Angin digambarkan sebagai sumber yang menyebarkan berita, layaknya
tukang pos di dalam cerpen Mengapa Ilalang Berrlubangyang memiliki arah darimana saja. Angin
menyebarkan propaganda, yang dimaksudkan propaganda disini dalam kritik sosial yaitu angin
menyebarkan suatu paham yang masih belum tentu kebenarannya. Dengan maksud dan tujuan
untuk meyakinkan atau menghasut orang-orang untuk mengikuti atau sepaham dengannya. Jadi
dapat disimpulkan simbolisasi angin dalam kritik sosial ini yaitu sebagai penghasut.
Dalam hal ini angin dianggap sebagai penghasut sebab intepretasi paling logis untuk angin
sangatlah tepat, dengan bentuknya yang tak kasat mata, fisiknya tak tampak, namun tiba-tiba saja
berita yang dibanwanya menyebar dan membisiki orang bagai penghasut yang datangnya dari arah
mana saja dan dai arah yang tak terduga. Jadi, semiotika disini sangatlah diperlukan supaya dapat
memahami lebih dalam lagi terkait makna yang tersirat maupun tersirat dari suatu karya sastra itu
sendiri.

Hutan dan Kebun Sebagai Masyarakat


Adapun ilustrasi yang ketiga digambarkan pada kutipan berikut :

“Hutan-hutan perawan bergaul dengan kebun-kebun yang pandir dalam


perjuangan mereka untuk kesetaraan. Kesetaraan untuk apa? Ketebalan batang
pohon, keunggulan buah mereka, hak mereka atas air ejrnih? Bukan, Cuma
kesetaran mengenai tinggi mereka. Yang ideal adalah bahwa mereka seharusnya
mengangkat kepala-kepala mereka secara seragam.” (paragraf 2, hlm. 1)

Data di atas diperoleh dari pemaknaan yang kedua yaitu, adanyaMengapa Ilalang
Berrlubanghutan-hutan dan kebun-kebun yang didalamnya memiliki beragam jenis tetumbuhan,
mereka bersaing ketinggian, untuk mendapatkan kesetaraan sendiri itu merupakan persoalan yang
cukup pelik. Sebab hutan sendiri diilustrasikan sebagai daerah yang didalamnya memiliki banyak
tetumbuhan dan binatang yang ada didalamnya. Dalam hal ini hutan dan kebun digambarkan

818 | Halaman
sebagai kritik sosial menjadi suatu daerah yang memiliki masyarakat yang harus diberikan
kesetaraan atas apa yang menjadi haknya. Dapat diperjelas kembali bahwa mereka merupakan
suatu kumpulan masyarakat-masyarakat yang dicuri hak atas kesetaraannya, dan juga mengenai
derajatnya. Dalam kritik sosial tersebut mereka digunakan sebagai alat untuk bersikap nasionalis
dengan berdiri tegap secara bersama keseluruhan menjunjung tinggi jiwa nasionalisme supaya
mendapatkan kesetaraan.
Jadi, kritik sosial yang ada pada hal ini mengacu pada konsep simbol kritik sosial yang
disebut masyarakat. Hal ini seperti pada keterkaitan antara sastra, teori sastra, serta
perkembangannya akan membantu dalam memahami karya yang di dalamnya menggunakan
simbol, maka dengan adanya teori semiotika akan lebih mudah dalam memahami dan
memaknai hasil karya sastra (de Saussure, 1988:26).

Bunga Violet dan Bunga Lili Masyarakat


Kemudian penggambaran yang berikutnya yaitu ada pada kutipan dibawah ini :

“Keangkuhan! Keangkuhan! Khayal akan kebesaran bahkan jika mereka harus


melawan Alam, menampilkan tujuan-tujuan mereka. Dengan sia-sia, sejumlah
kembang yang rendah hati-violet yang pemalu dan bunga lili berhidung
datar—berbicara ihwal hukum Tuhan dan durjananya keangkuhan. Suara-suara
mereka agaknya sia-sia” (paragraf 4, hlm. 2).

Seperti pada pernyataan berikut, data ini diperoleh dari paragraf 4 halaman dua,
kesinambungan dengan karya sastra sendiri, simbol merupakan sesuatu yang berperan dalam
menampilkan karya sastra yang mempunyai nilai estetik. Biasanya, estetika novel dapat dilakukan
dengan peninjauan berdasarkan dua aspek, yaitu aspek bahasa dan simbol (Tarigan, 1986 17-56).
Pemaknaan yang ketiga yakni, bunga violet dan lili yang dalam sederet bunga-bunga
mereka memiliki makna ketulusan, keabadian, dan penuh nilai berharga. Namun, mereka disia-
siakan meski memiliki ketulusan. Dalam kritik sosial sendiri hal ini merupakan sebuah pembelaan
yang dilakukan dikalangan bunga-bunga namun tidak mendapatkan sama sekali, mereka
diacuhkan, suaranya tak didengarkan dan mereka hanya mendapatkan kesia-siaan menuntut suara
yang yang diabaikan oleh para petinggi. Dapat terlihat jelas bahwa mereka merupakan sekumpulan
dari sebagian banyaknya yang disia-siakan oleh para petinggi.

Padang rumput dan Semak belukar sebagai Masyarakat


Untuk ilustrasi selanjutnya dalam cerpen yaitu ada pada kutipan berikut :

“Bagaimana segalanya berubah? Orang-orang bercerita tentang pengaruh aneh


yang bekerja. Jiwa-jiwa bumi berembus atas tetumbuhan dengan vitalitas mereka
yang dahsyat, dan dengan demikian keajaiban yang buruk pun meraja. Pada suatu
malam, dunia padang rumput dan semak belukar tumbuh lusinan kaki, seakan-akan
mematuhi tarikan hebat dari bintang-bintang”(paragraf 6 hlm. 2).

Dalam hal ini rumput dan semak belukar bermakna meninggalkan sesuatu yang buruk
disertai mendapatkan yang buruk juga. Artinya dalam kritik sosial mereka menuju tingkatan
yang terbatas meninggi untuk meninggalkan keburukan namun juga mendapat keburukan
yang berasal dari peningkatan yang dilaluinya. Jadi, makna pada kritik ini memberikan
sindiran halus supaya meninggalkan yang buruk meskipun akan mendapatkan resiko
keburukan pula.

Binatang sebagai Masyarakat

819 | Halaman
Kemudian penggambaran yang berikutnya yaitu ada pada kutipan dibawah ini :

“Gempar. Binatang-binatang mengaum ketakutan, tersesat dalam gelapnya padang


rumput mereka. Burung-burung berkicauan dalam rasa putus asaMengapa Ilalang
Berrlubangsarang-sarang mereka telah tumbuh menjulang tinggi. Mereka pun tak
dapat terbang rendah demi mencari benih: hilang sudah tanah yang kedap sinar
matahari, pematang yang ditumbuhi rumput bersahaja”(paragraf 9, hlm. 3).

Pemaknaan pada konteks kutipan dalam cerpen ini mengartikan bahwa penggambaran ini
jika para binatang, para burung, dan lain-lain ini, telah berada dalam keadaan terpojok dan terpaksa.
Mereka dalam kondisi putus asa karena telah kehilangan apa yang menjadi hak miliknya, secara
mendadak dirampas begitu saja oleh para petinggi-petinggi yang angkuh. Karena kondisinya yang
dapat terbilang mereka menjadi sia-sia maka, binatang disimbolkan sebagai sekumpulan
masyarakat yang haknya telah dirampas dan mereka tak dapat melakukan apa-apa lagi. Oleh karena
itu mereka menjadi putus asa.
Dalam pemaknaan ini simbolisasi pada kutipan berikut termasuk pada gambaran binatang
sebagai masyarakat. Hal ini termasuk denotatum karena mengarah pada memahami simbol dari
segi makna suatu karya sastra. Maka dari itu binatang tersebut dimaknai sebagai suatu masyarakat.
(Nyoman, 2013).

Makna Pohon sebagai Pribadi yang Teguh Pendirian


Dalam pembahasan penelitian ini, alam sebagai simbolisasi kritik sosial pada cerpen ini
akan digambarkan pada kutipan berikut :

“Lebih jauh diceritakan bahwa manusia tak lagi punya roti, buah atau makanan
ternak untuk binatang-binatang mereka: lapar dan derita merajalela di daerah itu.
Dalam keadaan yang demikian hanya pohon-pohon yang memiliki tinggi yang
tetap waras, dengan batang-batangnya yang tumbuh semakin kuat seperti sediakala:
mereka tak terjerumus ke dalam godaan”.

Pemaknaan dalam kutipan ini mereka yang dihasut oleh ilalang namun hanya pohonlah
yang mempunyai pendirian yang kuat dan dapat hidup sejahtera sedangkan, mereka yang
mengikuti hasutan ilalang mereka akan hancur seiring dengan ilalang yang jatuh. Dalam hal ini
digunakan kritik sosial sebab adanya kesenjangan sosial yang terjadi pada para golongan ilalang
dan yang mereka yang memiliki pendirian yang teguh.

Makna Ilalang sebagai Pemimpin dalam Kritik Sosial


Dalam pembahasan penelitian ini, alam sebagai simbolisasi kritik sosial pada cerpen ini
akan digambarkan pada kutipan berikut :

“Ilalang-ilalang yang terakhir jatuh, mengisyaratkan bencana menyeluruh dari teori


pohon sama tinggi mereka: akar-akar membusuk .......”

Pemaknaan yang pertama dibahas yaitu “Ilalang” ilalang dalam cerpen ini digambarkan
sebagai pemberontak, angkuh dan memiliki ego yang tinggi. Sedangkan makna “Ilalang” sebagai
pemimpin ini ilalang merupakan benalu yang hanya hidup dengan menumpang dan membawa
kerugian, dengan cara hidupnya yang menumpang membawa kesusahan bagi tetumbuhan lain.
Sama halnya dengan ilalang yang hanya mengandalkan ketinggian tanpa memperhatikan isinya,
maka ia menjadi tidak seimbang. Sehingga ilalang diilustrasikan sebagai kritik sosial menjadi

820 | Halaman
sesuatu yang tidak menguntungkan, mencampurkan pengaruh buruk pada sesuatu yang baik.
Kemudian mereka hidup menjadi pemberontak, akan adanya sesuatu yang besar terjadi. Karena
ilalang hidup dengan jalan yang tidak baik dan bijak maka, ilalang menanggung semua perbuatan
yang telah dilakukan sebagai pemimpin. Pemimpin yang tidak bijaksana, samapai-sampai ilalang
harus menanggung aibnya sendiri.

SIMPULAN
Dalam cerpen Mengapa Ilalang Berrlubang Karya Gabriela Mistral yang di
terjemahkan oleh Tia Setiadi ini makna alam simbolisasi sebagai kritik sosial ini merupakan
bentuk kritik terhadap manusia modern atau orang-orang kota maupun pemimpin-pemimpin yang
berkuasa tanpa memperdulikan rakyatnya, yang memicu timbulnya kritik sosial yang ada pada
masa tersebut. Semiotik adalah tanda atau simbol yang digunakan sebagai alat komunikasi dan
kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mencakup beragam aspek untuk
memahami alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Secara semiotis, karya
sastra yang mewakilkan suatu jaman dipresepsikan dunia yang terbangun adalah dunia yang
dipenuhi oleh tanda atau simbol sebagai perantara antara karya sastra dengan segala aspek
yang berada di ligkungan sekitar, serta yang berada di dalam karya sastra itu sendiri.
Dalam konteks karya sastra yang berkomunikasi. Segala aspek dimungkinkan
berperan dalam lahirnya karya sastra tertentu. Sehingga antara sastra dan teori sastra
memiliki keterkaitan yang erat pada masing-masing kelahirannya. Sedangkan simbolisme
sendiri dari inti cerpen Mengapa Ilalang BerrlubangKarya Gabriela Mistral yang di
terjemahkan oleh Tia Setiadi, pemaknaan “Ilalang” ilalang dalam cerpen ini digambarkan sebagai
pemberontak, angkuh, dan memiliki ego yang tinggi. Sedangkan makna “Ilalang” sebagai
pemimpin ini ilalang merupakan benalu yang hanya hidup dengan menumpang dan membawa
kerugian, dengan cara hidupnya yang menumpang membawa kesusahan bagi tetumbuhan lain.
Sama halnya dengan ilalang yang hanya mengandalkan ketinggian tanpa memperhatikan isinya,
maka ia menjadi tidak seimbang. Sehingga ilalang diilustrasikan sebagai kritik sosial menjadi
sesuatu yang tidak menguntungkan, mencampurkan pengaruh buruk pada sesuatu yang baik.
Kemudian makna angin sebagai penghasut, yang menjadikan wujudnya tidak tampak, tak kasat
mata, namun datangnya dari segala arah dan dapat menyebarkan suatu pengaruh kepada
masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Ambarini dan Nazia Maharani. Semiotika Teori Dan Aplikasi Pada Karya Sastra. Semarang:
IKIP PGRI Semarang Press.
Mas'Oed, Mohtar. 1999. Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press.
Ratna, Nyoman Kuntha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Volume 17,
halaman 111-114.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, Edisi Revisi (Yogyakarta: Jalasutra, 2009),
hlm. xi.
Setiadi, Tia. 2017. Perjumpaan Dengan Pengkhianat. Cerpen "Why Reeds Are Hollow"
(1973). Yogyakarta: DIVA Press.
Sartini, Ni Wayan. Tinjauan Teoritik Tentang Semiotik. Surabaya: Universitas Airlangga.
Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Saussure, Ferdinand de. 1973. Course De Linguistique General. Paris: Payof.
Segers, Ried T. 1978. Studies in Semiotics The Evaluation Of Library Text. Leiden
Tarigan, H. G. 1968. Pengajaran Pragmatik. Bandung
Teeuw, A. 1984. Khasanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Van Zoest, Art. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan

821 | Halaman
Dengannya. (Jakarta: Yayasan Sumber Agung).
Waluyo, Herman J. 1987. Teori Dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka.

822 | Halaman

Anda mungkin juga menyukai