Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ahmad Zahir Azhari

Kelas : VII-2
SMP Negeri 13 Makassar

Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara

Indara Pitaraa dan Siraapare

Tersebutlah cerita dua anak kembar pada masa lampau. Keduanya anak lelaki yang ajaib, karena ketika
lahir keduanya telah menggenggam keris di tangan kanan masing-masing. Anak kembar yang pertama
bernama Indara Pitaraa dan yang kedua Siraapare namanya.

Indara Pitaraa dan Siraapare tumbuh menjadi anak-anak yang nakal. Keduanya kerap menggunakan keris
masing-masing untuk alat kenakalan mereka. Keduanya kerap merusak tanaman dan juga membunuh
hewan peliharaan penduduk. Penduduk pun menjadi resah karena perbuatan Indara Pitaraa dan Siraapare.
Kedua orang tua anak kembar itu juga telah dibuat pusing karena perbuatan Indara Pitaraa dan Siraapare
itu.

Kedua orangtua Indara Pitaraa dan Siraapare merasa tak sanggup lagi menghentikan ulah kenakalan dua
anak kembar itu. Ibu dua anak kembar itu akhirnya menyuruh kedua anak kembarnya itu untuk pergi
merantau.

Indara Pitaraa dan Siraapare sangat senang disuruh


pergi merantau. Sebelum berangkat, ibu dua anak
kembar itu membekali dengan tujuh buah ketupat,
tujuh butir telur, tujuh ruas batang tebu, dan dua belah
kelapa tua. Keduanya juga dibekali dengan tempurung
kelapa yang digunakan untuk penutup kepala.

Dua anak kembar itu pun rnemulai perjalanan


merantau mereka. Keduanya menerobos hutan
belantara, menyeberangi sungai, menuruni lembah,
dan juga mendaki bukit serta gunung. Setiap kali melewati satu gunung, Siraapare meminta waktu
sejenak untuk beristirahat. Indara Pitaraa menuruti keinginan adik kembarnya itu. Indara Pitaraa
memangku Siraapare sampai tertidur. Setelah Siraapare terbangun, masing-masing dari keduanya lantas
memakan satu buah ketupat, satu butir telur, dan seruas batang tebu. Begitu yang mereka lakukan hingga
melewati gunung keenam. Ketika keduanya tiba di puncak gunung ketujuh, Indara Pitaraa yang belum
pernah beristirahat merasa sangat lelah. Ia meminta waktu untuk beristrahat. Adik kembarnya lantas
memangkunya hingga ia tertidur.

Ketika Siraapare tengah memangku Indara Pitaraa, mendadak datang angin topan yang besar. Siraapare
lantas membangunkan kakak kembarnya. Indara Pitaraa menyarankan agar mereka menyimpulkan tali
pinggang masing- masing agar keduanya tidak terpisah jika diterjang angin topan itu.

Angin topan dahsyat itu menerjang keduanya Jan menerbangkan dua saudara kembar itu ke angkasa.
Meski Indara Pitaraa dan Siraapare telah erat-erat menyimpulkan tali pinggang masing- masing, namun
keduanya terpisahkan setelah terkena terjangan angin topan. Angin topan pun terus menerbangkan dan
menjauhkan dua saudara kembar itu. Indara Pitaraa akhirnya jatuh di sebuah wilayah yang tengah diamuk
oleh burung garuda. Siraapare jatuh di sebuah wilayah yang tengah dilanda peperangan.

Seperti halnya warga lainnya, Siraapare segera nelibatkan diri dalam peperangan. Bersenjatakan keris
pusakanya. Siraapare berperang dengan gagah berani tempurung kelapa yang diberikan ibunya sangat
berguna dalam berbagai peperangan yang diikutinya itu. Aneka senjata tidak mampu melukai kepalanya
karena terhalang tempurung kelapa yang dikenakan Siraapare. Dengan kegagahan, kepiawaian, dan
keberaniannya, Siraapare lantas dipercaya menjadi pemimpin pasukan. Berkat pimpinan Siraapare,
pasukan itu menuai kemenangan. Siraapare akhirnya dipilih menjadi raja wilayah tersebut.

Indara Pitaraa jatuh di sebuah wilayah yang sepi. Semua penduduk bersembunyi karena takut dimangsa
burung garuda ganas. Indara Pitaraa melihat sebuah rumah yang indah. Ketika ia memasuki rumah itu ia
melihat sebuah gendang besar. Indara Pitaraa menepuk gendang besar itu dan terdengar sebuah suara dari
dalam gendang besar, "Jangan pukul gendang ini. Burung garuda ganas itu akan datang dan
memangsamu!"

Indara Pitaraa terkejut. Dengan kerisnya, disobeknya kulit gendang besar itu. Ia melihat seorang gadis
berada di dalam gendang besar dengan wajah pias ketakutan.

Si gadis lantas menceritakan adanya burung garuda ganas pemangsa manusia. Segenap warga dibuat
ketakutan karenanya.

"Jangan engkau takut," ujar Indara Pitaraa. "Aku akan menghadapi burung garuda ganas itu"

Si gadis kembali menjelaskan, burung garuda itu akan datang jika cuaca tampak mendung. Burung garuda
ganas itu akan hinggap di atas dahan pohon mangga macan.

Indara Pitaraa menunggu kedatangan burung garuda ganas itu ketika cuaca terlihat mendung. Seketika
melihat adanya orang, burung garuda itu pun lantas meluncur untuk menyambar. Namun, sebelum burung
garuda itu menyambarnya, Indara Pitaraa telah melompat dan bertengger di dahan pohon mangga macan.
Burung garuda itu kemudian meluncur menuju dahan pohon mangga macan, Indara Pitaraa telah
melompat ke atas tanah. Begitu seterusnya yang terjadi hingga burung garuda ganas itu akhirnya
kelelahan. Ketika itulah Indara Pitaraa menyerang dengan menggunakan kerisnya. Burung garuda ganas
itu pun mati terkena keris pusaka Indara Pitaraa.

Negeri itu pun kembali aman dan damai. Segenap warga merasa lega karena burung garuda ganas yang
mereka takuti telah mati. Mereka mengelu-elukan Indara Pitaraa. Sebagai balas terima kasih, mereka
menikahkan Indara Pitaraa dengan si gadis yang bersembunyi di dalam gendang besar yang ternyata
adalah putri raja.

Indara Pitaraa melanjutkan perjalanannya. Tibalah ia di sebuah negeri yang telah ditaklukkan oleh seekor
ular besar. Ia tiba di sebuah rumah besar. Dilihatnya orang-orang di dalam rumah itu tengah mendandani
seorang gadis berwajah cantik. Sangat mengherankan, orang-orang itu mendadani si gadis seraya
menangis.

"Apa yang terjadi?" tanya Indara Pitaraa.


Orang-orang pun menjelaskan jika mereka hendak mempersembahkan si gadis kepada ular besar yang
berdiam di sebuah gua. Jika mereka tidak mempersembahkan si gadis, ular besar itu akan datang ke
negeri itu dan mengamuk. "Ular besar itu akan memangsa semua warga negeri ini jika tidak diberi
persembahan," kata seorang warga.

"Janganlah kalian takut," ujar Indara Pitaraa. "Biarkan ular besar itu datang ke sini. Aku akan
menghadapinya."

Tidak berapa lama kemudian ular besar itu benar-benar datang. Ia tampak sangat marah karena terlambat
diberikan persembahan. Gadis yang dijanjikan warga untuk persembahan kepadanya tidak juga kunjung
tiba. Ia mengancam akan memangsa seluruh warga. Ular besar itu langsung menuju rumah si gadis dan
bertemu dengan Indara Pitaraa yang terlihat siap melawannya.

Ular besar itu langsung menyerang Indara Pitaraa. Ia memagut dan menelan Indara Pitaraa. Sangat
mengherankan, Indara Pitaraa dapat keluar dari tubuh ular besar itu tanpa terluka sedikit pun juga.
Kembali ular besar itu memagut dan menelan Indara Pitaraa, namun kembali pula Indara Pitaraa dapat
keluar dari tubuh ular besar itu dengan selamat. Berulang-ulang hal itu terjadi hingga ular besar itu
akhirnya kelelahan.

Indara Pitaraa akhirnya menyerang ular besar itu dengan keris pusakanya. Serangannya mematikan
hingga akhirnya ular besar itu pun mati. Tubuh ular besar itu terpotong-potong, daging tubuhnya
terhambur hingga memenuhi wilayah yang luas.

Segenap warga negeri itu bergembira mendapati ular besar itu telah mati. Mereka pun mengangkat Indara
Pitaraa sebagai raja mereka. Indara Pitaraa memerintah dengan adil dan bijaksana hingga segenap rakyat
yang dipimpinnya bertambah makmur dan sejahtera.

Waktu terus berlalu. Siraapare yang tetap bertakhta sebagai raja pada suatu hari mengadakan perjalanan.
Ia tiba di negeri yang dipimpin Indara Pitaraa. Pertemuan antara dua saudara kembar itu pun terjadi.
Keduanya segera terlibat dalam pembicaraan penuh kerinduan. Keduanya juga sepakat untuk pulang ke
kampung halaman mereka guna menengok kedua orangtua mereka. Tak berapa lama kemudian Indara
Pitaraa dan Siraapare berangkat menuju kampung halaman mereka. Masing-masing membawa istri.

Syandan, sepeninggal dua anak kembarnya dahulu, kedua orangtua Indara Pitaraa dan Siraapare amat
berduka. Mereka terus menangis dengan menelungkupkan wajah pada bantal kapuk. Bertahun-tahun
mereka menangis, hingga biji-biji kapuk yang terdapat di dalam bantal pun tumbuh menjadi tanaman
kapuk karena tersirami airmata mereka. Ketika mendapati dua anak kembar mereka telah kembali,
mereka segera mengangkat kepala mereka dari bantal kapuk. Tak terkirakan gembira dan bahagia hati
mereka mendapati kedua anak mereka telah kembali dan keduanya telah pula menjadi raja. Bertambah-
tambah kegembiraan mereka mendapati dua anak kembar mereka kembali bersama istri-istri mereka.

Sebagai wujud kegembiraan hati keduanya, kedua orangtua Indara Pitaraa dan Siraapare itu mengadakan
pesta yang dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam.

Pesan Moral dari Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara : Indara Pitaraa dan Siraapare adalah
hubungan antar saudara hendaklah senantiasa terus diperkuat. kebersamaan di antara saudara akan
dapat menjadi kekuatan yang ampuh untuk menanggulangi masalah atau sesuatu yang berat.

Anda mungkin juga menyukai