Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini trauma melanda dunia bagaikan wabah karena dalam
kehidupan modern penggunaan kendaraan otomotif dan senjata api semakin luas.
Sayangnya, penyakit akibat trauma sering ditelantarkan sehingga trauma
merupakan penyebab kematian utama pada kelompok usia muda dan produktif di
seluruh dunia. Angka kematian ini dapat diturunkan melalui upaya pencegahan
trauma dan penanggulangan optimal yang diberikan sedini mungkin kepada
korbannya. Perlu diingat bahwa penanggulangan trauma bukan hanya masalah di
rumah sakit, tetapi mencakup penanggulangan menyeluruh yang dimulai di
tempat kejadian, dalam perjalanan ke rumah sakit dan di rumah sakit.1
Foto toraks sebaiknya selalu dilakukan pada penderita dengan trauma yang
mengancam nyawa. Dengan foto toraks ini dapat dilihat pneumotoraks,
hematotoraks, fraktur iga, cedera mediastinum dan kadang-kadang juga dapat
dilihat cedera pada diafragma. Pada penderita yang syok, tanpa tanda perdarahan
diluar, biasanya terjadi perdarahan di daerah fraktur di dalam toraks atau di
abdomen. 1
Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang
umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebabkan oleh
tikaman dan tembakan. Cedera toraks sering disertai dengan cedera perut, kepala
dan ekstrimitas sehingga merupakan cedera majemuk.2
Cedera dada yang memerlukan tindakan darurat adalah obstruksi jalan
nafas, hemotoraks besar, tamponade jantung, pneumotoraks desak, flail chest,
pneumotoraks terbuka, dan kebocoran udara trakeobronkial. Semua kelainan ini
menyebabkan gawat dada atau toraks akut analog dengan gawat perut, dalam arti
diagnosis harus ditegakkan secepat mungkin dan penanganan dilakukan segera
untuk mempertahankan pernafasan, ventilasi paru dan pendarahan. Sering
tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan penderita bukan merupakan
tindakan operasi seperti membebaskan jalan nafas, aspirasi rongga pleura, aspirasi
rongga perikard, dan menutup sementara luka dada. Akan tetapi kadang kadang

1
diperlukan torakotomi darurat. Luka tembus di dada harus segera ditutup dengan
jahitan yang kedap udara.2

1.2 Batasan Masalah


Referat ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, manifestasi
klinis, diagnosis dan tatalaksana umum pada trauma toraks. Dalam referat ini,
pembahasan terutama dititikberatkan pada peranan radiologi dalam mendiagnosis
trauma toraks.

1.3 Tujuan Penulisan


Referat ini disusun untuk lebih memahami mengenai definisi,
epidemiologi, etiologi, manifestasi klinis, diagnosis dan tatalaksana umum pada
trauma toraks terutama mengenai peranan radiologi dalam mendiagnosis trauma
toraks sekaligus sebagai salah satu pemenuhan sesi pembelajaran kepaniteraan
klinik dokter muda bagian Radiologi RSUP DR. M. Djamil Padang.

1.4 Manfaat Penulisan


Referat ini disusun dengan harapan dapat meningkatkan pemahaman
mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, manifestasi klinis, diagnosis dan
tatalaksana umum pada trauma toraks terutama mengenai peranan radiologi dalam
mendiagnosis trauma toraks sehingga dapat diaplikasikan dengan baik pada kasus
di lapangan sesuai kompetensi dokter.

1.5 Metode Penulisan


Makalah ini disusun dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur, termasuk buku teks dan berbagai makalah ilmiah.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Dada berisi organ vital paru dan jantung. Rangka dinding toraks, yang
dinamakan compage thoracis yang dibentuk oleh columna vertebralis di belakang,
costae dan spatium intercostalis di samping dan sternum serta rawan iga di depan.
Di superior toraks, berhubungan dengan leher melalui aperture thoracis superior
dan di inferior dipisahkan dari abdomen oleh diafragma. Compages thoracis
melindungi paru-paru dan jantung dan merupakan tempat perlekatan untuk otot-
otot toraks, ekstrimitas atas, abdomen dan punggung. Cavitas thoracis dapat
dibagi dalam bagian median yang dinamakan mediastinum, dan bagian lateral
yang ditempati oleh paru-paru dan pleura. Paru-paru diliputi oleh membran tipis
yang dinamakan pleura viseralis yang berjalan dari pangkal masing-masing paru
menuju ke permukaan dalam dinding thoraks yang dinamakan pleura parietalis.
Dengan cara ini terbentuk dua kantong membranosa yang dinamakan cavitas
pleuralis pada setiap pinggir toraks antara paru-paru dan dinding toraks.3

Gambar 2.1: Anatomi Rangka Diniding Toraks

Trakea terbentang dari pinggir bawah cartilage cricoidea (berhadapan


dengan corpus vertebrae cervical VI) di leher sampai setinggi angulus sterni pada
toraks. Trakea terdapat di garis tengah dan berakhir tepat di sebelah kanan garis

3
tengah dengan bercabang menjadi bronchus principalis dextra dan sinistra.
Bronkus prinsipalis kanan lebih lebar, lebih pendek dan lebih vertical
dibandingkan kiri. Sebelum masuk ke hilus paru-paru kanan, bronkus principalis
mempercabangkan bronkus lobaris superior. Waktu masuk ke hillus, ia membelah
menjadi bronkus lobaris medius dan bronkus lobaris inferior. Sedangkan bronkus
prinsipalis kiri, waktu masuk ke hillus paru kiri, ia akan bercabang menjadi
bronkus lobaris superior dan inferior.3
Paru-paru berbentuk konus dan diliputi oleh pleura viseralis. Paru-paru
terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri, hanya dilekatkan ke mediastinum
oleh radiks pulmonis. Masing-masing paru mempunyai apeks yang tumpul, yang
menjorok ke atas, masuk ke leher sekitar 2,5 cm diatas klavikula, facies costalis
yang konveks, yang berhubungan dengan dinding dada dan facies mediastinalis
yang konkaf, yang membentuk cetakan pada perikardium dan struktur
mediastinum lain. Sekitar pertengahan permukaan kiri, terdapat hillus pulmonis,
suatu lekukan dimana bronkus, pembuluh darah, dan saraf masuk ke paru-paru
untuk membentuk radiks pulmonis.3
Di inferior, toraks berhubungan dengan abdomen melalui lubang besar
yang dinamakan aperture thoracis inferior. Lubang ini dibatasi oleh articulatio
xiphosternalis, arcus costae, dan corpus vertebrae thoracica XII. Diafragma
merupakan otot utama respirasi. Diafragma berbentuk kubah yang terdiri atas
bagian otot di perifer, yang berasal dari pinggir aperture thoracis inferior dan di
tengah diganti oleh tendo.3
Pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Jaringan paru
dibentuk oleh jutaan alveolus yang mengembang dan mengempis tergantung
mengembang atau mengecilnya rongga dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi
otot pernafasan, yaitu m.intercostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga
dada membesar dan paru-paru mengembang sehingga udara terhisap ke alveolus
melalui trakea dan bronkus.2

4
Gambar 2.2 : Anatomi Paru

Sebaliknya, bila m.intercostalis melemas, dinding dada mengecil kembali


dan udara terdorong ke luar. Sementara itu, karena tekanan intraabdomen,
diafragma akan naik ketika m.interkostalis tidak berkontraksi. Ketiga faktor ini,
yaitu kelenturan dinding toraks, kekenyalan paru dan tekanan intraabdomen
menyebabkan ekspirasi jika otot interkostal dan diafragma kendur dan tidak
mempertahankan keadaan inspirasi. Dengan demikian, ekspirasi merupakan
kegiatan yang pasif.2
Jika pernafasan gagal karena otot pernafasan tidak bekerja, ventilasi paru
dapat dibuat dengan meniup cukup kuat agar paru mengembang di dalam toraks
bersamaan dengan mengembangnya toraks. Kekuatan tiupan harus melebihi
kelenturan dinding dada, kekenyalan jaringan paru dan tekanan intraabdomen. Hal
ini dilakukan pada ventilasi dengan respirator atau pada resusitasi dengan nafas
buatan mulut ke mulut.2
Adanya lubang di dinding dada atau di pleura viseralis akan menyebabkan
udara masuk ke rongga pleura sehingga pleura viseralis terlepas dari pleura
parietalis dan paru tidak lagi ikut dengan gerak nafas dinding toraks dan
diafragma. Hal ini terjadi pada pneumotoraks. Jika dipasang penyalir tertutup

5
yang diberi tekanan negatif, udara ini akan terisap dan paru dapat dikembangkan
lagi.2
Jantung merupakan organ muscular berongga yang bentuknya mirip
piramid dan terletak di dalam perikardium di mediastinum. Basis kordis
dihubungkan dengan pembuluh pembuluh darah besar, meskipun demikian
terletak bebas di dalam perikardium. Jantung juga mempunyai apeks yang arahnya
ke bawah, depan dan ke kiri. Apeks ini dibentuk oleh ventriculus sinister
mengarah ke bawah depan dan kiri. Apeks terletak setinggi spatium intercostalis
V sinistra, Sembilan cm dari garis tengah. Basis cordis berbentuk piramid dan
terletak berlawanan dengan apeks. Batas kanan jantung dibentuk oleh atrium
dextra, batas kiri oleh aurikula sinistra dan dibawah oleh ventrikulus sinistra.
Batas bawah terutama dibentuk oleh ventrikulus dekstra tetapi juga oleh atrium
dekstra dan apeks oleh ventrikulus sinister. Batas-batas ini penting pada
pemeriksaan radiografi jantung.2

Gambar 2.3 : Anatomi Radiografi Toraks Normal (lange)

2.2 Definisi dan Epidemiologi Trauma Toraks


Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Definisi
ini memberikan gambaran superfisial dari respon fisik terhadap cedera. Trauma
merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur dibawah 35 tahun. Di

6
Indonesia, trauma merupakan penyebab kematian nomor empat, tetapi pada
kelompok umur 15-25 tahun, trauma merupakan penyebab kematian utama.1
Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang
umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebabkan oleh
tikaman dan tembakan. Cedera toraks sering disertai dengan cedera perut, kepala
dan ekstrimitas sehingga merupakan cedera majemuk.1
Setiap tahun di Amerika Serikat, lebih dari 300.000 pasien dirawat dan
25.000 di antaranya meninggal segagai akibat langsung dari trauma toraks.
Trauma toraks terhitung 25% dari seluruh kematian karena trauma, dan terutama
trauma toraks merupakan sebuah faktor dari 50% kecelakaan lalu lintas yang
berakibat fatal. Trauma toraks yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat adalah trauma tumpul toraks (90%), biasanya
sebagai akibat dari kecelakaan sepeda motor. Insiden trauma tembus seimbang
atau lebih sedikit, dan banyak luka tembus pada dada dapat ditanggulangi dengan
tube thoracostomy saja.4

Gambar 2.4 : Mekanisme Trauma

Trauma tumpul toraks dapat mempengaruhi komponen dinding toraks dan


rongga toraks. Trauma ini dapat mencederai tulang (iga, klavikula, skapula dan
sternum), paru dan pleura, trakeobronkial, esofagus, jantung, pembuluh darah
besar toraks, dan diafragma.5

2.3 Peranan Radiologi Pada Kasus Trauma Toraks

7
Tujuan pemeriksaan radiologis :6
1. Mencari adanya fraktur tulang-tulang dinding dada
2. Mencari adanya benda asing (luka tembak)
3. Mencari adanya kelainan pada mediastinum
4. Mencari adanya hematotoraks, pneumotoraks
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan antara lain :
1. Radiografi konvensional
Radiografi dipakai sebagai dasar untuk mencari fraktur,
pneumotoraks, hematotoraks, benda asing, dan melihat kelainan
diafragma sinus.6
Radiografi toraks merupakan hal penting dalam trauma
toraks, hanya dalam kasus yang bisa mengancam nyawa, radiografi
toraks bisa ditunda. Penilaian sistematis dari radiografi dapat
menemukan kelainan yang terlihat dan yang tidak terlihat secara
klinis. Tulang-tulang toraks, yaitu tulang iga, klavikula, skapula dan
vertebra dapat dinilai apakah terjadi fraktur atau tidak, terutama
untuk tulang iga harus lebih diperhatikan.6
Dengan kata lain, radiografi konvensional tetap menjadi
modalitas diagnostik utama untuk semua pasien trauma dada. Ini
memberikan diagnosis yang tepat untuk sebagian besar trauma yang
mengancam jiwa yang melibatkan dinding dada, pleura, paru-paru,
mediastinum dan diafragma. Radiografi polos harus digunakan
sebagai pemeriksaan skrining awal pada pasien yang telah
berkelanjutan trauma dada.7
2. USG
USG digunakan untuk melihat adanya efusi pleura.
Ultrasonografi sangat berguna, yang merupakan teknik yang
sederhana dalam diagnosis cedera diafragma. Ultrasonografi juga
digunakan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami luka tusuk
daerah torakoabdominal, yang digunakan untuk melukiskan subkutan
dan lapisan fasia, untuk mengidentifikasi saluran luka, dan untuk
mendeteksi luka yang mengenai peritoneum atau pleura parietalis.8

8
3. CT Scan
Computed tomography adalah modalitas pilihan untuk
penilaian cepat gawat darurat dada, meskipun dada x-ray (CXR) tetap
merupakan modalitas skrining awal. Sebuah CT scan secara
signifikan lebih mungkin untuk menghasilkan informasi tambahan
daripada CXR saja. Pada pasien trauma akut, CT dada biasanya
dilakukan bersamaan dengan CT abdomen dan kombinasi ini
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas.8
CT Scan digunakan untuk melihat adanya pneumotoraks yang
tersembunyi, adanya benda asing, atau adanya dugaan cedera pada
pembuluh darah (aorta). Pada keadaan ini digunakan media kontras.6
CT scan dapat menunjukkan cedera pada paru-paru, pleura,
mediastinum, dan cedera dinding dada lebih baik daripada radiografi.
Sekitar 90% pasien tidak mengalami cedera aorta, tetapi banyak hal
serius lainnya, cedera yang tak terduga dapat diidentifikasi pada scan
dada CT, dan dengan frekuensi yang lebih besar. Banyak luka dada
serius mungkin diabaikan pada radiografi dada awal; ini termasuk
tracheobronchial tears, ruptur diafragma, esophageal tears, cedera
tulang belakang dada, cedera dinding dada dan sabuk pengaman,
kontusio paru, cedera jantung, pneumotoraks, hemothoraks, dan
komplikasi yang terkait dengan rongga dada.8
4. MRI
MRI biasanya disediakan untuk mengevaluasi pasien stabil dengan
CT scan yang hasilnya samar-samar atau nondiagnostic. MRI juga
merupakan alat yang sangat baik dalam diagnosis cedera vaskular
pada pasien stabil.8

5. Aortografi
Aortografi merupakan salah satu kriteria standar untuk mendiagnosis
suatu cedera terhadap aorta pada kasus trauma dada. Namun, dengan
generasi baru CT scan yang memiliki sensitivitas 100% dan
spesifisitaslebih dari 99% maka pemakaian aortografi pada pasien
trauma dapat dikurangi.5

9
2.4 Trauma Aorta dan Pembuluh Darah Besar
Sampai dengan 15% dari semua kematian akibat kecelakaan kendaraan
bermotor adalah karena cedera aorta torakalis. Banyak dari pasien ini meninggal
di TKP akibat transeksi aorta lengkap. Pasien yang bertahan hidup yang diantar
ke instalasi gawat darurat biasanya memiliki cedera dinding aorta yang kecil atau
parsial dengan formasi pseudoaneurysm.9
Ruptur traumatik dari aorta sendiri terhitung sebanyak 16% dari
kecelakaan kendaraan bermotor yang berakibat fatal, dan 85-90% dari pasien
dengan ruptur aorta traumatik meninggal sebelum mendapatkan pertolongan
medis. Dalam seri klinisnya, 90% ruptur aorta traumatik terjadi pada ismus aorta,
tepat di sebelah distal pangkal arteri subklavia kiri. Sebagian kecil trauma aorta
(1-3%) melibatkan aorta desenden, khususnya setingkat diafragma.4
Dipostulasikan mekanisme lain untuk cedera aorta adalah kompresi antara
sternum dan tulang belakang, dan peningkatan mendadak tekanan intra-lumen
aorta pada saat dampak.9
Trauma pembuluh darah besar (dengan atau tanpa robekan aorta yang
serentak) terjadi pada 1-2% pasien dengan trauma tumpul toraks. Hematom
mediastinum superior perivaskuler atau hematom servikal inferior, khususnya
pada keadaan fraktur kosta superior atau dislokasi sternoklavikular posterior,
harus segera mendapat perhatian untuk trauma pembuluh darah besar atau trauma
pada struktur lain di dalam toraks.4

2.4.1 Gambaran Klinis


Tanda-tanda klinis dari cedera aorta traumatis jarang ditemukan, dan
diagnosis didasarkan pada indeks kecurigaan yang tinggi berdasarkan mekanisme
cedera, dan hasil studi pencitraan.9

2.4.2 Pemeriksaan Radiologis


Tanda-tanda radiografi dada dari trauma aorta memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang kecil. Tanda-tanda radiografi yang paling sensitif (tetapi tidak
spesifik) adalah pelebaran mediastinum dan kehilangan definisi dari arkus aorta.
Radiografi dada yang normal memiliki nilai prediksi negatif tinggi (98%) tetapi
nilai prediksi positif yang rendah untuk trauma aorta.4

10
Gambar 2.5 : Laserasi aorta A.Pelebaran mediastinum non spesifik B. Aortogram
menunjukkan laserasi pada ismus aorta.4

Gambar 2.6: Laserasi aorta desenden. CT scan menunjukkan pseudoaneurisma pada aorta
desenden (panah)17

Pada banyak institusi, contrast-enhanced, thin-section CT scanning (tiga


milimeter penjajaran atau kurang dengan rekonstruksi yang overlapping) telah
menggantikan aortografi konvensional dalam mengevaluasi pasien dengan trauma
aorta. Apabila ada perdarahan mediastinum, bukan berarti hal itu kecil dan tidak
terpusat di sekitar aorta, tanpa adanya tanda-tanda langsung dari trauma aorta, dan
apabila tidak ada keterangan lain dari perdarahan yang terlihat pada hasil CT,

11
pasien umumnya memerlukan angiografi konvensional. Apabila terdapat tanda-
tanda langsung dari trauma aorta yang terlihat pada CT, termasuk (a) perubahan
kaliber aorta pada lokasi trauma (pseudoaneurisma atau pseudokoarktasio), (b)
dinding atau kontur aorta yang abnormal atau ireguer, (c) keireguleran intralumen
atau daerah-daerah yang beratenuasi rendah (bekuan darah, flap intima linier), (d)
hematom atau diseksi intramural, dan (e) ekstravasasi kontras yang aktif, pasien
memungkinkan atau tidak dilakukan angiografi konvensional konfirmasi pada
operasi yang terpisah. Tidak hanya CT yang berguna untuk mendeteksi tanda-
tanda langsung dari trauma aorta, tetapi CT juga bisa memperlihatkan penyebab
lain pelebaran mediastinum, termasuk peningkatan lemak mediastinum,
atelektasis paramediastinal atau efusi pleura, sisa jaringan timus, trauma paru-paru
yang terpecah-belah, artefak karena posisi supinasi, tortuositas pembuluh darah,
anomali pembuluh darah, limfadenopati, dan penyisikirian vena cava superior
persisten.4

Tabel 2.1 : Tanda Radiografi dada pada Trauma Aorta4

2.4.3 Tatalaksana
Atasi perdarahan tetap menjadi prioritas utama. Operasi perbaikan aorta dilakukan
atas indikasi sebagai berikut :9

12
 Ketidakstabilan hemodinamik
 Besar volume perdarahan dari tabung dada
 Adanya ekstravasasi kontras pada CT atau hematoma mediastinum yang
berkembang pesat
 Luka tembus aorta

2.5 Trauma Parenkim Paru


Kontusio paru dapat menyebabkan edema dan menumpuknya darah di
ruang alveolar serta hilangnya struktur dan fungsi paru-paru yang normal. Cedera
tumpul paru yang berkembang selama 24 jam, menyebabkan gangguan pertukaran
gas dan peningkatan resistensi pembuluh darah paru. Dalam hal ini dapat terjadi
pula, reaksi inflamasi yang signifikan pada paru-paru, dan 50-60% dari pasien
dengan kontusio paru yang signifikan akan berkembang menjadi Respiratory
Distress Syndrome bilateral akut (ARDS).9

2.5.1 Gambaran Klinis


Kontusio paru jarang didiagnosis pada pemeriksaan fisik. Mekanisme
cedera mungkin mengarahkan pada trauma tumpul dada, dan mungkin ada tanda-
tanda jelas trauma dinding dada seperti memar, patah tulang rusuk atau flail chest.
Hal ini dapat menunjukkan adanya kontusio paru yang mendasari. Sekitar 50%
pasien dengan kontusio paru mengalami hemoptisis. Kontusio ini dapat terjadi
dengan atau tanpa fraktur iga.9,10

2.5.2 Pemeriksaan Radiologis


Pada pemeriksaan radiologi tampak bayangan bercak di paru. Opasifikasi
abnormal parenkim paru pada pasien trauma dapat sebagai hasil dari atelektasis,
aspirasi, edema, pneumonia, trauma paru-paru (kontusio dan laserasi) dan
biasanya etiologinya multifaktorial. Kontusio paru-paru (lung bruis) dapat
berakibat pada kebocoran darah dan edema cairan ke dalam interstisial dan ruang
alveolar. Laserasi paru-paru merupakan trauma yang lebih berat yang
mengakibatkan gangguan arsitektur paru-paru.4

13
Gambar 2.7: Laserasi Paru. A. Radiografi dada posisi AP supinasi seorang laki-laki usia
16 tahun yang mengalami trauma dada, terlihat bayangan opak pada paru kanan dan
beberapa iga yang patah. B. radiografi dada yang dibuat 4 hari kemudian, terlihat
beberapa bayangan lusen berbentuk bulat dengan bayangan opak pada paru kanan yang
menunjukkan laserasi paru dan perkembangan pneumatocele4

Gambar 2.8 : Kontusio paru, CT scan menunjukkan kontusio paru (panah merah) dan
fraktur iga (panah biru)4

Cedera yang terkait sabuk pengaman dapat menyebabkan kontusio


pada jaringan subkutan dan lemak dari dinding dada anterior. Hal ini dapat
diidentifikasi pada CT scan. Cedera sabuk pengaman berat dapat menyebabkan
lecet kulit yang berhubungan dengan luka dalam pada 30% pasien.8

14
Gambar 2.9 : Radiografi dada pada seorang laki-laki dengan trauma dada tumpul terlihat
perdarahan pada lobus atas paru kiri, dan emfisema. Pasien dengan hemoptisis setelah
cedera.8

Untuk melakukan identifikasi cedera sabuk pengaman pada CT scan harus


segera mencari hal-hal berikut:8
 Fraktur sternum, tulang rusuk, klavikula, dan prosesus transversus C7 atau
T1
 Transeksi aorta
 Kontusio jantung atau ruptur ventrikel
 Cedera pada arteri subklavia atau vena kava superior
 Trakeal or laryngeal tears
 Ruptur diafragma
Insiden fraktur sternum sebenarnya lebih tinggi pada pengguna sabuk
pengaman daripada bukan pengguna; patah tulang terjadi pada 2 cm dari
persimpangan manubrium-tulang dada.8
CT lebih sensitif daripada radiografi untuk menunjukkan kontusio dan
laserasi. Pada keduanya, radiografi dada dan CT, kontusio paru-paru diperlihatkan
sebagai areas of airspace opacity, ground-glass opacification, atau keduanya,
yang mana mengarah kepada nonsegmental perifer, dan geografis dalam
distribusi. Kontusio paru-paru terisolasi pada dewasa muda, pasien yang sehat
tidak berhubungan dengan peningkatan angka kematian. Kontusio terbukti pada
temuan atau dalam 6 jam setelah trauma, dan hilang sendiri, biasanya tanpa
sekuele yang permanen, dalam 5 sampai 7 hari. Laserasi paru-paru, dengan kata
lain, mungkin pada awalnya tertutup oleh kontusio koeksisten dan bentuk-bentuk

15
lainnya dari trauma toraks pada radiografi permulaan atau CT scan, dan ini secara
umum memakan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk hilang
sendiri, kadang-kadang dengan jaringan parut sisa. Laserasi paru-paru akibat dari
robeknya parenkim paru dan pembentukan kavitas yang terisi dengan darah
(hematom), udara (pneumatocele), atau keduanya. Radiografi atau CT scan
mendiagnosis laserasi paru-paru didasarkan pada temuan penumpukan udara yang
terlokalisasi dalam sebuah daerah ruang udara opak pada daerah trauma toraks.
Keduanya, kontusio dan laserasi, mengarahkan kepada terjadinya gangguan
terhadap struktur-struktur padat , seperti kosta dan korpus vertebra.4

2.5.3 Tatalaksana
Kebanyakan memar tidak memerlukan terapi spesifik. Namun kontusio
yang luas dapat mempengaruhi pertukaran gas dan mengakibatkan hipoksemia.
Sebagai dampak fisiologis, kontusio cenderung berkembang selama 24-48 jam,
diperlukan pemantauan secara ketat dan oksigen tambahan harus diberikan.
Pengelolaan cedera tumpul dada karena termasuk analgesia yang memadai dan
tepat. Intubasi trakea dan ventilasi mekanis mungkin diperlukan jika ada kesulitan
dalam oksigenasi atau ventilasi.9

2.6 Trauma Trakeo-bronkial


Insiden trauma trakheobronkhial (ITT) dilaporkan sebesar 0,4% sampai
1,5% dalam serial klinis trauma tumpul mayor. Trauma tumpul yang berat dapat
menyebabkan ruptur jalan napas, dan trauma pada struktur-struktur lain seperti
kerangka toraks, paru-paru, dan pembuluk darah besar sepertinya. Ketika trakea
intratorasis atau bronkus terluka, aorta adalah yang paling sering dihubungkan
dengan struktur yang terluka. ITT dihubungkan dengan 30% dari seluruh angka
kematian, yang tersering dari trauma yang berhubungan. Kegagalan untuk
memperkirakan ITT dapat berakibat kematian atau meninggalkan sikatrisasi pada
lokasi trauma, dengan obstruksi jalan napas yang muncul berhari-hari atau
berbulan-bulan setelah trauma inisial. Lebih dari 80% ITT terjadi pada jarak 2,5
cm dari karina.4
Ruptur trakea servikal dapat terjadi sebagai sebuah “clothesline injury”
ketika leher tertarik pada kecepatan yang tinggi yang berkontak dengan tali,

16
kawat, atau kabel oleh individu yang sedang mengendarai berbagai jenis
kendaraan rekreasi atau sedang berlari. Laserasi trakea bisa juga terjadi pada
kecelakaan kendaraan bermotor ketika leher pengendara menghantam puncak dari
roda stir, kompresi jalan napas yang melawan vertebra. Kerusakan trakea dan
bronkus akan menyebabkan pneumomediastinum dan emfisema subkutis yang
luas.2,4
Secara patologi, trauma trakea sangat sering dijumpai sebagai robekan
transversal di antara cincin trakea atau robekan longitudinal pada segmen
membranosa posterior. Pemisahan kompleks dari trakea dapat terjadi, tapi
kontinuitas jalan napas masih dapat dipelihara oleh jaringan peritrakeobronkial.
Trauma pada trakea mediastinum atau bronkus utama dapat menghasilkan
pneumomediastinum yang dengan cepat menyebar ke dalam leher dan wajah,
bahu, dan dinding dada.4
Pneumomediastinum merupakan suatu tanda yang lebih spesifik ITT dari
pada pneumotoraks, karena pneumotoraks biasanya terlihat bersama fraktur iga.
Pneumotoraks terlihat dalam 60% sampai 100% kasus ITT, akan tetapi hal ini
mungkin tidak dijumpai jika outer adventitial sleeve dari sisa bronkus intak dan
tidak ada kebocoran udara. Pada banyak kasus, pneumotoraks akan respon
terhadap penempatan thorax tube, sehingga reekspansi paru-paru tidak
meniadakan trauma trakheobronkhial. Akan tetapi, sebuah pneumotoraks yang
tidak hilang dengan memfungsikan drainase tube merupakan sinus qua non
trauma jalan napas mediastinum.4

2.6.1 Pemeriksaan Radiologis


Sebuah indikasi dari robekan trakea adalah elevasi tulang hyoid ke atas
level C3, yang dapat terlihat pada radiografi lateral dari vertebra sevikal. Hal ini
terjadi sebagai akibat dari trauma otot-otot infrahyoid, yang menyebabkan elevasi
yang searah dari tulang hyoid oleh perototan suprahyoid. Tanda lain dari transeksi
trakea adalah overdistensi akut dari cuff pipa endotrakea (ETT), secara langsung
dimana ini menambah diameter normal trakea. Pada ruptur trakea, balon bisa
mendekati ujung ETT sebagai hasil dari ekspansi distal dari balon pada robekan,
dengan herniasi parsial balon ke dalam robekan seperti tube yang berpindah ke
dalam jalan napas atau direposisi kembali.4

17
Tanda fallen lung sign jarang terlihat namun sangat menyokong tanda
robekan bronkial yang bisa terlihat pada radiografi dada dan CT. Tanda ini
mengarah kepada paru-paru yang jatuh secara lateral dan posterior pada posisi
supinasi dan jatuh secaara inferior menjauh dari hilus pada posisi atas kanan.
Normalnya dengan sebuah pneumotoraks, pergerakan paru ke dalam ke arah hilus.
Temuan CT scan patah tulang bronkus adalah sebagai berikut:8
 Sebuah pneumotoraks yang besar
 Pneumomediastinum besar dan emfisema subkutan
 Pengumpulan udara peribronkial fokal
 Diskontinuitas atau penyimpangan dari dinding bronkus
 Kolaps paru-paru atau lobus paru-paru
 fallen-lung sign mengacu pada penampilan yang tidak biasa dari
lobus paru-paru yang kolaps. Sebuah fallen-lung sign diperkirakan
sebagai akibat dari gangguan pada hilus normal paru-paru,
menyebabkan paru-paru kolaps di perifer daripada di sentral.

Gambar 2.10 : Trakeal tear. Radiografi dada posisi supinasi AP pada wanita muda yang
menglami kecelakaan lalu lintas yang menunjukkan overdistensi balon endotrakeal tube
pada sisi dimana terjadi herniasi balon melalui trakeal tear.4

18
Gambar 2.11: CT seorang pasien dengan fraktur bronkus utama kanan menunjukkan
pneumotoraks luas (P), a right chest tube (panah), dan kolaps (fallen right lung) (FL) pada
hemitoraks kanan4

2.6.2 Tatalaksana
Tatalaksananya berupa torakotomi dan penutupan kerusakan trakea atau
bronkus. Harus diperhatikan pemberian anesthesia yang baik karena dapat
menyebabkan pneumotoraks yang bertambah berat akibat udara dari alat
ventilator yang tidak masuk ke alveolus, atau dari pipa endotrakea yang keluar
dari jalan nafas melalui tempat yang rusak.2

2.7 Ruptur Diafragma


Ruptur akut diafragma terjadi pada 1-7 % pasien dengan trauma tumpul
yang hebat, dan kesalahan diagnosis pada pemeriksaan awal terjadi lebih dari
66%. Hernia karena trauma tumpul kebanyakan terjadi di bagian tendineus kiri
karena di sebelah kanan dilindungi oleh hati. Visera seperti lambung dapat masuk
ke dalam rongga toraks segera setelah trauma, atau berangsur0angsur dalam
waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun.11

2.7.1 Gambaran Klinis


Hernia karena trauma tumpul mungkin tidak menimbulkan gejala atau
tanda. Bergantung pada banyaknya visera yang masuk ke dalam rongga toraks,
dapat timbul gejala dan tanda obstruksi.11

2.7.2 Pemeriksaan Radiologis


Tujuh puluh lima hingga 95% pasien dengan ruptur akut diafragma
memiliki gambaran radiografi toraks yang abnormal, namun hanya 17 hingga 40
% yang ditemukan pada radiografi. Hal yang didapat pada gambaran radiografi
ruptur termasuk gambaran diafragma normal, pneumotoraks, perpindahan tempat
dari isi perut, seperti hati, limpa, kolon ataupun sedikit traktus urinarius ke dalam
toraks, perpindahan tempat dari NGT di dalam gaster, pleura efusi, basilar
opacity yang menyebabkan gambaran yang tidak biasa pada diafragma, gambaran
elevasi dari diafragma, kontur diafragma yang tidak teratur, fraktur tulang iga dan
pergeseran mediastinum pada kejadian pleura efusi ataupun pnemotoraks.4

19
Angka kejadian ruptur hemidiafragma kanan mungkin sama dengan angka
kejadian ruptur hemidiafragma kiri, walaupun tampilan klinis cedera lebih sering
disadari pada sebelah kiri. Pada penegakkan diagnosis tidak selalu mudah, pasien
mungkin tidak merasakan gejala apapun, ataupun inkarserasi dari hernia
abdominal visera dapat terjadi lama setelah kejadian trauma.4

Tabel 2.2 : Penemuan Radiologi pada Ruptur Diafragma4

20
Multidetector CT dapat berguna membuat diagnosis pada ruptur akut
diafragma, lebih jelas dibandingkan CT konvensional karena data volumetriknya
memberikan potongan sagital dan koronal kualitas tinggi. Sensitivitas diagnosis
pada ruptur diafragma menggunakan CT adalah 54%-73%, dan spesifitasnya
86%-90%. Terutama untuk daerah cedera diafragma posterolateral. Gambaran CT

yang berhubungan dengan ruptur akut diafragma adalah diskontinuitas diafragma,


herniasi intratoraksal dari isi perut, pemuntiran saluran cerna. Bergin dan kawan-
kawan menjelaskan tanda-tanda ruptur diafragma akibat trauma tumpul pada CT,
tanda-tanda tersebut terutama pada sepertiga ke atas hati berdesakan dengan iga
kanan bawah, atupun saluran cerna atau isi perut bersentuhan dengan iga kiri
bawah.4

Gambar 2.12 : Ruptur Diafragma. Radiografi toraks AP posisi supine pada wanita berusia
24 tahun yang mengalami kecelakaan kendaraan. Terlihat herniasi dari isi perut yang
mengembung melampaui diafragma kiri ke dalam hemitoraks kiri (pada panah putih dan
hitam). Terlihat pergeseran mediastinum ke kanan, fraktur iga kiri, dan opaksikasi dari
paru kiri akibat cedera parenkim.4

21
Gambar 2.13 : Ruptur Diafragma. Foto toraks AP posisi supine pada kasus kecelakaan
kendaraan. Terlihat massa di hemitoraks bagian bawah kiri yang tak terlihat herniasi.
Perpindahan tempat dari NGT (panah), dan pergeseran mediastinum ke kanan. 4

Gambar 2.14 : Ruptur diafragma. A. Radiografi toraks AP posisi supine pada pasien
kecelakaan motor yang terlihat opaksikasi hemitoraks kiri dan pneumo torakskiri (panah).
Hemidiafragma kiri tidak terlihat. B. CT Scan menunjukkan diskontinuitas dari
hemidiafragma kiri.4

Gambar 2.15: Ruptur Diafragma. B: CT scan menunjukkan collar sign (panah).

Fundus (F) di posisi posterior4

Pada CT juga dapat ditemukan laserasi pada hati, hemoperitonium, hemotoraks,


laserasi limpa, kontusio ginjal, atelektasis dari bagian usus, dan fraktur iga bawah.
Walupun diskontinuitas diafragma merupakan tanda pasti dari ruptur diafragma,
namun harus diingat bahwa ini bisa saja terjadi akibat usia yang tidak ada
hubungannya dengan trauma.4

22
Gambar 2.16 : Ruptur Diafragma. Potongan koronal. Garis diafragma hilangdan lambung
mengalami herniasi ke hemitoraks kiri17

Gambar 2.17 : CT scan yang diambil beberapa minggu setelah trauma, menunjukkan
herniasi usus ke dalam hemitoraks kiri dan menggeser mediastinum ke kanan. 4

2.7.3 Tatalaksana

23
Pada penderita dengan keluhan dan gangguan, diperlukan pembedahan
untuk reposisi visera dan menutup kembali diafragma. Pada keadaan darurat,
mungkin kelainan lain perlu dikerjakan segera, tetapi setelah itu sedapat mungkin
rupture diafragma harus ditutup juga.11

2.8 Trauma Tulang Toraks


Cedera iga, klavikula, scapula, sternum, dan tulang belakang bisa terjadi
bahkan oleh trauma tumpul. Fraktur tulang belakang toraks terjadi sekitar 16%-
30% dari keseluruhan cedera tulang belakang dan dapat menyebabkan gangguan
neurologi yang berat pada hampir 60% pasien.8

2.8.1 Gambaran Klinis


Diagnosis patah tulang ditentukan berdasarkan gejala dan tanda nyeri
local. Nyerinya berupa nyeri lokal dan kompresi kiri-kanan, muka-belakang, dan
nyeri pada gerak nafas. Jika terjadi patah tulang iga multiple, biasanya dinding
toraks tetap stabil. Akan tetapi, bila beberapa iga mengalami patah tulang pada
dua tempat, suatu segmen dinding dada akan terlepas dari kesatuannya.2

2.8.2 Pemeriksaan Radiologis


Radiografi tulang belakang torakal dilakukan untuk menilai tulang
belakang torakal, namun akan lebih optimal jika ditambah dengan foto frontal dan
lateral dari dada, ataupun ditambah dengan CT Scan. Tujuh puluh persen hingga
90% fraktur tulang belakang dapat dilihat dengan radiografi konvensional. Yang
dinilai adalah disrupsi korteks, ukuran vertebra yang abnormal, bentuk, densitas,
dan lokasi. CT dan MRI mungkin dapat memberikan gambaran komplikasi dari
fraktur dan hanya dilakukan untuk menilai integritas dari spinal cord dan ligamen
intervertebra. CT dan MRI berguna untuk membedakan brust fracture yang stabil
dan yang tak stabil, dan perluasan fraktur kompresi anterior.4
Fraktur iga atas, klavikula, dan sternum bagian atas biasanya diikuti
cedera pleksus brakial dan vaskular pada 3%-15% pasien. Fraktur iga bawah
biasanya juga mengenai cedera limpa, hati dan ginjal, yang dapat dikonfirmasi
dengan CT scan. Fraktur iga bisa mengakibatkan laserasi pada pleura dan paru,
yang dapat menyebabkan hematoma, hemotoraks, ataupun pneumotoraks. Fraktur
lima iga atau lebih pada iga yang terpisah atau lebih dari tiga iga yang berdekatan

24
(satu iga fraktur di dua tempat atau lebih) bisa menyebabkan gangguan gerakan
paradoksal yang akan menyebabkan gangguan mekanis lalu menyebabkan
atelektasis dan infeksi paru.4
Fraktur sternum, terjadi pada 8% trauma toraks, dapat menyebabkan
kontusio jantung dan sering tidak memberikan gejala klinis yang jelas pada
awalnya. Fraktur jenis ini tidak tidak dapat dilihat pada foto toraks PA, foto lateral
lebih jelas biasanya, namun biasanya lebih tampak lagi dengan CT Scan. Fraktur
sternum yang sering terjadi dengan hematoma retrosternal, sekitar 58%-80%
angka kejadian.4
Dislokasi ke posterior dari klavikula bisa menyebabkan cedera pembuluh
darah yang berat, nervus mediastinum atas, trakea, dan esofagus. Walaupun
dislokasi sternoklavikula dapat dilihat dengan radiografi dada, namun ini lebih
mudah dilihat dengan CT. Fraktur skapula didiagnosis berdasarkan foto toraks
inisial pada setengah pasien. Ketika fraktur skapula tidak terlihat pada foto toraks
inisial, mungkin fraktur terjadi pada bagin retrospektif pada 725 kasus, tidak
termasuk dalam pengobatan (19%), kasus foto yang kabur akibat superimposed
structure atau artefak (9%). CT paru, khususnya digunakan secara kombinasi
dengan radiografi konvensional, pada banyak kasus fraktur skapula. Fraktur
skapula biasanya menyebabkan sedikit komplikasi pada pasien.4

Gambar 2.18 : radiografi dada posisi PA, yang diambil 10 hari setelah
trauma,menunjukkan fraktur communited skapula kanan(panah) 4

25
Gambar 2.19 : Radiografi dada menunjukkan fraktur iga dan hemototaks kiri. 8

Gambar 2.20 : USG iga (A) Normal (B) Fraktur Iga 16

2.8.3 Tatalaksana
Fraktur iga tunggal atau multipel dengan gerak dada yang masih memadai
dan teratur ditangani dengan pemberian analgetik atau anestetik. Nyeri harus
dihilangkan untuk menjamin pernafasan yang baik atau mencegah pneumonia
akibat gerak nafas tidak memadai dan terganggunya batuk karena nyeri. Jika

26
pemberian analgetik tidak menghilangkan nyeri, harus dilakukan anestesi blok
interkostal yang meliputi segmen kaudal dan kranial iga yang patah. Pemasangan
bidai rekat tidak ada manfaatnya walaupun memberi rasa aman kepada penderita.
Bidai rekat ini mengganggu pengembangan rongga dada, mengganggu gerakan
nafas dan dapat menyebabkan dermatitis, sedangkan dalam mengurangi nyeri
tidak lebih baik daripada analgetik. Jarang ditemukan dislokasi karena iga
terbungkus perios yang kuat dan otot. Karena tulang iga pendarahannya baik,
penyembuhan dan penyatuan tulang biasanya berlangsung cepat dan tanpa
halangan atau penyulit.2

2.8.4 Penyulit
Penyulit patah tulang iga adalah pneumonia, pneumotoraks dan
hemotoraks. Pneumonia disebabkan oleh gangguan gerak nafas dan gangguan
batuk. Bila penderita tidak dapat batuk untuk membersihkan parunya, mudah
terjadi bronkopneumonia. Penanganannya terdiri dari pemberian anestesi
sempurna, antibiotik yang memadai, ekspektoran dan fisioterapi. Pneumotoraks
dan hemotoraks terjadi karena tusukan patahan tulang iga pada pleura parietalis
dan atau pleura viseralis. Luka pleura parietalis dapat mengakibatkan hemotoraks
dan atau pneumotoraks. Iga I atau II jarang patah karena iga ini letaknya agak
terlindung. Apalagi tulang tersebut metupakan tulang pendek, lebar dan kuat.
Patahnya kedua iga ini harus dipandang berbahaya karena pasti penderita
mengalami cedera yang hebat. Oleh karena itu, harus dicari cedera lain yang lebih
penting yang mungkin tidak nyata, seperti cedera jantung atau aorta.2

2.9 Manifestasi Pleura Pada Trauma Toraks


Pneumotoraks terjadi karena ada hubungan terbuka antara rongga dada dan
dunia luar. Hubungan ini mungkin melalui luka di dinding dada yang menembus
pleura parietalis atau melalui luka di jalan nafas yang sampai ke pleura viseralis.
Jika luka penyebab tetap terbuka, paru akan menguncup karena jaringan paru
bersifat elastik dan karena tak ada tekanan negatif yang menyedotnya.2
Pneumotoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura dimana
masuknya udara didalam rongga pleura dapat dibedakan menjadi :12

27
1. Pneumotoraks spontan timbul sobekan subpleura dan bulla sehingga udara
saluran pernafasan masuk ke dalam rongga pleura melalui suatu lobang
robekan atau katup. Keadaan ini dapat terjadi berulang kali dan
menyebabkan suatu keadaan yang kronis. Penyebab lain adalah suatu
trauma tertutup pada dinding dan fistula bronkopleural akibat neoplasma
dan inflamasi.
2. Udara lingkungan luar masuk ke dalam rongga pleura melalui luka tusuk
atau pneumotoraks artifisial dengan tujuan terapi dalam hal pengecilan
kavitas proses spesifik yang sekarang tidak dilakukan lagi. Tujuan
pneumotoraks sengaja lainnya adalah untuk diagnostik membedakan
massa apakah berasal dari pleura atau jaringan paru. Penyebab lain adalah
akibat tindakan biopsi paru dan pengeluaran cairan pleura.
3. Masuknya udara yang melalui mediastinum yang biasanya disebabkan
oleh trauma pada trakea dan esofagus akibat tindakan pemeriksaan dengan
alat-alat (endoskopi) atau benda asing tajam yang tertelan. Keganasan
dalam mediastinum dapat pula mengakibatkan udara dalam rongga pleura
melalui fistula antara saluran nafas proksimal dan rongga pleura.
4. Udara berasal dari subdiafragma dengan adanya robekan lambung akibat
suatu trauma atau abses subdiafragma dengan kuman pembentuk gas.

Gambar 2.21 : Pneumotoraks desak. Mediastinum makin terdorong ke sisi yang


sehat. A. pada inspirasi, udara masuk ke rongga pleura melalui luka di pleura
parietalis dan dinding dada atau melalui luka di pleura viseralis dan paru. B. pada
ekspirasi, (1) udara tidak dapat keluar karena luka yang bersifat katup tertutup ,
(2) tekanan tinggi mendesak vena kava inferior maupun superior 2

2.9.1 Gambaran Klinis

28
Pasien akan merasa nyeri dan sesak nafas, pada pemeriksaan fisik
mungkin dada tampak asimetris, fremitus menurun sampai hilang, perkusi
timpani, dan suara nafas menurun atau hilang. Dapat timbul sianosis, takipnea dan
tanda hipoksia yang lainnya.2,13

Gambar 2.22 : Pneumotoraks desak dan emfisema. 1. Wajah dan leher bengkak karena
udara. 2. Udara di rongga pleura. 3. Gelembung udara di jaringan 4. Luka dinding toraks.
5. Pergeseran mediastinum.2

2.9.2 Pemeriksaan Radiologis


Pneumotoraks terlihat pada radiografi dada pada hampir 40% pasien
dengan trauma tumpul dada dan pada sampai dengan 20% dari pasien dengan luka
penetrasi dada. Penyebab paling umum pada trauma tumpul dianggap patah tulang
rusuk yang menembus pleura viseral, namun, pneumotoraks pada tidak adanya
patah tulang rusuk kadang-kadang terlihat pada orang dewasa dan umumnya
terlihat pada anak-anak. Udara pleura akan naik ke bagian yang paling
nondependen toraks pada apeks pada pasien tegak dan pada aspek kaudal anterior
ruang pleura pada pasien terlentang.4
Tanda-tanda radiografi pneumotoraks pada pasien telentang meliputi (a)
tanda sulkus dalam, yang merupakan, lusen sulkus kostofrenikus; (b) peningkatan
relatif dalam lusensi di basal paru-paru yang terkena, dan (c) tanda diafragma
ganda, yang dibentuk oleh permukaan antara bagian ventral dan dorsal dari
pneumotoraks dengan aspek anterior dan posterior hemidiafragma tersebut. CT
jauh lebih sensitif untuk mendiagnosis pneumotoraks pada pasien terlentang
daripada radiografi dada dan mengidentifikasi pneumotoraks yang tidak dapat

29
dilihat pada radiografi konvensional telentang dalam 10%-50% dari pasien yang
telah menderita trauma tumpul pada dada.4

Gambar 2.23 : Tension Pmeumothorax8

Pneumomediastinum dapat terjadi dalam hubungan dengan


pneumotoraks. Hal ini dapat didiagnosis pada radiografi dada dengan gambaran
lusen abnormal dalam mediastinum yang menonjolkan kontur dari aorta dan arteri
pulmonal dan displace pleura mediastinum ke lateral, dan continuous diafragma
sign, yang dihasilkan oleh kehadiran udara antara perikardium dan
diafragma. Pneumomediastinum dapat dengan mudah diidentifikasi pada CT dada
dan mungkin menandakan adanya laserasi pada faring, kerongkongan, atau
saluran napas trakeobronkial.4

Gmbar 2.24 : CT scan tension pneumothorax8

30
Efusi pleura yang berkembang paska trauma akut biasanya
merepresentasikan hemothoraks, dan efusi pleura berkembang pesat kemungkinan
besar disebabkan oleh pendarahan arteri. CT dapat membantu dalam membedakan
hematoma dari kelainan pleura lainnya dengan menunjukkan high CT attenuation
pada darah. Ruptur duktus torasikus, yang jarang, mengakibatkan chylothorax,
dengan milky fluid dapat dipulihkan melalui thorasentesis. Ruptur duktus torasikus
pada toraks bawah mengakibatkan right-sided chylothorax, sedangkan ruptur di
daerah tingkat atas dimana duktus toraks melintasi garis tengah di midthoraks
mengakibatkan left-sided chylothorax. Keunggulan CT dibandingkan radiografi
dada dalam membedakan cairan pleura dari penyebab lain dari kepadatan
radiografi, seperti atelektasis, cedera parenkim, atau pneumonia, dan dapat
menunjukkan lokulasi cairan pleura dan menggambarkan opasitas kompleks
pleuroparenkim.4

Gambar 2.25 : Hemothoraks. CT menunjukkan high-attenuation blood (H) pada rongga

pleura kanan.4

2.9.3 Tatalaksana
Terapinya adalah pemasangan penyalir sekat air. Jika terjadi mekanisme
katup pada luka di dinding toraks atau luka di pleura viseralis, timbul
pneumotoraks desak. Tekanan di dalam rongga pleura akan semakin tinggi karena
penderita memaksaan diri inspirasi kuat untuk memperoleh zat asam, tetapi ketika
ekspirasi udara tidak dapat keluar (mekanisme katup). Inspirasi paksaan ini akan
menambah tekanan sehingga makin mendesak mediastinum ke sisi yang sehat dan

31
memperburuk keadaan umum karena paru yang sehat tertekan. Karena pembuluh
vena besar, terutama vena kava inferior dan vena kava superior, terdorong dan
terlipat, darah tidak dapat kembali ke jantung, inilah yang menyebabkan kematian.
Dengan pungsi darurat rongga toraks berupa tusukan sederhana dengan jarum di
ruang antar iga II, penderita dapat diselamatkan. Pada pneumotoraks desak
traumatik dapat terjadi emfisema. Karena tekanan tinggi di rongga pleura, udara
ditekan masuk ke jaringan lunak melalui luka dan naik ke wajah. Leher dan wajah
membengkak seperti pada edema hebat. Pada perabaan terdapat krepitasi yang
mungkin meluas ke jaringan subkutis toraks.2

2.10 Trauma Jantung


Trauma jantung dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam yang
umumnya trauma tusuk. Keduanya dapat mengakibatkan memar otot jantung,
perdarahan ventrikel dan tamponade perikard. Trauma jantung dapat pula
menyebabkan infark miokard atau defek sekat serambi dan bilik jantung. Trauma
tajam umumnya lebih banyak melukai bilik jantung kanan karena letaknya
didepan. Ini memerlukan tindakan bedah segera. Trauma ini sering disebabkan
tusukkan langsung atau oleh patahan iga, maka keadaan ini perlu diperhatikan
pada trauma dada yang menyebabkan patah tulang rusuk.14

2.10.1 Manifestasi Klinis


Tamponade perikard selalu ditandai dengan trias Beck yaitu, hipotensi,
suara jantung menjauh, bendungan vena di leher juga disertai sesak nafas dan
pulsus paradoksus.4

2.10.2 Pemeriksaan Radiologis


Jantung dan perikardium cukup baik dilindungi dari cedera
nonpenetrating, dan catatan mengenai cedera traumatis jarang. Radiografi dada
memainkan peran yang relatif kecil dalam evaluasi cedera miokard. Keunggulan
radiografi dada adalah dalam mendeteksi cedera yang berhubungan, seperti patah
tulang rusuk, patah tulang sternum, dan luka memar parut.4
Akumulasi cepat darah di ruang perikardial dapat menyebabkan
tamponade jantung dan gangguan hemodinamik berat. Evaluasi sonografi jantung
adalah metode pilihan yang cepat dan noninvasif mendeteksi cairan

32
perikardial. CT juga sangat sensitif untuk mendeteksi cairan perikardial dan
mungkin mengindikasikan perdarahan perikardial, sebagaimana didapatkan dari
high CT attenuation dari cairan. Kepadatan CT melebihi 35 unit Hounsfield
membedakan hemoperikardium dari efusi perikardial transudatif. Tamponade
jantung didapatkan oleh temuan CT dimana tampak distensi dari vena kava, vena
hepatik, dan vena ginjal dan dengan perkembangan edema periportal di hati.4
Ruptur septum interventrikuler dan kerusakan aparat katup mitral dapat
menyebabkan gagal jantung kongestif.  Regurgitasi mitral dari yang terakhir
mungkin menyebabkan edema paru asimetris, klasik dari lobus kanan atas sebagai
akibat dari arah regurgitasi. Pneumoperikardium dapat terjadi ketika udara masuk
melalui gangguan perikardial yang terjadi pada pneumotoraks.4
Kontusio jantung dapat diakibatkan oleh trauma tumpul dada 8%-76% dari
pasien. Diagnosis biasanya dibuat dari elektrokardiografi, pencitraan jantung
nuklir, atau ekokardiografi. Ventrikel kanan adalah yang paling sering mengalami
cedera, karena terdiri hampir tiga kali lebih banyak terkena permukaan anterior
dari jantung daripada ventrikel kiri. Radiografi dada dan CT dapat menunjukkan
gejala sisa dari kontusio jantung, seperti gagal jantung kongestif, aneurisma
ventrikel, atau pembesaran jantung besar.4

Gambar 2.26 : Hemopericardium. CT scan menunjukkan pengumpulan darah yang


menekan jantung kanan.4

33
Gambar 2.27 : Pneumoperikardium. A: Radiografi dada posisi AP pada pasien yang
mengalami kecelakaan lalu lintas yang menunjukkan udara di sekitar jantung (P).
Pneumotoraks, opasifikasi parenkim bilateral dan emfisema subkutan bilateral. B: CT
scan menunjukkan pneumopericardium (P), bilateral pneumothoraks,
pneumomediastinum, efusi pleura, and emfisema subkutan. 4

Cedera jantung dicurigai saat yang dicatat EKG abnormal dan ketika
hemoperikardium terlihat pada CT scan. Hemoperikardium ditandai oleh adanya
udara atau atenuasi tinggi akibat darah dalam kantung perikardial, keduanya dapat
menyebabkan tamponade jantung dan mungkin memerlukan drainase perikardial.
Perikarditis konstriktif dapat terjadi sebagai komplikasi jangka panjang
hemoperikardium.8
2.10.3 Tatalaksana
Torakotomi eksploratif yang segera dilakukan sering dapat menolong jiwa
penderita. Trauma tumpul yang merusak sebagian dinding jantung dapat
mengakibatkan gagal jantung permanen. Pertolongan pertama yang diperlukan
adalah pungsi perikard dan penyaliran isi rongga perikard dan membuat jendela
perikard.14

2.11 Trauma Esofagus


Esophageal tears lebih sering terjadi pada pasien dengan trauma tembus
dan terjadi pada kurang dari 1% dari kasus trauma tumpul. Thoracic esophageal
tears disebabkan hampir secara eksklusif oleh luka tembak. Gangguan esofagus
dapat terjadi mulai dari penghancuran esofagus antara tulang belakang dan trakea,
traksi dari hiperekstensi, dan penetrasi langsung oleh fragmen fraktur tulang
belakang leher. Esophageal tears paling banyak terjadi di esofagus servikal dan
torakal atas, tetapi mereka juga mungkin terjadi tepat di atas persimpangan

34
gastroesofageal. Esofagus torakal terletak di kiri dari trakea di cekungan dada
tetapi bergerak ke kanan saat melewati posterior lengkung aorta pada tingkat
karina. Esofagus menyilang kembali ke kiri karena memasuki perut. Dengan
demikian, ruptur esofagus bagian tengah sampai ke distal biasanya disertai dengan
efusi pleura sisi kanan, dan efusi yang disebabkan oleh ruptur di persimpangan
gastroesofageal terjadi lebih sering di sebelah kiri.4

2.11.1 Gambaran Klinis


Gejala klinis sangat tergantung pada tempat dan luasnya perforasi. Gejala
utama ialah rasa nyeri, demam dan emfisema mediastinum yang kemudian meluas
sampai di subkutis. Tanda efusi pleura atau hidropneumotoraks dapat ditemukan
pada pemeriksaaan fisik atau foto toraks.12

2.11.2 Pemeriksaan Radiologi


Radiografi dada pada pasien dengan ruptur esofagus dapat menunjukkan
pneumomediastinum persisten berat atau pneumotoraks, efusi pleura, garis
paraspinal melebar, dan opasifikasi retrokardiak-paru. CT scan dapat
menunjukkan temuan yang sama, di samping kebocoran kontras oral dari esofagus
yang pecah ke mediastinum atau ruang pleura dan perubahan mediastinum.
Daerah penebalan esofagus terbesar pada CT sering mewakili tingkat perforasi.
Perforasi itu sendiri, bagaimanapun, mungkin dikaburkan oleh edema, dan
perdarahan dan biasanya tidak divisualisasikan. Diagnosis dapat dikonfirmasi
dengan fluoroskopi menggunakan bahan kontras atau dengan endoskopi.4
Temuan CT pada ruptur esofagus adalah pengumpulan udara
ekstraluminal pada tempat cedera dan hematoma dari dinding mediastinum atau
esofagus. Kadang-kadang, sebuah saluran di lokasi cedera dapat diidentifikasi
pada CT scan.8

35
Gambar 2.28: CT scan menunjukkan ekstravasasi kontras ke dalam rongga pleura kiri,
perforasi esophagus dan pneumothoraks.15

2.12 Trauma Jaringan Lunak Dinding Dada


Dinding dada memiliki banyak jaringan pembuluh darah berasal dari arteri
interkostal dan mammary internal. Patah tulang rusuk dapat mencederai arteri
atau vena interkostal, otot interkostal, atau mengakibatkan perdarahan dari
permukaan tulang. Selain itu, cabang-cabang dari arteri toraks lateral yang
memasok otot-otot dada dan beranastomosis dengan pembuluh dinding dada dapat
terkoyak dan berdarah. Sejumlah besar darah dapat menumpuk dalam subkutan
atau ruang ekstrapleural dada, terutama pada orang tua karena kelemahan kulit
dan jaringan subkutan. CT scan dapat dengan mudah membedakan dinding dada
dari cedera parenkim atau mediastinum, sedangkan diferensiasi ini tidak mungkin
dapat dilakukan dengan radiografi dada. Pada CT, hematoma jaringan lunak
dinding dada dapat dengan mudah dibedakan dari cedera parenkim, dan udara
subkutan dapat dibedakan dari pneumotoraks. CT scan menunjukkan fistula
bronko-pleura-kulit, yang mungkin tidak dapat dilihat pada radiografi dada.4

Gambar 2.29 : Broncho-pleural-cutaneous fistula. A. Radiografi dada seorang pria


berusia 29 tahun, yang mengalami kecelakaan lalu lintas yang menunjukkan fraktur iga
kanan yang mengakibatkan flail chest, opasifikasi pleura akibat hemotoraks, opasifikasi
paru kanan akibat cedera parenkim, sekumpulan udara yang terperangkap dalam jaringan
lunak dinding dada kanan. B. CT scan yang menunjukkan hubungan antara jalan nafas
dan hematoma dinding dada.4

36
Trauma pada payudara, yang sering mengakibatkan perdarahan dan
pembentukan hematoma, dapat dikarenakan kombinasi stres kompresi dan geser
yang dihasilkan oleh sabuk pengaman.4

Gambar 2.30 : Breast Hematoma. CT scan dari seorang wanita yang mengalami
kecelakaan lalu lintas yang menunjukkan penumpukkan darah pada payudara kanan
akibat penggunaan seat belt.4

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang
umumnya berupa trauma tumpul. Trauma tajam terutama disebabkan oleh
tikaman dan tembakan. Cedera toraks sering disertai dengan cedera perut, kepala
dan ekstrimitas sehingga merupakan cedera majemuk.
Adapun tujuan pemeriksaan radiologis antara lain adalah mencari adanya
fraktur tulang-tulang dinding dada, adanya benda asing (luka tembak), kelainan
pada mediastinum, hematotoraks, pneumotoraks. Pemeriksaan radiologis yang
dapat dilakukan pada kasus trauma toraks diantaranya adalah radiografi
konvensional, CT scan, USG dan MRI.
Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada seseorang yang
mengalami trauma toraks diantaranya adalah trauma aorta dan pembuluh darah

37
besar, trauma parenkim paru, trauma trakeobronkial, trauma tulang dada, ruptur
diafragma, trauma jantung, trauma esophagus dan trauma jaringan lunak dinding
dada.

3.2 Saran
Sebaiknya sebagai tenaga kesehatan, terutama dokter layanan primer yang
akan menjadi lini pertama pelayanan kesehatan, memiliki pengetahuan,
kemampuan dalam pemanfaatan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
radiologis guna membantu menegakkan diagnosis dan memberikan penanganan
yang optimal bagi pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat,R dan Wim De Jong. Trauma dan Bencana. Dalam Buku


Ajar Ilmu Bedah. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC.2003.h 90-9
2. Sjamsuhidajat,R dan Wim De Jong. Dinding Toraks dan Pleura. Dalam
Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta;Penerbit Buku Kedokteran EGC.2003.
h406-13
3. Snell, Richard S. Thorax. Dalam Anatomi Klinik. Jakarta;Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2002. h48-146
4. Collins, Jannette and Eric J. Stern. Chest Trauma. In Chest Radiology. 2nd
Edition. Washington; Lippincott Williams & Wilkins. 2008
5. Mancini, Mary C et all. Blunt Chest Trauma. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/428723-overview.Diakses tanggal
12 Oktober 2011

38
6. Ghazali, Rusdi. Kasus Cito. Dalam Radiologi Diagnostik. Yogyakarta;
Pustaka Cendekia Press.2008. h130-31
7. Khan, Nawas Ali.Thoracic Trauma Imaging. www.imagingpathways.
health.wa.gov.au/includes/dipmenu/chest_trau/refs.html. Diakses tanggal
12 Oktober 2011
8. Thoracic Trauma Imaging. Available at http://emedicine.medscape.com/
article/357007-overview. Diakses tanggal 09 Oktober 2011
9. Chest Trauma.Available at http://www.trauma.org/archive/thoracic/
CHESTtension. html. Diakses tanggal 12 Oktober 2011
10. Mettler, Fred.A. Trauma. In Essential of Radiology. 2nd Edition.
Philladelphia;Saunders.2005
11. Sjamsuhidajat,R dan Wim De Jong. Esofagus dan Diafragma. Dalam Buku
Ajar Ilmu Bedah. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC.2003. h513-8
12. Rasad,Sjahriar.Pneumothoraks. Dalam Radiologi Diagnotik.Edisi
Kedua.Jakarta;Penerbit Buku Kedokteran EGC.1995.h 119-20
13. Price, Sylvia Anderson dkk. Gangguan Sistem Pernafasan. Dalam
Patofisiologi.Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta.2005. hal
800-1
14. Sjamsuhidajat,R dan Wim De Jong. Jantung, Pembuluh Darah dan Limf.
Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran
EGC.2003.h447-8
15. Sciuchetti,Jennifer Francesca et all. Spontaneous Esophageal Perforation
Presenting as Pneumothorax. In The Internet Journal of Thoracic and
Cardiovascular Surgery. Available at http://www.ispub.com/journal/the
internet_Journal_of_Thoracic_and_Cardiovascular_Surgery/volume_13_n
umber_1_2/article/spontaneous_Esophageal_Perforation_Presenting_as_
Pneumothorax /a_case_report.html. Diakses tanggal 12 Oktober 2011
16. Brooks, Adam et all. Ultrasound for Bony Trauma. In Ultrasound in
Emergency Care. UK; Blackwell Publishing. 2004. p96-100
17. Hopkins, Richard et all. Chest Trauma. In Greenwich Medical Media.
London;Greenwich Medical Media.2003.p 126-36

39

Anda mungkin juga menyukai