Anda di halaman 1dari 49

1

SKENARIO 5
Nyeri Di Seluruh Lapang Abdomen
Seorang laki-laki berusia 40tahun di bawa ke IGD Rumah Sakit dengan keluhan
nyeri abdomen sejak 2 jam yang lalu. Awalnya nyeri di rasakan seperti di tusuk-
tusuk, semakin nyeri, dan memberat dengan perubahan posisi, skala nyeri 9/10.
Keluhan disertai demam tinggi sejak 3 flatus sejak 2 hari yang lalu. Riwayat
trauma di sangkal. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan pasien tampak sakit berat,
kesadaran komposmentis,tekanan darah 100/70 mmHg, pernafasan 20x/menit,
nadi distensi, bising usus menurun, defense muskular positif. Pemeriksaan
laboratorium menunjukan leukositosis. Dokter segera melakukan penatalaksanaan
awal pada pasien tersebut.

STEP 1
1. Defense muskular: Nyeri tekan di seluruh lapang abdomen yang
menunjukan rangsangan peritoneum parietal.
2. Flatus: pengeluaran gas dan saluran pencernaan.
3. Distensi: gas atau cairan yang menumpuk di dalam perut.

STEP 2
1. Faktor resiko yang menyebabkan nyeri abdomen?
2. Bagaimana patomekanisme terjadinya manifestasi klinis?
3. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus?
4. Nyeri abdomen apa yang di alami pasien?
5. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus?

STEP 3
1. Faktor resiko kolelitiasis: status imun, kebiasaan hidup,jenis
kelamin,obesitas,trauma,narkoba. Penyebabnya bisa karena peradangan
atau infeksi pada GIT, Virus bakteri fungi, trauma ,luka,parasit.
2. Patomekanisme: bakteri menyebabkan inflamasi lalu terjadinya agregasi
dan menjadi akut terjadinya rangsangan ke hipotalamus merangsang set
poin dan terjadi demam.Inflamasi eksudat fibrinosa terjadilah respon lokal
2

dan menyebabkan distensi abdomen lalu terjadi nyeri viceral. Ganggunag


motilitas menyebabkan penurunan bising usus, lalu peristaltik menurun
menyebabkan tidak BAB dan flatus. Nervus vagus merangsang pusat
muntah di medula oblongata. Inflamasi nyeri spasme otot abdomen
menyebabkan nyeri tekan abdomen meningkat. Inflamasi akut penyebaran
perforasi masuk ke peritoneum, dan flora normal berubah menjadi
patogen. Vasodilatasi pembuluh darah terjadi hipotensi.
3. Penegakan diagnosis:
Anamnesis:
Sejak kapan, letak nyeri, skala nyeri, Rpd Rpk Rpsos, sifat nyeri
anifestasi klinis tambahan, memperberat memperingan
PF:
Kesadaran,ttv, inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi, rectal toucher,
CRT.
PP:
Darah rutin,leukositosis atau peradangan, elektrolit,USG, CT-Scan,
biokimia darah, photo abdomen 3 posisi.
Dx: Peritonitis dengan perforasi
DD: Perforasi gaster, apendisitis ileus paralitik
4. Nyeri akut abdomen:
Sifat nyeri: nyeri kontiue
Jenis nyeri: nyeri viceral
5. Tatalaksana pada kasus:
IV line dengan RL, ICU rawat inap, pembedahan, oksigen, NGT,
kateter urin.
Farmako: antibiotik, paracetamol,donperidon,NSAID
3

STEP 4
1. Faktor resiko kolelitiasis: status imun, kebiasaan hidup,jenis
kelamin,obesitas,trauma,narkoba. Penyebabnya bisa karena peradangan
atau infeksi pada GIT, Virus bakteri fungi, trauma ,luka,parasit.
2. Patomekanisme: bakteri menyebabkan inflamasi lalu terjadinya agregasi
dan menjadi akut terjadinya rangsangan ke hipotalamus merangsang set
poin dan terjadi demam.Inflamasi eksudat fibrinosa terjadilah respon lokal
dan menyebabkan distensi abdomen lalu terjadi nyeri viceral. Ganggunag
motilitas menyebabkan penurunan bising usus, lalu peristaltik menurun
menyebabkan tidak BAB dan flatus. Nervus vagus merangsang pusat
muntah di medula oblongata. Inflamasi nyeri spasme otot abdomen
menyebabkan nyeri tekan abdomen meningkat. Inflamasi akut penyebaran
perforasi masuk ke peritoneum, dan flora normal berubah menjadi
patogen. Vasodilatasi pembuluh darah terjadi hipotensi.
3. Penegakan diagnosis:
Anamnesis:
Sejak kapan, letak nyeri, skala nyeri, Rpd Rpk Rpsos, sifat nyeri
anifestasi klinis tambahan, memperberat memperingan
PF:
Kesadaran,ttv, inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi, rectal toucher,
CRT.
PP:
Darah rutin,leukositosis atau peradangan, elektrolit,USG, CT-Scan,
biokimia darah, photo abdomen 3 posisi.
Dx: Peritonitis dengan perforasi
DD: Perforasi gaster, apendisitis ileus paralitik
4. Nyeri akut abdomen:
Sifat nyeri: nyeri kontiue
Jenis nyeri: nyeri viceral
5. Tatalaksana pada kasus:
IV line dengan RL, ICU rawat inap, pembedahan, oksigen, NGT,
kateter urin.
4

Farmako: antibiotik, paracetamol,donperidon,NSAID


MIND MAP

ETIOLOGI

TATALAKSAN FAKTOR
A RESIKO

AKUT
ABDOMEN

PENEGAKAN
PATOMEKANISME DIAGNOSIS

MANIFESTA
SI KLINIS

STEP 5
1. Jelaskan kondisi yang termasuk kegawatdaruratan abdomen!
2. Jelaskan penyebab, mekanisme di hubungkan manifestasi klinis sehingga
terjadi komplikasi, penegakan diagnosis dan penatalaksanaan pada
penyakit kegawatdaruratan abdomen.

STEP 6
Belajar mandiri
5

STEP 7.
1. Gawat Abdomen
Istilah gawat abdomen atau gawat perut menggambarkan keadaan
klinis akibat kegawatdaruratan di rongga perut yang biasanya timbul
mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Gawat abdomen
memerlukan penanganan segera yang sering berupa tindakan bedah,
misalnya pada obstruksi, perforasi atau pendarahan masif di rongga perut
maupun disaluran cerna. Infeksi, obstruksi, strangulasi saluran cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut
oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. Keputusan untuk
melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyulit yang berakibat meningkatknya
mordibidas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggunalangannya
bergantung pada kemampuan melakukan analisis melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pengetahuan anatomi dan
faal perut beserta isinya sangat penting untuk menyingkirkan satu demi
satu dari kemungkinan penyebab nyeri perut akut.1

Gambar 1.1 Penyebab dan Contoh yang Mengakibatkan


Gawat Abdomen.1

2. Penyebab
6

Gawat perut dapat disebabkan oleh kelainan didalam abdomen


berupa inflamasi dan penyulitnya, ileus obstruktif, iskemia dan
pendarahan. Yang termasuk penyebab gawat abdomen adalah:
1) Obstruksi Usus
Obstruksi usus halus sering menimbulkan nyeri kolik
dengan muntah hebat, distensi perut dan peningkatan bisisng
usus. Pada penderita demikian harus diperhatikan kemungkinan
adanya hernia strangulata. Muntah lebih menonjol pada
obstruksi tinggi.1
Volvulus usus halus agak jarang ditemukan, biasanya pada
anamnesis didapatkan nyeri yang bermula akut, tidak
berlangsung lama, menetap, disertai muntah hebat, dan pada
palpasi teraba massa yang nyeri dan bertambah besar. Biasanya
penderita jatuh kedalam syok. Invaginasi lazim ditemukan pada
bayi dengan serangn kolik dan defekasi berlendir-darah. Massa
yang mudah dgerakan mulanya ditemukan di kanan lalu
berpindah ke kiri melalui epigastrium.1
Ileus osbtruksi usus besar biasanya menyebabkan serangan
kolik yang tidak terlalu hebat. Muntah tidak menonjol, tetapu
distensi tampak jelas. Penderita tidak dapat defekasi atau flatus,
dan bila penyebabnya volvulus sigmoid, perut dapat besar
sekali. Pada colok dubur teraba masssa di rektum atau terdapat
darah dan lendir, hal itu membantu mendiagnosis kemungkinan
karsinoma rektum.1
2) Perforasi
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan
peritoneum yang mulai di epigastrium dan meluas ke seluruh
peritoneum akibat peritonitis generalisata. Perforasi ileum pada
tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama
kurang lebih dua minggu disertai nyeri kepala, batuk, dan
malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans
muskuler, dan keadaan umum yang merosot.1
7

3) Pendarahan
Sebagai akibat trauma abdomen dapat terjadi kerusakan
pada organ padat, seperti hati dan limpa. Adanya darah dalam
rongga perut menyebabkan rangsangan peritoneum dan nyeri,
yang dapat berlanjut menjadi anemia hemoragik dan syok
hemoragik.1
Perdarahan dalam rongga usus, seperti perdarahan pada
varises esofagus, tukak lambung atau duodenum, kolitis
ulseratif dan divertikulitis kolon, dapat menyebabkan keadaan
gawat yang memerlukan operasi segera.1
4) Inflamasi
Pankretitis akut, appendisitis, berawal dari sebuah
peradangan atau inflamasi yang jika berlanjut menjadi perforasi
dapat menyebabkan peritonitis. Dan jika sudah masuk ke
peritonitis harus segera mendapatkan tindakan..1
5) Trauma
Trauma dapat mengakibatkan pecahnya organ perut dengan
perdarahan dan perforasi usus. Oleh karena itu, pemeriksaan
pada korban trauma perut harus dilakukan dengan cermat
disertai anamnesis tentang arah trauma.1

Berikut adalah contoh-contoh penyakit yang termasuk kedalam


gawat abdomen:
a. Pancreatitis Akut
Klasifikasi
Klasifikasi yang sering digunakan adalah the Atlanta
Classification, klasifikasi tersebut membagi pankreatitis akut secara
umum menjadi 2 kategori, yaitu pankreatitis akut ringan (edematous
dan interstitial) dan pankreatitis akut berat (biasanya disamakan dengan
necrotizing). Berat ringannya pankreatitis akut dapat diprediksi
berdasarkan faktor risiko klinis, laboratorium, radiologik, dan serum
8

marker. Beberapa kriteria dapat ditemukan saat mulai dirawat atau saat
triage sementara, lainnya hanya dapat ditemukan 48-72 jam setelahnya.2

Patofisiologi
Patofisiologi pankreatitis akut masih belum jelas; dapat terjadi
apabila faktor pemeliharaan hemostasis seluler tidak seimbang. Faktor
ekstraseluler (misalnya: respons saraf dan vaskuler) dan intraseluler
(misalnya: aktivasi enzim pencernaan intrasel, peningkatan sinyal
kalsium, dll) dapat berpengaruh. Diduga, kejadian yang dapat memicu
pankreatitis akut adalah kejadian yang mengganggu sel acinar dan
mengganggu sekresi granul zymogen, contohnya pada penggunaan
alkohol berlebih, batu empedu, dan beberapa jenis obat. Gangguan sel
acinar dimulai dari kekacauan di membran sel, dapat mengakibatkan:
Bagian granul lisosom dan zymogen bergabung, dan dapat
mengaktivasi tripsinogen menjadi tripsin.„ Tripsin intraseluler dapat
memicu aktivasi seluruh jalur zymogen Vesikel sekretorik dikeluarkan
dari membran basolateral ke interstitial,fragmen molekulnya bekerja
sebagai chemoattractants untuk sel inflamasi. Aktivasi neutrofil dapat
mengeksaserbasi masalah dengan dilepaskannya superoxide atau enzim
proteolitik (misalnya: cathepsinsn B, D, dan G; kolagenase, dan
elastase). Akhirnya makrofag melepaskan sitokin yang memediasi
respons inflamasi lokal (pada kasus berat dapat sistemik). Mediator
awal yang diketahui adalah TNF-α, interleukin (IL)-6, dan IL-8.2
Mediator inflamasi tersebut meningkatkan permeabilitas vaskuler
pankreas, dapat berlanjut menjadi perdarahan, edema, dan terkadang
nekrosis pankreas. Karenan disekresi ke sistem sirkulasi, dapat muncul
komplikasi sistemik seper i bakteremia, acute respiratory distress
syndrome (ARDS), efusi pleura, perdarahan saluran cerna, dan gagal
ginjal. Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) juga dapat
terjadi, dapat berlanjut menjadi syok sistemik. Pada beberapa kasus
pankreatitis akut, awalnya terjadi edema parenkim dan nekrosis lemak
peripankreas, dikenal sebagai pankreatitis edema akut. Saat nekrosis
parenkim terjadi, disertai perdarahan dan disfungsi kelenjar, inflamasi
9

berkembang menjadi pankreatitis hemoragik atau necrotizing


pancreatitis.2

Gambar 1.2 Patofisiologi Pancreatitis.1

Gejala Klinik
Pasien biasanya mengalami nyeri epigastrium atau di kuadran
kiri atas. Nyeri konstan dengan penyebaran ke punggung, dada, atau
pinggang, namun tidak spesifik. Intensitas nyeri kebanyakan berat,
namun dapat bervariasi. Intensitas dan lokasi nyeri tidak berhubungan
dengan berat ringannya penyakit. Pemeriksaan imaging dapat
membantu diagnosis pankreatitis akut dengan gejala tidak spesifik.2
Diagnosis
10

Rekomendasi ACG (American College of Gastroenterology)


tahun 2013. Diagnosis pankreatitis akut ditegakkan dengan dua dari tiga
kriteria berikut:
(i) nyeri perut yang konsisten dengan penyakit(nyeri
epigastrium atau kuadran kiri atas, nyeri umumnya
dideskripsikan dengan nyeri konstan dengan penyebaran
ke punggung, dada, atau pinggang),
(ii) kadar serum amilase dan/atau lipase lebih dari 3 kali
lipat batas atas normal, dan
(iii) temuan karakteristik dari pemeriksaan
radiologis/imaging abdomen. (rekomendasi kuat,
moderate quality of evidence).2
Pemeriksaan contrast enhanced computed tomographic (CECT)
dan/atau MRI pankreas sebaiknya dilakukan jika diagnosis belum jelas
atau klinis tidak membaik dalam 48-72 jam pertama perawatan di RS
(rekomendasi kuat, low quality of evidence). Transabdominal ultrasound
sebaiknya dilakukan pada semua pasien pankreatitis akut (rekomendasi
kuat, low quality of evidence). Dalam kasus tidak ada batu empedu
ataupun riwayat penggunaan alkohol yang bermakna, pemeriksaan
trigliserida serum sebaiknya dilakukan dan dipertimbangkan sebagai
etiologi apabila nilainya 1000 mg/dL (rekomendasi kondisional,
moderate quality of evidence). Pada pasien berusia 40 tahun, tumor
pankreas sebaiknya dipertimbangkan sebagaipenyebab (rekomendasi
kondisional, low quality of evidence).2
Pemeriksaan endoskopi pada pankreatitis akut idiopatik harus
dibatasi, risiko dan manfaat pemeriksaan ini belum jelas (rekomendasi
kondisional, low quality of evidence). Pasien pankreatitis idiopatik
sebaiknya dirujuk (rekomendasi kondisional, low quality of evidence).
Pemeriksaan genetik dapat dipertimbangkan pada pasien usia muda (30
tahun) jika penyebab tidak terbukti dan ada riwayat penyakit pankreas
di keluarga (rekomendasi kondisional, low quality of evidence).2
11

Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan C reactive protein


(CRP) dikenalluas sebagai indikator beratnya penyakit. Nilai kadar
puncak serum 48 jam setelah onset penyakit merupakan faktor
prognostik yang akurat, nilai lebih dari 150 mg/L mempunyai
sensitivitas 80%, spesifisitas 76%, PPV/positive predictive value 76%,
dan NPV/ negative predictive value 86%, sebagai indikator pankreatitis
akut berat. Blood urea nitrogen (BUN) meningkat saat masuk 20
mg/dL) atau meningkat 24 jam setelahnya, mengindikasikan
perburukan.2
Pemeriksaan Radiologik adanya efusi pleura pada X-ray dada
saat masuk memprediksi perburukan. Namun, CT scan abdomen lebih
penting. Gradation system pada hasil CT scan dikembangkan oleh
Balthazar, digabung dengan skor nekrosis, mendapatkan radiological
severity index (CT Severity Index); skor lebih tinggi dari 5 mempunyai
mortalitas lebih tinggi, perawatan di RS; lebih lama dan lebih
membutuhkan nekrosektomi.2
Rekomendasi Terapi
Rekomendasi terapi dari ACG (American College of
Gastroenterology) tahun 2013. Penilaian Awal dan Stratifikasi Risiko
Status hemodinamik harus dinilai segera setelah pasien masuk dan
tindakan resusitasi dilakukan saat dibutuhkan (rekomendasi kuat,
moderate quality of evidence). Penilaian risiko sebaiknya dilakukan
untuk membagi pasien menjadi kategori risiko tinggi dan rendah untuk
membantu triage, seperti: masuk ke perawatan intensif (rekomendasi
kondisional, moderate quality of evidence). Pasien dengan gagal organ
sebaiknya dirawat di ICU atau intermediate care apabila memungkinkan
(rekomendasi kuat, low quality of evidence).2
Manajemen Awal, hidrasi agresif, yang didefinisikan sebagai
250-500 mL larutan kristaloid per jam sebaiknya diberikan untuk semua
pasien, kecuali apabila terdapat komorbiditas kardiovaskuler atau
ginjal. Hidrasi agresif intravena awal, paling bermanfaat pada 12- 24
jam pertama, setelah itu mungkin hanya mempunyai sedikit manfaat
12

(rekomendasi kuat, moderate quality of evidence).Pada pasien dengan


kekurangan cairan berat dan bermanifestasi hipotensi dan takikardia,
penggantian cairan yang lebih cepat (bolus) lebih dipilih (rekomendasi
kondisional, moderate quality of evidence). Larutan ringer laktat lebih
dipilih dibandingkan kristaloid isotonik untuk penggantian cairan
(rekomendasi kondisional, moderate quality of evidence).2
Kebutuhan cairan sebaiknya dinilai ulang dalam 6 jam pertama
dan untuk 24-48 jam berikutnya. Tujuan hidrasi agresifadalah untuk
menurunkan blood urea nitrogen (rekomendasi kuat, moderate quality
of evidence). Endoscopic retrograde cholangiopancreatography
(ERCP) pada Pankreatitis Akut.2
Pada pankreatitis akut bersamaan dengan kolangitis akut
sebaiknya menjalani ERCP dalam 24 jam pertama (rekomendasi kuat,
moderate quality of evidence). ERCP tidak dibutuhkan sebagian besar
pasien pankreatitis batu empedu yang tidak terbukti obstruksi bilier
secara klinik ataupun laboratorium (rekomendasi kuat, low quality of
evidence). Pada kasus tanpa kolangitis dan/atau jaundice, endoscopic
ultrasound (EUS) lebih baik dibandingkan ERCP diagnostik untuk
screening choledocholithiasis pada pasien sangat diduga
choledocholithiasis (rekomendasi kondisional, low quality of evidence).
Pancreatic duct stents dan/ atau NSAID supositoria per rektal pasca-
prosedur digunakan untuk mencegah pankreatitis berat post-ERCP pada
pasien risiko tinggi (rekomendasi kondisional, moderate quality of
evidence).2
Penggunaan Antibiotik pada Pankreatitis Akut, antibiotik
sebaiknya diberikan hanya untuk infeksi di luar pankreas, seperti
kolangitis, infeksi karena penggunaan kateter, bakteremia, infeksi
saluran kemih, pneumonia. Penggunaan antibiotik profilaksis secara
rutin pada pankreatitis akut berat tidak direkomendasikan. Penggunaan
antibiotik pada nekrosis steril untuk mencegah timbulnya nekrosis
terinfeksi tidak direkomendasikan. Nekrosis terinfeksi harus
dipertimbangkan terjadi pada pasien dengan nekrosis pankreas atau
13

ekstra pankreas yang memburuk atau gagal membaik setelah 7-10 hari
perawatan di RS. Pada pasien ini sebaiknya dilakukan:
(i) CT-guided fine needle aspiration (FNA) awal untuk
pewarnaan Gram dan kultur untuk panduan penggunaan
antibiotik, atau
(ii) Penggunaan empirik antibiotik tanpa CT FNA Pada
pasien dengan nekrosis terinfeksi, antibiotik yang
diketahui dapat melewati nekrosis pankreas, misalnya
carbapenems, quinolones, dan metronidazole, dapat
bermanfaat menunda atau kadang menghindari secara
total tindakan intervensi, yang berhubungan dengan
menurunnya morbiditas dan mortalitas. Pemberian rutin
agen anti-fungal bersama dengan antibiotik profilaksis
atau terapi antibiotik tidak direkomendasikan.2
Nutrisi pasien pada pankreatitis akut ringan, pemberian makan
secara enteral dapat dimulai secepatnya apabila tidak terjadi mual
muntah, dan nyeri perut telah hilang. Pada pankreatitis akut, pemberian
makan dengan diet padat serta rendah lemak tampaknya aman sama
seperti pemberian diet cair. Pada pankreatitis akut berat, pemberian
nutrisi enteral direkomendasikan untuk mencegah komplikasi infeksi.
Nutrisi parenteral sebaiknya dihindari, kecuali rute enteral tidak
tersedia, tidak ditoleransi, atau tidak mencukupi kebutuhan kalori.
Pemberian makanan enteral secara nasogastrik dan nasoyeyunal
tampaknya setara dalam efikasi dan keamanan.2
Peran Tindakan Bedah pada Pankreatitis Akut, pada pankreatitis
akut ringan dengan batu empedu di kandung empedu, kolesistektomi
sebaiknya dilakukan sebelum pasien keluar RS untuk mencegah
kekambuhan pankreatitis akut Pada necrotizing biliary pankreatitis
akut, untuk mencegah infeksi, kolesistektomi ditunda hingga inflamasi
aktif hilang dan penumpukan cairan membaik atau stabil. Adanya
pseudokista tanpa gejala dan nekrosis pankreas dan/atau ektra pankreas
tidak memerlukan intervensi, terlepas dari ukuran, lokasi, dan/ekstensi).
14

Pada nekrosis terinfeksi yang stabil, tindakan bedah, radiologik, dan/


atau drainase endoskopi sebaiknya ditunda lebih dari 4 minggu, untuk
memberi kesempatan liquefication isi dan perkembangan dinding
fibrosis di sekeliling nekrosis (walled-off necrosis). Pada nekrosis
terinfeksi yang bergejala, lebih dipilih melakukan metode nekrosektomi
minimal invasif daripada nekrosektomi terbuka.2

b. Perforasi Gaster
Secara fisiologis, gaster relatif bebas dari bakteri dan
mikroorganisme lainnya karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi.
Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi
gaster yang normal dan tidak berada pada resiko kontaminasi bakteri yang
mengikuti perforasi gaster. Kebocoran asam lambung kedalam rongga
peritoneum sering menimbulkan peritonitis kimia. Bila kebocoran tidak
ditutup dan partikel makanan mengenai rongga peritoneum, peritonitis
kimia akan diperparah oleh perkembangan yang bertahap dari peritonitis
bakterial.4
Pasien dapat asimptomatik untuk beberapa jam antara peritonitis
kimia awal dan peritonitis bakterial lanjut. Mikrobiologi dari usus kecil
berubah dari proksimal samapi ke distalnya. Beberapa bakteri menempati
bagian proksimal dari usus kecil dimana, pada bagian distal dari usus kecil
(jejunum dan ileum) ditempati oleh bakteri aerob (E.Coli) dan anaerob
( Bacteriodes fragilis (lebih banyak)). Kecenderungan infeksi intra
abdominal atau luka meningkat pada perforasi usus bagian distal. Adanya
bakteri di rongga peritoneal merangsang masuknya sel-sel inflamasi akut.
Omentum dan organ-organ visceral cenderung melokalisir proses
peradangan, mengahasilkan phlegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi
kolon). Hypoksia yang diakibatkannya didaerah itu memfasilisasi
tumbuhnya bakteri anaerob dan menggangu aktifitas bakterisidal dari
granulosit, yang mana mengarah pada peningkatan aktifitas fagosit
daripada granulosit, degradasi sel-sel, dan pengentalan cairan sehingga
membentuk abscess, efek osmotik, dan pergeseran cairan yang lebih
banyak ke lokasi abscess, dan diikuti pembesaran absces pada perut. Jika
15

tidak ditangani terjadi bakteriemia, sepsis, multiple organ failure dan


shock.4
Diagnosis
Pemeriksaan pada area perut: periksa apakah ada tanda-tanda
eksternal seperti luka, abrasi, dan atau ekimosis. Amati pasien: lihat pola
pernafasan dan pergerakan perut saat bernafas, periksa adanya distensi dan
perubahan warna kulit abdomen. Pada perforasi ulkus peptikum pasien
tidak mau bergerak, biasanya dengan posisi flexi pada lutut, dan abdomen
seperti papan.4

Gambar 1.3 patofisiologi Perforasi Gaster.4


16

Gambar 1.4 Komplikasi Perforasi Gaster.4

Pemeriksaan Fisik:
1. Palpasi dengan halus, perhatikan ada tidaknya massa atau nyeri tekan.
Bila ditemukan tachycardi, febris, dan nyeri tekan seluruh abdomen
mengindikasikan suatu peritonitis. Rasa kembung dan konsistensi
sperti adonan roti mengindikasikan perdarahan intra abdominal.
2. Nyeri perkusi mengindikasikan adanya peradangan peritoneum
3. Pada auskultasi : bila tidak ditemukan bising usus mengindikasikan
suatu peritonitis difusa. Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dan
pelvis : pemeriksaan ini dapat membantu menilai kondisi seperti
appendicitis acuta, abscess tuba ovarian yang ruptur dan divertikulitis
acuta yang perforasi.4

Pemeriksaan penunjang:
Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat
dilakukan adalah : foto polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi
dengan vesika urinaria penuh, CT-scan murni dan CT-scan dengan kontras.
Jika temuan foto Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas, sebaiknya jangan
ragu untuk menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan metode ini dapat
17

mendeteksi cairan dan jumlah udara yang sangat sedikit sekali pun yang tidak
terdeteksi oleh metode yang disebutkan sebelumnya.5
1. Radiologi. Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut
abdomen. Isi yang keluar dari perforasi dapat mengandung udara, cairan
lambung dan duodenum, empedu, makanan, dan bakteri. Udara bebas atau
pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem gastrointestinal.
Hal ini terjadi setelah perforasi lambung, bagian oral duodenum, dan usus
besar. Pada kasus perforasi usus kecil, yang dalam keadaan normal tidak
mengandung udara, jumlah udara yang sangat kecil dilepaskan. Udara
bebas terjadi di rongga peritoneum 20 menit setelah perforasi. Manfaat
penemuan dini dan pasti dari perforasi gaster sangat penting, karena
keadaan ini biasanya memerlukan intervensi bedah. Radiologis memiliki
peran nyata dalam menolong ahli bedah dalam memilih prosedur
diagnostik dan untuk memutuskan apakah pasien perlu dioperasi. Deteksi
pneumoperitoneum minimal pada pasien dengan nyeri akut abdomen
karena perforasi gaster adalah tugas diagnostik yang paling penting dalam
status kegawatdaruratan abdomen. Seorang dokter yang berpengalaman,
dengan menggunakan teknik radiologi, dapat mendeteksi jumlah udara
sebanyak 1 ml. dalam melakukannya, ia menggunakan teknik foto
abdomen klasik dalam posisi berdiri dan posisi lateral decubitus kiri.
Untuk melihat udara bebas dan membuat interpretasi radiologi dapat
dipercaya, kualitas film pajanan dan posisi yang benar sangat penting.
Setiap pasien harus mengambil posisi adekuat 10 menit sebelum
pengambilan foto, maka, pada saat pengambilan udara bebas dapat
mencapai titik tertinggi di abdomen. Banyak peneliti menunjukkan
kehadiran udara bebas dapat terlihat pada 75-80% kasus. Udara bebas
tampak pada posisi berdiri atau posisi decubitus lateral kiri. Pada kasus
perforasi karena trauma, perforasi dapat tersembunyi dan tertutup oleh
kondisi bedah patologis lain. Posisi supine menunjukkan
pneumoperitoneum pada hanya 56% kasus. Sekitar 50% pasien
menunjukkan kumpulan udara di abdomen atas kanan, lainnya adalah
subhepatika atau di ruang hepatorenal. Di sini dapat terlihat gambaran oval
18

kecil atau linear. Gambaran udara bentuk segitiga kecil juga dapat tampak
di antara lekukan usus. Meskipun, paling sering terlihat dalam bentuk
seperti kubah atau bentuk bulan setengah di bawah diafragma pada posisi
berdiri. Football sign menggambarkan adanya udara bebas di atas
kumpulan cairan di bagian tengah abdomen.5
2. Ultrasonografi. Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan
kondisi akut abdomen. Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan
bebas dengan berbagai densitas, yang pada kasus ini adalah sangat tidak
homogen karena terdapat kandungan lambung. Pemeriksaan ini khususnya
berharga untuk mendeteksi cairan bebas di pelvik kecil menggunakan
teknik kandung kemih penuh. Kebanyakan, ultrasonografi tidak dapat
mendeteksi udara bebas.5
3. CT Scan. CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk
mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti
gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh
karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi gaster.
Ketika melakukan pemeriksaan, kita perlu menyetel jendelanya agar dapat
membedakan antara lemak dengan udara, karena keduanya tampak sebagai
area hipodens dengan densitas negatif. Jendela untuk parenkim paru adalah
yang terbaik untuk mengatasi masalah ini. Saat CT scan dilakukan dalam
posisi supine, gelembung udara pada CT scan terutama berlokasi di depan
bagian abdomen. Kita dapat melihat gelembung udara bergerak jika pasien
setelah itu mengambil posisi decubitus kiri. CT scan juga jauh lebih baik
dalam mendeteksi kumpulan cairan di bursa omentalis dan retroperitoneal.
Walaupun sensitivitasnya tinggi, CT scan tidak selalu diperlukan berkaitan
dengan biaya yang tinggi dan efek radiasinya. Jika kita menduga seseorang
mengalami perforasi, dan udara bebas tidak terlihat pada scan murni
klasik, kita dapat menggunakan substansi kontras nonionik untuk
membuktikan keraguan kita. Salah satu caranya adalah dengan
menggunakan udara melalui pipa nasogastrik 10 menit sebelum scanning.
Cara kedua adalah dengan memberikan kontras yang dapat larut secara
oral minimal 250 ml 5 menit sebelum scanning, yang membantu untuk
19

menunjukkan kontras tapi bukan udara. Komponen barium tidak dapat


diberikan pada keadaan ini karena mereka dapat menyebabkan
pembentukkan granuloma dan adesi peritoneum. Beberapa penulis
menyatakan bahwa CT scan dapat memberi ketepatan sampai 95%.6

Penatalaksanaan :
Keadaan umum penderita yang lambungnya mengalami perforasi
harus diperbaiki pra-bedah. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit,
pemasangan pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotic mutlak diperlukan.
Laparotomi segera dilakukan setelah upaya upaya tersebu dikerjakan. Jahitan
saja setelah eksisi tukak yang mengalami perforasi belum cukup mengatasi
penyakit primernya, tetapi tindakan ini dianjurkan bila keadaan umum kurang
baik seperti pada penderita usia lanjut serta terdapat peritonitis purulenta. Saat
ini, pada laparoskopi dilakukan penutupan perforasi menggunakan omentum
(omental plug), dan penjahitan primer pada luka perforasi dilaporkan
memeberikan hasil yang baik dengan intervensi yng minimal. Bila keadaan
memungkinkan, tambahan tindakan vagotomi dan penyaliran atau vagotomi
dan antrektomi dianjurkan untuk mencegah kekambuhan. Dan komplikasinya
adalah peritonitis.7
Intervensi bedah hampir selalu dibutuhkan dalam bentuk laparotomy
explorasi dan penutupan perforasi dengan pencucian pada rongga peritoneum
(evacuasi medis). Terapi konservatif di indikasikan pada kasus pasien yang
non toxic dan secara klinis keadaan umumnya stabil dan biasanya diberikan
cairan intravena, antibiotik, aspirasi NGT, dan dipuasakan pasiennya.8

c. Apendisitis Perforasi
Radang usus buntu didefinisikan sebagai peradangan lapisan
dalam dari apendiks vermiform yang menyebar ke bagian lain.
Meskipun kemajuan diagnostik dan terapeutik dalam pengobatan,
radang usus buntu tetap merupakan keadaan darurat klinis dan
merupakan salah satu penyebab umum nyeri perut akut.9
20

Etiologi
Apendisitis disebabkan oleh obstruksi lumen apendiks.
Penyebab paling umum obstruksi luminal termasuk hiperplasia limfoid
sekunder akibat penyakit radang usus atau infeksi (lebih umum selama
masa kanak-kanak dan pada dewasa muda), stasis tinja dan fecalith
(lebih umum pada pasien usia lanjut), parasit (terutama di negara-
negara Timur) , atau, lebih jarang, benda asing dan neoplasma. Fecalit
terbentuk ketika garam kalsium dan kotoran feses menjadi berlapis di
sekitar nidus yang terletak di dalam apendiks. Hiperplasia limfoid
dikaitkan dengan berbagai gangguan inflamasi dan infeksi termasuk
penyakit Crohn, gastroenteritis, amebiasis, infeksi pernapasan, campak,
dan mononukleosis. Obstruksi lumen appendiceal lebih jarang dikaitkan
dengan bakteri (spesies Yersinia, adenovirus, cytomegalovirus,
actinomycosis, spesies Mycobacteria, spesies Histoplasma), parasit
(misalnya spesies Schistosomes, cacing kremi, Strongyloides
stercoralis), material asing (misalnya, senapan pelet, alat intrauterin,
lidah pejantan, arang aktif), tuberkulosis, dan tumor.9
Patofisiologi
Dilaporkan, radang usus buntu disebabkan oleh obstruksi lumen
apendiks dari berbagai penyebab. Obstruksi diyakini menyebabkan
peningkatan tekanan dalam lumen. Peningkatan seperti ini berhubungan
dengan sekresi cairan dan mukus yang terus menerus dari mukosa dan
stagnasi bahan ini. Pada saat yang sama, bakteri usus dalam usus
melipatgandakan, mengarah pada perekrutan sel darah putih dan
pembentukan nanah dan tekanan intraluminal berikutnya. Jika obstruksi
appendiceal berlanjut, tekanan intraluminal naik pada akhirnya di atas
vena appendiceal, yang menyebabkan obstruksi aliran keluar vena.
Sebagai akibatnya, iskemia dinding appendiceal dimulai,
mengakibatkan hilangnya integritas epitel dan memungkinkan invasi
bakteri pada dinding appendix.Dalam beberapa jam, kondisi lokal ini
dapat memburuk karena trombosis arteri dan vena apendikular, yang
21

menyebabkan perforasi dan gangren pada usus buntu. Ketika proses ini
berlanjut, abses periappendicular atau peritonitis dapat terjadi.9

Gambar 1.5 Patofisiologi Apendicitis Perforasi.9

Manifestasi Klinis dan Penegakan Diagnosis


Presentasi klinis apendisitis terkenal tidak konsisten. Sejarah
klasik anoreksia dan nyeri periumbilikal diikuti oleh mual, nyeri right
lower quadrant (RLQ) atau kuadran kanan bawah, dan muntah terjadi
hanya pada 50% kasus :
1) Nyeri perut: Gejala yang paling umum
22

2) Mual: 61-92% pasien


3) Anoreksia: 74-78% pasien
4) Muntah: Hampir selalu mengikuti timbulnya rasa sakit; muntah
yang mendahului rasa sakit menunjukkan adanya obstruksi usus
5) Diare atau sembelit: Sebanyak 18% pasien
6) Fitur nyeri perut adalah sebagai berikut:
7) Biasanya dimulai sebagai nyeri periumbilikalis atau epigastrik,
kemudian bermigrasi ke RLQ
8) Pasien biasanya berbaring, melenturkan pinggul mereka, dan
menarik lutut mereka ke atas untuk mengurangi gerakan dan untuk
menghindari rasa sakit mereka. Durasi gejala kurang dari 48 jam di
sekitar 80% orang dewasa tetapi cenderung lebih lama pada orang
tua dan pada mereka dengan perforasi.9

Temuan pemeriksaan fisik termasuk yang berikut:


1) Nyeri tekan, nyeri pada perkusi, kekakuan.
2) Leher kuadran kiri bawah atau left lower quadrant (LLQ):
Mungkin merupakan manifestasi utama pada pasien dengan situs
inversus atau pada pasien dengan usus buntu panjang yang meluas
ke LLQ
3) Bayi laki-laki dan anak-anak kadang-kadang hadir dengan
hemiscrotum yang meradang
4) Pada wanita hamil, nyeri dan nyeri RLQ mendominasi pada
trimester pertama, tetapi pada paruh kedua kehamilan, kuadran
kanan atas atau right upper quadrant (RUQ) atau nyeri panggul
kanan dapat terjadi.9

Pemeriksaan Laboraturium :
1) Neutrofilia
2) WBC 500 sel / μL: 80-85% orang dewasa dengan radang usus
buntu CT scan
3) CT scan dengan kontras oral menengah atau rektal Gastrografin
enema telah menjadi studi pencitraan yang paling penting dalam
23

evaluasi pasien dengan presentasi atipikal dari radang usus


buntu
4) Ultrasonografi, apendiks yang sehat biasanya tidak dapat dilihat
dengan ultrasonografi ketika apendisitis terjadi, ultrasonogram
biasanya menunjukkan struktur tubular yang tidak dapat
dikompresi dengan diameter 7-9 mm.9

Tatalaksana
Apendektomi tetap merupakan satu-satunya pengobatan kuratif
dari radang usus buntu, tetapi penatalaksanaan pasien dengan massa
appendix biasanya dapat dibagi menjadi 3 kategori perawatan berikut:
1. Pasien dengan phlegmon atau abses kecil: Setelah terapi
antibiotik intravena (IV), apendiktomi interval dapat
dilakukan 4-6 minggu kemudian.
2. Pasien dengan abses yang terdefinisi lebih besar: Setelah
drainase perkutan dengan antibiotik IV dilakukan, pasien
dapat dilepas dengan kateter di tempatnya. Interval
appendektomi dapat dilakukan setelah fistula ditutup.
3. Pasien dengan abses multicompartmental: Pasien-pasien ini
memerlukan drainase bedah dini.9

d. Trauma Abdomen
Defenisi Trauma Abdomen
a) Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang
mengakibatkan cedera.
b) Trauma abdomen adalah trauma yang terjadi pada daerah abdomen
yang meliputi daerah retroperitoneal, pelvis dan organ peritroneal.
24

c) Trauma abdomen adalah cedera vicera abdominal yang disebabkan


karena luka penetratif atau trauma tumpul. Akibat dari trauma
abdomen dapat berupa perforasi ataupun perdarahan. Kematian
pada trauma abdomen biasanya terjadi akibat sepsis atau
perdarahan.
d) Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan
daerah antara diafragma atas dan panggul bawah.
e) Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur
yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh
luka tumpul atau yang menusuk.10

Etiologi
Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya
banyak diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan
bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan
kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir
mobil atau benda tumpul lainnya. Trauma akibat benda tajam umumnya
disebabkan oleh luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar
didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga
diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit
menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen. Trauma pada
abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
a) Paksaan /benda tumpul
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga
peritoneum. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh,
kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor,
cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi
atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas.9
b) Trauma tembus
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga
peritoneum. Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan
benda tajam atau luka tembak.10
25

Manifestasi Klinis
Berdasarkan jenis trauma:
a) Trauma tembus abdomen
1) Potensi mematikan dan segera membahayakan jika disertai
cedera pembuluh darah besar
2) Luas cedera intraabdominal tergantung tenaga kinetik objek
penetratif. Luka akibat peluru dibedakan menjadi low-
velocity dan high-velocity
3) Peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang
berongga intra peritoneal.
4) Usus merupakan organ yang paling sering terkena pada
luka tembus abdomen karena usus mengisi sebagian besar
rongga abdomen.
5) Perforasi dibagian atas (lambung) terjadi perangsangan
segera setelah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis
hebat. Sedangkan bagian bawah, gejala baru timbul setelah
24 jam karena mikroorganisme membutuhkan waktu
berkembang biak setelah 24 jam.10
b) Trauma tumpul abdomen
1) Gejala pada trauma tumpul abdomen merupakan akibat
kehilangan darah, memar, atau kerusakan pada organ –
organ atau iritasi cairan usus yaitu nyeri tekan, nyeri ketok,
nyeri lepas dan kekakuan perut (akibat hematoma).
2) Bising usus biasanya melemah atau menghilang.
3) Rangsangan peritoneum dapat pula berupa nyeri alih di
daerah bahu terutama di sebelah kiri yang dikenal sebagai
referred pain atau tanda dari KEHR.10
Berdasarkan tipe cedera:
a) Pada organ padat
Yang paling sering mengalami kerusakan adalah hati dan limpa
yang akan menyebabkan perdarahan bervariasi dari ringan sampai
sangat berat bahkan kematian.10
26

Gejala dan tandanya adalah:


a) Gejala perdarahan secara umum
1) Penderita tampak anemis
2) Bila perdarahan berat akan timbul shok hemoragik
3) Gejala adanya darah intraperitoneal
4) Nyeri abdomen dapat bervariasi dari ringan sampai hebat
5) Pada auskultasi bising usus menurun tapi bukan merupakan
tanda yang dapat dipercaya karena bising usus akan menurun
pada banyak keadaan lain.
6) Ada nyeri tekan, nyeri lepas dan defans muskuler ( kekakuan
otot) seperti pada peritonitis
7) Perut akan semakin membesar jika ditemukan pada perdarahan
hebat dan penderita tidak gemuk
8) Pada perkusi ditemukan pekak pada sisi yang meninggi
b) Pada organ berongga
1) Akan menimbulkan peritonitis yang dapat timbul cepat sekali
2) Penderita akan mengeluh nyeri seluruh abdomen
3) Kadang – kadang ditemukan ada organ intraabdomen yang
menonjol keluar paling sering omentum, usus halus, atau colon
(pada trauma tajam)
4) Auskultasi bising usus menurun, dan adanya defans muskuler.

c) Tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu :


1) Nyeri
Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang
berat. Nyeri dapat timbul di bagian yang luka atau tersebar.
Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri lepas.
Darah dan cairan
Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium
yang disebabkan oleh iritasi.
27

Cairan atau udara dibawah diafragma


Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan
limpa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi rekumben.
Mual dan muntah
Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah)
Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda
awal shock hemoragik.10
Klasifikasi
Trauma pada abdomen dapat di bagi menjadi dua jenis, yaitu :
a) Trauma penetrasi
Luka tembak
Luka tusuk
b) Trauma non-penetrasi
Kompres
Hancur akibat kecelakaan
Sabuk pengaman
Cedera akselerasi.10
Trauma pada dinding abdomen terdiri dari :
a) Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi
Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen,
kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam
jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.10
b) Laserasi, Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus
rongga abdomen harus di eksplorasi. Atau terjadi karena trauma
penetrasi.10

Patofisiologi
Trauma pada abdomen dibagi menjadi trauma tumpul dan
tembus.Trauma tumpul abdomen disebabkan kompresi dan deselerasi.
Kompresi rongga abdome oleh benda - benda terfiksasi, seperti sabuk
pengaman atau setir kemudi akan meningkatkan tekanan intraluminal
dengan cepat, sehingga mungkin menyebabkan ruptur usus, atau
pendarahan organ padat. Gaya deselerasi (perlambatan) akan
28

menyebabkan tarikan atau regangan antara struktur yang terfiksasi dan


yang dapat bergerak. Deselerasi dapat menyebabkan trauma pada
mesenterium, pembuluh darah besar, atau kapsul organ padat, seperti
ligamentum teres pada hati. Organ padat, seperti limpa dan hati
merupakan jenis organ yang tersering mengalami terluka setelah trauma
tumpul abdomen terjadi Patofisiologi yang terjadi berhubungan dengan
terjadinya trauma abdomen adalah:
a) Terjadi perpindahan cairan berhubungan dengan kerusakan pada
jaringan,kehilangan darah dan shock.
b) Perubahan metabolic dimediasi oleh CNS dan system
makroendokrin, mikroendokrin.
c) Terjadi masalah koagulasi atau pembekuan dihubungkan dengan
perdarahan massif dan transfuse multiple.
d) Inflamasi, infeksi dan pembentukan formasi disebabkan oleh
sekresi saluran pencernaan dan bakteri ke peritoneum
e) Perubahan nutrisi dan elektrolit yang terjadi karena akibat
kerusakan integritas rongga saluran pencernaan.
f) Limpa merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang
diakibatkan oleh trauma tumpul. Sering terjadi hemoragi atau
perdarahan masif yang berasal dari limpa yang ruptur sehingga
semua upaya dilakukan untuk memperbaiki kerusakan di limpa.
g) Liver, karena ukuran dan letaknya hati merupakan organ yang
paling sering terkena kerusakan yang diakibatkan oleh luka tembus
dan sering kali kerusakan disebabkan oleh trauma tumpul. Hal
utama yang dilakukan apabila terjadi perlukaan dihati yaitu
mengontrol perdarahan dan mendrainase cairan empedu.
h) Esofagus bawah dan lambung, kadang - kadang perlukaan esofagus
bawah disebabkan oleh luka tembus. Karena lambung fleksibel dan
letaknya yang mudah berpindah, sehingga perlukaan jarang
disebabkan oleh trauma tumpul tapi sering disebabkan oleh luka
tembus langsung.
29

i) Pankreas dan duodenum, walaupun trauma pada pankreas dan


duodenum jarang terjadi. Tetapi trauma pada abdomen yang
menyebabkan tingkat kematian yang tinggi disebkan oleh
perlukaan di pankreas dan duodenum, hal ini disebabkan karena
letaknya yang sulit terdeteksi apabila terjadi kerusakan.10

Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi
Untuk inspeksi lihat mulai dari keadaan umum klien, ekspresi
wajah, tanda- tanda vital, sikap berbaring, gejala dan tanda
dehidrasi, perdarahan, syok, daerah lipat paha (inguinal, skrotum
bila terdapat hernia biasanya ditemukan benjolan). Pada trauma
abdomen biasanya ditemukan kontusio, abrasio, lacerasi dan
echimosis. Echimosis merupakan indikasi adanya perdarahan di
intra abdomen. Terdapat Echimosis pada daerah umbilikal biasa kita
sebut ‘Cullen’s Sign’ sedangkan echimosis yang ditemukan pada
salah satu panggul disebut sebagai ‘Turner’s Sign’. Terkadang
ditemukan adanya eviserasi yaitu menonjolnya organ abdomen
keluar seperti usus, kolon yang terjadi pada trauma tembus/tajam.10
b) Auskultasi
Untuk auskultasi selain suara bising usus yang diperiksa di ke
empat kuadran dimana adanya ekstravasasi darah menyebabkan
hilangnya bunyi bising usus. Juga perlu didengarkan adanya bunyi
bruits dari arteri renalis, bunyi bruits pada umbilical merupakan
indikasi adanya trauma pada arteri renalis.10
c) Perkusi
Untuk melihat apakah ada nyeri ketok. Salah satu pemeriksaan
perkusi adalah uji perkusi tinju dengan meletakkan tangan kiri pada
sisi dinding thoraks pertengahan antara spina iliaka anterior superior
kemudian tinju dengan tangan yang lain sehingga terjadi getaran di
dalam karena benturan ringan bila ada nyeri merupakan tanda
adanya radang/abses di ruang subfrenik antara hati dan diafraghma.
Selain itu bisa ditemukan adanya bunyi timpani bila dilatasi
30

lambung akut di kuadran atas atau bunyi redup bila ada


hemoperitoneum. Pada waktu perkusi bila ditemukan Balance sign
dimana bunyi resonan yang lebih keras pada panggul kanan ketika
klien berbaring ke samping kiri merupakan tanda adanya rupture
limpe. Sedangkan bila bunyi resonan lebih keras pada hati
menandakan adanya udara bebas yang masuk.10
d) Palpasi
Untuk teknik palpasi identifikasi kelembutan, kekakuan dan spasme
hal ini dimungkinkan diakibatkan karena adanya massa atau
akumulasi darah ataupun cairan. Biasanyaditemukan
defansmuscular, nyeri tekan, nyeri lepas. Rectal tusi (colok dubur)
dilakukan pada obstrusi usus dengan disertai paralysis akan
ditemukan ampula melebar. Pada obstruksi kolaps karena tidak
terdapat gas di usus besar. Pada laki-laki terdapat prostate letak
tinggi menandakan patah panggul yang sginifikan dan disertai
perdarahan.Biasa juga pada klien dilakukan uji psoas dimana klien
diminta mengangkat tungkai dengan lutut ekstensi dan pemeriksa
memberi tekanan melawan gerak tungkai sehingga muskulus
iliopsoas dipaksa berkontrasi.Selain uji psoas, ada uji obturator
dimana tungkai penderita diputar dengan arah endorotasi dan
eksorotasi pada posisi menekuk 90 derajat di lutut atau lipat paha.
Jika klien merasa nyeri maka menandakan adanya radang di
muskulus obturatorius.10

Komplikasi
Komplikasi segera yang dapat terjadi pada pasien dengan
trauma abdomen adalah hemoragi, syok, dan cedera. Sedangkan
komplikasi jangka panjangnya adalah infeksi. Komplikasi yang dapat
muncul dari trauma abdomen terutama trauma tumpul adalah cedera
yang terlewatkan, terlambat dalam diagnosis, cedera iatrogenik, intra
abdomen sepsis dan abses, resusitasi yang tidak adekuat, rupture
spleenyang muncul kemudian. Peritonitis merupakan komplikasi
tersering dari trauma tumpul abdomen karena adanya rupture pada
31

organ.Gejala dan tanda yang sering muncul pada komplikasi dengan


peritonitis antara lain:
a) Nyeri perut seperti ditusuk
b) Perut yang tegang (distended)
c) Demam (380C)
d) Produksi urin berkurang
e) Mual dan muntah
f) Haus
g) Cairan di dalam rongga abdomen
h) Tidak bisa buang air besar atau kentut.10

Penatalaksanaan
a) Penanganan di Rumah Sakit
Trauma Penetrasi
1) Skrining pemeriksaan rongten. Foto thoraks tegak berguna
untuk kemungkinan hemo atau pneumothoraks. Rontgen
abdomen untuk menentukan jalan luka atau adanya udara
retroperitoneum
2) IVP atau Urogram Excretory dan CT scan Ini dilakukan
untuk mengetahui jenis cedera ginjal yang ada.
3) Uretrografi Dilakukan untuk mengetahui adanya rupture
uretra.
4) Sistografi. Ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
cedera pada kandung kencing, contohnya pada fraktur
pelvis dan trauma non penetrasi.10
Trauma non-penetrasi
Pengambilan contoh darah dan urine. Darah digunakan
untuk pemeriksaan lab rutin dan pemeriksaan darah khusus seperti
darah lengkap, potassium, glukosa, amylase.10
Pemeriksaan Rongent
Pemeriksaan rontgen servikal lateral, thoraks
anteroposterior dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus
dilakukan pada penderita dengan multitrauma, mungkin berguna
32

untuk mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum atau


udara bebas dibawah diagfragma, yang keduanya memerlukan
laparotomi.10
Studi kontras urologi dan Gastrointestinal. Dilakukan pada
cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens atau
descendens dan dubur.10
b) Penatalaksanaan di Ruang Emergensi
1) Mulai prosedur resusitasi ABC (memperbaiki jalan napas,
pernapasan dan sirkulasi).
2) Pertahankan pasien pada brankard; gerakan dapat
menyebabkan fragmentasi bekuan pada pembuluh darah
besar dan menimbulkan hemoragi massif.
3) Pastikan kepatenan dan kestabilan pernapasan.
4) Gunting pakaian penderita dari luka.
5) Hitung jumlah luka dan tentukan lokasi luka masuk dan
keluar.
6) Kontrol perdarahan dan pertahankan volume darah sampai
pembedahan dilakukan.
7) Berikan kompresi pada luka dengan perdarahan eksternal
dan lakukan bendungan pada luka dada.
8) Pasang kateter IV berdiameter besar untuk penggantian
cairan secara cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.
9) Perhatikan kejadian syok setelah respon awal terhadap
terapi transfusi; ini sering merupakan tanda adanya
perdarahan internal.
10) Aspirasi lambung dengan memasang selang nasogastrik.
Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung,
mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan
mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
11) Pasang kateter urin untuk mendapatkan kepastian adanya
hematuria dan pantau jumlah urine perjam.
33

12) Tutupkan visera abdomen yang keluar dengan balutan


steril, balutan dibasahi dengan salin untuk mencegah
kekeringan visera
13) Fleksikan lutut pasien; posisi ini mencegah protusi yang
lanjut.
14) Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah
meningkatnya peristaltik dan muntah.
15) Siapkan pasien untuk parasentesis atau lavase peritonium
ketika terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan
intraperitonium.
16) Siapkan pasien untuk sinografi untuk menentukan apakah
terdapat penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.
17) Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
18) Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi.
Trauma dapat menyebabkan infeksi akibat karena
kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan
pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik
(infeksi nosokomial).
19) Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti
adanya syok, kehilangan darah, adanya udara bebas
dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.10

e. Ileus Paralitik
Definisi Ileus Paralitik
Keadaan dimana usus gagal atau tidak mampu melakukan kontraksi
peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus merupakan kondisi dimana
terjadi kegagalan neutropenia atau hilangnya peristaltik usus tanpa adanya
obstruksi mekanik.11

Etiologi Ileus Paralitik


Ileus pada pasien rawat inap ditemukan pada :
1) Proses intraabdominal seperti pembedahan perut dan saluran cerna
atau iritasi dari peritoneal (peritonitis, pankreatitis, perdarahan).
34

2) Sakit berat seperti pneumonia, gangguan pernafasan yang


memerlukan intubasi, sepsis atau infeksi berat, uremik, diabetes
ketoadosidosis, dan ketidak seimbangan elektrolit (hipokalemia,
hiperkalsemia, hipomagnesemia, hipofosfatemia).
3) Obat-obatan yang mempengaruhi motilitas usus (opioid,
antikolonialisme, fenotiazine). Setelah pembedahan, usus halus
biasanya pertama kali yang kembali normal (beberapa jam), diikuti
lambung (34-48 jam) dan kolon (48-72 jam ).11

Ileus terjadi karena hipokritas dari saluran pencernaan tanpa


adanya obstruksi usus mekanik. Diduga, otot dinding usus terganggu dan
gagal untuk mengangkut isi usus. Kurangnya tindakan pendorong
terkoordinasi menyebabkan akumulasi gas dan cairan dalam usus.
Meskipun Ileus disebabkan banyak faktor, keadaan pasca operasi adalah
keadaan yang paling umum untuk terjadinya Ileus. Memang, Ileus
merupakan konsekuensi yang diharapkan dari pembedahan perut. 11
Fisiologisnya Ileus kembali normal Spontan dalam 2-3 hari, setelah
motilitas sigmoid kembali normal. Ileus yang berlangsung selama lebih
dari 3 hari setelah operasi dapat disebut Ileus adynamic atau Ileus paralitik
pasca operasi. Sering, Ileus terjadi setelah operasi intraperitoneal, tetapi
mungkin juga terjadi setelah pembedahan retroperitoneal dan extra
abdominal.11
Durasi terpanjang dari Ileus tercatat terjadi setelah pembedahan
kolon. Laparoskopi reseksi usus dikaitkan dengan jangka waktu yang lebih
singkat dari pada reseksi kolon Ileus terbuka. Konsekuensi klinis Ileus
pasca operasi dapat mendalam. Pasien dengan Ileus merasa tidak nyaman
dan sakit, dan akan meningkatkan risiko komplikasi paru. Ileus juga
meningkatkan katabolisme karena gizi buruk. Secara keseluruhan, Ileus
meningkatkan biaya perawatan medis karena memperpanjang rawat inap
di rumah sakit.11
Beberapa penyebab terjadinya Ileus :
1) Trauma abdomen
2) Pembedahan perut (laparatomy)
35

3) Serum elektrolit abnormalitas


4) Infeksi, inflamasi atau iritasi (empedu, darah)
5) Iskemik usus
6) Cedera tulang
7) Pengobatan.11

Patofisiologi
Patofisiologi dari Ileus paralitik merupakan dari terangsangnya
sistem saraf simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam traktus
Gastro interstitial, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan
yang ditimbulkan oleh sistem parasimpatik. Sistem simpatis menghasilkan
pengaruhnya melalui dua cara yaitu pada tahap yang kecil melalui
pengaruh langsung norepinefrin pada otot polos (kecil muskularis mukosa,
dimana iamerangsangnya, dan pada tahap yang besar melalui pengaruh
Inhibitir dari noreeprineprin pada neuron-neuron sistem saraf Enterik. Jadi,
perangsang yang kuat pada sistem simpatis dapat menghambat pergerakan
makanan melalui traktus Gastro interstitial.11
Hambatan pada sistem saraf parasimpatik di dalam sistem saraf
Enterik akan menyebabkan terhambatnya pergerakan makanan pada
traktus Gastro interstitial, namun tidak semua pleksus mienterikus yang
dipersyaratkan serat saraf parasimpatis bersifat eksitatorik, beberapa
neuron bersifat Inhibitir, ujung seratnya mendeskreditkan suatu transmiter
Inhibitir, kemungkinan peptidae instestinal baso aktif dan beberapa
peptidae lainnya. Menurut beberapa hipotesis, Ileus pasca operasi
dimediasi melalui aktivasi hambat bussurrefleks tulang belakang. Secara
anatomis, tiga refleks berbeda yang terlibat : ultrashort refleks terbatas
pada dinding usus, refleks pendek yang melibatkan ganglia prevertebral,
dan refleks panjang melibatkan sumsum tulang belakang. Reflek panjang
yang paling signifikan.. respon stress bedah mengarah ke generasi sistemik
endokrin dan mediator inflamasi yang juga mempromosikan
perkembangan Ileus.11
Penyakit atau keadaan yang menimbulkan Ileus paralitik dapat
diklasifikasikan seperti yang tercantum dibawah ini : kasus Ileus paralitik.
36

1) Neurogenik : pasca operasi, kerusakan medulla spinalis, keracunan


timbal, kolik ureter, iritasi pernafasan splanknikus, pankreatitis.
2) Metabolik : gangguan keseimbangan elektrolit (trauma
hipokalemia), uremik, komplikasi DM, penyakit sistemik seperti
sklerotik multiple.
3) Obat-obatan : narkotik, antikolonialisme, katekolqmin, fenotiazine,
antihistamin.
4) Infeksi atau inflamasi : pneumonia, empiema, peritonitis, infeksi
sistemik berat lainnya.
5) Iskemik usus.11
37

Gambar 1.6 Patofisiologi Illeus Paralitik.11

Manifestasi klinik
Ileus adinamik (Ileus inhibisi) ditandai oleh tidak adanya gerakan
usus yang disebabkan oleh penghambatan neurimuskular dengan aktifitas
simpatik yang berlebihan sangat umum, terjadi setelah semua prosedur
abdomen, gerakan usus akan kembali normal pada usus kecil 24 jam,
lambung 48 jam, kolon 3-5 hari. Pasien Ileus paralitik akan mengeluh
38

perutnya kembung (abdominal distention), anoreksia, mual dan obstipasi.


Muntah mungkin ada, mungkin pula tidak ada. Keluhan Peut kembung
pada Ileus paralitik ini perlu dibedakan dengan keluhan perut kembung
pada Ileus obstruksi. Pasien Ileus paralitik mempunyai keluhan perut
kembung, tidak disertai nyeri kolik abdomen yang paroksismal. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan adanya distention abdomen, perkusi timpani
dengan bising usus yang lemah dan jarang bahkan dapat tidak terdengar
sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya menyatakan perasaan tidak enak
pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi perintah klinis yang di
temukan adalah gambaran peritonitis.11

Diagnosis
Pada Ileus paralitik ditegakkan dengan auskultasi abdomen berupa
silent abdomen yaitu bising usus menghilang. Pada gambaran foto polos
abdomen didapatkan pelebaran udara usus halus atau besar.11

Gambar 1.7 Gambaran Foto Polos pada Ileus Paralitik.11

Anamnesis
Pada pasien Ileus paralitik sering ditemukan keluhan disentri dari
usus, rasa mual dan dapat disertai muntah. Pasien kadang juga
39

mengeluhkan tidak bisa BAB ataupun flatus, rasa tidak nyaman diperut
tanpa disertai nyeri.11
Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Dapat di temukan tanda-tanda generelisata dehidrasi, yang
mencakup kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada
abdomen harus dilihat adanya distensi, perut abdomen, hernia dan massa
abdomen. Pada pasien yang kurus tidak terlihat gerakan peristaltik.11
Palpasi
Pada palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi peritoneal
apapun atau ngeringkas, yang mencakup defense muscular involunter atau
rebound dan pembengkakan. Atau massa yang abnormal untuk
mengetahui penyebab Ileus.11
Perkusi
Biasanya hipertimpani.11
Auskultasi
Bisisng usus lemah atau tidak ada sama sekali.11
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium mungkin dapat membantu mencari
kausal penyakit. Pemeriksaan yang penting untuk dimintakan adalah
leukosit darah, kadar elektrolit, ureum, glukosa darah dan amylase. Foto
polos abdomen sangat membantu untuk menegakkan diagnosis. Pada ileus
paralitik akan ditemukan distensi lambung, usus halus dan usus besar. Air
fluid level ditemukan berupa suatu gambaran line up (segaris). Hal ini
berbeda dengan air fluid level pada Ileus obstruktif yang memberikan
stepladder (seperti anak tangga). Apabila dengan pemeriksaan foto polos
abdomen masih meragukan, dapat dilakukan foto abdomen dengan
mempergunakan kontras.11
Penatalaksanaan
Pengobatan Ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif.
Tindakannya berupa dekompresi, menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit, mengobati kausa dan penyakit primer dan pemberian nutrisi
40

yang adekuat. Prognosis biasanya baik, keberhasilan dekompresi kolon


Dari Ileus telah dicapai oleh kolonoskopi berulang. Beberapa obat-obatan
jenis penyakit simpatik (simpatolitik) atau parasimpatik metik pernah
dicoba, ternyata hasilnya tidak konsisten. Untuk dekompresi dilakukan
pemasangan pipa nasogastrik (bila perlu dipasang juga rektal tube).
Pemeriksaan cairan, koreksi gangguan elektrolit dan nutrisi parenteral
hendaknya diberikan sesuai dengan kebutuhan dan prinsip-prinsip
pemberian nutrisi parents. Beberapa obat yang dapat dicoba yaitu
metoklopramid bermanfaat untuk gastroparesis, sisaprid bermanfaat untuk
Ileus paralitik pasca operasi, dan klonidin dilaporkan bermanfaat untuk
mengatasi Ileus paralitik karena obat-obatan.11

f. Ileus Obstruktif
Pengertian
Obstruksi usus atau ilieus adalah gangguan aliran normal isi usus
sepanjang saluran usus. Obstruksi usus atau illeus adalah obstruksi saluran
cerna tinggi artinya disertai dengan pengeluaran banyak aliran cairan dan
elektrolit baik didalam lumen usus bagian oral dari obstruksi maupun oleh
muntah. Obstruksi usus atau illeus adalah sumbatan yang terjadi pada
aliran isi usus baik secara mekanis maupun fungsional.12
Aliran ini dapat terjadi karena dua tipe proses :
a) Mekanis : terjadi obstruksi mural dari tekanan pada dinding usus.
Contoh : intususepsi, perlengketan, tumor, hernia dan abses.
b) Fungsional : muskulatur usus tidak mampu mendorong isi
sepanjang usus. Contoh : gangguan endokrin.12
41

Gambar 1.8 Ileus Obstruktif.12

Etiologi
Etiologi dari obstruksi usus atau illeus yaitu:
1) Perlengketan
2) Intususepsi yaitu salah satu bagian usus menyusup kedalam bagian
lain yang ada dibawahnya.
3) Volvulus yaitu usus memutar akibatnya lumen usus tersumbat.
4) Hernia yaitu protrusi usus melalui area yang lemah dalam usus.
5) Tumor.12
42

Patofisiologi
Patofisiologi dari obstruksi usus atau illeus adalah: Secara normal
7-8 cairan kaya elektrolit disekresi oleh usus dan kebanyakan direabsorbsi,
bila usus tersumbat, cairan ini sebagian tertahan dalam usus dan sebagian
dieliminasi melalui muntah, yang menyebabkan pengurangan besar
volume darah sirkulasi. Mengakibatkan hipotensi, syok hipovolemik dan
penurunan aliran darah ginjal dan serebral.12
Pada awitan obstruksi, cairan dan udara terkumpul pada bagian
proksimal sisi yang bermasalah, menyebabkan distensi. Manifestasi
terjadinya lebih cepat dan lebih tegas pada blok usus halus karena usus
halus lebih sempit dan secara normal lebih aktif, volume besar sekresi dari
usus halus menambah distensi, sekresi satu-satunya yang yang bermakna
dari usus besar adalah mukus.12
Distensi menyebabkan peningkatan sementara pada peristaltik saat
usus berusaha untuk mendorong material melalui area yang tersumbat.
Dalam beberapa jam peningkatan peristaltik dan usus memperlambat
proses yang disebabkan oleh obstruksi. Peningkatan tekanan dalam usus
mengurangi absorbsinya, peningkatan retensi cairan masih tetap berlanjut
segera, tekanan intralumen aliran balik vena, yang meninkatkan
permeabilitas kapiler dan memungkinkan plasma ekstra arteri yang
menyebabkan nekrosis dan peritonitis.12
43

Gambar 1.9 Patofisiologi Obstruksi Usus.12

Manifestasi Klinik
manifestasi klinik obstruksi usus atau illeus adalah
1) Gejala awal biasanya berupa nyeri kram yang terasa seperti
gelombang dan bersifat kolik.
2) Terjadi muntah fekal apabila ada obtruksi di Illeum.
3) Konstipasi absolute.12
44

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dari obstruksi usus atau ileus yaitu :
1) Pemeriksaan rontgen dengan enteroklisis.
Menggunakan cairan kontras encer berguna untuk menentukan
diagnosis sebab memberikan gambaran ke sepanjang usus halus.

Gambar 1.10 Sumbatan Usus Halus.12

Gambar 1.11 Sumbatan Kolon.12


45

Gambar 1.12 Mega Kolon Toksik.12

Gambar 1.13 Foto Kontrans Pada Ileus Obtruktif.12


46

Gambar 1.14 Ileus Obstruktif: Tampak coil spring dan herring


bone appearanc.12
2) Enteroskopi.
Yaitu meneropong usus dapat dilakukan sebagai refleksi bagian
ligament treiz, sampai permulaan yeyenum.
3) Sonogram
Berguna untuk menentukan adanya ruang yang mengandung cairan
seperti kista, abses atau cairan bebas didalam rongga perut atau
ruang yang berisi jaringan padat.12

Gambar 1.14 Gambaran Ultrasonografi Pada Ileus


Obstruktif.12
47

Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang
mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi
biasanya selalu diperlukan. Menghilangkan penyebab obstruksi adalah
tujuan kedua. Kadang-kadang suatu penyumbatan sembuh dengan
sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika disebabkan oleh perlengketan.
Penderita penyumbatan usus harus di rawat di rumah sakit.12

Persiapan
Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah,
mencegah aspirasi dan mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien
dipuasakan, kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk
perbaikan keadaan umum. Setelah keadaan optimum tercapai barulah
dilakukan laparatomi. Pada obstruksi parsial atau karsinomatosis abdomen
dengan pemantauan dan konservatif.12
Operasi
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-
organ vital berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering
dilakukan adalah pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah
dilakukan bila:

1. Strangulasi
2. Obstruksi lengkap
3. Hernia inkarserata
4. Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan
pemasangan NGT, infus, oksigen dan kateter).12

Farmako:
a) Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob.
b) Analgesik apabila nyeri.12

Pasca Bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan
dan elektrolit. Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus
48

memberikan kalori yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah usus
pasien masih dalam keadaan paralitik.12
Prognosis
Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti
umur, etiologi, tempat dan lamanya obstruksi. Jika umur penderita sangat
muda ataupun tua maka toleransinya terhadap penyakit maupun tindakan
operatif yang dilakukan sangat rendah sehingga meningkatkan mortalitas.
Pada obstruksi kolon mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan obstruksi
usus halus.12
49

DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajar.R. Buku ajar Ilmu Bedah-deJong. Edisi 3.
Jakarta:EGC.2016.
2. Pratama, Hamzah. Tatalaksana Pankreatitis Akut Cermin Dunia
Kedokteran 238/ vol.43.no.3. 2016.
3. Brendon, Coventry, J. Gastric Surgery.Upper Abdominal
Surgery.Springer. London Heidelberg New York Dordrecht.Chapter
4.2014
4. Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi Konsep Klinis proses-
proses penyakit volume 1, Edisi 6, EGC : Jakarta, 2006.
5. Sofić, Amela., Bešlić, Šerif., Linceder, Lidija., Vrcić, Dunja., Early
radiological diagnostics of gastrointestinal perforation.2015
6. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, editor : Mansjoer, Arif.,
Suprohalta., Wardhani, Wahyu Ika., Setiowulan, Wiwiek., Fakultas
Kedokteran UI, Media Aesculapius, Jakarta.2014.
7. Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 :
Lambung dan Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC : Jakarta,
2004.
8. Glenda, N. 2009.Gangguan Lambung dan Duodenum.Patofisiologi,
konsep Klinis dan Proses-proses Penyakit.Ed. 6 Vol. 1 Penerbit Buku
kedokteran EGC. Jakarta.2009.
9. Craigh, Sandy. 2017. Appendicitis. (online). (https://emedicine.medscape.
com/article/773895-overview). Diakses pada tanggal 23 Juni 2018.
10. Sjamsuhidajat. R. Buku Ajar Ilmu Bedah de Jong. Edisi 3. EGC : Jakarta.
2014.
11. Sudoyo Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Edisi V. Jilid I. Jakarta
Interna Publishing.2009.
12. Margaretha Novi Indrayani. Diagnosis dan Tatalaksana Ileus Obstruktif.
Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas kedokteran Universitas Udayana.2015

Anda mungkin juga menyukai