Anda di halaman 1dari 48

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh


SWT yang tak henti-hentinya memberikan nikmat kepada kita sehingga
selalu terbuka jalan untuk kita meraih apa yang kita cita-citakan. Shalawat
serta salam tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW sebagai teladan
dan guru besar kita dalam menapaki kehidupan dunia.
Meski dengan berbagai keterbatasan, Alhamdulillah Modul
Praktikum Farmakologi bagi mahasiswa Program Studi S1 Farmasi
Fakultas MIPA Universitas Garut ini dapat diterbitkan dengan baik.
Modul ini hanyalah merupakan rangkuman dari beberapa buku acuan dan
contoh-contoh modul Farmakologi lainnya, dengan maksud agar lebih
sistematis dan mudah dipahami. Hendaknya tidak dijadikan sebagai
referensi standar dalam pembuatan laporan/karya ilmiah karena terdapat
banyak keterbatasan dan kekurangan dalam penulisannya. Untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan buku ini.

Garut, Februari 2019


Penyusun,

Atun Qowiyyah, M.Si., Apt.


Doni Anshar Nuari, M.Si., Apt
Genialita Fadhila M.Si.,Apt.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
PERCOBAAN I...................................................................................................1
PERCOBAAN II................................................................................................21
PERCOBAAN III...............................................................................................41
PERCOBAAN IV...............................................................................................47
PERCOBAAN V................................................................................................51
PERCOBAAN VI...............................................................................................54
PERCOBAAN VII.............................................................................................58
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................62

ii
PERCOBAAN I

PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN DAN

CARA PEMBERIAN OBAT

Pendahuluan
Dalam bidang farmakologi, hewan mempunyai peranan sangat
penting dalam proses penentuan khasiat dan keamanan obat atau bahan
obat. Pengujian khasiat dan keamanan suatu obat atau bahan obat
umumnya dilakukan terhadap hewan percobaan, dan hasil pengujian
tersebut digunakan sebagai dasar dalam penetapan proses pengujian
selanjutnya.
Dalam percobaan/ penelitian farmakologi, hewan harus
diperlakukan sebaik-baiknya, dan perlakuan yang tidak wajar terhadap
hewan percobaan dapat menimbulkan penyimpangan-penyimpangan
dalam hasil percobaan. Untuk itu, sifat-sifat khusus setiap jenis hewan
percobaan perlu diketahui dan diperhatikan. Di samping itu, faktor-faktor
lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan dan cara
pemberian obat perlu dipelajari dengan sebaik-baiknya.

Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Dapat memperlakukan dan menangani hewan percobaan, seperti
mencit, tikus, kelinci dan marmot, untuk percobaan farmakologi
dengan baik.
2. Mempunyai keterampilan dalam melakukan pemberian obat.

1
Teori
Dalam praktikum farmakologi, hewan percobaan yang biasa
digunakan adalah mencit, tikus, kelinci dan marmot. Setiap jenis hewan
tersebut mempunyai karakteristik masing-masing.

Karakteristik beberapa hewan percobaan


1. Mencit
 Penakut dan fotofobik
 Cenderung sembunyi dan berkumpul dengan sesamanya
 Mudah ditangani
 Lebih aktif pada malam hari
 Aktivitas terganggu dengan adanya manusia
 Suhu normal badan 37,40C
 Laju respirasi : 163 / menit
2. Tikus
 Sangat cerdas
 Mudah ditangani
 Tidak begitu bersifat fotofobik
 Lebih resisten terhadap infeksi
 Kecenderungan berkumpul dengan seksama sangat kurang
 Jika makanan kurang atau diperlakukan secara kasar akan
menjadi liar, galak dan menyerang si pemegang
 Suhu normal badan 37,50C
 Laju respirasi 210 / menit

2
3. Kelinci
 Jarang bersuara kecuali bila merasa nyeri
 Jika merasa tak aman akan berontak
 Suhu rektal umumnya 38 – 39,50C
 Suhu berubah jika mengalami gangguan lingkungan
 Laju respirasi 38 – 65 / menit, umumnya 50 / menit pada kelinci
dewasa normal.
4. Marmot
 Jinak, mudah ditangani, dan jarang menggigit
 Kulit halus dan berkilat
 Bulu tebal dan kuat tapi tidak kasar
 Laju denyut jantung 150 – 160 / menit
 Laju respirasi 110 – 150 / menit
 Suhu rektal 39 – 400C

Volume pemberian obat pada hewan percobaan


Volume cairan yang diberikan pada setiap jenis hewan percobaan
tidak boleh melebihi batas maksimal yang telah ditetapkan, seperti yang
ditunjukkan pada tabel 1.1.
Tabel 1.1. volume maksimum cairan yang boleh diberikan pada hewan
percobaan
Hewan Volume maksimal (ml) untuk rute pemberian
Percobaan iv lm ip Sc Po
Mencit 0,5 0,05 1 0,5 1
Tikus 1 0,1 3 2 5
Kelinci 5-10 0,5 10 3 20
Marmot 2 0,2 3 3 10

3
(Sumber : M. Boucard, et al, Pharmacodinamics, Guide de Travaux
Pratiques, 1981-1982)
Senyawa yang tidak larut dalam air atau NaCl fis. Dibuat dalam bentuk
suspensi dalam gom arab dan diberikan secara oral.

Aplikasi dosis pada spesies lain


Untuk memperoleh efek farmakologis yang sama dari suatu obat
pada setiap spesies hewan percobaan, diperlukan data mengenai
penggunaan dosis secara kuantitatif. Hal ini sangat diperlukan bila obat
tersebut akan diplikasikan pada manusia, dan pendekatan terbaik adalah
menggunakan perbandingan luas permukaan tubuh. Pada Tabel 1.2
ditunjukkan pola perbandingan luas permukaannya untuk beberapa
spesies hewan percobaan yang sering digunakan.

4
Tabel 1.2. Perbandingan Luas Permukaan Tubuh Hewan Percobaan untuk
Konversi Dosis
20 g 200 g 400 g 1,5 g 2 kg 4 kg 12 kg 70 kg
Mencit Tikus Marmot Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia
20 g
Mencit 1,0 7,0 12,29 27,8 23,7 64,1 124,2 387,9
200 g
Tikus 0,14 1,0 1,74 3,3 4,2 9,2 17,8 56,0
400 g
Marmot 0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
1,5 kg
Kelinci 0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2
2 kg
Kucing 0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0
4 kg
Kera 0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
12 kg
Anjing 0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
70 kg
Manusia 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,13 0,16 0,32 1,0

(Sumber : Laurence, D.R. and Bacharach, A.L., Evalution of Drug


Activities : Pharmacometris, 1964)

Cara menggunakan tabel :


Bila diinginkan dosis absolut pada manusia 70 kg dari data dosis
pada anjing 10 mg/kg (untuk anjing dengan bobot badan 12 kg), maka

5
dihitung terlebih dahulu dosis absolut pada anjing, yakni (10 × 12) = 120
mg. Dengan mengambil faktor konversi 3,1 dari tabel 1.2, diperoleh dosis
untuk manusia sebesar (120 × 3,1) = 372 mg. Dengan demikian dapat
diramalkan efek farmakologis suatu obat pada manusia dengan dosis 371 /
70 kg BB adalah sama dengan yang timbul pada anjing dengan dosis 120 /
12 kg BB dari obat yang sama.

Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan


1. Faktor Internal
 Variasi biologik (usia, jenis kelamin)
 Ras dan sifat genetik
 Status kesehatan dan nutrisi
 Bobot tubuh
 Luas permukaan tubuh

2. Faktor Ekternal
 Suplai oksogen
 Pemelihara lingkungan fisiologik dan isoosmosis
 Pemeliharaan keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan atau
organ untuk percobaan

3. Faktor lainnya
 Keadaan kandang
 Suasana asing atau baru
 Pengalaman hewan dalam penerimaan obat
 Keadaan ruangan tempat hidup (suhu, kelembaban, ventilasi,
cahaya, kebisingan)

6
 Penempatan hewan

Penanganan Hewan dan Cara Pemberian Obat


Bahan : Air atau NaCl fisiologis
Hewan : mencit, tikus, kelinci, dan marmot
Alat : Sonde oral, alat suntik 1 ml
Prosedur
1. Mencit
1.1. Cara Perlakuan
 Mencit diangkat ujung ekornya dengan tangan kanan,
letakkan pada suatu tempat yang permukaannya tidak licin,
misalnya kasa atau rara kawat, sehingga kalu ditarik
mencit akan mencengkram, seperti terlihat pada gambar
1.1.

Gambar 1.1

 Telunjuk dan ibu jari tangan kiri menjepit kulit tengkuk


sedangkan ekornya tetap dipegang dengan tangan kanan.

7
Kemudian posisi tubuh mencit dibalikkan sehingga
permukaan perut menghadap kita dan ekor dijepitkan
antara jari manis dan kelingking tangan kiri, seperti terlihat
pada gambar 1.2 dan 1.3.

Gambar 1.2 Gambar 1.3

1.2. Cara pemberian obat


 Oral : cairan obat diberikan dengan
menggunakan sonde oral.
Sonde oral ditempelka pada langit-
langit atas mulut mencit, kemudian
masukkan perlahan-lahan sampai ke
esofagus, dan cairan obat dimasukkan.
 Subkutan : Kulit didaerah tengkutk diangkat dan
kebagian bawah kulit dimasukkan obat
dengan menggunakan alat sunti 1 ml.
 Intravena : Mencit dimasukkan ke dalam alat
pemegang (dari kawat atau bahan lain)

8
dengan ekornya menjulur keluar. Ekor
dicelupkan ke dalam air hangat agar
pembuluh vena ekor mengalami
dilatasi, sehingga memudahkan
pemberian obat ke dalam pembuluh
vena. Pemberian obat dilakukan
dengan menggunakan jarum suntik
No. 24.
 Intramuskular : Obat disuntikkan pada paha posterior
dengan jarum No. 24.
 Intraperitoneal : Mencit dipegang dengan cara seperti
pada gambar 1.3. pada saat
penyuntikkan, posisi kepala lebih
rendah dari abdomen. Jarum
disuntikkan dengan sudut sekitar 100
dari abdomen pada daerah yang sedikit
menepi dari garis tengah, agar jarum
untik tidak mengenai kandung kemih.
penyuntikan juga jangan di daerah
yang terlalu tinggi untuk menghindari
terjadinya penyuntikkan pada hati.

Volume penyuntikkan untukVolume penyuntikkan untuk


mencit umumnya 1 ml/100 g berat badan. Kepekatan larutan

9
obat yang disuntikkan disesuaikan dengan volume yang adapat
disuntikkan tersebut.

1.3. Cara anestesi


Senyawa-senyawa yang dapat digunakan untuk anastesi mencit
adalah :
a. Eter dan karbondioksida
Eter dan karbondioksida digunakan untuk anestesi singkat.
Caranya adalah dengan meletakkan obat dalam suatu
wadah, kemudian hewan dimasukkan dan wadah ditutup.
Bila hewan sudah kehilangan kesadaran, hewan
dikeluarkan dan siapdibedah. Penambahan selanjutnya bisa
diberikan dengan bantuan kapas yang dibasahi dengan obat
tersebut.

b. Halotan
Obat ini digunakan untuk anestesi yang lebih lama.

c. Pentobarbital natrium dan heksobarbital natrium


Dosis pentobarbital natrium adalah 45 – 60 mg / kg untuk
pemberian intraperitoneal, dan 35 mg / kg untuk cara
pemberian intravena. Dosis heksobarbital natrium adalah

75 mg / kg untuk intraperitoneal dan 47 mg / kg untuk


pemberian intravena.

10
d. Uretan (etil karbamat)
Uretan diberikan pada dosis 1000 – 1250 mg / kg secara
intarperitoneal dalam bentuk larutan 25% dalam air.

1.4. Cara mengorbankan


 Cara kimia : Dengan pemberian eter,
karbondioksiada, atau pentobarbital-Na
pada dosis yang dapat mematikan.
 Cara fisik : Dengan dislokasi leher (Gambar 1.4)

Mencit dipegang ekornya, dan kemudian ditempatkan pada


permukaan yang bisa dijangkaunya. Dengan demikian ia akan
merengangkan badannya. Pada tengkuknya kemudian
ditempatkan suatu penahan, misalnya pinsil yang dipegang
dengan tangan kiri. Tangan kanan menarik ekornya dengan
keras, sehingga lehernya akan terdislokasi dan mencit akan
terbunuh.

11
Gambar 1.4

2. Tikus
2.1. Cara perlakuan
Tikus dapat perlakuan sama seperti mencit, tetapi bagian ekor
yang dipegang sebaiknya pada bagian pangkal ekor dan
pegangannya pada bagian tengkuk bukan dengan memegang
kulitnya, seperti terlihat pada gambar 1.5 dan 1.6. Cara
memegang tikus adalah sebagai berikut. Tikus diangkat dengan
memegang ekornya dari belakang dan kemudian diletakkan
diatas permukaan kasar. Tangan kiri diluncurkan perlahan-
lahan dari belakang tubuhnya menuju kepala. Ibu jari dan
telunjuk diselipkan ke depan dan kaki kanan depan dijepit
diantara kedua jari tersebut.

12
Gambar 1.5 Gambar 1.6

2.2. Cara pemberian obat


Pemberian secara oral, intravena, intramuskular, dan
intraperitoneal dapat dilakukan dengan cara yang sama seperti
pada mencit. Pemberian secara subkutan dapat dilakukan
dibawah kulit tengkuk atau kulit abdomen. Volume
penyuntikan paling baik untuk tikus adlah 0,2 – 0,3 ml/100
gram bobot badan.

2.3. Cara anestesi


Senyawa anestetika yang digunakan dan cara melakukan
anestesi pada tikus umumnya sama seperti pada mencit.

2.4. Cara mengorbankan


 Cara kimia : Dengan pemberian eter,
karbondioksida, atau pentobarbital-Na
pada dosis yang dapat mematikan.

 Cara fisik :

13
Letakkan tikus diatas sehelai kain, kemudian bungkuslah
badan tikus termasuk kedua kaki depannya. Bunuhlah
dengan salah satu cara berikut :
a. Pukullah bagian belakang telinganya dengan tongkat
b. Peganglah tikus dengan perutnya menghadap ke atas,
kemudian pukulkan bagian belakang kepalanya pada
permukaan yang keras seperti meja atau permukaan
logam dengan keras.

3. Kelinci
3.1. Cara perlakuan
Kelinci harus diperlakukan dengan halus tetapi sigap, karena ia
kadag-kadang berontak. Untuk menangkap atau
memperlakukan kelinci jangan dengan mengangkat telinganya,
tetapi dengan cara memegang kulit lehernya dengan tangan
kiri, kemudian pantatnya diangkat dengan tangan kanan dan
didekapkan ke dekat tubuh seperti pada gambar 1.7 dan 1.8.

Gambar 1.7 Gambar 1.8


3.2. Cara pemberian obat

14
 Oral : Pemberian obat dengan cara oral pada
kelinciumumnya jarang dilakukan,
tetapi bila dilakukan biasanya
digunakan alat penahan rahang dan
pipa lambung.
 Subkutan : Pemberian subkutan dapat dilakukan
pada sisi sebelah pinggang atau
tengkuk. Caranya angkat kulit dan
tusukkan jarum (No. 15) dengan arah
anterior.
 Intravena : Penyuntikkan dilakukan pada vena
marginalis di daerah dekat ujung
telinga seperti terlihat pada gambar
1.9. sebelum penyuntikan, telinga
dibasahi terlebih dahulu dengan
alkohol atau air hangat, dan bila perlu
bulunya dicukur, terutama bagi
kelinci yang berwarna gelap.
 Intramuskular : Pemberian intramuskular dapat
dilakukan pada otot kaki belakang.
 intraperitoneal : Posisi kelinci diatur sedemikian rupa
sehingga letak kepala lebih rendah
daripa perut. Penyuntikan dilakukan
pada garis tengah di muka kandung
kencing.

15
Gambar 1.9

3.3. Cara anestesi


Obat anestetika yang paling banyak digunakan untuk kelinci
adalah pentobarbital natrium, dengan menyuntikkannya secara
perlahan-lahan. Dosis untuk anestesi umum biasanya sekitar 22
mg/kg bobot badan. Untuk anestesi singkat bisa digunakan
setengah dosis diatas, dengan ditambah eter agar pembiusan
terjadi sempurna.

3.4. Cara mengorbankan

16
 Cara kimia : Dengan pemberian karbondioksida atau
pentobarbital-Na 350 mg secara
intravena.

 Cara fisik :
Pegang kaki belakang
kelinci dengan tangan kiri
sehingga badan dan
kepalanya tergantung ke
bawah menghadap ke kiri.
Pukullah sisi telapak
tangan kanan dengan keras
pada tengkuk kelinci,
seperti terlihat pada
gambar 1.10. selain itu
dapat juga digunakan alat,
misalnya tongkat.
Gambar 1.10

4. Marmot
4.1. Cara perlakuan
Marmot diangkat dengan cara memegang bagian punggung
atas dengan tangan kiri, dan memegang baian punggung bawah
dengan tangan kanan, seperti terlihat pada gambar 1.11.

17
Gambar 1.11

4.2. Cara pemberian obat


 Oral : Pemberian obat secara oral
dilakukan dengan menggunakan
sonde oral.
 Intradermal : Bulu marmot pada daerah yang akan
disuntik terlebih dahulu dicukur.
Suntikkan obat ke dalam kulit secara
perlahan-lahan.
 Subkutan : Angkat bagian kulit dengan cara
dicubit, dan tusukkan jarum suntik
ke bawah kulit dengan arah paralel
dengan otot dibawahnya.
 Intraperitoneal : Marmot dipegang punggunya
sedemikian sehingga perutnya agak
menjolok ke muka. Jarum suntik
ditusukkan seperti pada cara
subkutan,
sesudah masuk ke dalam kulit, jarum
18
ditegakkan sehingga menembus
lapisan otot dan masuk ke dalam
daerah peritoneum.
 Intramuskular : Jarum ditusukkan pada jaringan otot,
tetapi jangan terlalu dalam sampai
menyentuh tulang paha. Daerah
penyuntikkan adalah otot paha
bagian posterior – lateral.
 Intravena : Jarang dilakukan.

4.3. Cara anestesi


Anestesi marmot biasanya dilakukan dengan menggunakan
eter atau pentobarbital natrium. Eter digunakan untuk anestesi
singkat, setelah hewan dipuasakan selama 12 jam. Dosis
pentobarbital natrium adalah 28 mg / kg.

4.4. Cara mengorbankan


 Cara kimia : Dengan menggunakan karbondioksida
atau pentobarbotal pada dosis yang
mematikan.
 Cara fisik :  Tengkuk marmot dipukul dengan
keras dengan menggunakan alat atau
dengan memukulkan bagian belakang
kepalanya pada permukaan keras.
 Secara disloksi leher dengan tangan.

19
Pertanyaan
1. Sebutkan keuntungan dan kerugian pemakaian masing-masing
hewan percobaan yang disebutkan di atas!
2. Mencit adalah hewan yang paling banyak digunakan dalam
percobaan di laboratorium. Mengapa?
3. Faktor-faktor apa yang diperlukan dalam memilih spesies hewan
percobaan untuk penelitian farmakologi?
4. Terangkan secara singkat mengapa faktor lingkungan seperti
keadaan kandang, suasana asing, pengalaman hewan dalam
menerima obat, dan keadaan ruangan mempengaruhi hasil
percobaan farmakologi!

PERCOBAAN II

PENGUJIAN AKTIVITAS STIMULANSIA

20
Pendahuluan
Sistem saraf pusat merupakan sistem saraf yang dapat
mengendalikan sistem saraf lainnya di dalam tubuh yang bekerja di bawah
kesadaran. Terdapat beberapa obat yang dapat mempengaruhi kerja dari
sistem saraf pusat dengan merangsang (stimulan), menekan (depresi)
bahkan ada obat yang langsung menekan suatu fungsi sekaligus
merangsang fungsi yang lain. Efek obat yang ditimbulkan tergantung pada
jenis dan sensitivitas reseptor yang dipengaruhinya.
Stimulansia merupakan salah satu obat yang bekerja mempercepat
aktivitas sistem saraf pusat dengan meningkatkan transmisi menuju atau
meninggalkan otak. Stimulan digunakan dalam terapi untuk meningkatkan
atau memelihara kewaspadaan, penawar rasa lelah, pada kondisi sulit
tidur, penawar keadaan tidak normal yang mengurangi
kewaspasaan/kesadaran (dalam narkolepsi), memperbaiki kemampuan
berkonsentrasi bagi orang-orang yang didiagnosis sulit berkonsentrasi.
Stimulansia dalam dosis sedang menimbulkan perasaan senang,
percaya diri, dan euphoria. Dalam dosis besar menimbulkan rasa cemas
dan gugup. Dalam dosis sangat besar dapat menimbulkan kejang-kejang,
gagal jantung hingga kematian. Penggunaan stimulansia dalam jangka
panjang menyebabkan ketergantungan. Contoh obat yang termasuk dalam
kelompok ini antara lain kafein, kokain, amfetamin dan nikotin. Untuk
mengetahui efek stimulansia, dapat menggunakan hewan percobaan
dengan beberapa alat uji.

Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mengetahui efek obat stimulan yaitu kafein pada hewan percobaan

21
Metode Percobaan
Hewan : Mencit jantan
Bahan :
- Kafein sitrat 1,5% dosis 25 mg/70 kg BB
- Kafein sitrat 1,5% dosis 50 mg/70 kg BB
- Kafein sitrat 1,5% dosis 75 mg/70 kg BB
- Aquades dosis 75 mg/kg BB
Alat : Rotarod, Swimming test, alat suntik 1 mL
Prosedur :
1) Mencit dibagi dalam 4 kelompok : 3 kelompok diberikan kafein sitrat
1,5% dosis 25 mg/70 kg BB; 50 mg. 70 kg BB; 75 mg/70 kg BB dan 1
kelompok diberikan aquades dosis 75 mg/70 kg BB.
Setiap kelompok mendapat 4 ekor mencit.
2) Timbang masing-masing mencit, hitung dosis dan volume pemberian
obat.
3) Amati keadaan mencit sebelum diberi obat, meliputi semua hal yang
akan diamati setelah pemberian obat.
4) Suntikkan kafein dan aquades secara intraperitoneal.
5) Amati mencit pada alat uji :
I. Rotaroad
 Letakkan mencit di atas rotaroad selama 20 menit, catat waktu
saat mencit di letakkan.
 Amati berapa lama mencit dapat bertahan di rotaroad, catat
waktu saat saat mencit jatuh dari rotaroad.
II. Swimming Test
 Setelah 30 menit pemberian kafein. Masukkan mencit ke dalam
bak berisi air setinggi ±8 cm (kaki mencit tidak menyentuh

22
dasar bak namun mencit tidak boleh keluar dari bak) dengan
pada bagian ekor mencit diberi beban sebanyak 2 g.
 Amati dan hitung berapa lama mencit menjadi lebih aktif
berenang pengamatan dilakukan tidak lebih dari 15 menit.

Pertanyaan
1. Jelaskan mekanisme kerja kafein sebagai stimulan!
2. Apa saja efek yang ditimbulkan akibat pemberian stimulan?
3. Apa perbedaan pengujian efek stimulan menggunakan rotaroad
dengan swimming test?

23
PERCOBAAN III

PENGUJIAN AKTIVITAS ANALGESIK

Pendahuluan
Obat-obat analgesik adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas
menekan atau mengurangi rasa nyeri terhadap rangsang nyeri mekanik,
termik, listrik atau kimiawi dipusat dan perifer atau dengan cara
menghambat pembentukan prostaglandin sebagai mediator sensasi nyeri.
Kelompok obat ini terbagi ke dalam golongan analgesik kuat (analgesik
narkotika) yang bekerja sentral terhadap sistem saraf pusat, dan golongan
analgesik lemah (analgesik non-narkotika) yang bekerja secara perifer.
Pada pemakaian yang tidak hati-hati, obat analgesik narkotika
dapat menimbulkan ketergantungan (adiktif), sedangkan obat non-
narkotika tidak menimbulkan ketergantungan (non-adiktif). Disamping
efek analgesik, obat kelompok kedua ini dapat memberikan efek
antipiretik seperti asetosal dan efek antiradang seperti fenilbutazon.
Disamping itu ada beberapa obat yang meskipun tidak digolongkan
analgetik, bekerja secara spesifik untuk meringankan penderitaan nyeri
seperti ergotamin, senyawa-senyawa nitrit dan kolkhisin. Pada waktu
mengevaluasi efek obat analgesik perlu diperhatikan bahwa metode-
metode eksperimental yang ada tidak selalu dapat mendeskripsikan
dengan baik antara obat yang potensial dan yang tidak potensial sebagai
analgesik pada manusia. Kesulitannya disebabkan pula oleh sulitnya
mereproduksi semua tipe nyeri secara eksperimental. Secara umum
dianggap bahwa potensi suatu analgetika tidak dapat dievaluasi dengan
baik secara eksperimental pada orang sehat sehingga eksperimen-
eksperimen untuk maksud ini selalu direncanakan untuk situasi klinik.

41
Metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai
kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang
diinduksi pada hewan percobaan (mencit, tikus, marmot). Penginduksi
nyeri meliputi cara mekanik, termik, elektrik dan kimia. Metode pengujian
dengan induksi nyeri secara mekanik atau termik lebih sesuai untuk
mengevaluasi obat analgesik kuat atau analgesik narkotika. Misalnya
metode plat panas (hot plate) dan metode jentik ekor (tail flick). Untuk
menguji aktivitas obat analgesik non-narkotika dapat digunakan metode
dengan penginduksi zat kimia, seperti metode Siegmund. Pada umumnya
daya kerja analgesik dinilai pada hewan dengan mengukur besarnya
peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sebelum ada respon
nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan terhadap stimulus nyeri atau
juga peranan frekuensi respon nyeri.

Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini diharapkan mahasiswa :
1. Mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental
efek analgetik suatu obat.
2. Memahami dasar-dasar perbedaan efektivitas berbagai obat analgesik.

Metode Percobaan

1. Metode Siegmund (Metode Geliat/ Writhing Method)


A. Bahan :  Asam asetat 0,7 % v/v (zat penginduksi rasa
nyeri)
 Obat analgesik standar (asam asetil
salisilat/aspirin)

42
 Obat analgesik yang diuji (asam mefenamat,
parasetamol, ekstrak)

 Larutan NaCl fisiologis atau larutan suspensi


gom arab 1-2 %
B. Hewan : Mencit putih jantan dengan berat badan antara 20-25
gram
C. Alat :  Alat suntik 1 ml dan sonde oral
 Stopwatch
 Timbangan mencit
 Wadah penyimpanan mencit

2. Metode Plat Panas (Hot Plate)

A. Bahan :  Obat analgesik standar (Tramadol)


 Obat analgesik yang diuji (asam mefenamat,
parasetamol, natrium diklopenak)
 Larutan NaCl fisiologis atau larutan suspensi
gom arab 1-2 %
B. Hewan : Mencit putih jantan dengan berat badan antara 20-25
gram
C. Alat :  Hot Plate
 Alat suntik 1 ml dan sonde oral
 Stopwatch
 Timbangan mencit
 Wadah penyimpanan mencit

4. Prosedur
a. Pengujian metode geliat ini dilakukan dengan prosedur sebagai
berikut :

43
1) Mencit dengan berat badan 20-25 gram dibagi atas tiga
kelompok, yaitu :
a. Kelompok kontrol
b. Kelompok obat standar
c. Kelompok obat uji (dua atau tiga dosis)
2) Semua hewan dari setiap kelompok diberi perlakuan sesuai
dengan kelompoknya, yaitu :
 Kelompok kontrol diberi larutan NaCl fis. Atau larutan susp.
Gom arab 1-2 %
 Kelompok obat standar diberi asam asetil salisilat (aspirin)
 Kelompok obat uji diberi asam mefenamat/ parasetamol/
ekstrak tanaman
Pemberian zat/ obat dilakukan secara oral.
3) Setelah 30 menit, hewan diberi asam asetat 0,7 % 10 mL/kg bb
secara i.p.
4) Segera setelah pemberian asam asetat, gerakan geliat hewan
diamati, dan jumlah geliat dicatat setiap 5 menit selama 60 menit.

5) Data yang diperoleh dianalisis secara statistik berdasarkan


analisis variasi.
6) Daya proteksi obat uji terhadap rasa nyeri dan efektivitas
analgesiknya dihitung dengan rumus berikut :

Jumlah geliat kel . uji


% Proteksi=[1− ( Jumlah geliat kel . kontrol )
]× 100 %

% Proteksi zat uji


% Efektivitasanalgesik = × 100 %
% Proteksias asetil salisilat

44
7) Data yang disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.

b. Pengujian metode plat panas ini dilakukan dengan prosedur


sebagai berikut :
1). Mencit dengan berat badan 20-25 gram dibagi atas tiga kelompok,
yaitu :
d. Kelompok kontrol
e. Kelompok obat standar
f. Kelompok obat uji (dua atau tiga dosis)
2). Sebelum diberikan sediaan semua hewan dilakukan pengujian
reaksi basal terhadap rasa nyeri dengan diletakan diatas plat
panas dan dicatat berapa lama hewan dapat bertahan.
3). Semua hewan dari setiap kelompok diberi perlakuan sesuai
dengan kelompoknya, yaitu :
 Kelompok kontrol diberi larutan NaCl fis. Atau larutan susp.
Gom arab 1-2 %
 Kelompok obat standar diberi Tramadol
 Kelompok obat uji diberi asam mefenamat,
meloxicam/celecoxib
Pemberian zat/ obat dilakukan secara oral.
4) Setelah 30 menit, hewan diletakan diatas hotplate tidak boleh
lebih dari 15 detik
5). Pengukuran dilakuan pada waktu 30, 60, 90,120 menit setelah
pemberian sediaan.
6). Data yang diamati berapa lama mencit tidak menunjukan respon
ketika diletakan diatas plat panas.
7). Data yang diperoleh dianalisis secara statistik berdasarkan
analisis variasi.

45
8) Data yang disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.

Pertanyaan
1. Apa perbedaan obat analgesik narkotika dan analgesik non-narkotika?
2. Bagaimana mekanisme kerja obat analgesik non-narkotika ?
3. Bagaimana mekanisme kerja obat analgesik-antipiretik dalam
menurunkan suhu tubuh ?
4. Terangkan mengapa asam asetat dapat menginduksi rasa nyeri
(geliat)?

46
PERCOBAAN IV

PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIDIARE

Pendahuluan
Diare adalah suatu gejala dimana frekuensi pengeluaran feses
meningkat melebihi frekuensi normal dan konsistensi feses menjadi cair.
Pada keadaan diare, terjadi ketidakseimbangan antara absorpsi dan sekresi
air dan elektroloit dalam usus, di mana absorpsi berkurang atau sekresi
bertambah di luar normal.
Diare dapat bersifat akut atau kronis. Diare akut dapat disebabkan
oleh infeksi bakteri, seperti Escherichia coli, Shigella, Salmonella, Vibrio
cholera, virus, dan amuba. Selain itu, dapat pula disebabkan oleh toksin
bakteri, seperti toksin bakteri Staphylococcus aureus dan Clostridium
welchii, yang mencemari makanan.
Diare kronis mungkin berkaitan dengan berbagai gangguan
gastrointestinal, ada pula diare yang berlatar belakang kelainan
psikosomatik, alergi oleh makanan atau obat-obat tertentu, kelainan pada
sistem endokrin dan metabolisme, kekurangan vitamin dan sebagai akibat
radiasi.
Pengeluaran isi usus dipengaruhi oleh zat-zat yang mengiritasi
saluran pencernaan, seperti oleum ricini atau makanan pedas. Iritasi
tersebut menstimulasi pleksus saraf myenterik dalam usus sehingga
gerakan peristaltik usus akan meningkat, sehingga mempercepat
pengeluaran isi usus dan mengubah konsistensi feses menjadi lebih
lembek bahkan cair, karena adanya hambatan pada proses absorpsi air di

47
usus besar. Minyak mineral seperti parafin juga dapat mempercepat
pengeluaran isi usus, tetapi parafin ini tidak mempengaruhi kontraksi usus

secara langsung, melainkan bekerja sebagai pelincir yaitu memperlancar


pengeluaran isi usus.
Penggunaan obat antidiare biasanya dimaksudkan untuk
menghentikan diare, tidak untuk menghilangkan penyebabnya. Antidiare
yang biasa digunakan adalah obat yang bersifat adsorben, misalnya kaolin
dan karbon aktif, atau yang dapat menekan peristaltik usus, seperti
loperamid dan morfin serta turunan-turunannya. Penggunaan morfin dan
turunan-turunannya jarang sekali dilakukan karena obat-obat ini bersifat
adiktif dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Tujuan Percobaan
Setelah melakukan percobaan, mahasiswa diharapkan :
1. Mempunyai keterampilan dalam melakukan percobaan antidiare.
2. Memahami pengaruh laksan terhadap saluran pencernaan dan
mengetahui sejauh mana obat antidiare dapat menghambat diare yang
ditimbulkan oleh laksan.

Metode percobaan
1. Bahan :  NaCl fisiologis
 Oleum ricini/ Parafin cair
 Loperamid HCl
 Kertas saring
2. Hewan :  Mencit putih jantan/ betina dengan bobot antara
25-30 mg.
3. Alat : Toples untuk pengamatan, kertas saring (telah

48
ditimbang), alat suntik, sonde oral mencit, timbangan

mencit, timbangan elektrik, stop watch atau jam.


4. Prosedur :
 Dua jam sebelum percobaan dimulai, mencit dipuasakan.
 Mencit dibagi menjadi empat kelompok, dan masing-masing
kelompok terdiri atas 3-4 ekor mencit.
 Pada kel. 1, mencit diberi NaCl fis. (oral) dan 30 menit
kemudian diberi air (oral). Pada kel. 2 mencit diberi NaCl fis.
(oral) dan 30 menit kemudian diberi oleumricini/ parafin cair
(oral).
Pada kel. 3 dan 4 mencit masing-masing diberi loperamid dosis
I dan II (oral) dan 30 menit kemudian diberi oleumricini/
parafin cair (oral).
 Tiap mencit dimasukkan ke dalam toples yang diberi alas kertas
saring yang telah ditimbang beratnya.
 Waktu timbulnya diare, frekuensi defekasi, berat feses,
konsistensi feses, dan lamanya diare dicatat setiap selang waktu
30 menit selama 2 jam.
 Konsistensi feses dapat dinyatakan dalam bentuk skor sebagai
berikut

Simbol Konsistensi Skor


N Normal 0
LN Lembek normal 1
L Lembek 2
LC Lembek cair 3
C Cair 4

 Data pengamatan disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis.

49
Pertanyaan
1. Terangkan mekanisme terjadinya diare yang disebabkan oleh
oleum ricini !
2. Terangkan kemungkinan mekanisme kerja obat antidiare
sehingga dapat menghambat diare yang disebabkan oleh
oleumricini !

50
PERCOBAAN V

PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIHIPERGLIKEMIA


DENGAN METODE TOLERANSI GLUKOSA

Pendahuluan
Diabetes adalah penyakit metabolik kronik yang terjadi dikarenakan pankreas tidak
memproduksi cukup insulin atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin atrau yang sering disebut sebagai kondisi resistensi insulin.
Pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200mg/dL dan atau glukosa darah puasa ≥
126mg/dL sudah dapat menunjukan komdisi diabetes seseorang.

Diabetes melitus diklasifikasikan secara umum menjadi diabetes tipe-1 atau yang
dikenal dengan diabtes tergantung insulin, diabetes type-2 atau yang dikenal
dengan diabetes yang tidak tergantung insulin serta diabetes pada kehamilan atau
Terapi farmakologi diabetes melitus
yang disebut dengan diabetes gestasional.
meliputi pengobatan dengan insulin atau dengan obat-obat hipoglikemik
oral dimana penentuan pemilihan sangat bergantung dari jenis diabetes
yang diidapnya.

Diabetes tipe-2 tipe merupakan tipe diabetes yang penangannnya


menggunakan antidiabetes oral (ADO) dimana penanganannya bertujuan
dalam meningkatkan sekresi dari insulin atau peningkatan sensitivitas dari
reseptor insulin. Adapun golongan obat yang termasuk kedalam ADO
adalah :

1. Golongan sulfonil urea dengan mekanisme kerja menstimulasi sel


beta pankreas untuk memproduksi insulin.
2. Golongan biguanida atau yang lebih dikenal dengan metformin
memiliki mekanisme kerja mengingkatkan sensitivitas reseptor
insulin pada sel
3. Golongan meglitinid memiliki kerja seperti sulfonil urea dengan
meningkatkan seksresi insulin dari sel beta pankreas.
4. Golongan tiozilidindion memiliki mekanisme kerja meningkatkan
kepekaan otot terhadap insulin sehingga menyebabkan glukosa
darah dapat masuk ke sel-sel otot.

51
5. Golongan inhibitor α-glukoksidase golongan obat ini bekerja
menghabat enzim yang bekerja memecah karbohidrat kompleks
menjadi monosakarida.
6. Golongan agonis GLP-1 mekanisme kerja kerja obat ini dengan
meningkatkan pelepasan insulin, menghambat pelepasan glukagon
serta memperlambat pengosongan lambung dan memperpanjang
perasaan kenyang.
7. Golongan penghambat DPP IV mekanisme kerjanya menghambat
pelepasan enzim DPP IV yang bekerja menguraikan GLP-1
sehingga kadar GLP-1 dapat dipertahankan.

Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa diharapkan:
1. Mempunyai keterampilan dalam melakukan pengujian aktivitas
antihiperglikemia dengan metode toleransi glukosa.
2. Memahami kerja obat antidiabetes oral dalam mengendalikan kadar
gula darah.

Metode Pengujian
1. Bahan :  Obat antidiabetes yang diuji (glibenklamid dan
metformin)
 Agen pensuspensi 1-2 %
2. Hewan : Mencit putih jantan dengan berat badan antara 20-25
gram.
3. Alat : Alat suntik 1 ml, sonde oral mencit, stopwatch,
timbangan mencit, gluko meter, strip glukotest.
4. Prosedur
Pengujian dilakukan dengan metodeuji toleransi glukosa, dengan
prosedur sebagai berikut :
- Hewan ditimbang dan dikelompokan menjadi 4 kelompok terdiri
atas 5 ekor hewan untuk setiap kelompok

52
- Selanjutnya diukur gula darah mencit menggunakan glukometer
untuk mendapatkan kadar glukosa awal
 Hewan dibagi atas tiga kelompok, yang terdiri atas :
a. Kelompok kontrol negatif, agen pensusp. Gom arab 1-2 %
b. Kelompok kontrol positif, agen pensusp. Gom arab 1-2 %
c. Kelompok obat uji I, diberi Metformin dosis 65 mg/KgBB
d. Kelompok obat uji II, diberi glibenkamid dosis
0,65mg/KgBB
, dan obat diberikan secara oral.
 Setelah 30 menit, hewan diberikan glukosa secara oral dengan
dosis 75g/70KgBB.
 Setelah pemberian glukosa dilakukan pengukuran kadar glukosa
pada menit ke- 30, 60, 90, 120.
 Data yang diperoleh dianalisis secara statistik berdasarkan
analisis variansi.
 Data disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.

Pertanyaan
1. Bagaimana mekanisme kerja metformin dan glibenklamid?
2. Kenapa pengukuran toleransi glukosa dilakukan selama 2 jam
dari pemberian glukosa? Serta jelaskan metode toleransi glukosa
dapat digunakan untuk menggambarkan efek antihiperglikemia!

53
PERCOBAAN VI

PENGUJIAN AKTIVITAS HEMOSTATIKA

Pendahuluan
Peredaran darah pada manusia dilakukan secara tertutup pada
pembuluh darah dimana darah dialirkan dengan dipompakan melalui
jantung. Pada proses peredaran darah terkadang muncul luka yang
menyebabkan darah keluar dari pembuluh darah akibat kebocoran
pada pembuluh darah. Keluarnya darah dari pembuluih darah
apabila dibiarkan dapat menyebabkan suatu kefatalan yang berakibat
dapat mengancam jiwa, maka oleh sebab itu tubuh memiliki
mekanisme dalam pengentian perdarah yang disebut dengan
hemostatis.
Hemostatis adalahsuatu proses yang dilakukan tubuh dengan tujuan
untuk menghentikan perdarahan yang terjadi akibat adanya
kerusakan pembuluh darah yang menyebabkan kebocoran darah
dimana melibatkan tiga mekanisme utama yaitu spasme pembuluh
darah, pembentukan agregat platelet dan koagulasi.
Klasifikasi hemostatis terbagi menjadi dua bagian, yaitu hemostatik
primer dan hemostatik sekunder, hemostatik primer adalah proses
untuk menghentikan perdarahan sementara dengan dibentuknya
agregasi platelet sementara hemostatik sekunder penghentian
perdarahan secara permanen dikarenakan pembentukan koagulasi
akibat dari mekanisme aktivasi dari 13 faktor pembekuan darah.

54
Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa diharapkan:
3. Mempunyai keterampilan dalam melakukan pengujian hemostatik
4. Memahami kerja obat hemostatik dalam menghentikan perdarahan

Metode Pengujian
1. Bahan :  Aspirin
 Asam Traneksamat
2. Hewan : Mencit putih jantan dengan berat badan antara 20-25
gram.
3. Alat : Alat suntik 1 ml, sonde oral mencit, stopwatch,
timbangan mencit, bejana silinder.
4. Prosedur
A. Pengukuran Waktu Perdarahan
-. Hewan dibagi menjadi 5 kelompok yang terdiri dari 3-5 ekor

hewan untuk tiap kelompok

-. Kelompok 1 kontrol negative hewan hanya diberi air suling atau

agen pensuspensi, kelompok 2 kontrol positif diberikan air suling

atau agen pensuspensi dan inductor, kelompok 3, 4, 5 diberikan

obat uji dengan inductok

-. Pemberian diawali dengan pemberian obat induktor yaitu

aspirin dosis 13mg/KgBB kemudian 30 menit kemudian diikuti

dengan pemberian sediaan uji berupa air suling atau agen

pensuspensi untuk kelompok kontrol positif dan negative serta

asam traneksamat dosis 32,5mg/KgBB, 65mg/KgBB dan

55
130mg/KgBB, 60 menit kemudian dilakukan pengujian waktu

perdarahan.

-. Pengujian waktu perdarahan lakukan dengan cara melukai

ujung ekor mencit dan darah yang keluar diserap dengan kertas

penyerap tanpa melakukan tekanan pada luka.

-. Lamanya waktu perdarahan dihitung dari mulai timbulnya

tetesan pertama sampai darah berhenti mengalir atau tidak ada

becak darah pada kertas penyerap.

-. Data yang diperoleh dianalisis dengan statistic untuk melihat


perbedaan pada waktu perdarahan antar kelompok.
B. Pengukuran Waktu Koagulasi
-. Hewan dibagi menjadi 5 kelompok yang terdiri dari 3-5 ekor

hewan untuk tiap kelompok

-. Kelompok 1 kontrol negative hewan hanya diberi air suling atau

agen pensuspensi, kelompok 2 kontrol positif diberikan air suling

atau agen pensuspensi dan inductor, kelompok 3, 4, 5 diberikan

obat uji dengan inductok

-. Pemberian diawali dengan pemberian obat induktor yaitu

aspirin dosis 13mg/KgBB kemudian 30 menit kemudian diikuti

dengan pemberian sediaan uji berupa air suling atau agen

pensuspensi untuk kelompok kontrol positif dan negative serta

asam traneksamat dosis 32,5mg/KgBB, 65mg/KgBB dan

56
130mg/KgBB, 60 menit kemudian dilakukan pengujian waktu

koagulasi.

-. Pengujian waktu koagulasi lakukan dengan cara melukai ujung

ekor mencit dan darah yang keluar diteteskan diatas kaca objek

sebanyak 2-4 tetes.

-. Kemudian dengan menggunkan jarum diamati pembentukan

benang fibrin dengan interval 15 detik.

-. Data yang diperoleh dianalisis dengan statistik untuk melihat

perbedaan pada waktu koagulasi antar kelompok.

Pertanyaan
3. Bagaimana mekanisme kerja asam traneksamat sebagai agen
hemostatik ?
4. Kenapa aspirin dugunkan sebagai induktor, jelaskan mekanisme
kerjanya!
5. Apa hubungannya parameter uji berupa waktu perdarahan dan
waktu koagulasi dengan efek hemostatik?

57
PERCOBAAN VII

UJI AKTIVITAS ANTICACING (ANTHELMINTIK)

I. Tujuan
1. Mahasiswa dapat merancang dan melakukan eksperimen sederhana
untuk menguji aktivitas anticacing suatu bahan uji secara in vitro.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan paralisis spastik dan flasid
yang terjadi pada cacing setelah kontak dengan anticacing.

II. Pendahuluan
Salah satu mekanisme kerja anticacing adalah menyebabkan
paralisis (kelumpuhan) otot cacing. Paralisis dapat berupa paralisis spastik
atau flasid.
Bahan uji yang potensial sebagai anticacing dapat langsung
mematikan cacing atau menyebabkan kelumpuhan (paralisis) apabila
cacing diinkubasi dalam larutan bahan uji tersebut. Anticacing yang
menyebabkan paralisis otot cacing akan menyebabkan pergerakan cacing
yang berbeda dengan cacing normal.

III. Bahan dan alat


Ascaris suum, pirantel pamoat, piperazin sitrat, NaCl 0,9 % b/v, air suling,
air dengan suhu 500C, cawan petri ukuran besar (diameter 20 cm), batang
pengaduk kaca, gelas piala 1 L, pinset, sarung tangan, termometer,
inkubator, tissue.

58
IV. Prosedur
1. Sebelum percobaan, cacing harus diaktifkan terlebih dahulu pada suhu
370C.
2. Siapkan larutan uji (pirantel pamoat dan piperazin sitrat) serta kontrol
(NaCl) dengan konsentrasi masing-masing 5 %, 20 %, dan 0,9 %.
3. Tuangkan larutan uji masing-masing ke dalam tiap cawan petri dengan
pola sebagai berikut :
 Cawan petri I : pirantel pamoat
 Cawan petri II : piperazin sitrat
 Cawan petri III : NaCl fisiologis.
4. Tempatkan cawan petri yang telah berisi larutan uji ke dalam
inkubator pada suhu 370C.
5. Ke dalam masing-masing cawan, letakkan 1 (satu) pasang Ascaris
suum yang masih aktif. Catat waktunya.
6. Pengamatan :
a. Amati pergerakan cacing dan posisi kepala cacing segera setelah
penempatan cacing di dalam larutan uji secara terus menerus
selama 15 menit pertama kemudian pada 30, 45, 60 menit dan
seterusnya dengan interval 15 menit. Pengamatan dilakukan
selama 2 jam.
b. Bandingkan pergerakan cacing dalam larutan uji (pirantel pamoat,
piperazin sitrat) dengan cacing kontrol (dalam NaCl fisiologis).
c. Untuk melihat apakah cacing yang tidak bergerak tersebut sudah
mati atau hanya paralisis, usik cacing-cacing tersebut dengan
batang pengaduk.
d. Jika cacing tetap diam, segera pindahkan ke dalam air panas 50 0C
dan amati pergerakkannya.

59
e. Apabila dengan cara pada poin d, cacing tetap diam, berarti cacing
tersebut mati. Tetapi, jika bergerak, berarti cacing tersebut
mengalami paralisis.
f. Jika cacing mengalami paralisis, nyatakanlah apakah paralisis yang
terjadi merupakan paralisis spastik atau flacid dengan melihat
postur tubuh cacing tersebut.
g. Catat hasil pengamtan saudara dalam bentuk tabel. Nyatakan data
pengamatan pada setiap interval waktu dengan : N (Normal), P
(Paralisis) dan M (Mati).

60
TABEL PENGAMATAN UJI AKTIVITAS ANTICACING (ANTELMINTIK)

Efek
Cacing jantan Cacing betina
Nama Sediaan Uji Waktu (menit) Waktu (menit)
15 30 45 60 75 90 10 120 15 30 45 60 75 90 105 120
5
Pirantel pamoat
Piperazin sitrat
NaCl fisiologis

Keterangan :
 N = Normal
 PF = Paralisis flasid
 PS = Paralisis spastik
 M = Mati

61
DAFTAR PUSTAKA

1. Badgujar, Shamkan B.2014. Evaluation of hemostatic activity of


latex from three Euphorbiaceae species. Journal of
Ethnopharmacology 151 (2014) 733–739
2. Domer, F. r. 1971. Animal Experiment in Pharmacological
Analysis, Charles C. Thomas, Springfield, III, USA.
3. Joke R. Wattimena, dkk. 1990. Protokol Penapisan Terarah
Aktivitas Farmakodinamik, Yayasan Pengembangan Obat Bahan
Alam Phytomedica, Jakarta.
4. Koppanyi T., Karezamar A. G. 1964. Experimental
Pharmacodynamics, 3 rd. Ed., Burgers Publishing Co., Minneopolis,
minni, USA.
5. Mishra, Bebasis., et al. 2011. Expiremntal Study of Analgesic
Activity of Selective Cox-2 Inhibitor With Convensional NSAID.
Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research Vol 4 hal 78-
81
6. Miya, T.s., et al. 1968. Laboratory Guide in Pharmacology, 3 rd.
Ed., Burgers Publishing Co., Minneapolis, Minni, USA.
7. Nodine, J.H., Seglar P.E. 1964. Animal and Clinical
Pharmacological Techniques in Drug Evaluation, Year Book
Medical Publiser Inc., Chicago.
8. Okoli, C O.,et al. 2007. Potential of leaves of Aspilia africana
(Composite) in wound care: an experimental evaluation BMC
Complementary and Alternative Medicine 2007, 7:24
9. Sumantri, Imam Bagus., et al. 2017. UJI PRA KLINIS
TOLERANSI GLUKOSA EKSTRAK ETANOL SERTA
PENGUJIAN TOKSISITAS

62
AKUT EKSTRAK ETANOL DARI PUGUN TANA (Picria
felterrae Lour.) Jurnal Biosains Vol. 3 hal 73-80
10. Thompson, E. B. 1990. Drug Bioscreening : Drug Evaluation
Techniques in Pharmacology, VCH, New York.
11. UFAW, 1972, The UFAW Handbook on the Care and
Management of Laboratory animals, 4 th ed., Churchil
Livingstone, Einburg, Great Britain.

63

Anda mungkin juga menyukai