Anda di halaman 1dari 11

JURNAL PRAKTIKUM

BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA

PRAKTIKUM 3 : FARMAKOKINETIKA OBAT PADA FENOMENA


INHIBISI ENZIM

Kurniawan Wisnu Putra

Kelompok III

171200252

A2D FARMASI KLINIS

TANGGAL PRAKTIKUM : 18 April 2019

DOSEN PENGAMPU : I Gusti Ngurah Jemmy Anton


Prasetia., S.Farm., M.Si., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

INSTITUT ILMU KESEHATAN

MEDIKA PERSADA BALI

DENPASAR

2019
III. FARMAKOKINETIKA OBAT PADA FENOMENA INHIBISI ENZIM

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui prinsip farmakokinetika obat pada fenomena inhibisi enzim.
2. Mengetahui cara simulasi data klinis farmakokinetika obat pada fenomena
inhibisi enzim.
3. Mampu memberikan rekomendasi terapi terkait farmakokinetika obat pada
fenomena inhibisi enzim.

B. DASAR TEORI
Fase farmakokinetika merupakan perjalanan obat mulai dari titik masuk
obat dalam tubuh hingga mencapai tempat aksinya. Farmakokinetika
digunakan untuk memantau obat terapeutik (Therapeutic Drug  Monitoring) 
untuk obat-obat yang sangat poten seperti obat-obat dengan rentang
terapeutik yang sempit, untuk mengoptimasi kemanjuran dan mencegah
timbulnya toksisitas yang membahayakan bagi tubuh (Shargel, dkk, 1988).
Enzim merupakan protein yang memiliki aktivitas katalitik yang aktif
secara spesifik. Spesifitas enzim disebabkan oleh adanya sisi aktif enzim
yang hanya dapat mengikat molekul substrat tertentu. Terdapat enam jenis
enzim berdasarkan reaksi kimia yang dikatalisis, yaitu oksidoreduktase,
transferase, hidrolase, liase, isomerase, dan ligase. Enzim α-amilase termasuk
dalam jenis enzim hidrolase karena memerlukan air dalam memecah ikatan
spesifik α-1,4-glikosidik. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas
enzim adalah konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, pH, suhu, a W, kofaktor
enzim, dan inhibitor (Whitaker, 1996).
Inhibitor merupakan senyawa yang dapat menghambat aktivitas enzim
saat ditambahkan ke dalam reaksi enzim-substrat. Terdapat dua jenis
inhibitor, yaitu inhibitor reversibel dan irreversibel. Inhibitor reversibel dapat
dengan cepat membentuk kompleks ekuilibrium difusi non-kovalen terkontrol
dengan enzim dan kompleks ini dapat terdisosiasi dengan dialisis atau filtrasi
gel. Sementara itu, inhibitor irreversibel membentuk ikatan kovalen dengan
enzim yang tidak dapat terdisosiasi (Lehninger, 1990).
Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu inhibisi enzim,
dimana inhibisi enzim merupakan suatu proses penonaktifan enzim oleh suatu
molekul yang disebut dengan inhibitor seperti yang diilustrasikan pada
gambar berikut:

Gambar 1. Inhibisi Enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga


obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang
mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk
berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3
hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat.
Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi
oleh isoenzim sitokrom P450 (Stockley, 2008). Sitokrom P450 (CYP450)
bertanggung jawab pada metabolisme hampir 70% obat. Inhibisi enzim CYP
menyebabkan peningkatan kadar obat dalam plasma melalui penurunan
metabolisme, yang dapat menimbulkan efek samping atau toksisitas
signifikan. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung
pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam
kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008).
Berdasarkan proses terjadinya, inhibisi dapat dibagi menjadi 4 proses
utama, yaitu :
1. Inhibisi kompetitif
Pada inihibisi kompetitif, inhibitor dan substrat berkompetisi untuk
berikatan dengan enzim. Seringkali inhibitor kompetitif memiliki struktur
yang sangat mirip dengan substrat asli enzim.
2. Inhibisi tak kompetitif (Uncompetitive)
Pada inhibisi tak kompetitif, inhibitor tidak dapat berikatan dengan enzim
bebas, namun hanya dapat dengan komples ES. Kompleks EIS yang
terbentuk kemudian menjadi tidak aktif. Jenis inhibisi ini sangat jarang,
namun dapat terjadi pada enzim-enzim multimerik.
3. Inhibisi non-kompetitif
Inhibitor non-kompetitif dapat mengikat enzim pada saat yang sama
substrat berikatan dengan enzim.
4. Inhibisi campuran
Inhibisis jenis ini mirip dengan inhibisi non-kompetitif, kecuali kompleks
EIS memiliki aktivitas enzimatik residual.
Secara sederhana keempat jenis inhibisi tersebut dapat dirangkum dalam
skema sederhana seperti berikut :
Gambar 2. Jenis-jenis Inhibisi Enzim

Clozapin merupakan agen psikotropik golongan derivate benzisoksazol


dan digunakan untuk pengobatan skizofrenia. Clozapine merupakan antagonis
monoaminergik selektif dengan afinitas tinggi terhadap serotonin Tipe 2
(5HT2), dopamine Tipe 2 (D2) dan adenergik 1 dan 2, dan reseptor H1
Histaminergik. Clozapin bekerja sebagai antagonis pada reseptor lainnya,
tetapi dengan potensi yang rendah. Adapun struktur kimia dari Clozapin
sebagai berikut:
Fluvoxamine adalah Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI).
Fluvoxamine maleate berwarna putih, tidak berbau, bubuk kristal larut dalam
air, bebas larut dalam etanol dan kloroform dan praktis tidak larut dalam dietil
eter. Mekanisme kerja fluvoxamine maleat dalam gangguan obsesif
kompulsif dihubungkan dengan reuptake serotonin spesifik penghambatan
dalam neuron otak. Fluvoxamine telah terbukti menjadi inhibitor yang kuat
dari transporter serotonin reuptake dalam studi praklinis, baik dalam
penelitian in vitro maupun in vivo. Di in vitro studi fluvoxamine maleat tidak
memiliki signifikansi afinitas untuk histaminergik, alfa atau beta adrenergik,
muskarinik, atau reseptor dopaminergik. Antagonisme beberapa dari reseptor-
reseptor ini dianggap berhubungan dengan berbagai obat seperti obat
penenang, kardiovaskular, antikolinergik, dan efek ekstrapiramidal dari
beberapa obat psikotropika (FDA, 2009). Berikut adalah struktur kimia
fluvoxamine:

Banyak bukti yang telah menunjukkan kombinasi terapi


antipsikotik atipikal dan reuptake inhibitor (SS4)" adalah strategi efektif
dalam mengobati gejala beberapa gangguan kejiwaan, di mana monoterapi
kelas obat tidak efektif. Dimana Clozapine ditambah fluvoxamine adalah
kombinasi seperti yang telah ditemukan memiliki efektifitas dalam
meningkatkan depresi, gejala negatif, dan obsesif-kompulsif skizofrenia, di
mana baik obat sendiri menghasilkan respon terapi bersamaan (FDA, 2009).
Adapun Parameter-parameter farmakokinetika Obat yaitu:
1. Volume Distribusi (Vd)
Volume Distribusi merupakan parameter yang menunjukkan
volume penyebaran obat didalam tubuh dengan kadar plasma atau serum.
Volume distribusi bukan merupakan volume tubuh yang sebenarnya
melainkan hanya volume semu yang digunakan untuk menggambarkan
luasnya distribusi obat dalam tubuh. Besar kecilnya Volume distribusi
ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, derajat ikatan obat dengan
protein plasma dan kemampuan molekul obat untuk memasuki berbagai
kompartemen atau ruang didalam tubuh.
Obat yang memiliki konsentrasi yang sangat besar memiliki
konsentrasi yang yang lebih tinggi di jaringan extravascular sehingga
sering terjadi penimbunan jumlah obat dijaringan extravascular
dibandingkan pada ruang/kompartemen vascular/plasma. Obat yang
memiliki volume distribusi kecil disebabkan oleh adanya ikatan yang
kuat dengan protein plasma sehingga memiliki konsentrasi dalam plasma
yang cukup tinggi. Dimana Vd dinyatakan dengan rumus sebagai berikut
(Wulandari, 2009):
Untuk Kompartemen 1 Terbuka
Dosis
Vd=
Cp0
Untuk Kompartemen 2 Terbuka
F .D
Vd=
β . AUC

2. Waktu Paruh (t½ )


Waktu paruh (t½ ) merupakan waktu yang dibutuhkan obat untuk
menjadi setengahnya dalam plasma atau serum. Sedangkan waktu paruh
eliminasi (t½ ) merupakan waktu yang dibutuhkan obat untuk menjadi
setengahnya dalam plasma atau serum pada fase eliminasi (setelah fase
resorpsi dan distribusi). Obat yang mengalami fase eliminasi presistemik,
t1/2 merupakan bilangan konstan yang tidak bergantung pada besarnya
dosis, interval pemberian, serta cara pemberian (Wulandari, 2009).
Waktu paruh dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
1 0,693
t =
2 K

3. (Clearance = Cl)
Klirens (Cl) merupakan volume darah atau plasma yang
dibersihkan dari obat per satuan waktu (mL/ menit). Proses yang terjadi
tidak hanya berupa ekskresi dari ginjal namun semua jalur ekskresi
termasuk juga metabolisme. Obat dapat dibersihkan dari tubuh melalui
berbagai jalur. Dua organ penting yaitu ginjal dan hati. Ada juga jalur
selain hati dan ginjal yaitu paru-paru, kulit, saliva, air susu, dan lain-lain
namun biasanya diabaikan (Wulandari, 2009).. Klirens dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Cl=Vd × K
4. AUC
AUC atau Area Under the Curve atau Luas Area dibawah Kurva.
AUC total menggambarkan jumlah obat yang terukur dalam darah dari
waktu nol sampai tak hingga. Besarnya AUC menggambarkan jumlah
obat yang terukur dalam rentang waktu tertentu. Nilainya dapat
ditentukan dengan aturan trapezoid, metode ini akurat digunakan bila
terdapat cukup titik-titik data pengukuran data kadar obat dalam darah
(Wulandari, 2009). Area pada tiap titik dinyatakan sebagai:
C1 +C 2
AUC= (t 2−t 1)
2
AUC0-tn menggambarkan AUC dari waktu nol sampai dengan
waktu terakhir pengukuruan kadar obat dalam darah. Selanjutnya area
yang tersisa dihitung dengan membagi kadar obat didalam darah dengan
konstanta eliminasi atau β (Wulandari, 2009).. Bisa juga menggunakan
rumus segitiga yaitu:
1
AUC= ×Cp 0 ×t
2
5. Konstanta Absorbsi/Tetapan laju absorbsi (Ka)
Konstanta Absorbsi (Ka) merupakan fraksi obat yang diabsorbsi
tiap satuan waktu, oleh sebab itu satuan ini menentukan jumlah obat yang
dapat dipindahkan dari tempat absorbsinya kedalam darah tiap satuan
waktu. Atau dapat dinyatakan sebagai Tetapan kecepatan absorbsi
menggambarkan kecepatan absorbsi, yaitu masuknya obat ke dalam
sirkulasi sistemik dari absorbsinya (saluran cerna pada pemberian oral,
jaringan otot pada pemberian intramuskular) (Wulandari, 2009).
6. Cmaks
Cmaks dinyatakan sebagai kadar maksimum yang terdapat dalam
plasma dengan pemberian oral. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai Cmaks disebut dengan tmaks, dimana nilai tmaks ini tidak
bergantung pada Cmaks namun bergantung pada Konstanta/tetapan laju
absorbs (Ka) dan tetapan laju distribusi (α). Cmaks sering disebut sebagai
kadar puncak dimana laju obat yang diabsorbsi sebanding dengan laju
obat yang dieliminasi. Nilai ini merupakan hasil dari proses absorbsi,
distribusi dan eliminasi dengan pengertian bahwa pada saat kadar
mencapai puncak proses-proses tersebut berada dalam keadaan seimbang
(Wulandari, 2009). Dapat dirumuskan sebagai berikut:
Untuk Pemberian Ganda Secara Oral:
F . Ka . D 1−e−n . K . τ − K .t 1−e−n . K .τ −n .K
[( ]
a

C m aks=
Vd .(K a −K e ) 1−e− K .τ
e −) 1−e−K . τ( ea ) a
t

Untuk Pemberian Secara Oral:


F . Ka . D
C m aks= ( e−kt −e− K t )
a

Vd .( K a −K e )

7. Tetapan Kecepatan eliminasi


Kecepatan eliminasi adalah fraksi obat yang ada pada suatu waktu
yang menunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses kinetik
mencapai keseimbangan (Wulandari, 2009).
0,693
K=
1
t
2
8. Waktu mencapai kadar puncak ( tmak )
Nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik
mencapai puncaknya (Wulandari, 2009). Dirumuskan sebagai berikut:
2,3 K
t m aks= ×log a
(K a−K e ) Ke

9. Bioavailibilitas
Bioavailibilitas adalah adalah laju dan jumlah relatif obat yang
mencapai sirkulasi umum tubuh (sistem peredaran darah). Laju relatif
obat yang mencapai sistem peredaran darah (laju absorbsi) dapat
ditentukan dari konstanta laju absorbsi, sedangkan jumlah relatif obat
yang terabsorbsi dapat ditentukan dari availabilitas absolut atau
availabilitas relatif. Manfaat dari biavailabilitas diantaranya adalah dapat
diketahui waktu yang dibutuhkan suatu obat agar dapat memberikan efek
terapi dan seberapa banyak obat tersebut dapat terserap oleh tubuh
(Wulandari, 2009).

C. ALAT DAN BAHAN


1. ALAT
 Kalkulator Scientific
 Laptop
 Kertas Semilogratimik
 Alat Tulis
 Penggaris

2. BAHAN
 Text Book
D. DAFTAR PUSTAKA

Food and Drug Administration, 2009, FDA Drug Safety Communication, U.S.
Department of Health and Human Services
Lehninger, Albert. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Erlangga.
Shargel, L., dan Yu, A. B. C., 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan diterjemahkan oleh Siti Sjamsiah, Edisi Kedua, Hal 85-99,
Airlangga University Press, Surabaya.
Stockley, I.H., 2008, Stockley’s Drug Interaction, Eighth Edition, 21, 144,
698, 700, 904, 920, 936, Pharmaceutical Press, London.
Whitaker, J.R. 1996. Enzymes. Di dalam O.R. Fennema (ed). Food
Chemistry. Third edition. Marcell Dekker, Inc., New York and Basel.
Wulandari, Retno. 2009. Profil Farmakokinetika Teofilin Yang Diberikan
Secara Bersamaan Dengan Jus Jambu Biji (Psidium guajava L.) Pada
Kelinci Jantan. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai