Anda di halaman 1dari 2

Suatu Hari Nanti

Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup!
- Mazmur 27:13

“Suatu saat nanti, ya mungkin, suatu hari nanti.” Kita semua sering mengucapkan kata-kata
tersebut, tapi kerap kali kata tersebut tidak sungguh-sungguh menyatakan pengharapan. Hal itu
cenderung dianggap sebagai mimpi atau harapan yang tidak akan pernah tercapai.
“Suatu hari nanti pandemi ini akan berlalu.”
“Suatu hari nanti saya akan mendapatkan pekerjaan yang layak”
“Suatu hari nanti kami akan mampu membeli sebuah rumah yang selama ini keluarga kami
butuhkan.”
“Suatu hari nanti saya akan mendapatkan tubuh yang ideal.”
“Suatu hari nanti saya pasti akan menemukan gereja yang baik.”
“Suatu hari nanti kami akan dapat mengatur keuangan dengan baik.”
“Suatu hari nanti saya akan berhenti mengatakan ‘suatu hari nanti’.”
Kata “suatu hari nanti” adalah salah satu cara mengomunikasikan apa yang kita inginkan agar
terjadi, tetapi di lubuk hati kita yang terdalam, sesungguhnya kita tidak berpikir hal itu akan
terjadi. Kita mengatakannya sekadar membuat hati kita merasa lebih baik. Kita sulit menerima
kenyataan yang ada, maka kita berkata demikian.
Alasan mengapa kata “suatu hari nanti” yang kita ucapkan lebih bernuansa putus asa
dibandingkan berpengharapan adalah di saat momen tertentu kita semua tahu bahwa kita tidak
punya kekuatan dan kendali atas dunia untuk menjamin realisasi atas impian kita. Kita juga tahu
bahwa kita sedang menuai apa yang kita tanam melalui pilihan-pilihan yang kita putuskan
sebelumnya dan hal-hal itulah yang memimpin kita hingga saat ini. Kata “suatu hari nanti” yang
kita ucapkan lebih mirip seperti obat terapi daripada pengharapan tentang apa yang akan terjadi,
sebagai obat penenang sementara yang membawa pada hati yang tak terpuaskan dalam melalui
hari-hari yang mengecewakan.
Konsep “suatu hari nanti” pada Mazmur 27 sangat jauh berbeda. Ayat tersebut merupakan suatu
pernyataan atas keyakinan yang mendorong dan meberikan semangat. Ketika Daud berkata suatu
hari nanti dia akan melihat “kebaikan Tuhan di negeri orang-orang yang hidup,” dia tidak hanya
berandai-andai akan suatu impian di masa depan untuk membantu dirinya menerima
kekecewaaan yang dialami. Faktanya, ayat ini sama sekali bukan keinginan atau impian, ayat ini
bukan harapan untuk sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Bukan, apa yang Daud sampaikan
disini adalah pernyataan akan identitas. Daud mengingat siapa dirinya, dan di dalam mengingat
siapa dirinya, ia sedang mengingat apa yang ia miliki sekarang dan di masa yang akan datang.
Siapakah Daud? Dia adalah anak Allah Israel. Dia adalah salah satu orang yang dipilih oleh
Allah, objek kasih Allah, penerima janji-janji Allah. Allah yang merupakan Bapanya adalah
Allah yang tak terukur kekuatan-Nya, bijaksana yang tak terduga, kedaulatan yang tak
terbayangkan, kebenaran yang murni, dan anugerah yang berlimpah. Allahnya Daud tidak hanya
sebagai definisi ultimat atas apa yang baik; Dia juga memiliki kekuatan dan kendali untuk
menghasilkan setiap hal yang baik yang Ia janjikan kepada anak-anak-Nya.
Dia memegang kendali mutlak atas setiap tempat, keadaan, individu, kekuatan alamiah, institusi,
dan relasi. Seperti yang Nebukadnezar katakan, setelah merendahkan diri di hadapan Tuhan, “Ia
berbuat menurut kehendak-Nya terhadap bala tentara langit dan penduduk bumi; dan tidak ada
seorangpun yang dapat menolak tangan-Nya dengan berkata kepada-Nya: "Apa yang Kaubuat?"
(Daniel 4:35).
Percaya kepada Allah bukanlah seperti tipisnya harapan akan hasil akhir yang tidak pasti.
Harapan kepada Allah itu seperti investasi saat ini untuk jaminan di masa yang akan datang. Apa
yang Allah katakan akan dilaksanakan. Apa yang Allah telah janjikan, pasti akan terjadi.
Perkataan-Nya dapat diandalkan karena di dalam anugerah-Nya, Ia ingin memberkati kita. Di
dalam kekuatan-Nya, Ia punya kemampuan untuk melakukan apa pun yang telah Ia janjikan
untuk dilakukan. Ketika kita hidup dengan berpandang pada janji-Nya, kita akan hidup dengan
penuh keyakinan, keberanian, dan harapan yang tak tergoyahkan.
Dengan demikian kita mendapati diri kita bebas dari cemas dan khawatir. kita menjadi bebas dari
upaya sia-sia untuk memanipulasi orang-orang dan situasi tertentu supaya mendapatkan apa yang
kita inginkan. kita menempatkan diri kita di dalam tangan kedaulatan Allah yang tahu pasti apa
yang kita butuhkan, kapan kita membutuhkannya, bagaimana kita membutuhkanya, dan dimana
kita membutuhkannya. Oleh karena Bapa kita itu baik, Ia tidak pernah menutup telinga terhadap
tangisan kita, dan Ia tidak akan pernah meninggalkan kita saat membutuhkan. Tidak, kita tidak
akan selalu mengerti apa yang Ia lakukan, dan kita akan tergoda untuk berpikir bahwa Ia
mendapati diri-Nya bertindak di waktu yang salah, tetapi makin kita mempercayakan hidup kita
kepada-Nya, maka makin kita akan mengalami anugerah-Nya yang setia berulang kali.
Siapa yang menopang “suatu hari nanti” pada diri kita? Apakah kita masih berusaha mengubah
hal-hal yang berada di luar kekuatan dan kendali kita? Apakah kita menyerah begitu saja?
Lihatlah! Bapa kita mengatur semuanya, dan Ia melihat kepada kita dengan anugerah dan
kebaikan. Menempatkan masa lampau, sekarang, dan masa depan ke dalam tangan-Nya bukanlah
sebuah risiko. “Suatu hari nanti” bagi Dia bukan hanya sekedar “suatu hari nanti”, melainkan
pasti akan “terjadi”.

Anda mungkin juga menyukai