Anda di halaman 1dari 3

Kasihanilah Aku: Mazmur 51 dan Keseharian Hidup

Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah


pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar!
(Psa 51:3) 

Adalah pada salah satu momen itu, kamu seolah ingin mengambilnya kembali. Pada
salah satu dari waktu-waktu itu, ketika kamu pergi menuruti nafsu dan emosi yang
menuntun kamu. Pada salah satu situasi di mana kamu tahu kamu harus berhenti, atau
melarikan diri, tapi kamu merasa tidak bisa. Dan pada salah satu kejadian itulah, ketika
kamu diperhadapkan dengan dosa yang masih bernyawa di dalam dirimu. Ya, pada saat-
saat itulah kamu berteriak, (“Kasihanilah aku, ya Tuhan!”– ed).

Pada satu sisi percakapan itu bukanlah sesuatu yang besar. Hanya sebuah
pembicaraan kecil yang akhirnya berubah menjadi buruk. Itu bukanlah suatu momen
perubahan hidup yang dramatis. Kejadian itu terjadi dalam relasi pribadi bersama salah
satu anggota keluargaku. Tapi, mungkin justru itu poinnya. Mungkin kejadian itu menjadi
penting karena memang di sanalah aku hidup dalam keseharianku. Kamu lihat, aku dan
kamu tidak hidup dalam rangkaian serial kisah-kisah dramatis yang besar. Kita tidak hidup
dari satu keputusan besar kepada keputusan besar lainnya. Kita semua justru hidup di
dalam sebuah rentetan momen-momen kecil yang tak pernah berakhir. Karakter dari
kehidupan itu memang tak dibangun dari sepuluh momen besar. Karakter kehidupan itu
dibangun dari sepuluh ribu momen-momen kecil dalam hidup sehari-hari. Kumpulan dari
tema-tema pergumulan yang menyeruak lewat momen-momen kecil itulah yang
mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi dengan hati kita.

Jadi, aku tahu aku tak bisa kembali mundur dari kejadian kecil ini. Aku tahu aku
mempunyai dosaku sendiri. Di menit aku memikirkannya, pergulatan batin dimulai. “Bukan
hanya aku yang salah. Kalau dia tidak mengatakan apa yang telah ia katakan, aku tidak
akan menjadi marah. Sebenarnya aku sudah sangat sabar di sepanjang percakapan.” Ini
beberapa alasan yang aku berikan kepada diri sendiri.
Bukankah ini menarik? Ketimbang memohon belas kasihan Tuhan di hadapan
dosaku, apa yang aku lakukan adalah justru menjadi pembela bagi diriku sendiri;
seperangkat dalih telah kusiapkan sebagai pembenaran. Theologi di balik pembelaan ini
adalah kepercayaan bahwa masalah terbesarku berada di luar diriku; bukan di dalam.
Dengan demikian aku telah membantah, aku mengatakan kepada diriku ini bahwa aku tak
benar-benar butuh untuk ditolong oleh belas kasihan Tuhan. Tidak, lebih tepatnya, apa
yang aku katakan kepada diriku adalah bahwa aku memang perlu ditolong, tapi ditolong
dari si pendosa di dalam ruangan itu, iya dia, yang menyebabkan aku harus berdosa seperti
ini.

Ini poinnya. Sebelum kamu bisa membuat pengakuan dosa yang bersih dan tak
berubah, kamu pertama-tama harus mengakui “ketidakbersalahanmu” terlebih dahulu.
Bukan hanya dosamu yang memisahkanmu dari Tuhan; perasaan tidak bersalahmu juga.
Sebab, sewaktu kamu yakin bahwa kamu tidak bersalah, kamu tidak mencari
pengampunan, pertolongan, dan pemulihan dari belas kasihan yang hanya bisa kamu
temukan dalam Yesus Kristus.

Apa yang sesungguhnya benar adalah ketika aku datang kepada Tuhan setelah aku
sesak, aku hanya punya satu alasan. Itu bukan alasan tentang kesulitan yang aku hadapi
dari lingkungan sekitarku. Bukan alasan tentang orang-orang sukar di dekatku. Juga bukan
pula alasan tentang niat-niat baikku yang tersampahkan pada beberapa kesempatan.
Bukan, aku hanya punya satu alasan. Dan alasan itu ada di sana, pada ayat pertama dari
Mazmur 51, sebagaimana Daud juga mengakui dosanya dengan Batsyeba. Aku datang
kepada Tuhan dengan hanya satu permohonan, belas kasihanNya. Aku sudah tak punya
pembelaan apapun. Aku tak punya pijakan lagi. Bahkan pengharapan pun tidak. Aku tak
bisa lari dari kenyataan bahwa yang menjadi masalah terbesarku adalah diriku sendiri! Jadi
aku memohon kepada yang Satu itu dalam hidupku, yang pasti dan yang tak pernah gagal.
Aku memohon kepada satu hal yang menjamin bukan saja penerimaan Tuhan terhadapku,
melainkan juga, harapan dari awal yang baru dan segar. Aku memohon di atas dasar dari
karunia terbesar yang pernah aku punya, atau yang nanti akan aku terima. Aku
meninggalkan ruang pengadilan dari pembelaanku sendiri, aku keluar dari persembunyian,
dan aku mengakui siapa diriku. Tapi aku tidak menjadi takut, karena aku secara pribadi
dan kekal telah diberikan rahmat. Oleh karena apa yang telah Yesus lakukan, Tuhan
melihat kepadaku dengan belas kasihanNya. Itulah satu-satunya alasanku; itulah satu-
satunya sumber dari pengharapanku; itulah hidupku. Kasihanilah, kasihanilah aku ya
Tuhan!

Translasi oleh Nikki Tirta.

Anda mungkin juga menyukai