PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan masyarakat tidaklah dapat dihindari kenyataan bahwa budaya sangat
berpengaruh terhadap perilaku, ekspresi emosi, kepribadian, keyakinan, dan kehendak.
Budaya dalam kehidupan individu atau kelompok membuat suatu perbedaan antara
sekelompok orang dengan kelompok lain.
Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada
ras, etnisitas, dan sebagainya, sedangkan para teoritis mutakhir cenderung untuk
mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabel-variabelnya (Sue dan Sue, 1990).
Namun argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus
melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya
orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas,
agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan
Birman, 1994).
Salah satu cara utama mengkonseptualisasikan prinsip-prinsip serta perbedaan
budaya, dapat dilakukan melalui penggunaan istilah etik (etic) dan emik (emics).
Kedua istilah ini mengacu pada keunikan yang bersifat universal dan kekhasan
budaya, pengetahuan, dan kebenaran. Sedangkan dalam kegiatan konseling juga
terdapat pendekatan-pendekatan untuk menunjang kelancaran suatu layanan. Berikut
ini penjabaran tentang pendekatan etik dan emik dalam konseling.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Etik dan Emik?
2. Bagaimana pendekatan Etik dan Emik dalam konseling lintas budaya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Etik dan Emik.
2. Untuk mengetahui maksud pendekatan Etik dan Emik dalam Konseling.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Diana Ariswanti Triningtyas, Konseling Lintas Budaya (Magetan: CV. AE MEDIA GRAFIKA,
2019), hal. 28.
2
B. Pendekatan Etik dan Emik dalam Konseling Lintas Budaya
Emik dan Etik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi yang cukup
mengundang perdebatan. Emik (native point of view) misalnya, mencoba menjelaskan
suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri.
Sebaliknya, etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak
(dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam
masyarakat.
Secara sangat sederhana emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang
dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si pengamat. Pendekatan emik dalam
hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku
kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang
yang dikaji itu sendiri berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang
mengalami peristiwa itu sendiri. Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan
ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan
bukan dipaksakan secara etnosentrik.
Etik mencakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai
budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang
universal. Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak
berbeda untuk budaya yang berbeda dengan demikian sebuah emik mengacu pada
kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-specific).
Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik dan etik
merupakan konsep-kosep yang kuat (powerful). Kalau kita tahu sesuatu tentang
prilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran dan hal itu adalah suatu etik
(alias universal), maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran
bagi semua orang dari budaya apa pun. Kalau yang kita ketahui tentang prilaku
manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias
bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu
merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.
Contoh Kasus
Pada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. Bila perilaku
pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial atau sebuah keniscayaan. Maka
berlaku sebutan; pengemis adalah sampah masyarakat, manusia tertindas, manusia
3
yang perlu dikasihani, manusia kalah, manusia korban kemiskinan structural, dsb.
Anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir, melainkan sebuah sudut pandang
etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan fakta yang semestinya berlaku
seperti itu, bukan pandangan emik bagaimana pengemis melihat dirinya sendiri.
Dalam pandangan emik yang bersifat interpretif atau fenomenologis,
pengemis adalah subjek. Mereka adalah aktor kehidupan yang memiliki hasrat dan
kehidupan sendiri yang unik. Pandangan subjektif seperti ini diperlukan untuk
mengimbangi pandangan obyektif yang seringkali justru memojokkan mereka,
melihat mereka sebagai korban kehidupan, kesenjangan ekonomi, atau
ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas masyarakat yang memiliki pemikiran
dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri.
Agar bisa benar-benar memahami klien, konselor harus menyadari bahwa orang
yang duduk di depan kita adalah makhluk yang sangat kompleks dan beragam. Oleh
karena itu, mengkombinasikan faktor budaya dan keragaman sebagai bagian untuk
dimengerti, adalah hal yang sangat esensial.
Dayakisni dan Yuniardi (2012) juga mengungkapkan bahwa ketidak-pahaman
akan konsep universalitas versus keunikan inilah dalam kehidupan sehari-hari
seringkali menjadi sumber kesalah-pahaman dan konflik. Konflik karena kesalah-
pahaman yang kadang sederhana ini dapat terjadi dimanapun bahkan termasuk dalam
kegiatan profesional psikologi seperti ketika melakukan proses wawancara seleksi
kerja ataupun konseling.2
2
Diana Ariswanti Triningtyas, Konseling Lintas Budaya (Magetan: CV. AE MEDIA GRAFIKA,
2019), hal. 31-32.
4
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara sederhana, definisi Etik dan Emik adalah suatu kebenaran yang diakui,
diterima oleh seluruh masyarakat tanpa memandang perdebatan budaya, dengan kata
lain kebenaran yang dimaksud berlaku untuk semua orang (bersifat universal).
Sebaliknya, Emik adalah suatu kebenaran yang hanya diterima dan diakui oleh
masyarakat setempat dan tidak berlaku bagi orang yang berasal dari budaya yang
berbeda. Emik dalam hal ini menawarkan sesuatu yang lebih obyektif.
Pada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. Bila perilaku pengemis
disebut sebagai sebuah fakta sosial atau sebuah keniscayaan. Maka berlaku sebutan:
pengemis adalah sampah masyarakat, manusia tertindas, manusia yang perlu
dikasihani, manusia kalah, manusia korban kemiskinan struktural, dsb. Anggapan ini
bukan sebuah kesalahan berpikir, melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar
pengemis untuk menunjukkan fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan
pandangan emik, bagaimana pengemis melihat dirinya sendiri.
5
DAFTAR PUSTAKA