Anda di halaman 1dari 26

Praktikum Ibadah

Do'a, Dzikir, Wirid, dan Tahlil Setelah Shalat

Disusun oleh :
Indah Tri Utami 11190700000129
Malik Ibnu Zaman 11190700000079
Yunita Tri Wulandari 11130700000033
Farrosul Tsaqif Al Mutawalli 11190700000036

Kelas : 2A
FAKULTAS PSIKOLOGIUNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
A. DZIKIR SETELAH SALAT

Secara etimologi Dzikir atau dalam bentuk baku Bahasa Indonesia “zikir” berasal
dari Bahasa Arab yaitu ; ٌ‫ ِذ ْكر‬żikr yang berarti ucapan; ingatan; doa, atau َ‫ َذ َكر‬żakara yang
berarti 'mengingat; menyebut'. 1

Secara istilah oleh Ismail Nawawi disebutkan bahwa dzikir adalah membasahi
lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah SWT. Bisa disebut juga dzikir adalah
kegiatan mengucapkan berbagai ucapan-ucapan pujian kepada Allah SWT dengan
bertujuan untuk mengingat Rabb-Nya.

Dzikir setelah shalat berarti Bisa disebut juga dzikir adalah kegiatan mengucapkan
berbagai ucapan-ucapan pujian kepada Allah SWT dengan bertujuan untuk mengingat
Rabb-Nya yang dilakukan setelah melakukan ibadah shalat, baik itu shalat yang
hukumnya fardhu maupun shalat yang hukumnya sunnah.

Allah SWT berfirman :

‫فَ ْاذ ُكرُوْ نِ ْٓي اَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكرُوْ ا لِ ْي َواَل تَ ْكفُرُوْ ِن‬

“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu ingkar kepada-Ku.”

1. Macam-macam Dzikir

Oleh Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani dalam bukunya Dzikir
dibagi menjadi tiga macam,yaitu ;

a. Dzikir mensucikan Allah SWT


Dimana mengingat dan mengucapkan pujian-pujian yang mengandung arti
mengesakan Allah dengan nama dan sifat-Nya, serta mensucikan-Nya dari segala yang
tidak patut bagi-Nya.

َ‫ َوهللاُ أَ ْكب‬،‫ َوالَ إِلَهَ إِالَّ هللا‬،ِ‫ُس ْب َحانَ هللاِ َو ْال َح ْم ُد هلل‬

b. Dzikir mengingat dan menyebut perintah Allah, larangan-Nya, halal, haram dan segala
hukum yang ditetapkan-Nya, dengan bersikap melakukan perintah-Nya dan
1
KBBI
meninggalkan larangan-Nya, mengharamkan apa yang diharamkan-Nya dan
menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya

c. Dzikir (mengingat dan menyebut) nikmat Allah.


Dalam buku Pengertian dan Macam-macam Do’a, berdasarkan sarana yang digunakan
untuk berdzikir, maka dzikir dibagi menjadi tiga tingkatan ;

I.Dzikir menggunakan hati dan lidah.


Merupakan tingkatan berdzikir yang paling tinggi tinggkatanya.

II.Dzikir menggunakan hati


Ini merupakan tingkatan kedua.

III.Dzikir menggunakan lisan.


Berdzikir menggunakan lidah saja, ini merupakan tingkatan ketiga.

Al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’iy di dalam kitabnya al-Adzkar

“Ketahuilah bahawa sesungguhnya dzikir tidak hanya tasbih, tahlil, dan takbir,
bahkan dzikir ialah setiap amalan ketaatan yang dilakukan kerana Allah”.

2. Berdzikir setelah shalat

a. Membaca Istighfar sebanyak 3X

َ‫أَ ْستَ ْغفِر ُهللا‬

b. Membaca tasbih sebanyak 33X

‫سبحان هللا‬

“Maha suci Allah”

c. Membaca tahmid sebanyak 33X

‫الحمد هلل‬
"Segala puji bagi Allah”

d. Membaca takbir sebanyak 33X

‫هللا أكبر‬

“Allah Maha Besar”

Selanjutnya membaca :

‫"ال إله إال هللا وحده ال شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير‬

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, umat muslim dianjurkan untuk berdoa dengan Sayyidul
istighfar setiap selesai shalat sebanyak tiga kali, sebagaimana Rasul mencontohkannya.

‫ْت أبُو ُء‬ُ ‫صنَع‬


َ ‫ك ِم ْن َش ّر َما‬ َ ِ‫ْت أَعُو ُذ ب‬
ُ ‫ك ما ا ْستَطَع‬ َ ‫ك َو َو ْع ِد‬
َ ‫ك وأنا على َع ْه ِد‬ َ ‫اللَّهُ َّم أ ْنتَ َربّي ال إِلهَ إِالَّ أَ ْنتَ َخلَ ْقتَنِي وأنا َع ْب ُد‬
َ ُ‫ي وأبُو ُء بِ َذ ْنبي فا ْغفِرْ لي فإنَّهُ ال يَ ْغفِ ُر ال ُّذن‬
َ‫وب إِالَّ أ ْنت‬ َّ ‫ك عل‬ َ َ‫ل‬
…َ ِ‫ك بِنِ ْع َمت‬

”Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, Tidak ada Tuhan selain Engkau yang telah menciptakanku,
sedang aku adalah hamba-Mu dan aku diatas ikatan janji -Mu. Dan Aku berjanji kepada-Mu
dengan semampuku, Aku berlindung kepadamu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat. Aku
mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka
ampunilah aku, sesungguhnya tiada yang boleh mengampuni segala dosa kecuali Engkau”. (HR.
Bukhari).

B. Pengertian Wirid

Wirid adalah amalan yang biasanya dilakukan setelah menunaikan ibadah shalat. Secara
bahasa wirid artinya mengulang-ulang. Sementara dalam istilah yang masyhur di masyarakat
Muslim istilah wirid biasanya digunakan untuk menyebut kegiatan dzikir yang dilakukan secara
berulang-ulang. Ada berbagai macam bacam yang dipakai dalam wiridan, meski demikian yang
terpokok biasanya terdiri dari tiga lafadz yaitu : Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar.
Seperti yang biasa dijumpai di masjid-masjid, sebelum mewiridkan ke tiga bacaan tersebut, ada
bacaan awal sebagai muqadimahnya dan ada bacaan akhir sebagai setelahnya 2

A. Dalil Hukum Wirid

Sumber hukum wirid banyak tercantum di dalam Al-Qur’an salah satunya, yaitu: Surat
An-Nisa’ ayat 103, yang berbunyi:

…‫ص… اَل ةَ… فَ… ا… ْذ… ُك… ُر… و…ا… هَّللا َ… قِ… يَ… ا… ًم… ا… َ…و… قُ… ُع… و… ًد… ا… َ…و… َع… لَ… ٰ…ى… ُج… نُ…و…بِ… ُك… ْم… ۚ… فَ… إِ… َذ… ا‬ …َ …َ‫فَ…إِ… َذ… ا… ق‬
َّ …‫ض… ْي… تُ… ُم… ا…ل‬
…‫ت… َع… لَ…ى… ا… ْل… ُم… ْ…ؤ… ِم… نِ… ي… َ…ن… ِك… تَ…ا…بً… ا‬
…ْ …َ‫ص… اَل ةَ… َك… ا…ن‬ َّ …‫ص… اَل ةَ… ۚ… إِ… َّن… ا…ل‬ َّ …‫ط… َم… أْ… نَ… ْن… تُ… ْم… فَ…أَ…قِ… ي… ُم… و…ا… ا…ل‬
ْ …‫ا‬
…‫َم… ْ…و… قُ…و…تً…ا‬
Artinya : “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di
waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka
dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orangorang yang beriman.” (Q.S An-Nisa’: 103)

Untuk bisa membisakan amalan wirid ini, dapat dimulai dari hal yang paling kecil dan
sederhana. Misalkan dengan meluangkan waltu setelah shalat fardhu membaca rangkaian dzikir
seperti istighfar dll. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasullah SAW. Tsauban bercerita, ”Jika
Rasullah Shallahu’alaihiwasallam selesai shalat beliau beristighfar tiga kali. Al-Walid (salah satu
perawi hadits) bertanya kepada AlAuza’I, bagaimanakah redaksi istighfar beliau?
”Astaghfirullah, Astaghfirullah, jawab Al-Auza’i: “Tidak akan meremehkan wirid, kecuali orang
yang bodoh. Sebab Allah (Al-Warid) akan diperoleh di akhirat. Sedangkan Al-Wirid akan selesai
dengan musnahnya dunia. Yang paling baik yang diperhatikan oleh 34 manusia adalah yang tidak
pernah musnah. Wirid yang menjadi perintah Allah kepadamu, seta karunia yang kalian terima,
adalah merupakan hajatmu sendiri kepada Allah Swt. dimanakah letaknya perbedaan antara
perintah Allah kepadamu dengan pengharapan kalian kepada-Nya. 3 Dalam hadist bisa kita ketahui
bahwa Rasulullah Sallallahu alaihi Wassalam selalu membiasakan berdzikir setiap selesai
melaksanakan shalat fardhu seperti halnya beristighfar.

Orang yang melaksanakan wirid dalam ibadah, adalah orang yang memelihara
hubunganya dengan Allah secara baik . Karena dalam keadaan situasi dan kondisi apapun, ia

2
Abu Abdillah. Argument Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. (Tangerang : Pustaka, 2011). h.58
3
Astuti, Fousiah Dwi. Jurnal Penelitian : Konsep Wirid Qur’ani (Studi Atas Kitab AlMa’surat Karya Hasan Al-Bana).
Yogyakarta, 2013. h.67
senantiasa menjaga keistiqomahannya dalam beribadah. ibadah rutinnya itu dengan baik dan
dikerjakan dengan sebaik baiknya. Contoh ibadah yang diwiridkan adalah seperti shalat sunnah
yang dipilih untuk diwirid, zikir yang diwiridkan, dan puasa sunnah yang diwiridkan, dan lain-
lain. Hamba yang wirid selalu membasahi jiwa dan lidahnya dengan zikrullah. Sebab dikerjakan
secara rutin, maka ibadah tersebut sudah menjadi kebiasaan serta dikerjakan dengan senang hati,
dan dirasakan. Jika suatu hal sudah kita biasakan sebagaimana amalan sunnah ,maka jika kita
meninggalkan nya sekali saja akan datang perasaan gelisah pada diri kita. Padahal yang kita
tinggalkan bukan lah amalan wajib.

B. Perbedaan wirid dan warid

wirid adalah amalan yang dikerjakan di dunia secara tetap dan tertib di dunia ini, juga
berupa ibadah secara tertib, termasuk dzikir yang dikerjakan secara terus-menerus, tidak pernah
ditinggalkan. Sedangkan Warid merupakan karunia Allah swt. kepada para hamba, berupa
penjelasan, nurullah, kenikmatan merasakan ibadah, hidayah dan taufiq Allah, semuanya
merupakan amalan batin yang kuat. Kenikmatan al-warid itu berkelanjutan hingga hari akhir.
Antara Wirid dan Al-warid memiliki kaitan yang kuat. Apabila warid itu karunia dari Allah, maka
wirid adalah ibadah yang tetap dan tertib4

Kedua-duanya wirid dan warid, ibarat saudara kembar yang saling berlomba menjadi
ibadah yang sangat dicintai untuk mendapatkan ke ridho’an Allah Swt. yang satu wirid untuk
menghiasi lahir yang satu ibadah (warid) untuk menghiasi batin. Wirid adalah hak Allah yang
diperintahkan agar diamalkan oleh para hamba.Warid adalah hak hamba yang disampaikan oleh
Allah Swt.5

C. Doa dan Dzikir Setelah Shalat Fardhu

4
Ibid, h.68
5
Amin, Samsul Munir. Energi Dzikir, Jakarta : Bumi Aksara, 2008. h.123
Ada banyak sekali ayat yang membahas tentang anjuran untuk sering berdoa dan
berdzikir kepada Allah. Salah satunya terdapat dalam Firman Allah di surah Al-Ahzab ayat 41-43
yang berbunyi:

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-
Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang. Dialah
yang memberi rahmat kepadamu dan para malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), agar
Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan Dia Maha Penyayang
kepada orang-orang yang beriman.

Berdoa dan berdzikir kepada Allah adalah sunnah yang dianjurkan pada setiap kali kita
memiliki kesempatan. Baik saat bangun maupun hendak tidur. Baik ketika sedang lapang maupun
sedang kesulitan. Rasulullah SAW. juga melakukan doa dan dzikir setiap kali beliau selesai shalat
fardhu. Setiap kali selesai salam, rasulullah beristighfar sebanyak 3 kali yang dilanjutkan dengan
membaca doa.

َ ‫( أَسْ َت ْغفِ ُر‬3x)


‫هللا‬

ِ ‫ت َيا َذا ْال َجالَ ِل َو ْا‬


‫إل ْك َر ِام‬ َ ‫ار ْك‬ َ ‫اَللَّ ُه َّم أَ ْن‬
َ ‫ َو ِم ْن‬،‫ت ال َّسالَ ُم‬
َ ‫ َت َب‬،‫ك ال َّسالَ ُم‬

Astagh-firullah 3x

Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaarokta yaa dzal jalaali wal ikrom.

Artinya: “Aku minta ampun kepada Allah,” (3x). (HR. Muslim no. 521)

“Ya Allah, Engkau pemberi keselamatan, dan dariMu keselamatan, Maha Suci Engkau, wahai
Tuhan Yang Pemilik Keagungan dan Kemuliaan.”
Ini adalah doa yang pertama kali diucapkan seorang muslim ketika selesai shalat. Doa ini
dimaksudkan untuk meminta ampunan kepada Allah bahwasanya ibadah shalat yang kita lakukan
penuh dengan kekurangan. Sehingga kita memohon ampunan kepada Allah sekaligus memohon
agar shalat yang kita lakukan dapat diterima oleh-Nya.

Setelah itu disunnahkan membaca doa berikutnya.

‫ اَللَّ ُه َّم الَ َمان َِع لِ َما‬،ُ‫ك َولَ ُه ْال َح ْم ُد َوه َُو َعلَى ُك ِّل َشيْ ٍء َق ِد ْير‬
ُ ‫ لَ ُه ْالم ُْل‬،ُ‫ك لَه‬
َ ‫الَ إِلَـ َه إِالَّ هللاُ َوحْ َدهُ الَ َش ِر ْي‬
َ ‫أَعْ َطي‬،
‫ْت‬

‫ك ْال َج ُّد‬
َ ‫ َوالَ َي ْن َف ُع َذا ْال َج ِّد ِم ْن‬،‫ت‬
َ ْ‫َوالَ مُعْ طِ َي لِ َما َم َنع‬

Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahu Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah,
lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir.

Allahumma laa maani’a limaa a’thoyta wa laa mu’thiya limaa mana’ta wa laa yanfa’u dzal jaddi
minkal jaddu.

Artinya: “Tiada Rabb yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-
Nya. Bagi-Nya puji dan bagi-Nya kerajaan. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak
ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang memberi apa yang Engkau
cegah. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya (selain iman dan amal
shalihnya yang menyelamatkan dari siksaan). Hanya dari-Mu kekayaan dan kemuliaan.” (HR.
Bukhari no. 844 dan Muslim no. 593).

Setelah kita memohon ampunan kepada Allah, barulah kita berdoa dengan memuji Allah dengan
berbagai pujian yang baik. Kita memuji bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain kepada-
Nya. Dia-lah yang menguasai seluruh alam semesta beserta isinya. Semua kebaikan adalah
pemberian dari Allah.
َّ‫ـ الَ َح ْو َل َوالَ قُ َّو َة إِال‬.‫ك َولَ ُه ْال َح ْم ُد َوه َُو َعلَى ُك ِّل َشيْ ٍء َق ِد ْي ُر‬
ُ ‫ لَ ُه ْالم ُْل‬،ُ‫ك لَه‬
َ ‫الَ إِلَـ َه إِالَّ هللاُ َوحْ َدهُ الَ َش ِر ْي‬
َّ ‫ لَ ُه ال ِّنعْ َم ُة َولَ ُه ْال َفضْ ُل َولَ ُه‬،ُ‫ َوالَ َنعْ ُب ُد إِالَّ إِيَّاه‬،ُ‫ الَإِلَـ َه إِالَّ هللا‬،‫هلل‬
ُ‫ الَ إِلَـ َه إِالَّ هللا‬، ُ‫الث َنا ُء ْال َح َسن‬ ِ ‫ِبا‬
ْ ‫م ُْخلِصِ ي َْن لَ ُه ال ِّدي َْن َولَ ْو َك ِر َه‬
َ‫ال َكافِر ُْون‬

Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah. Lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli
syai-in qodiir.

Laa hawla wa laa quwwata illa billah. Laa ilaha illallah wa laa na’budu illa iyyaah. Lahun
ni’mah wa lahul fadhlu wa lahuts tsanaaul hasan.

Laa ilaha illallah mukhlishiina lahud diin wa law karihal kaafiruun.

Artinya: “Tiada Rabb (yang berhak disembah) kecuali Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu
bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan pujaan. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan
kekuatan kecuali (dengan pertolongan) Allah. Tiada Rabb (yang hak disembah) kecuali Allah.
Kami tidak menyembah kecuali kepada-Nya. Bagi-Nya nikmat, anugerah dan pujaan yang baik.
Tiada Rabb (yang hak disembah) kecuali Allah, dengan memurnikan ibadah kepadaNya,
sekalipun orang-orang kafir sama benci.”

Setelah itu mengucapkan tasbih sebanyak 33x, tahmid sebanyak 33x, takbir sebanyak 33x
dan dilengkapi dengan 1x bacaan tahlil sehingga genap jumlahnya menjadi 100x dzikir.

33 ‫هللا‬
ِ ‫ان‬
َ ‫ ُسب َْح‬x

33x ِ ‫اَ ْل َح ْم ُد هَّلِل‬

33x ‫هللَا ُ أَ ْكبَ ُر‬

ُ‫َق ِديْر‬ ‫ك َولَ ُه ْال َحمْ ُد َوه َُو َعلَى ُك ِّل َشيْ ٍء‬
ُ ‫ لَ ُه ْالم ُْل‬،ُ‫ْك لَه‬
َ ‫الَ إِلَـ َه إِالَّ هللاُ َوحْ َدهُ الَ َش ِري‬
Subhanallah (33x)

Al hamdulillah (33x)

Allahu akbar (33 x)

Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah. Lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli
syai-in qodiir.

Artinya: “Maha Suci Allah (33 x), segala puji bagi Allah (33 x), Allah Maha Besar (33 x). Tidak
ada Rabb (yang berhak disembah) kecuali Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Bagi-Nya kerajaan. Bagi-Nya pujaan. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Menurut HR. Muslim no. 597 barangsiapa yang membaca dzikir di atas, maka dosa-
dosanya akan dihapus meskipun sebanyak buih di lautan. Jika tidak bisa membacanya sebanyak
33x maka bisa membacanya masing-masing sebanyak 10x. Hal ini berdasarkan beberapa riwayat
shahih lainnya.

Kita diperintahkan untuk membaca ayat kursi setiap selesai shalat fardhu. Hal ini tertera
dalam HR. An-Nasai dalam Al Kubro 9: 44. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban,
sebagaimana disebut oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram. “Siapa membaca ayat Kursi setiap
selesai shalat, tidak ada yang menghalanginya masuk surga selain kematian”

Selanjutnya membaca surah Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas. Uqbah bin Amir radhiallahu ‘anhu
berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku agar membaca surat Al-


Mu’awwidzat (Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas) selesai menunaikan shalat” (Sahih; H.R. Abu
Daud no. 1523; Shahih Sunah Abi Daud no. 1348). Disunnahkan untuk membaca ketiga surat ini
sebanyak 3 kali setelah selesai shalat subuh dan magrib.

Yang terakhir, ada satu doa yang dibaca setelah selesai shalat subuh, yaitu:

َ ُ‫اَللَّ ُه َّم إِ ِّنيْ أَسْ أَل‬


ً‫ َو َع َمالً ُم َت َق َّبال‬،‫ َو ِر ْز ًقا َط ِّيبًا‬،‫ك عِ ْلمًا َنافِ ًعا‬

Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’a, wa rizqon thoyyiba, wa ‘amalan mutaqobbala


Artinya: “Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat (bagi diriku dan
orang lain), rizki yang halal dan amal yang diterima (di sisi-Mu dan mendapatkan ganjaran yang
baik).” (HR. Ibnu Majah no. 925 dan Ahmad 6: 305, 322. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan
bahwa hadits ini shahih).

D. TAHLILAN

1. Definisi Tahlilan

Kata tahlilan berasal dari kata kerja bahasa Arab hallala – yuhallilu – tahliilan (
‫) هلل – يهلل – تهليال‬. Hallala memiliki arti membaca kalimat tauhid laa ilaaha illaAllah.
Kata tahlilan itu sendiri, ada yang mengatakan diambil dari pola mashdar kata hallala
yaitu tahlilan (‫) تهليال‬. Dan adapula yang mengatakan bahwa imbuhan “an” dalam kata
tahlil-an mengisyaratkan kepada tradisi yang khas di Indonesia. Maka berdasarkan
pendapat kedua ini, istilah tahlilan memiliki definisi sendiri. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), kata tahlilan didefinisikan sebagai, “Pembacaan ayat-ayat
suci al-Qur’an untuk memohonkan rahmat dan ampunan bagi arwah orang yang
meninggal.”6

2. Pro Kontra Tahlilan


a. Hakikat Tahlilan

Tahlil sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Indonesia, tahlilan merupakan
bid’ah idhofiyyah.

b. Kesunahan Bacaan-bacaan Tahlilan

Dalam tahlilan terdapat bacaan-bacaan yang dianjurkan untuk dibaca dalam syariat
Islam. Bacaan-bacaan yang terdpat dalam tahlil:

1) Ilaahaallaha Ill Zikir Tahlil Laa

Dalam suatu hadits, Rasulullah saw menjelaskan bahwa manusia yang kelak paling
berbahagia adalah yang senantiasa melafazkan zikir tahlil.

6
Isnan Ansory, Pro Kontra Tahlilan dan Kenduri Kematian, hal. 6
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: ditanyakan kepada Rasulullah saw: "Wahai Rasulullah
siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa'atmu pada hari kiamat?. Rasulullah
saw menjawab: "Aku telah menduga wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada orang yang
mendahuluimu dalam menanyakan masalah ini, karena aku lihat betapa perhatian dirimu
terhadap hadits. Orang yang paling berbahagia dengan syafa'atku pada hari kiamat adalah
orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya."
(HR. Bukhari).7
2) Istighfar

Allah swt berfirman, menceritakan sabda Nabi Nuh as:


Maka aku (Nabi Nuh as) katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu,
sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. (QS. Nuh: 10.8

3) Shalawat

Allah swt berfirman:


Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-
orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya. (QS. al-Ahzab: 56).9

4) Al-Fatihah, Awal Al-Baqarah Ayat Kursi

Dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari ayahnya, Abu Laila, dia berkata: "Ketika aku
sedang duduk di samping Nabi saw, tiba-tiba datang seorang Arab Badui seraya
berkata: “Sesungguhnya aku mempunyai saudara yang menderita sakit." Beliau
bertanya: "Apa sakit yang meninmpa saudaramu?." Dia menjawab: "Dia terserang
ayan." Beliau bersabda: "Pergi dan bawalah dia kesini." Maka dia pergi dan kembali
(kepada beliau) bersama saudaranya dan mendudukkannya di depan beliau, maka aku
mendengar beliau memberikan perlindungan kepadanya dengan al-Fatihah, 4 ayat dari
permulaan surat al-Baqarah, 2 ayat dari tengahnya dan (ayat) WA ILAAHUKUM
ILAAHUWWAAHID (dan tuhan kalian adalah tuhan yang satu), ayat kursi, 3 ayat dari
penghujung surat al-Baqarah, dan 1 ayat dari surat Ali 'Imran. Aku yakin beliau
7
Ibid, hal 9
8
Isnan Ansory, Pro Kontra Tahlilan dan Kenduri Kematian, hal. 10
9
Isnan Ansory, loc. Cit.
mengucapkan: "SYAHIDALLAHU ANNAHU LAA ILAAHA ILLA HUWA (Allah bersaksi
bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Dia). Beliau juga membaca satu
ayat dari surat al-A'raaf: INNA RABBAKUMULLAHULLADZI KHALAQ (sesungguhnya
Rabb kalian adalah yang menciptakan)', 1 ayat dari surat al-MuKminun: WA MAN
YADA'U MA'ALLAHI ILAAHNA AAKHAR LAA BURHAANA LAHU BIHI '(Dan barang
siapa yang menyeru bersama dengan Allah yaitu ilah yang lain, maka tidak ada petunjuk
baginya), 1 ayat dari surat al-Jin: WA ANNAHU TA'ALA JADDU RABBINAA
MATTAKHADZA SHAAHIBATAN WA LAA WALADA (Dan bahwasannya Maha Tinggi
kebesaran Rabb kami, Dia tidak beristeri dan tidak (pula) beranak)'. 10 ayat dari surat
ash-Shaffaat, 3 ayat dari akhir surat al-Hasyr, QULHUWALLAHU AHAD, dan 2
mu'awidzatain (al-Falaq dan an-Naas). Kemudian orang Arab Badui itu bangun dan
sembuh seakan-akan tidak menderita sakit." (HR. Ibnu Majah).10
5) Surat al-Ikhlas

Dari Abu Sa'id al-Khudri: bahwa seorang laki-laki mendengar seseorang yang membaca
surat: "QUL HUWALLAHU AHAD." dan orang itu selalu mengulang-ngulangnya. Di
pagi harinya, maka laki-laki itu pun segera menemui Rasulullah saw dan mengadukan
mengenai seseorang yang ia dengar semalam membaca surat yang sepertinya ia
menganggap sangat sedikit. Maka Rasulullah saw pun bersabda: "Demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya surat itu benar-benar menyamai sepertiga
al-Qur’an." (HR. Bukhari).11

6) Al-Mu’awwidzatain

Dari Aisyah: bahwa Nabi saw bila hendak beranjak ke tempat tidurnya pada setiap
malam, beliau menyatukan kedua telapak tangannya, lalu meniupnya dan membacakan:
"QULHUWALLAHU AHAD.." dan, "QUL `A'UUDZU BIRABBIL FALAQ..." serta,
"QUL `A'UUDZU BIRABBIN NAAS.." Setelah itu, beliau mengusapkan dengan kedua
tangannya pada anggota tubuhnya yang terjangkau olehnya. Beliau memulainya dari
kepala, wajah dan pada anggota yang dapat dijangkaunya. Hal itu, beliau ulangi
sebanyak 3 kali. (HR. Bukhari).12
10
Isnan Ansory, Pro Kontra Tahlilan dan Kenduri Kematian, hal. 11-12
11
Ibid, hal 13
12
Ibid, hal 14
7) Tasbih

Dari Abu Hurairah ra: Nabi saw bersabda: "2 kalimat ringan di lisan, berat di
timbangan, dan disukai ar-Rahman yaitu Subhaanallahul'azhiim dan Subhanallah
wabihamdihi." (HR. Bukhari Muslim.13

8) Hauqolah

Dari Abu Musa al-Asy'ari, dia berkata: Rasulullah saw berkata kepadaku: "Maukah aku
tunjukkan kepadamu salah satu perbendaharaan surga?” Saya menjawab; 'Tentu ya
Rasulullah? Rasulullah bersabda: Laa haula wala quwwata illaa billaah (Tiada daya
dan upaya kecuali dengan pertolongan AIIah)." (HR. Muslim)14

3. Bid’ah Tradisi Dalam Tahlilan

Yang menjadi bid’ah dalam tahlil meliputi dua cara yaitu: (1) tata cara, dan (2)
waktu pelaksanaan. Sebagian tata cara, serta rangkaian bacaan-bacaan tahlil yang terdiri
dari sunnah-sunnah muthlaqoh sebagaimana disebutkan sebelumnya, memang tidak
ditemukan contoh langsung dari Rasulullah saw. Hal inilah yang membuat kegiatan
tahlilan dinilai sebagai bid’ah idhofiyyah. Demikian pula dari sisi sebagian waktu
pelaksanaannya, hakikatnya juga tidak ditemukan contoh langsung dari Rasulullah saw.
4. Hukum Melakukan Tahlilan

Setelah meneliti hakikat dari tahlilan sebagaimana telah dijelaskan, maka dapat
disimpulkan bahwa hukum dari tradisi tahlilan, terkait erat dengan hukum melakukan
bid’ah idhofiyyah. Di mana menurut mayoritas ulama, khususnya dari kalangan al-
Hanafiyyah, asy-Syafi’iyyah, al-Hanabilah, dan muta’akhhirin al-Malikiyyah, bahwa
bid’ah idhofiyyah dihukumi boleh, maka pada dasarnya melakukan tahlilan juga
dihukumi boleh. Sedangkan bagi sebagian ulama seperti sebagian al-Malikiyyah dan al-
Hanabilah yang menolak bid’ah idhofiyyah, maka dapat disimpulkan bahwa mereka pun
pada dasarnya akan menolak pula tradisi tahlilan ini. Namun terlepas itu semua, perkara

13
Isnan Ansory, loc. Cit.
14
Isnan Ansory, Pro Kontra Tahlilan dan Kenduri Kematian, hal. 15
bid’ah idhofiyyah termasuk masalah khilafiyyah yang semestinya dapat disikapi secara
bijak dan lapang dada. Dan karenanya, sungguh amat disayangkan, jika masalah-masalah
semacam ini malah menjadi sebab terjadinya perpecahan di tengah umat. Terlebih, jika
sampai terlontar kata-kata yang kurang tepat, seperti tuduhan kafir, fasik, ahli bid’ah,
menyelisihi sunnah Rasulullah, menyimpang, sesat, dan semisalnya. Allahu al-musta’an.
5. Mengeraskan Suara

Kritik mereka yang menolak tradisi tahlilan adalah bahwa tradisi ini selalu
dilakukan dengan bacaan doa dan zikir yang bersuara keras. Padahal dalam al-Qur’an,
jelas Allah swt memerintahkan untuk berzikir dengan suara yang lembut, sebagaimana
firman-Nya:
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja
kamu seru, Dia mempunyai al-asmaa al-husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah
kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan
carilah jalan tengah di antara kedua itu." (QS. al-Isra’: 110)
Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut,
dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu
termasuk orang-orang yang lalai. (QS. al-A’raf: 205)
Dan dalam hadits juga disebutkan:
Dari Abu Sa'id, dia berkata: "Rasulullah saw beri'tikaf di Masjid, lalu beliau
menedengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (al-Qur'an) mereka. kemudian
beliau membuka tirai sambil bersabda: "Ketahuilah, sesungguhnya kalian tengah
berdialog dengan Rabb, oleh karena itu janganlah sebagian yang satu mengganggu
sebagian yang lain dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian
yang lain di dalam membaca (al-Qur'an) atau dalam shalatnya." (HR. Abu Dawud)
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Sesungguhnya mengeraskan suara dalam berdzikir
setelah orang selesai menunaikah shalat fardlu, terjadi di zaman Nabi saw. Ibnu Abbas
juga mengatakan: Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai dari shalat itu karena aku
mendengarnya. (HR. Bukhari Muslim)
Imam Bukhari meriwayatkan (dengan sanadnya) dari Abu Hurairah ra, berkata:
Nabi saw bersabda: Allah berfirman:
"Aku berada dalam prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-
Ku, jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku, dan
jika ia mengingat-Ku dalam perkumpulan, maka Aku mengingatnya dalam perkumpulan
yang lebih baik daripada mereka …” (HR. Bukhari) Imam as-Suyuthi berkata: Zikir
dalam perkumpulan,
tidak akan tampak kecuali dengan dikeraskan.
Di samping itu, Nabi saw sendiri kadangkala melakukannya dengan suara yang
keras dan kadangkala dengan suara yang lirih.
Dari Abu Hurairah, dia berkata: "Bacaan Nabi saw dalam shalat malam, terkadang
beliau mengeraskan suara dan terkadang melirihkannya." (HR. Abu Dawud)
Berdasarkan dalil-dalil di atas (antara isyarat larangan zikir dengan suara keras
dan kebolehan zikir dengan suara keras), imam as-Suyuthi menjelaskan bahwa semua
bentuk zikir tersebut dibolehkan tergantung pada kondisi masing-masing orang yang
berzikir.
Bahkan imam asy-Syawkani (w. 1250 H) menulis satu risalah khusus tentang
perkumpulan zikir yang dikeraskan (al-Ijtima’ ala adz-Dzikr wa al-Jahr bihi) dalam
kumpulan fatwanya, dan menyimpulkan bahwa zikir keras maupun lirih, semuanya
disyariatkan dalam Islam. Asy-Syawkani menulis:
Sedangkan, hasil kompromi antara dalil-dalil yang dikesankan bertentangan di
atas, disimpulkan sebagaimana berikut:
 Pertama: zikir yang keras menjadi terlarang, jika memang dapat menganggu orang
yang sedang beristirahat pada waktu yang memang umumnya digunakan untuk
istirahat, atau mengganggu orang yang sedang shalat, pada waktu yang memang
umumnya digunakan untuk shalat. Adapun diluar kondisi tersebut, maka tetap
dibolehkan, bahkan dianjurkan untuk mengeraskan zikir.
Imam as-Suyuthi menjelaskan, dengan mengutip pandangan imam an-Nawawi:
Imam Nawawi telah mengkompromikan antara dalil-dalil tersebut dan menyimpulkan
bahwa melirihkan bacaan al-Qur’an lebih utama jika dikhawatirkan munculnya riya’
atau mengganggu orang yang sedang shalat dan beristirahat. Adapun dengan
mengeraskannya, maka lebih utama di luar kondisi tersebut. Sebab dalam bacaa yang
dikeraskan, terdapat usaha yang lebih. Dan dapat memberikan faidah bagi yang
mendengarkan serta membangunkan hati pembacanya, dengan menggabungkan antara
hati dan pikiran. Di
samping itu, dapat pula memfokuskan pendengaran, menghilangkan kantuk, dan
menguatkan semangat. Sebagian orang berkata: dianjurkan membaca dengan keras
dalam suatu kondisi, dan dianjurkan untuk dilirihkan pada kondisi yang lain. Sebab
orang yang melirihkan bacaan al-Qur’an, akan dapat bosan dan dikuatkan semangatnya
dengan dikeraskan. Begitu pula dengan mengeraskan suara, dapat membuat letih, dan
diringankan dengan bacaa yang lirih. As-Suyuthi menambahkan: demikian pula dalam
berzikir.
 Kedua: Adapun QS. al-Isra’ ayat 110 yang memerintahkan untuk membaca al-
Qur’an atau zikir dengan suara yang tidak keras dan juga tidak pelan, dijelaskan
oleh as-Suyuthi dengan tiga jawaban:
 Pertama: QS. al-Isra’ ayat 110 adalah ayat makkiyyah, yang turun saat fase
dakwah di Mekkah. Di mana ayat ini menjelaskan bahwa jika al-Qur’an dibaca
dengan suara yang keras, lalu didengar oleh orang-orang musyrik, maka hal itu
akan menyebabkan munculnya hinaan mereka terhadap al-Qur’an.
Maka secara preventif (sadd adz-dzari’ah), hendaknya tidak dibaca
dengan keras. Hal ini sebagaimana Allah melarang untuk menghina sesembahan
mereka berupa berhala dalam QS. al-An’am: 108, agar tidak berakibat pada
penghinaan mereka terhadap Allah swt. Namun, hadits-hadits
yang menganjurkan pembacaan zikir secara keras, sudah tidak lagi dalam kondisi
sebagaimana turunnya QS. al-Isra’: 110, sebab Rasulullah saw dan para shahabat
sudah berada di Madinah.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan sebab turun ayat ini:
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: "Ayat ini (QS. al-Isra’: 110) turun ketika Rasululah
saw berdakwah secara sembunyi-sembunyi di Makkah. Beliau apabila shalat
mengimami para sahabatnya maka beliau mengangkat suaranya dengan bacaan
al-Qur'an. Sedangkan kaum musyrikin apabila mendengar hal tersebut maka
mereka mencela al- mengambilnya darimu. (dan usahakanlah jalan pertengahan
antara hal tersebut; antara keras dan pelan).
Hadits ini diriwayatkan di dalam ash-Shahihaini (Bukhari Muslim) dari riwayat
Abu Bisyr Ja’far bin Iyas. Demikian pula diriwayatkan oleh adh-Dhahhak dari
Ibnu Abbas, dengan tambahan: “Dan saat Nabi saw hijrah ke Madinah, gugurlah
ketentuan tersebut, dan membaca al-Qur’an bisa dilakukan dengan cara apapun.
 Kedua: Larangan bersuara keras saat zikir diarahkan pada saat al-Qur’an sedang
dibaca. Sebagaimana Allah memerintahkan saat al-Qur’an dibaca, maka
hendaknya didengarkan. Sedangkan zikir tetap bisa dilakukan dengan hati dan
suara yang lirih saat al-Qur’an dibaca. As-Suyuthi menjelaskan:
Sejumlah ahli tafsir seperti gurunya Imam Malik yaitu Abdurrahman bin Zaid bin
Aslam, dan juga Ibnu Jarir, mengarahkan ayat larangan zikir dengan keras, saat
al-Qur’an dibaca. Sebagai bentuk ta’zim terhadap ayat al-Qur’an, sebagaimana
firman Allah swt: “Dan apabila dibacakan al-Quran, maka dengarkanlah baik-
baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. al-
A’raf: 204).
Aku (as-Suyuthi) berkata: Seakan saat Allah memerintahkan untuk diam (saat
mendengar al-Qur’an), hal itu akan menyebabkan kebosanan, maka lalu Allah
mengingatkan (pada ayat berikutnya), meskipun delam kondisi lisan yang diam,
namun perintah berzikir dengan hati tetap dilakukan, hingga tidak lalai dalam
mengingat Allah. Dan karenanya Allah menutup ayat ini dengan firmannya, “dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. al-A’raf: 205).
 Ketiga: Sebagian kalangan Sufi menilai bahwa zikir dengan suara lirih
dikhususkan bagi Rasulullah saw. Sedangkan bagi umatnya, tetap dianjurkan
dengan bersuara keras. Sebab, hati manusia senantiasa lalai dan terserang was-
was, di mana suara keras bisa menjadi perantara untuk menghilangkannya. Dan
tentunya hal ini berbeda dengan Nabi saw.
Dalam hal ini, as-Suyuthi menyetujui pandangan ini sembari
menguatkannya dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Mu’adz bin
Jabal, di mana Nabi saw bersabda:
Siapapun di antara kalian yang mendirikan shalat di malam hari, maka
hendaknya mengeraskan suaranya. Sebab Malaikat ikut shalat bersama dengan
shalatnya, dan mendengarkan bacaannya. Demikian pula orang-orang beriman
dari golongan jin yang ikut shalat bersamanya, serta tetangganya yang ikut
mendengarkan bacaannya. Dan bacaannya yang keras tersebut, dapat mengusir
dari rumahnya dan rumah-rumah tetangganya dari jin yang fasiq dan setan-setan
yang durhaka. (HR. al-Bazzar).15
6. Doa Bersama dan Mengamininya

Di samping kritik atas aktifitas zikir yang dikeraskan, pihak yang menolak juga
melontarkan kritikan bahwa doa bersama yang dilakukan dalam tradisi ini sebagai
amalan bid’ah yang tidak berdasar. Sebab, doa bersama dengan cara satu orang berdoa
dan yang lain mengamininya, hanya disyariatkan pada kondisi khusus seperti saat
istisqa’ (meminta hujan) ataupun qunut witir dan nazilah. Adapun jika tidak ditemukan
adanya contoh doa bersama dari Rasulullah saw seperti dalam tradisikenduri, maka hal
ini termasuk bid’ah.
Jawaban:
Sebagaimana dimaklumi bahwa doa; memohon sesuatu kepada Allah, termasuk
ibadah yang sangat agung, di mana tidak ada satu pun muslim yang mengingkarinya.
Di samping itu doa bersama sebagaimana telah dijelaskan, telah pula disyariatkan oleh
Nabi saw dalam banyak kondisi. Hanya saja, apakah jika kondisi tertentu di mana tidak
ada contoh langsung dari Rasulullah saw untuk berdoa bersama, otomatis menjadi
terlarang?.Tentu jawabnya, selama tidak ada larangan dari Nabi, maka hukum asalnya
boleh saja dilakukan. Sebab sebagaimana zikir yang merupakan ibadah muthlak; boleh
dilakukan secara sendiri-sendiri maupun berjama’ah, maka demikian pula dalam
berdoa.
Bahkan tata cara doa berjama’ah ini diajarkan oleh Nabi dalam banyak moment
yang mengisyaratkan bahwa hal itu boleh dilakukan dalam moment apapun. Dan
karenanya, menuduh doa bersama sebagai bid’ah adalah tuduhan yang mengada-ada.
Setidaknya ada beberapa argumentasi untuk menegaskan bahwa doa bersama, ataupun
mengamini doa orang lain, merupakan bagian dari Syariat Islam.
 Pertama: doa bersama adalah amalan para Nabi, yang Allah anjurkan untuk kita
ikuti. Di dalam al-Qur’an Allah menceritakan doa bersama antara Nabi Musa as

15
Isnan Ansory, Pro Kontra Tahlilan dan Kenduri Kematian, hal. 16-29
dan Nabi Harun as. Di mana Nabi Musa yang melantunkan doa, dan Nabi Harun
yang mengamininya.
AlIah berfirman: "Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu
berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah
sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui". (QS.
Yunus: 89).
Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) menulis dalam tafsirnya:
Berkata Abu al-‘Aliyyah, Abu Shalih, Ikrimah, Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi,
dan ar-Rabi’ bin Anas: Musa berdoa dan Harun mengamininya. Maksudnya,
Kami (Allah) telah mengabulkan apa yang kalian (Musa dan
Harun) minta dari kebinasaan Fir’aun.
 Kedua: doa bersama adalah sunnah Rasulullah saw, yang senantiasa beliau
lakukan bersama para shahabat selepas dari majlis ilmu. Di mana Nabi saw yang
membaca doa, dan shahabat yang mengamininya.
Dari Ibnu Umar, ia berkata: jarang Rasulullah saw berdiri dari majelis
kecuali beliau berdoa dengan doa-doa ini untuk para sahabatnya: Ya Allah,
curahkanlah kepada kepada kami rasatakut kepadaMu yang menghalangi kami
dari bermaksiat kepadaMu, dan ketaatan kepadaMu yang mengantarkan kami
kepada SurgaMu, dan curahkanlah keyakinan yang meringankan musibah di
dunia. Berilah kenikmatan kami dengan pendengaran kami, penglihatan kami,
serta kekuatan kami selama kami hidup, dan jadikan itu sebagai warisan dari
kami, dan jadikan pembalasan atas orang yang menzhalimi kami, dan tolonglah
kami melawan orang-orang yang memusuhi kami, dan janganlah Engkau jadikan
musibah kami pada agama kami, dan jangan Engkau jadikan dunia sebagai
impian kami terbesar, serta pengetahuan kami yang tertinggi, serta jangan
engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menyayangi kami). (HR.
Tirmizi, Ibnu Sunni, dan Hakim)
 Ketiga: Rasulullah saw menganjurkan para shahabat untuk mengamini doa
shahabat lainnya. Dan hal itu, beliau contohkan sendiri.
Dari Muhammad bin Qais bin Makhramah: bahwa seorang laki-laki
mendatangi Zaid bin Tsabit, lalu menanyakan tentang sesuatu. Zaid berkata:
kamu bertanya kepada Abu Hurairah saja. Karena ketika kami, Abu Hurairah
dan si fulan di masjid, kami berdoa dan berzikir kepada Allah. Tiba-tiba
Rasulullah saw keluar kepada kami, sehingga duduk bersama kami, lalu kami
diam. Maka Nabi saw bersabda: kembalilah kepada apa yang kalian lakukan.
Zaid berkata: lalu aku dan temanku berdoa sebelum Abu Hurairah, dan Nabi saw
membaca aamiin atas doa kami. Kemudian Abu Hurairah berdoa: ya Allah aku
memohon kepada-Mu seperti yang dimohonkan kedua temanku. Dan aku
memohon kepada-Mu ilmu pengetahuan yang tidak akan dilupakan. Lalu
Rasulullah saw bersabda: aamiin. Lalu kami berkata: ya Rasulullah kami juga
memohon ilmu
pengetahuan yang tidak akan dilupakan. Lalu Nabi saw bersabda: kalian telah
didahului oleh laki-laki suku Daus (Abu Hurairah). (HR. Nasai, Hakim, dan
Thabrani).
 Keempat: Rasulullah saw mengajarkan bahwa doa bersama merupakan salah satu
wasilah untuk diijabah oleh Allah swt.
Dari Habib bin Maslaham al-Fihri –beliau seorang yang dikabulkan
doanya-, ia berkata: aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah
berkumpul suatu kaum, lalu sebagian mereka berdoa, dan sebagian yang lain
mengamininya, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka.” (HR. Thabrani
dan Hakim).12
12 Imam Hakim berkata dalam al-Mustadrak bahwa hadits ini shahih
sesuai persyaratan Muslim. Sedangkan al-Hafiz al-Haitsami berkata dalam
Majma’ az-Zawaid bahwa para perawi hadits ini adalah perawi hadits shahih,
kecuali Ibnu Lahi’ah, seorang yang hadistnya bernilai hasan.
Ibnu Abbas berkata: orang yang berdoa dan yang mengamininya, sama-sama
mendapatkan pahala. (HR. Dailami).13
 Kelima: bacaan aamiin (ta’min) saat doa bersama termasuk keistimewaan umat
Rasulullah saw. Dan tidak dimiliki umat sebelum beliau, hingga membuat orang-
orang Yahudi iri kepada umat Islam.
13 Syirawaih bin Syahrudar Abu Syuja’ ad-Dailami (w. 509 H), al-Firdaus bi
Ma’tsur al-Khithab, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1406/1986), hlm. 2/225.
14 Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata dalam al-Mathalib al-‘Aliyyah (hlm.
476), bahwa al-Hafiz Ibnu Khuzaimah meriwayatkannya dan berkata bahwa
hadits ini dhaif karena ada rawi Zarbi Maula Aal al-Muhallab. Hadits ini juga
disebutkan oleh Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil (hlm. 2/239) pada biografi Zarbi, yang
menilai bahwa sebagian haditsnya mungkar. As-Suyuthi dalam ad-Dur al-Mantsur
(hlm. 1/44) menisbatkannya kepada sanad Ibnu
Dari Anas bin Malik, ia berkata: saat kami bersama dengan Nabi saw, beliau
bersabda: “Aku dikaruniai 3 perkara, shalat dalam shaf-shaf, salam
penghormatan penduduk surga, dan aamiin. Di mana belum pernah seorang Nabi
pun sebelum kalian dikaruanikan aamiin, kacuali Allah karuniakan kepada
Harun. Karena sesungguhnya Musa yang selalu berdoa dan Harun selalu
mengamininya. (HR. al-Harits bin Usamah, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu
Mardawaih)
Hadits ini sanadnya dhaif, tetapi substansinya dikuatkan oleh hadits-hadits
sebelumnya, dan hadits berikut:
Dari Aisyah: Nabi saw bersabda: Orang-orang Yahudi tidak hasud kepada kalian
melebihi hasud mereka kepada ucapan salam dan ta’min. (HR. Bukhari dalam al-
Adab al-Mufrad, Ibnu Majah, dan Ahmad).16

7. Bacaan Tahlil
1. Pengantar Al-Fatihah

َ ‫الَى َحضْ َرة النَّبِ ِّي ْال ُمصْ طَفَى… ُم َح َّم ٍد‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َواَلِ ِه َواَ ْز َوا ِج ِه َواَوْ الَ ِد ِه َو ُذ ِّريَّا‬
)ِ ‫تِ ِه ْالفَتِ َح ْة (اَ ْلفَاتِ َحة‬

2. Al-Fatihah

‫هللا ال َّر حْ َم ِن ال َّر ِحي ِْم‬


ِ ‫ِبس ِْم‬

16
Isnan Ansory, Pro Kontra Tahlilan dan Kenduri Kematian, hal. 29-37
‫ك نَ ْعبُ ُد َواِيَّاكَ نَ ْست َِعي ُْن ‪ .‬اِ ْه ِد‬ ‫ْال َح ْم ُد هلِل ِ َربِّ ْال ِعا لَ ِم ْينَ ‪ .‬اَلرَّحْ َم ِن الر ِ‬
‫َّحي ِْم ‪َ .‬م ِل ِك يَوْ َم ال ِّد ْي ِن ‪ .‬اِيَّا َ‬
‫ب َعلَ ْي ِه ْم َواَل الضَّالِّ ْينَ ‪.‬‬ ‫ص َراطَ الَّ ِذ ْينَ اَ ْن َع ْمتَ َعلَ ْي ِه ْم َغي ِْر الّ َم ْغضُوْ ِ‬
‫َاالصِّراطَ الَّ ُم ْستَ ِق ْي َم ‪ِ .‬‬
‫َ‬ ‫ن‬
‫اَ ِم ْ‬
‫ين‬

‫)‪3. Surat Al-Ikhlas (3 kali‬‬

‫هللا ال َّر حْ َم ِن ال َّر ِح ْي َم‬


‫ِبس ِْم ِ‬

‫قُ ْلهُ َو هللاُ اَ َح ٌد ‪ .‬هللَا ُ ال َّ‬


‫ص َم ُد ‪ .‬لَ ْم يَلِ ْد َولَ ْم يُوْ لَ ْد ‪َ .‬ولَ ْم يَ ٌك ْن لَهُ ُكفُ ًو ااَ َح ٌد‬
‫‪4. Tahlil dan Takbir‬‬
‫‪5. Surat Al-Falaq‬‬

‫هللا ال َّر حْ َم ِن ال َّر ِحي ِْم‬


‫بِس ِْم ِ‬

‫ت فِى‬ ‫ب ‪َ .‬و ِم ْن َش ِّر النَّفَثَ ِ‬


‫ق اِ َذا َوقَ َ‬
‫ق ‪َ .‬و ِم ْن َش ِّر غَا ِس ٍ‬ ‫قُلْ اَ ُعوْ ُذبِ َربِّ ْالفَلَ ِ‬
‫ق ‪ِ .‬م ْن َشرِّ َما خَ لَ َ‬
‫‪ْ .‬ال ُعقَ ِد ‪َ .‬و ِم ْن َشرِّ َحا ِس ٍد اِ َذا َح َس َد‬
‫‪6. Tahlil dan Takbir‬‬
‫‪7. Surat An-nas‬‬

‫هللا ال َّر حْ َم ِن ال َّر ِحي ِْم‬


‫بشس ِْم ِ‬

‫اس ‪ .‬الَّ ِذى يُ َو س ِْوسُ‬‫اس ْال َخنَّ ِ‬


‫اس ‪ِ .‬م ْن َش ِّر ْال َو س َْو ِ‬
‫اس ‪ .‬اِلَ ِه النَّ ِ‬ ‫قُلْ اَ ُعو ُذ ِب َربِّا لنَّ ِ‬
‫اس ‪َ .‬م ِل ِك النَّ ِ‬
‫اس ‪ِ .‬منَا ْل ِجنَّ ِة َوالنَّ ِ‬
‫اس‬ ‫ص ُدوْ ِر النَّ ِ‬
‫فِى ُ‬

‫‪8. Tahlil dan Takbir‬‬


‫‪9. Surat Al-Fatihah‬‬
‫‪10.‬‬ ‫‪Awal Surat Al-Baqarah‬‬

‫صلَوةَ… َو ِم َّما‬
‫ب َويُقِ ُمونَ ال َّ‬‫ْب فِ ْي ِه هُدَى لِ ْل ُمتَّقِ ْينَ ‪ .‬الَّ ِذ ْينَ ي ُْؤ ِمنُونَ بِ ْال َغ ْي ِ‬
‫ك ال ِكتتَبُ الَ َري َ‬ ‫الم ‪َ .‬ذلِ َ‬
‫َر َز ْقنَهُ ْم يُ ْنفِقُونَ ‪َ .‬والَّ ِذ ْينَ ي ُْؤ ِمنُونَ بِ َما اُ ْن ِز َل اِلَ ْيكَ َو َما اُ ْن ِز َل ِمن قَ ْبلِ… َ‬
‫ك َوبِ…ااْل َ ِخ… َر ِة هُ ْم يُ……و‬
‫ك َعلَى هُدًى ِّمن َّر بِّ ِه ْم ‪َ ,‬واُوْ لَئِ َكهُ ُم ْال ُم ْفلِحُونَ‬
‫قِنُونَ ‪ .‬اُولَئِ َ‬
‫‪11.‬‬ ‫‪Surat Al-Baqarah Ayat 163‬‬

‫َواِلَهُ ُك ْم اِلَهٌ َّوا ِح ٌدالَ اِلَهَ اِالَّ هُ َوال َّر حْ َم ُن الر ِ‬


‫َّحيم‬
‫‪12.‬‬ ‫‪Ayat Kursi‬‬

‫ت َو َم……ا فِى‬ ‫هللاُ الَ اِلَهَ اِالَّ هُ َو ْال َح ُّى ْالقَيُّ ُم ‪ ,‬الَ تَ……اْ ُخ… ُذهُ و ِس…نَةٌ َوالَ نَ……وْ ٌم ‪ ,‬لَّهُ و ًم……ا فِى َّ‬
‫الس… َم َوا ِ‬
‫ض ‪َ ,‬م ْن َذا الَّ ِذى يَ ْش …فَ ُع ِع ْن … َدهُ و اِالَّ بِا ِ ْذنِ … ِه ‪ ,‬يَ ْعلَ ُم َم……ا بَينَ اَ ْي … ِد ْي ِه ِم َو َم……ا خ َْلفَهُ ْم ‪َ ,‬والَ‬
‫ااْل َرْ ِ‬
‫ض ‪َ ,‬والَ يَئُ……و ُدهُ‬ ‫ت َوااْل َرْ ِ‬ ‫يُحْ يِطُونَ بِ َش ْي ٍء ِّم ْن ِع ْل ِم ِه ى اِالَّ بِ َما َشا َء ‪َ ,‬و ِس َع ُكرْ ِسيُهُ ال َّس َم َوا ِ‬
‫و ِح ْفظُهُ ُما ‪َ ,‬وهُ َو ْال َعلِ ُّى ْال َع ِظ ْي ُم‬
‫‪13.‬‬ ‫‪Surat Al-Baqarah Ayat 284-286‬‬

‫هَّلِل ِ َمافِى ال َّس َم َوا ِ‬


‫ت َو َم……افِى ااْل َرْ ِ‬
‫ض ‪َ .‬واِ ْن تُ ْب… ُد وْ ا َم……افِى اَ ْنفُ ِس… ُك ْم اَوْ ت َْخفُ……وْ هُ ي َُح… ا ِس… ْب ُك ْم بِ ِهاهللُ ‪.‬‬
‫فَيَ ْغفِ ُر لَ ِم ْن يَّ َشا ُء َويُ ْع ِّذبُ َم ْن يَّ َشا ُء ‪َ .‬وهللاُ َعلَى ُك ِّل َش ْى ٍء قَ ِد ْي ٌر ‪ .‬اَ َمنَ ال َّر سُوْ ُل بِ َم……ا اُ ْن… ِ‬
‫…ز َل‬
‫اِلَ ْي ِه ِم ْن َّربِّ ِه َو ْال ُم ْؤ ِمنُوْ نَ ‪ُ .‬كلٌّ اَ َمنَ بِاهللِ َو َماَل ئِ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر ُسلِ ِه ‪ .‬اَل نًفَ ِّر ُ‬
‫ق بَ ْينَ اَ َح…… ٍد ِّم ْن‬
‫ف هللاُ نَ ْف ًس…ا ااَّل‬ ‫ك ْال َم ِ‬
‫ص… ْي ُر ‪ .‬اَل يُ َكلِّ ُ‬ ‫رُّ ُسلِ ِه ‪َ .‬و قَالُوْ ا َس… ِم ْعنَا َواَطَ ْعنَ……ا ُغ ْف… َرا نَ……كَ َربَّنَ……ا َواِلَ ْي… َ‬
‫ت ‪َ .‬ربَّنَا اَل تُؤَ ا ِخ ْذ نَااِ ْن نَ ِس ْينَا اَوْ اَ ْخطَ……اْ نَ……ا ‪َ .‬ربَّنَ……ا‬ ‫ت َو َعلَ ْيهَا َما ا َك ْت َسبَ ْ‬‫ُو ْس َعهَا لَهَا َما َك َسبَ ْ‬
‫َواَل تَحْ ِملْ َعلَ ْينَا اِصْ رًا َك َما َح َم ْلتَهُ َعلَى الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِنَا ‪َ .‬ربَّنَا َواَل تُ َح ِّم ْلنَا َما اَل طَا قَةَ لَنَ……ا‬
‫ف َعنَّا َوا ْغفِرْ لَنَا َوارْ َح ْمنَا *‪7‬‬ ‫بِ ِه ‪َ .‬وا ْع ُ‬

‫‪14.‬‬ ‫‪Surat Hud ayat 73‬‬

‫رْ َح ْمنَا يَا اَرْ َح َم الرَّا ِح ْي ِم ْينَ * ِ‬


‫‪7‬‬
‫هللا َوبَ َر َكا تُهُ َعلَ ْي ُك ْم اَ ْه َل ْالبَ ْي ِ‬
‫ت اِنَّهُ َح ِم ْي ٌد َّم ِج ْي ٌد‬ ‫ت ِ‬ ‫‪َ .‬رحْ َم ُ‬
‫‪15.‬‬ ‫‪Surat Al-Ahzab ayat 33‬‬

‫ت َويُطَهِّ َر ُك ْم ت ْ‬
‫َط ِه ْي ًر‬ ‫س اَ ْه َل ْالبَ ْي ِ‬ ‫اِنَّ َما ي ُِر ُد هللاُ لِي ُْذ ِه َ‬
‫ب َع ْن ُك ُم ال ِّر َج َ‬
‫‪16.‬‬ ‫‪Surat Al-Ahzab ayat 56‬‬

‫صلُّوْ ا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُموا تَ ْسلِ ْي ًما‬


‫ُصلُّونَ َعلَى النَّبِ ِّي يَا ايُّهَا الَّ ِذ ْينَ اَ َمنُوْ ا َ‬
‫َّن هللاَ َو َمالَ ئِ َكتَهُ ي َ‬
‫‪17.‬‬ ‫‪Sholawat Nabi 3 kali‬‬

‫صحْ بِ ِه َو َسلِّ ْم‬


‫ك َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َّو َعلَى اَلِ ِه َو َ‬ ‫للَّهُ َّم َ‬
‫ص ِّل َعلَى َحبِ ْيبِ َ‬
‫‪18.‬‬ ‫‪Salam Nabi‬‬
‫‪19.‬‬ ‫‪Surat Ali Imran ayat 73 dan Surat Al-Anfal ayat 40‬‬
‫‪20.‬‬ ‫‪Hauqalah‬‬
‫‪21.‬‬ ‫‪Istighfar 3 kali‬‬
‫‪22.‬‬ ‫‪Hadis keutamaan Tahlil‬‬
‫‪23.‬‬ ‫‪Tahlil 160 kali‬‬
‫‪24.‬‬ ‫‪Dua kalimat Syahadat‬‬
‫‪25.‬‬ ‫‪Doa Tahlil‬‬
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qathani, Syaikh Sa’id in ‘Ali bin Wahf. Dzikir Pagi dan Petang dan Setelah Shalat Fardhu.
Pustaka Ibnu Umar.

Amin, Samsul Munir. Energi Dzikir, Jakarta : Bumi Aksara, 2008

Abu Abdillah. Argument Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. (Tangerang : Pustaka, 2011).

Astuti, Fousiah Dwi. Jurnal Penelitian : Konsep Wirid Qur’ani (Studi Atas Kitab AlMa’surat Karya
Hasan Al-Bana). Yogyakarta, 2013.

al-Qahthani, Syeikh Sa'ad bin Ali bin Wahf. 2015. Agar do'a dikabulkan berdasarkan Al Qur’an& As
Sunnah. Jakarta : Darul Haq

Baz, Syeikh Abdulaziz Ibn. (1992,Mei). Doa’ & Dzikir. Diambil dari
www.islamicbook.ws/indonesian/indonesian-30.pdf

Baz, Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin. 2002. Do'a dan Dzikir Pilihan. Terjemahan: Abu Ibrahim Suwito.
Maktab Kerjasama Untuk Dakwah dan Penyuluhan Para

kbbi.kemendikbud.go.id. Diakses tanggal 13 Maret 2020,Pukul 15.04 WIB

Anda mungkin juga menyukai