Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

ISI

2.1 Pengertian Konstitusi

Konstitusi berasal berasal dari bahasa Inggris Contitution, atau bahasa Belanda
Contitute, yang artinya undang-undang dasar. Orang Jerman dan Belanda dalam percakapan
sehari-hari menggunakan kata Grondwet yang berasal dari suku kata grond berarti dasar dan
wet berarti undang-undang, yang keduanya menunjuk pada naskah tertulis.

Menurut istilah, konstitusi adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang


tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cart-cara bagaimana suatu
pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.

Menurut F. Lasele konstitusi dibagi menjadi 2 pengertian, yakni:

1. Sosiologis dan politis. Secara sosiologis dan politis, konstitusi adalah sintesa faktor-faktor
kekuatan yang nyata dalam masyarakat.

2. Yuridis. Secara yuridis konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan
negara dan sendi-sendi pemerintahan.

Konstitusi juga terdapat dalam arti luas dan sempit, dalam arti sempit hanya mengandung
norma-norma hukum yang membatasi kekuasaan yang ada dalam Negara. Sedangkan
Konstitusi dalam arti luas adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum
dasar, baik yang tertulis ataupun tidak tertulis maupun campuran keduanya tidak hanya
sebagai aspek hukum melainkan juga “non-hukum” (Riyanto, 2000).

Konstitusi dalam pandangan K.C. Whare (Hamidi & Malik, 2008) dipahami sebagai
istilah untuk menggambarkan keseluruhan sistem pemerintahan suatu negara, juga sebagai
kumpulan aturan yang membentuk dan mengatur atau menentukan pemerintahan negara
yang bersangkutan. Menurut James Bryce, konstitusi adalah sebagai kerangka negara yang
diorganisasikan dengan dan melalui hukum. Dalam mana hukum menetapkan : pengaturan
mengenai pendirian lembaga yang permanen, fungsi dan lembaga-lembaga masyarakat serta
hak-hak yang ditetapkan. Demikian pula menurut CF Strong , konstitusi sebagai sekumpulan
asas-asas yang mengatur : kekuasaan pemerintahan, hak-hak yang diperintah dan hubungan
antara pemerintah dengan yang diperintah.

Menurut Jimly Asshiddiqie, konstitusi diartikan sebagai hukum dasar yang dijadikan
pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar
tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Hal tersebut
tidak terlepas karena tidak semua negara memiliki konstitusi tertulis atau Undang-undang
Dasar. Kerajaan Inggris misalnya, tidak memiliki satu naskah Undang-Undang Dasar
sebagai konstitusi tertulis, namun biasa disebut sebagai negara konstitusional.

Dalam pengertian konstitusi, terdapat dua kelompok ahli yang berpendapat bahwa
konstitusi sama dengan undang-undang dasar dan ada pula yang menganggap bahwa
berpendapat konstitusi tidak sama dengan undang-undang dasar. Kedua kelompok ini yaitu
(Radjab, 2005) :

a. Kelompok pertama yang mempersamakan konstitusi dengan undang-undang dasar,


diantaranya:
1. G.J.Wolhaff, berpendapat bahwa kebanyakan negara-negara modern berdasarkan atas
suatu UUD (konstitusi).
2. Sri Soemantri, menggunakan istilah konstitusi sama dengan undang-undang dasar.
3. J. C. T. Simorangkir menganggap konstitusi sama dengan UUD.
b. Kelompok yang berpendapat konstitusi tidak sama dengan undang-undang dasar,
diantaranya :
1. Van Apeldorn berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar adalah bagian tertulis dari
konstitusi, konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis.
2. M. Solly Lubis melukiskan pembagian konstitusi dalam suatu skema, yaitu konstitusi
terdiri dari konstitusi tertulis (UUD) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi).
3. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa setiap peraturan hukum
karena pentingnya harus ditulis dan konstitusi yang tertulis itu adalah UUD.

2.2 Tujuan, Funsi dan Ruang Lingkup Konstitusi


C.F Strong menyatakan bahwa pada prinsipnya tujuan konstitusi adalah untuk membatasi
ke sewenangan tindakan pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah, dan
merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Oleh karena itu setiap konstitusi
senantiasa memiliki dua tujuan, yaitu: 1) Untuk memberikan pembatasan dan pengawasan
terhadap kekuasaan politik; 2) Untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para
penguasa serta menetapkan batas-batas kekuasaan bagi penguasa (Utomo, 2007)

Konstitusi merupakan sarana dasar untuk mengawasi proses-proses kekuasaan. Tujuan


dibuatnya konstitusi adalah untuk mengatur jalannya kekuasaan dengan jalan membatasinya
melalui aturan untuk menghindari terjadinya kesewenangan yang dilakukan penguasa
terhadap rakyatnya serta memberikan arahan kepada penguasa untuk mewujudkan tujuan
Negara. Jadi, pada hakikatnya konstitusi Indonesia bertujuan sebagai alat untuk mencapai
tujuan negara dengan berdasarkan kepada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara (Utomo,
2007).

Sedangkan menurut Sri Soemantri (1992) dengan mengutip pendapat Steenbeck


menyatakan bahwa terdapat tiga materi muatan pokok dalam konstitusi yaitu :

1. Jaminan hak asasi manusia.

2. Susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar.

3. Pembagian dan pembatasan kekuasaan.

Selanjutnya dalam paham konstitusi demokratis dijelaskan bahwa isi konstitusi meliputi
(Sri Soemantri, 1992) :

1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum.

2. Jaminan dan perlindungan hak asasi manusia.

3. Peradilan yang bebas dan mandiri.

4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas public) sebagai sendi utama dari asas
kedaulatan rakyat.

Menurut A. A. H. Struycken ruang lingkup konstitusi meliputi:


a. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau
b. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa
c. Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwajibkan, baik waktu sekarang maupun untuk
masa yang akan datang.
d. Suatu keinginan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak
dipimpin.

2.3 Klasifikasi Konstitusi

K. C. Weare mengklasifikasikan konstitusi menjadi 5, yaitu:

a. Konstitusi tertulis dan tidak tertulis


Konstitusi tertulis adalah konstitusi dalam bentuk dokumen yang memiliki
“kesakralan khusus” dalam proses perumusannya. Sedangkan konstitusi tidak tertulis
adalah konstitusi yang lebih berkembang atas dasar adat-istiadat dari pada hukum
tertulis.
b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi kaku yaitu konstitusi yang dapat diubah atau
diamandemen tanpa adanya prosedur khusus disebut dengan konstitusi fleksibel.
Sebaliknya, konstitusi yang mempersyaratkan prosedur khusus untuk perubahan atau
amandemennya adalah konstitusi kaku.
c. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi ialah konstitusi yang
mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara. Sedangkan konstitusi tidak derajat tinggi
ialah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat
tinggi.
d. Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan, bentuk ini berkaitan dengan bentuk negara;
jika negara itu serikat, maka akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara
pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara bagian
e. Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem pemerintahan
parlementer
Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial :
1) Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih
2) Presiden bukan pemegang kekuasaan legislative
3) Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat
memerintahkan diadakan pemilihan.

Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial

1) Kabinet yang dipilih PM dibentuk atau berdasarkan ketentuan yang menguasai


parlemen
2) Para anggota kabinet sebagian atau seluruhnya adalah anggota parlemen

2.4 Sejarah Perkembangan Konstitusi


2.4.1 Perkembangan Konstitusi di Dunia
Konstitusi Romawi dimulai sebagai suatu perpaduan harmonis antara elemen-
elemen monarki, aristokratis, dan demokratis dan berakhir sebagai aristokratis yang
tidak bertanggung jawab. walaupun demikian, tidak dapat dilupakan bahwa hal ini
pasti terjadi seiring dengan perkembangan kekaisaran Romawi yang wilayahnya
sangat luas dengan beraneka ragam suku bangsa dan kepentingan. Kekaisaran
seperti ini menuntut adanya suatu instrumen kekuatan yang cepat dan efisien yang
hanya dapat dipenuhi oleh suatu kedaulatan absolut di satu tangan (C.F Strong;
1996).

Pengaruh abadi konstitusionalisme Romawi dapat dilihat pertama hukum


Romawi (I) berpengaruh besar terhadap sejarah hukum Eropa Kontinental, kedua
kecintaan bangsa Romawi akan ketenteraman dan kesatuan sangat kuat sehingga
orang-orang di abad pertengahan terobsesi dengan gagasan kesatuan politik dunia
untuk menghadapi kekuatan disintegrasi (C.F Strong; 1996)

Pada abad VII (zaman klasik) lahirlah Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah
yang dibentuk pada awal masa Klasik Islam (633 M) merupakan aturan pokok tata
kehidupan bersama di Madinah yang dihuni oleh bermacam kelompok dan golongan:
Yahudi, Kristen, Islam dan lainnya. Konstitusi Madinah berisikan tentang hak bebas
berkeyakinan, kebebasan berpendapat, kewajiban dalam hidup kemasyarakatan, dan
mengatur kepentingan umum dalam kehidupan sosial yang majemuk. Konstitusi ini
merupakan satu bentuk konstitusi pertama di dunia yang telah memuat materi
sebagaimana layaknya konstitusi modern dan telah mendahului konstitusi- konstitusi
lainnya di dalam meletakkan dasar pengakuan terhadap hak asasi manusia (Ubaedillah,
2015).

Piagam Madinah mengandung 47 pasal. Pasal pertama, misalnya, berbunyi


tentang prinsip persatuan dengan pernyataan “innahum ummatan wahidatan min duuni
al-naas” (sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, lain dari (komunitas) manusia
lain). Menurut Ahmad Sukardja, sebagaimana disarikan oleh Jimly Asshidiqie,
terdapat 13 kelompok masyarakat yang secara eksplisit terikat dalam Piagam Madinah.
Pada Pasal 44 ditegaskan bahwa “Mereka (para pendukung piagam) saling bahu-
membahu dalam menghadapi penyerang atas kota mereka yakni Yastrib (Madinah)”.
Pasal 24 yang menjelaskan bahwa “kaum Yahudi memikul biaya bersama kaum
mukminin selama dalam peperangan”. Kebebasan beragama ini juga berlaku bagi
sekutusekutu mereka dan diri mereka sendiri.

Pada paruh kedua abad XVII, kaum bangsawan Inggris yang menang dalam
revolusi istana telah mengakhiri absolutisme kekuasaan raja dan menggantikannya
dengan sistem parlemen sebagai pemegang kedaulatan. Akhir dari revolusi ini adalah
deklarasi kemerdekaan 12 negara koloni Inggris pada 1776, dengan menetapkan
konstitusi sebagai dasar negara yang berdaulat.

Pada 1789 meletus revolusi di Perancis, ditandai oleh ketegangan-ketegangan di


masyarakat dan terganggunya stabilitas keamanan negara. Kekacauan sosial di
Perancis memunculkan perlunya konstitusi. Maka, pada 14 September 1791 dicatat
sebagai peristiwa diterimanya konstitusi Eropa pertama oleh Louis XVI. Sejak
peristiwa inilah sebagian besar negara-negara di dunia, baik monarki maupun republik,
negara kesatuan maupun federal, samasama mendasarkan prinsip ketatanegaraannya
pada sandaran konstitusi. Di Perancis muncul buku karya J. J. Rousseau, Du Contract
Social, yang mengatakan bahwa manusia terlahir dalam keadaan bebas dan sederajat
dalam hak-haknya, sedangkan hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum
(rakyat). Pandangan Rousseau ini sangat menjiwai hak-hak dan kemerdekaan rakyat
(De Declaration des Droit d l’Homme et du Citoyen). Deklarasi inilah yang
mengilhami pembentukan Konstitusi Perancis (1791), khususnya menyangkut hak-hak
asasi manusia. Maka muncul konstitusi dalam bentuk tertulis yang dipelopori oleh
Amerika (Rosmawan, 2011).

Konstitusi tertulis model Amerika tersebut kemudian diikuti oleh berbagai negara
di Eropa, seperti Spanyol (1812), Norwegia (1814), dan Belanda (18155). Hal yang
perlu dicatat adalah bahwa pada waktu itu belum menjadi hukum dasar yang penting.
Sebagai UUD, atau sering disebut dengan “Konstitusi Modern” baru muncul
bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi perwakilan. Demokrasi
perwakilan muncul sebagai pemenuhan kebutuhan rakyat akan lembaga perwakilan
(legislatif). Lembaga ini dibutuhkan sebagai pembuat undang-undang untuk
mengurangi dan membatasi dominasi para raja. Alasan inilah yang menempatkan
konstitusi tertulis sebagai hukum dasar yang posisinya lebih tinggi daripada raja
(Rosmawan, 2011).

2.4.2 Lahirnya Konstitusi di Indonesia


Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan
Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Undang-undang Dasar 1945 dirancang sejak 29
Mei 1945 sampai 16 Juli 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dikenal dengan Dokuritsu Junbi Chosakai
yang beranggotakan 62 orang, diketuai oleh Mr. Radjiman

Wedyodiningrat. Tugas pokok badan ini adalah menyusun rancangan Undang-


undang Dasar. Namun dalam praktik persidangannya berjalan berkepanjangan
khususnya pada saat membahas dasar negara (Rosmawan, 2011).

Di akhir sidang I, BPUPKI membentuk panitia kecil yang disebut dengan Panitia
Sembilan. Pada 22 Juni 1945 panitia ini berhasil mencapai kompromi untuk
menyetujui sebuah naskah mukadimah UUD. Hasil Panitia Sembilan ini kemudian
diterima dalam siding II BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Soekarno membentuk panitia
kecil pada tanggal 16 Juli 1945 yang diketuai oleh Soepomo dengan tugas menyusun
rancangan Undang-undang Dasar dan membentuk panitia untuk mempersiapkan
kemerdekaan, yaitu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Rosmawan,
2011).
Konstitusi Negara Republik Indonesia atau Undang-undang Dasar disahkan dan
ditetapkan oleh PPKI pada hari Sabtu tanggal 18 Agustus 1945. Sejak itu Indonesia
telah menjadi suatu negara modern karena telah memiliki suatu sistem ketatanegaraan,
yaitu Undang-undang Dasar yang memuat tata kerja konstitusi modern. Istilah
Undang-undang Dasar 1945 yang memakai angka “1945” di belakang sebagaimana
dijelaskan oleh Dahlan Thaib, yaitu pada awal bulan tahun 1959 ketika tanggal 19
Februari 1959 Kabinet Karya mengambil kesimpulan dengan suara bulat mengenai
“pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945”
(Rosmawan, 2011).

Perjalanan sejarah konstitusi Indonesia antara lain (Ubaedillah, 2015:114):


1. Undang-undang Dasar 1945 yang masa berlakunya sejak 18 Agustus 1945-27
Desember 1949.
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat – lazim dikenal dengan sebutan konstitusi
RIS – dengan masa berlakunya 27 Desember 1949-17 Agustus 1950.
3. Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia 1950 yang masa
berlakunya sejak 17 Agustus 1950-5 Juli 1959.
4. Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan pemberlakuan kembali konstitusi
pertama Indonesia dengan masa berlakunya sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959
hingga sekarang.

2.5 Perubahan Konstitusi di Indonesia


Konstitusi mengalami dua model peruahan, yaitu renewal (pembaruan) dan amandemen
(perubahan). Renewal adalah sistem perubahan konstitusi dengan model perubahan
konstitusi secara keseluruhan, sehingga yang diberlakukan adalah konstitusi yang baru
secara keseluruhan. Amandemen adalah perubahan konstitusi yang apabila suatu konstitusi
diubah, konstitusi yang asli tetap berlaku. Amandemen tidak terjadi secara keseluruhan
bagian dalam konstitusi asli sehingga hasil amandemen tersebut merupakan bagian atau
lampiran yang menyertai konstitusi awal (Ubaedillah, 2015).

Menurut Budiardjo yang dikutip Ubaedillah (2015), ada empat macam prosedur dalam
perubahan konstitusi, baik dalam model renewal (pembaruan) dan amandemen, yaitu :
1. Sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat ditetapkan
kuorum untuk sidang yang membicarakan usul perubahan Undang-undang Dasar dan
jumlah minimum anggota badan legislatif atau menerimanya.
2. Referendum, pengambilan keputusan dengan cara menerima atau menolak usulan
perubahan masing-masing.
3. Negara-negara bagian dalam negara federal (misalnya, Amerika Serikat, tiga perempat
dari 50 negara-negara bagian harus menyetujui).
4. Perubahan yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lembaga
khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Dalam perubahan keempat UUD 1945 diatur tentang tata cara perubahan undang-undang.
Bersandar pada Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa:
1. Usul perubahan pasal-pasal Undang-undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari
jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-undang Dasar diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
3. Untuk mengubah pasal-pasal Undang-undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan

2
Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya dari jumlah anggota Majelis
3
Permusyawaratan Rakyat.
4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-undang Dasar dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Wacana perubahan UUD 1945 mulai mengemuka seiring dengan perkembangan politik
pasca Orde Baru. Sebagian kalangan menghendaki perubahan total UUD 1945 dengan cara
membentuk konstitusi baru. UUD 1945 dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan
politik dan ketatanegaraan Indonesia, sehingga dibutuhkan konstitusi baru sebagai pengganti
UUD 1945. Kelompok lain berpendapat bahwa UUD 1945 masih relevan dengan
perkembangan politik Indonesia. Pendapat kelompok yang terakhir ini didasarkan pada
pandangan bahwa dalam UUD 1945 terdapat Pembukaan yang jika UUD 1945 diubah akan
berakibat pada perubahan konsensus politik. Perubahan UUD 1945 akan juga berakibat pada
pembubaran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Ubaedillah, 2015).

Sejak Proklamasi 1945, telah menjadi perubahan-perubahan atas UUD negara Indonesia,
yaitu (Ubaedillah, 2015):

1. Undang-undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945- 27 Desember 1949).


2. Konstistusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949-17 Agustus 1950).
3. Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli
1959).
4. Undang-undang Dasar 1945 (5 Juli 1959-19 Oktober 1999).
5. Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I (19 Oktober 1999-18 Agustus 2000).
6. Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I dan II (18 Agustus 2000-9 November
2001).
7. Undang-undang Dasar dan Perubahan I, II, dan III (9 November 2001-10 Agustus 2002).
8. Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I, II, III, dan IV (10 Agustus 2002).

2.6 Lembaga Kenegaraan setelah Amandemen UUD 1945


Setelah berakhirnya masa Orde Baru pada 1998, telah terjadi empat kali perubahan
(amandemen) atas UUD 1945 yaitu Perubahan Pertama pada 1999, Perubahan Kedua pada
2000, Perubahan Ketiga pada 2002, dan Perubahan Keempat pada 2002. Menurut pakar tata
negara Jimly Asshiddiqie, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-
besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Perubahan
Pertama atas UUD 1945 pada 19 Oktober 1999 merupakan tonggak sejarah yang berhasil
mematahkan semangat konservatisme dan romantisme pada sebagian kalangan masyarakat
Indonesia yang beranggapan sangat mensakralkan UUD 1945 sebagai sesuatu yang tidak
bisa disentuh sama sekali oleh ide-ide perubahan (Ubaedillah, 2015).

Perubahan Kedua pada UUD 1945 berfokus pada penataan ulang keanggotaan, fungsi,
hak, maupun cara pengisiannya. Perubahan Ketiga UUD 1945 menitikberatkan pada
penataan ulang kedudukan dan kekuasaan MPR, jabatan presiden yang berkaitan dengan tata
cara pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, pembentukan lembaga negara
baru yang meliputi Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan
Komisi Yudisial (KY), serta aturan tambahan untuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup materi tentang keanggotaan MPR, pemilihan
presiden dan wakil presiden berhalangan tetap, serta kewenangan presiden (Ubaedillah,
2015).

Dalam konteks perubahan UUD terdapat lima unsur penting yang disepakati oleh panitia
perubahan UUD 1945, yaitu (Ubaedillah, 2015):

1. Tidak melakukan perubahan atas Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang meliputi
sistematika, aspek kesejarahan, dan orisinalitasnya.
2. Tetap mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3. Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.
4. Meniadakan penjelasan UUD 1945 dan hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan
dalam pasal-pasal.
5. Perubahan dilakukan dengan cara penambahan (addendum).

Sebelum perubahan UUD 1945, alat-alat kelengkapan negara dalam UUD 1945 adalah
Lembaga Kepresidenan, MPR, DPA, DPR, BPK, dan Kekuasaan Kehakiman. Setelah
amandemen secara keseluruhan terhadap UUD 1945, alat kelengkapan negara yang disebut
dengan lembaga tinggi negara menjadi delapan lembaga, yakni MPR, DPR, DPD, Presiden,
MA, MK, KY, dan BPK (Ubaedillah, 2015).

2.6.1 Lembaga Legislatif

a. MPR
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan lembaga pelaksana
kedaulatan rakyat oleh karena anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
adalah para wakil rakyat yang berasal dari pemilihan umum. MPR bukan pelaksana
sepenuhnya kedaulatan rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD
1945 ,perubahan ketiga bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut undang-undang dasar. Ketentuan mengenai MPR tertuang dalam Pasal 2
Ayat (1) UUD 1945
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan
diatur lebih lanjut dengan undang-undang. MPR mempunyai tugas dan wewenang,
yaitu:

1. Mengubah dan menetapkan undang-undang dasar;


2. Melantik presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil pemilihan umum, dalam
sidang paripurna MPR;
3. Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk
memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya
setelah presiden dan atau wakil presiden diberi kesempatan untuk
menyampaikan penjelasan di dalam sidang paripurna MPR,
4. Melantik wakil presiden menjadi presiden apabila presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa
jabatannya;
5. Memilih wakil presiden dari dua.calon yang diajukan presiden apabila terjadi
kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya
dalam waktu enam puluh hari;
6. Memilih presiden dan wakil presiden apabila keduanya berhenti secara
bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon presiden dan wakil
presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
paket calon presiden dan waki1 presidennya meraih suara terbanyak pertama dan
kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-
lambatnya dalam waktu tiga puluh hari.
7. Menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik MPR.
b. DPD
DPD merupakan lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Berdasarkan Perubahan Ketiga UUD 1945, gagasan pembentukan DPD dalam
rangka restrukturisasi parlemen di Indonesia. DPR dimaksudkan untuk mewakili
rakyat, sedangkan DPD dimaksudkan untuk mewakili daerah-daerah. DPD adalah
lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang merupakan
wakil-wakil daerah provinsi dan dipilih melalui pemilihan umum yang memiliki
fungsi (Ubaedillah, 2015) :

a. Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang


berkaitan dengan bidang legislasi tertentu.
b. Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.

c. DPR

DPR adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia


yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentuk
undang-undang. DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Terkait dengan fungsi legislasi, DPR memiliki tugas dan wewenang:


a. Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
b. Menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU)
c. Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah; hubungan
pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah)
d. Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD
e. Menetapkan UU bersama dengan Presiden
f. Menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU (yang
diajukan Presiden) untuk ditetapkan menjadi UU

Terkait dengan fungsi anggaran, DPR memiliki tugas dan wewenang:


a. Memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN (yang diajukan Presiden)
b. Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait
pajak, pendidikan dan agama
c. Menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara yang disampaikan oleh BPK
d. Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara maupun
terhadap perjanjian yang berdampak luas bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara

Terkait dengan fungsi pengawasan, DPR memiliki tugas dan wewenang:


a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan
pemerintah
b. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD
(terkait pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran
dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan dan agama)

Tugas dan wewenang DPR lainnya, antara lain:

a. Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat


b. Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk:
(1) menyatakan perang ataupun membuat perdamaian dengan Negara lain;
(2) mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial.
c. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal:
(1) pemberian amnesti dan abolisi;
(2) mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar lain

d. Memilih Anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD


e. Memberikan persetujuan kepada Komisi Yudisial terkait calon hakim agung
yang akan ditetapkan menjadi hakim agung oleh Presiden
f. Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk selanjutnya diajukan ke
Presiden

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan fungsi


pengawasan, DPR memiliki 3 hak, yakni:
1. Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah
mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap
pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
3. Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
a. Kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di
tanah air atau di dunia internasional;
b. Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau
c. Dugaan bahwa Presiden atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran
hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, Presiden atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden.

2.6.2 Lembaga Eksekutif


Lembaga eksekutif terdiri dari kepala negara seperti raja, perdana menteri, atau
presiden, beserta menteri-menterinya. Dalam sistem presidensial, menteri-menteri
merupakan pembantu presiden dan langsung dipimpin olehnya, sedangkan dalam
sistem parlementer para menteri dipimpin oleh seorang perdana menteri. Tugas utama
lembaga eksekutif adalah menjalankan undang-undang. Kekuasaan eksekutif
mencakup beberapa bidang (Ubaedillah, 2015):

a. Diplomatik, yakni menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara


lain.
b. Administratif, yakni melaksanakan undang-undang serta peraturan-peraturan lain
dan menyelenggarakan administrasi negara.
c. Militer, yakni mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang, serta
keamanan dan pertahanan negara.
d. Yudikatif, yakni memberi grasi, amnesti, dan sebagainya.
e. Legislatif, yakni membuat rancangan undang-undang yang diajukan ke lembaga
legislatif, dan membuat peraturan-peraturan.
Pada UUD 1945 kekuasaan eksekutif dilakukan oleh presiden yang dibantu oleh
wakil presiden yang dalam menjalankan kewajiban negara, seperti yang tercantum
dalam Pasal 1. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menurut Perubahan
Ketiga UUD 1945 Pasal 6A, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat. Sebelum amandemen UUD 1945, presiden dipilih oleh
MPR. Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Presiden dibantu oleh
menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan
tugas-tugas pemerintahan sehari-hari. Dengan adanya perubahan (amandemen) UUD
1945 pasca-Orde Baru, presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan
kedudukan antara presiden dan MPR adalah setara (Ubaedillah, 2015).
Adapun wewenang, kewajiban, dan hak presiden antara lain (Ubaedillah, 2015):
1. Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD.
2. Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara.
3. Mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Presiden melakukan
pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta
mengesahkan RUU menjadi UU.
4. Menetapkan peraturan pemerintah.
5. Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri.
6. Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR.
7. Mengangkat dua dan konsul serta menerima penempatan duta negara lain dengan
memerhatikan pertimbangan DPR.
8. Memberi grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi.
9. Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya yang diatur dengan UU.

2.6.3 Lembaga Yudikatif


UUD 1945 yang telah diamendemen juga mengintroduksi suatu lembaga baru
yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan
peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam
hukum dan dalam mencari keadilan (Ubaedillah, 2015).

a. Mahkamah Agung (MA)


Mahkamah Agung (MA) adalah salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Sesuai dengan UUD 1945 (Perubahan Ketiga), kekuasaan kehakiman di Indonesia
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Menurut Undang-
undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA antara lain (Ubaedillah, 2015):

a. Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-


undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undangundang.
b. Mengajukan tiga orang anggota hakim konstitusi.
c. Memberikan pertimbangan dalam hal presiden memberi grasi dan rehabilitasi.

b. Mahkamah Konstitusi (MK)


Makhamah Konstitusi merupakan lembaga baru yang diperkenalkan oleh
Perubahan Ketiga UUD 1945. Salah satu landasan yang melahirkan lembaga ini
karena sudah tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. Menurut Undang-undang
Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK antara lain (Ubaedillah, 2015):

a. Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya


bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutuskan
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
b. Memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD 1945.
c. Komisi Yudisial (KY)

Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam
pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan
lainnya. Dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar warga masyarakat di luar
struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan,
penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka
mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Yudisial melakukan pengawasan terhadap
(Ubaedillah, 2015):

a. Hakim agung di Mahkamah Agung.


b. Hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung seperti Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, dan badan peradilan lainnya.
c. Hakim Mahkamah Konstitusi.

d. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga negara Indonesia yang memiliki


wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri. BPK
memiliki tugas dan wewenang yang sangat strategis karena menyangkut aspek
yang berkaitan dengan sumber dan penggunaan anggaran serta keuangan negara,
yaitu (Ubaedillah, 2015):

a. Memeriksa tanggung jawab keuangan negara dan memberitahukan hasil


pemeriksaan kepada DPR, DPRD, dan DPD.
b. Memeriksa semua pelaksanaan APBN.
c. Memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara.

BPK memiliki tiga fungsi pokok, yakni:


a. Fungsi operatif, yaitu melakukan pemeriksaan, pengawasan, dan penelitian atas
penguasaan dan pengurusan keuangan negara.
b. Fungsi yudikatif, yaitu melakukan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti
rugi terhadap pegawai negeri yang perbuatannya melanggar hukum atau
melalaikan kewajibannya, serta menimbulkan kerugian bagi negara.
c. Fungsi rekomendatif, yaitu memberikan pertimbangan kepada pemerintah
tentang pengurusan keuangan negara.
2.7 Pelanggaran Konstitusi di Indonesia
Pelanggaran konstitusi sudah ada sejak masa pemerintahan orde lama jadi pelanggaran
kosntitusi tersebut bukanlah hal yang baru terjadi, berikut beberapa masalah konstitusi
dalam masa orde lama;

1. Adanya penyimpangan ideologis, yaitu penerapan konsep Nasionalis, Agama dan


Komunis (Nasakom).
2. Pemusatan kekuasaan pada presiden sehingga kewenangannya melebihi ketentuan yang
diatur UUD 1945. Misalnya, pembentukan Penetapan Presiden (Penpres) yang setingkat
dengan Undang-undang.
3. MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup
4. Presiden membubarkan DPR hasil pemilu tahun 1955 dan membentuk DPR-GR tanpa
melalui pemilu.
5. Adanya jabatan rangkap yaitu Pimpinan MPRS dan DPR dijadikan menteri negara,
sehingga berkedudukan sebagai pembantu presiden.
6. Negara Indonesia masuk dalam salah satu poros kekuasaan dunia yaitu poros Moskwa-
Peking sehingga bertentangan dengan politik bebas aktif.

Setelah di revisi dan memasuki masa orde baru, pemerintah masi saja melakukan
penyelewengan konstitusi yang diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Perubahan kekuasaan yang statis.


2. Perekrutan politik yang tertutup.
3. Pemilihan umum yang kurang demokratis.
4. Kurangnya jaminan hak asasi manusia.
5. Salah satu ciri dari negara yang menganut paham demokrasi adalah adanya
pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam pemerintahan Orde Baru,
dirasakan penghormatan dan perlindungan HAM masih kurang diperhatikan.
6. Presiden mengontrol perekrutan organisasi politik.
7. Pengisian jabatan ketua umum partai politik harus mendapat persetujuan dari
presiden. Seharusnya pemilihan ketua umum partai diserahkan kepada kader partai
bersangkutan.
8. Presiden memiliki sumber daya keuangan yang sangat besar.
9. Dwi fungsi ABRI.

Serta pelanggaran-pelanggaran konstitusi pada masa reformasi meliputi :

1. Belum terlaksananya kebijakan pemerintahan Habibie karena pembuatan Perudang-


undangan menunjukkan secara tergesa-gesa, sekalipun perekonomian menunjukkan
perbaikan dibandingkan saat jatuhnya Presiden Soeharto.
2. Kasus pembubaran Departemen Sosial dan Departemen Penerangan pada masa
pemerintahan Abdurachman Wahid, menciptakan persoalan baru bagi rakyat banyak
karena tidak dipikirkan penggantinya.
3. Ada perseteruan antara DPR dan Presiden Abdurachman Wahid yang berlanjut dengan
Memorandum I dan II berkaitan dengan kasus “Brunei Gate” dan “Bulog Gate”,
kemudian MPR memberhentikan presiden karena dianggap melanggar haluan negara.
4. Baik pada masa pemerintahan Abdurachman Wahid maupun Megawati, belum
terselesaikan masalah konflik Aceh, Maluku, Papua, Kalimantan Tengah dan ancaman
disintegrasi lainnya.
5. Belum maksimalnya penyelesaian masalah pemberantasan KKN, kasus-kasus
pelanggaran HAM, terorisme, reformasi birokrasi, pengangguran, pemulihan investasi,
kredibilitas aparatur negara, utang domestik, kesehatan dan pendidikan serta kerukunan
beragama.

2.8 Tata Urutan Perundang-Undangan di Indonesia


Di awal 1966, melalui Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 Lampiran 2, disebutkan
bahwa hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai berikut (Ubaedillah,
2015):

1. Undang-undang Dasar 1945


2. Ketetapan MPR
3. Undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
4. Peraturan pemerintah.
5. Keputusan presiden.
6. Peraturan-peraturan pelaksanaannya, seperti:
a. Peraturan menteri
b. Instruksi menteri
Berdasarkan Ketetapan MPR No. III Tahun 2000, tata urutan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia sebagai berikut (Ubaedillah, 2015):

1. Undang-undang Dasar 1945.


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Undang-undang.
4. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
5. Peraturan pemerintah.
6. Keputusan presiden.
7. Peraturan daerah.

Dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


(PPP), yang berlaku secara efektif pada November 2004. Tata urutan peraturan
perundangundangan dalam UU PP ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 sebagai berikut
(Ubaedillah, 2015):

1. Undang-undang Dasar 1945.


2. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
3. Peraturan pemerintah.
4. Peraturan presiden.
5. Peraturan daerah yang meliputi:
a. Peraturan daerah provinsi
b. Peraturan daerah kabupaten/kota
c. Peraturan desa.

DAFTAR PUSTAKA

Strong, C.F. 2012. Modern Political Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of
Their History and Eisting Form (Konstitusi-Konstitusi Politik Modern; Study
Perbandingan Tentang Sejarah Dan Bentuk). ed. Penerjemah Derta Sri Widowatie.
Bandung: Nusamedia.

Hamidi, Jazim, and Malik. 2008. Hukum Perbandingan Konstitusi. Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher.

Radjab, Dasril. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Riyanto, Astim. 2000. Teori Konstitusi. Bandung: Yapemdo.

Rosmawan, Wawan. 2011. “Sejarah Perkembangan Konstitusionalisme Dunia Dan Indonesia


(Tinjauan Perbandingan).” https://docplayer.info/59208693-Sejarah-
perkembangankonstitusionalisme-dunia-dan-indonesia-tinjauan-perbandingan-oleh-
wawan-rosmawans-h-c-l-a.html. Diakses pada 16 April 2020.

Soemantri, Sri. 1992. Bunga Rampai Hukum Tata Negara. Bandung: Alumni.

Ubaedillah, A. 2015. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) : Pancasila, Demokrasi,


Dan Pencegahan Korupsi. Jakarta: Prenada Media Group.

Utomo, A. Himawan. 2007. “Konstitusi”, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan


Kewarganegaran. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai