Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ASFIKSIA

2.1.1 Definisi Asfiksia

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan

pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)

disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian

organ tubuh akan mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi

kematian1 .

2.1.2. Etiologi Asfiksia

Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut1 :

1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran

pernapasan seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan

pergerakan paru seperti fibrosis paru.

2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma

yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks

bilateral, sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.

3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya

barbiturat dan narkotika.

2.1.3. Patologi

Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2

golongan, yaitu:

1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)


Kekurangan oksigen ditemukan diseluruh tubuh, tidak tergantung pada

tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen.

Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan

demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen.

Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum,

dan basal ganglia.

Disini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial,

sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati,

ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung

atau primer tidak jelas.

2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi tubuh)

Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah

dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena

meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup

untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung

dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:

 Penutupan mulut dan hidung (pembekapan)

 Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, oenjeratan,

pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada

tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru.

 Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan

(traumatic asphyxia).
 Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat

pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk

keracunan.

2.1.4 Fase Pada Asfiksia

Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan

dalam 4 fase, yaitu1 :

1. Fase Dispnea

Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam

plasma akan merangsang pusat pernapasan di medula oblongata,

sehingga amplitudo dan frekuensi pernapasan akan meningkat, nadi

cepat, tekanan darah meninggi dan mulai tampak tanda sianosis

terutama pada muka dan tangan.

2. Fase Konvulsi

Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap

susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-

mula berupa kejang klonik tetapi kemudian menjadi kejang tonik, dan

akhirnya timbul spasme opistotonik.

Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga

menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi

dalam otak akibat kekurangan O2.

3. Fase Apnea

Depresi pusat pernapasan menadi lebih hebat, pernapasan melemah

dan dapat berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter

dapat terjadi pengeluaran sperma, urin, dan tinja.


4. Fase Akhir

Terjadi pralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti

setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung

masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti.

Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat

bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung lebh

kurang 3-4 menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100%

maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas

dan lengkap.

2.1.5 Tanda Kardinal Asfiksia

Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian

akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik (knight, 1996), yaitu:

a. Tardieu’s spot (petechial hemorrages)

Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang

menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama

pda jaringan longgar, seperti kelopak mata, bawah kulit dahi, kulit bagian

belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu

juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat

pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa

laring dan faring, jarang pada mesenterium dan intestinum.

b. Kongesti dan Oedema

Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.

Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi

akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi


pada pembuluh darah. Pada kondisi vena terbendung, terjadi peningkatan

tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah

mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan

perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini

akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan

(terjadi oedema).

c. Sianosis

Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput

lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb

yang tidak berikatan dengan O2.Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia,

harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang

sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin.

Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir

selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang

kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher

dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.

d. Tetap cairnya darah

Terjadi karena pningkatan fibrinolisisn paska kematian. Gambaran tentang

tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian

akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang

terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah

proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencarian bekuan tersebut


diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis

asfiksia.

2.1.6. Pemeriksaan Jenazah

a) Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan1 :

1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.

2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan

merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.

3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.

Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang

tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sukar membeku dan

mudah mengalir.

4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul yang timbul

akibat peningkatan aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai

sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya

udara yang cepat dalam saluran semput akan menimbulkan busa yang

kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.

Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat

longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa

lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah.

5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh

darah konjungtiva bulbi dan palpebra terjadi pada fase 2. Akibatnya

tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam

vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel

kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan
pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan Tardieu’s

spot.

b). Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan1:

1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin

darah yang meningkat paska kematian.

2. Busa halus dalam saluran pernapasan.

3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga

menjadi lebih berat, berwarna gelap dan pada pengirisan banyak

mengeluarkan darah.

4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada

bagian belakang jantung daerah aurikuloventrikular, subpleura

viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan

fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah oto

temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.

5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan

dengan hipoksia.

6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti

fraktur laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring

terutama bagian belakang tulang rawan krikoid (pleksus vena

submukosa dengan dinding tipis).

2.2 Asfiksia mekanik

Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan

terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat

mekanik), misalnya1 :
Penutupan lubang salura pernapasan bagian atas :

 Pembekapan (smothering)

 Penyumbatan (gagging dan choking)

Penekanan dinding saluran pernapasan :

 Penjeratan (strangulation)

 Pencekikan (manual strangulation, throttling)

 Gantung (hanging)

Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)

Saluran pernapasan terisi air (tenggelam, drowing)

Karena mekanisme kematian pada kasus tenggelam bukan murni

disebabkan oleh asfiksia, maka ada sementara ahli yang tidak lagi memasukan

tenggelam kedalam kelompok asfiksia mekanik, tetapi dibicarakan tersendiri.

2.2.1 Pembekapan (smothering)

Pembekapan (smothering) adalah penutupan lubang hidung dan mulut

yang menghambat pemasukan udara ke paru-paru. Pembekapan menimbulkan

kematian akibat asfiksia.

Cara kematian yang berkaitan dengan pembekapan dapat berupa :

1. Bunuh diri (suicide). Bunuh diri dengan cara pembekapan masih mungkin

terjadi misalnya pada penderita penyakit jiwa, orang tahanan yang

menggunakan gulungan kasur, bantal, pakaian, yang diikatkan menutupi

lubang hidung dan mulut.

2. Kecelakaan (accidental smothering). Kecelakaan dapat terjadi misalnya

pada bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya, terutama bayi

prematur bila hidung dan mulut tertutup oleh bantal atau selimut.
3. Pembunuhan (homicidal smothering). Biasanya terjadi pada kasus

pembunuhan anak sendiri. Pada orang dewasa hanya terjadi pada orang

yang tidak berdaya seperti pada orang tua, orang sakit berat, dan orang

dalam pengaruh obat atau minuman keras.

2.2.2 Penyumbatan (gagging dan chocking)

Pada keadaan ini, terjadi sumbatan jalan napas oleh benda asing, yang

mengakibatkan hambatan udara untuk masuk ke paru-paru.

Pada gagging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan pada

chocking, sumbatan terdapat lebih dalam pada laringofaring.

Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau refleks

vagal akibat rangsangan pada reseptor nervus vagus di arkus faring, yang

menimbulkan inhibisi kerja jantung dengan akibat cardiac arrest dan kematian.

Kematian dapat terjadi sebagai berikut :

1. Bunuh diri (suicide). Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk memasukan

benda asing ke dalam mulut sendiri disebabkan adanya refleks batuk atau

muntah. Umumnya korban adalah sakit mental atau tahanan.

2. Pembunuhan (homicidal chocking). Umumnya korban adalah bayi, orang

dengan fisik lemah atau tidak berdaya.

3. Kecelakaan (accidental chocking). Pada bolus death yang terjadi bila

tertawa atau menangis saat makan, sehingga makanan tersedak kedalam

saluran pernapasan. Mungkin pula terjadi regurgitasi makanan yang

kemudian masuk kedalam saluran pernapasan.


2.2.3 Pencekikan (manual stangulation)

Pencekikan adalah penekanan leher dengan tangan, yang menyebabkan

dinding saluran napas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran napas

sehingga udara pernapasan tidak dapat lewat.

Mekanisme kematian pada pencekikan adalah :

1. Asfiksia

2. Refleks vagal, terjadi sebagai akibat rangsangan pada reseptor nervs vagus

pada corpus caroticus (carotic body) di percabangan arteri carotis interna

dan eksterna. Refleks vagal ini jarang sekali terjadi.

2.2.4 Penjeratan (strangulation)

Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang,

rantai, stagen, kawat, kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau mengikat

leher yang makin lama makin kuat, sehingga saluran pernapasan tertutup.

Berbeda dengan gantung diri yang biasanya merupakan bunuh diri

(suicide) maka penjeratan biasanya adalah pembunuhan.

Cara kematian dapat berupa :

1. Bunuh diri (self strangulation). Hal ini jarang dan menyulitkan diagnosis.

Pengikatan dilakukan sendiri oleh korban dengan simpul hidup atau bahan

hanya dililitkan saja, dengan jumlah lilitan lebih dari satu.

2. Pembunuhan. Pengikatan biasanya dengan simpul mati dan sering terlihat

bekas luka pada leher.

3. Kecelakaan. Dapat terjadi pada orang yang sedang bekerja dengan

selendang di leher dan tertarik masuk ke mesin.


2.2.5 Gantung (hanging)

Kasus gantung hampir sama dengan penjeratan. Perbedaannya terdapat

pada asal tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil lingkaran jerat.

Pada penjeratan, tenaga tersebut datang dari luar, sedangkan pada kasus

gantung, tenaga tersebut berasal dari berat badan korban sendiri, meskipun tidak

perlu seluruh berat badan digunakan.

Mekanisme kematian pada kasus gantung :

1. Kerusakan pada batang otak dan medula spinalis. Hal ini terjadi akibat

dislokasi atau fraktur vertebra ruas leher, misalnya pada judicial hanging

(hukum gantung).

2. Asfiksia akibat terhambatnya aliran udara pernapasan.

3. Iskemia otak akibat terhambatnya aliran arteri-arteri leher.

4. Refleks vagal.

Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk memperkirakan cara

kematian memberikan gambaran :


2.6 Kerangka Teori

Berdasarkan uraian diatas, dapat dibuat uraian teori seperti yang disajikan

pada gambar 2.1 berikut :

Korban mati

Tindak Pidana

Penyidik

Dokter

Pemeriksaan
korban mati

Visum et
Repertum Jenazah

Asfiksia

Asfiksia mekanik
2.7 Kerangka Konsep

Dari kerangka teori diatas dapat kita buat kerangka konsep penelitian

berdasarkan unsur yang akan diteliti seperti terlihat pada gambar 2.2.

Korban mati

Tindak Pidana

Penyidik

Dokter

Pemeriksaan
korban mati

Anda mungkin juga menyukai