Anda di halaman 1dari 13

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kucing (Felis catus) merupakan hewan karnivora yang telah mengalami


domestikasi. Kucing memiliki hubungan yang sangat dekat dengan manusia, dan
merupakan hewan piara yang paling digemari di Indonesia. Jenis hewan ini dekat
dengan manusia karena dapat beradaptasi dengan baik di pemukiman manusia.
Perhatian terhadap kesehatan kucing menjadi penting karena kucing hidup
berdampingan dengan manusia.
Kucing sangat rentan terhadap infeksi, baik disebabkan bakteri maupun virus
(Dallas 2006). Penyakit cat flu atau flu pada kucing merupakan salah satu penyakit
viral penting pada kucing yang tersebar di seluruh dunia. Kucing yang paling rentan
terinfeksi cat flu adalah kucing berusia muda, lanjut usia, atau kucing dengan
kelainan sistem imun. Kejadian penyakit ini di Indonesia cukup banyak ditemui.
Penyakit ini terutama menyerang saluran respirasi bagian atas. Penyakit saluran
respirasi biasanya pada kucing disebabkan oleh banyak agen seperti feline
herpesvirus-1 (FHV-1), feline calicivirus (FCV), Chlamydophila felis (Chlamydia
psittaci), Bordetella bronchiseptica, Mycoplasma spp, dan Cryptococcus neoformans
(August dan Bahr 2006). Diketahui setengah dari penderita cat flu disebabkan oleh
infeksi Feline herpesvirus (FHV) (Fenner et al. 1993).
Kasus yang akan dibahas ini adalah dugaan penyakit cat flu yang disebabkan
oleh feline herpesvirus-1 atau FHV-1. Feline herpesvirus-1 adalah alphaherpesvirus
yang menyebabkan feline viral rhinotracheitis (FVR). Sekitar 45 – 55 % penyakit
saluran pernafasan ini disebabkan oleh FVR (Sajuthi 2013). Agen penyakit ini selain
merupakan penyebab utama infeksi saluran respirasi, juga dapat menyebabkan lesio
okular pada kucing (Maes 2012). Kucing terinfeksi FHV-1 melalui kontak langsung
dengan sekreta konjungtival atau oronasal dari kucing yang terinfeksi (Darling
2012). Kejadian akut infeksi penyakit ini paling banyak ditemui pada kucing usia
muda (Maes 2012). Infeksi FHV-1 banyak terjadi secara akut, ditandai dengan
bersin, konjugtivitis, serous ocunasal discharge, terus-menerus selama 10-14 hari.
Kasus infeksi yang kronis, ditemukan gejala klinis seperti bersin, rhinitis, dan
keratitis kronis ulseratif. Selain itu juga dapat menyebabkan ulser kornea dan
pneumonia. Gejala klinis yang terlambat diketahui dapat menyebabkan kematian
kucing secara mendadak (Darling 2012; Gaskell et al. 2007).
Feline herpes virus-1 yang merupakan patogen utama penyebab cat flu pada
kucing, tersebar luas di Indonesia dan di seluruh dunia. Hal tersebut disebabkan
transmisi penyakit yang mudah. Infeksi dapat terjadi di tempat penampungan kucing
(shelter), aktivitas kucing bersama, makan dan minum bersama, maupun lingkungan
yang terinfeksi (Resmawati 2015). Oleh karena itu, diperlukan perhatian khusus pada
agen penyakit tipe FHV-1, pengobatan, dan pencegahannya.
2

Tujuan

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui cara penularan,


pencegahan, pengobatan, dan pembuatan resep terhadap penyakit cat flu yang
disebabkan oleh FHV-1.

Manfaat

Melalui makalah ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan mahasiswa


program profesi dokter hewan (PPDH) FKH IPB mengenai penyakit cat flu yang
disebabkan FHV-1, pemilihan obat, serta mengingkatkan pengetahuan terhadap cara
mendiagnosa cat flu sehingga dapat menentukan resep obat hewan yang baik dan
benar.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Feline Herpesvirus-1 (FHV-1)

Menurut Malik et al. (2009), feline herpesvirus-1 (FHV-1) merupakan


penyebab utama infeksi pada saluran respirasi atas juga penyakit okular pada kucing.
Kucing muda dengan suspek infeksi FHV-1 menunjukkan rhinotrakheitis serta
konjungtivitis atau lebih tepatnya menunjukkan gejala flu. Oleh sebab itu infeksi
penyakit ini lebih dikenal dengan nama cat flu atau flu pada kucing. Menurut Davison
(2009), Feline herpesvirus-1 dapat diklasifikasikan ke dalam:
Ordo : Herpesvirales
Famili : Herpesviridae
Subfamili : Aplhaherpesvirinae
Genus : Varicellovirus

Agen yang termasuk Alphaherpesvirinae memiliki karakteristik yang khas,


yaitu siklus replikasi pendek, induksi laten seumur hidup dan memiliki jangkauan
inang yang sempit (Maes 2012). Ukuran virus FHV-1 yaitu 120-180 nm. Virus ini
terdiri dari DNA genom untai ganda, kapsid icosahedral mengelilingi inti, lapis
tegumen mengelilingi kapsid, dan amplop lipid bilayer dengan tonjolan runcing dari
glikoprotein (Pellett dan Roizman 2007; Roizman et al. 2007). Utamanya FHV-1
menginfeksi kucing domestik, namun singa dan cheetah juga rentan terinfeksi virus
ini (Gaskell et al. 2007; Povey 1979).

Prevalensi

Prevalensi feline herpesvirus-1 pada kucing dengan gejala infeksi saluran


respirasi bagian atas pernah dilaporkan di Australia pada tahun 1999. Sebanyak 98
dari 462 ekor kucing (21.2%) diketahui positif terinfeksi FHV-1 (Sykes et al. 1999).
3

Menurut Sajuthi (2013), sekitar 45-55 % penyakit saluran pernapasan pada kucing
disebabkan oleh FHV-1 karena cara penularannya yang mudah. Kucing yang sering
kontak dengan kucing di luar rumah, kucing dengan penyakit akut, dan kucing
dengan gejala bersin-bersin, diketahui positif FHV-1 dibandingkan dengan kucing
yang tidak kontak dengan kucing lain di luar rumah, kucing yang tidak menunjukkan
gejala bersin, dan kucing dengan suatu penyakit akut. Kucing keturunan asli
(purebred) ditemukan lebih sedikit positif FHV-1 dibandingkan kucing ras campuran
(mix breed).
Infeksi pada saluran respirasi termasuk penyakit pada kucing yang
menyebabkan morbiditas dan mortalitas tinggi. Di Indonesia, banyak ditemukan
kasus infeksi pada saluran pernafasan bagian atas pada pasien kucing di klinik hewan,
serta pada kucing liar di sekitar lingkungan tinggal manusia.

Cara Penularan dan Gejala Klinis Infeksi FHV-1


Feline herpesvirus–1 (FHV-1) memiliki masa inkubasi selama 2-4 hari, namun
pada kucing dengan daya tahan tubuh yang kuat masa inkubasinya dapat mencapai
10-14 hari (Juliani 2015). Penularan virus ini dapat terjadi melalui kontak langsung
dengan kucing yang sakit melalui discharge pada mata, hidung dan mulut, serta
tempat pakan dan pakan yang sudah terkontaminasi (Juliani 2015 ; Pet Health 2014).
Gejala yang sering terjadi pada kucing yang terkena cat flu atau flu kucing
akibat virus FHV-1 antara lain bersin, suhu badan 40-41°C, kehilangan nafsu makan,
depresi (suka sembunyi atau agresif), radang pada mata dan hidung, dermatitis pada
bagian wajah atau hidung, ingus keluar dari hidung mengental, kongesti, dan berat
badan menurun. Terkadang dapat ditemui adanya ulcer pada mata dan mulut serta
eskresi saliva yang berlebihan. Kucing yang terkena cat flu dapat menyebabkan
kematian. Kematian tersebut disebabkan oleh infeksi sekunder, kurang makan, dan
dehidrasi (Bol dan Bunnik 2015; Saputra et al. 2015).

Diagnosa dan Pencegahan


Diagnosa virus ini biasanya hanya berdasarkan gejala klinis saja. Untuk
definitif diagnosa maka dilakukan isolasi virus, yang dapat diambil dari sampel saliva
atau swab hidung. Teknik PCR merupakan cara terbaik untuk mengetahui infeksi
virus ini secara pasti (Helps et al. 2003).
Penyakit cat flu atau flu kucing yang disebabkan oleh viru FHV-1 ini dapat
dicegah dengan melakukan vaksinasi rutin yang dimulai pada umur 8-10 minggu dan
diulang pada umur 12-14 minggu dan diulang setiap tahunnya (Juliani 2015).

Pengobatan
Peluang kesembuhan dari penyakit ini sekitar 50%, apabila penyakit dapat
diketahui lebih dini dan ditangani dengan segera peluang kesembuhan bisa mencapai
4

80% (Sajuthi 2013). Pengobatan yang dilakukan tergantung pada gejala dan infeksi
sekunder yang dialami (Legendre et al. 2017).
Obat tetes mata atau salep antiviral paling sering digunakan ketika ada ulserasi
kornea atau konjungtivitis akut. Perawatan paling efektif yang tersedia di Inggris
adalah obat mata yang disebut trifluorothymidine (TFT). Meskipun ini adalah
perawatan terbaik yang tersedia, pengobatan ini relatif mahal dan membutuhkan
aplikasi yang sering dengan dosis 5-6 kali sehari untuk terapi selama 2-3 minggu
(Davies the Veterinary Specialists). Trifluorothymidine (TFT) mengandung
trifluridine yang meruakan turunan dari thymidine (Drug Bank). Kasus ini dapat
digunakan juga antiviral tetes mata yang mengandung acyclovir (Zovirax®) dan
antiviral tablet Famcyclovir (Famvir®) (Pet Health 2014).
Pengobatan lain yang dapat digunakan adalah dengan obat tetes mata
Interferon. Interferon adalah sitokin yang dilepaskan oleh sel darah putih dan
mengganggu penyebaran sel virus ke sel. Interferon-alfa (IFN-α) administrasi telah
terbukti menurunkan klinis tanda-tanda yang berhubungan dengan infeksi akut.
Namun, menurut Sajuthi 2013, pemberian interferon untuk kasus cat flu tidaklah
efektif. Hal ini disebabkan karena virus tersebut sangat mudah bermutasi. Sehingga
oemberian obat-obatan simptomatis dan suportif untuk peningkatan antibodi masih
merupakan pilihan terbaik untuk menangani kasus ini. Selain itu, dekongestan (tetes
hidung) dapat digunakan untuk mengurangi cairan hidung dan L-Lysine juga dapat
digunakan untuk mengurangi tingkat keparahan konjungtivitis akibat dari FHV-1,
serta mengurangi tingkat stres pada kucing (Maes 2012).
Menurut Juliani (2015), Pengobatan untuk penyakit ini adalah pemberian
antibiotik seperti ampicilin, amoxixilin untuk infeksi sekunder. Obat tetes mata dan
salep mata untuk mengurangi gejala pada mata. Pemberian Lysin untuk mengganggu
replikasi virus dan menambah nafsu makan.
Terapi yang terbaik untuk kasus ini menurut Sajuthi (2013), adalah dengan
memberikan antibiotik, mucolitik agent, vitamin peningkat daya tahan tubuh dan
dapat juga dibantu dengan memberikan vitamin C melalui jalur intravena. Penguapan
(nebulizer) dengan normo saline yng dicampur dengan bronchodilatator (salbutamol)
juga memberikan efek positif pada kasus ini.

PEMBAHASAN

Feline herpes virus -1 (FHV-1) merupakan penyebab umum dari penyakit


okuler dan saluran pernapasan atas pada kucing. Infeksi FHV-1 dapat menunjukkan
gejala-gejala klinis seperti rhinosinositis dan konjungtivitis. Selain itu juga dapat
menyebabkan ulcer kornea, keratitis, dan pneumonia (Gaskell et al. 2007). Berikut
merupakan kasus penyakit dan pemilihan obat untuk penanganan infeksi FHV-1.
5

Kasus Klinis FHV-1

Kasus 1 (Malik et al. 2009)


Seekor kucing (5 tahun) ras rex devon yang telah dikastrasi menunjukkan
gejala lesio fokal pada kornea. Dokter hewan menduga kucing tersebut terserang
virus FHV-1 sejak berumur 8 minggu. Kucing juga menunjukkan gejala klinis berupa
urtikaria pigmentosa yang telah dikonfirmasi secara histologi. Dokter hewan
memberikan terapi dermatopathy menggunakan kombinasi obat, yaitu cyclosporine
(20-25 mg secara per oral setiap hari), suplemen asam lemak omega 3, serta lisin
(500 mg dua kali sehari) sebagai upaya mengobati gejala klinis berupa rhinitis dan
konjungtivitis.
Melalui pemeriksaan fisik, dokter hewan menemukan pula adanya fokal
sequestrum (diameter <22 mm) pada mata sebelah kiri kucing bersamaan dengan
konjungtivitis. Menurut diagnosa dokter hewan, gejala tersebut disebabkan karena
adanya peradangan dan pigmentasi fokal akibat infeksi FHV-1 yang kronis. Oleh
karena itu, dokter hewan kemudian memberikan obat antiviral yaitu famcyclovir 62,5
mg (setengah dari 125 mg tablet) sehari sekali secara per oral selama 7 hari, dan
dilanjutkan sebanyak dua kali sehari.
Owner mengobservasi segera kucingnya setelah pemakaian beberapa hari
famcyclovir dan menemukan bahwa peradangan di kedua mata dan nasal discharge
sudah berkurang. Hari kedelapan sejak pemberian antiviral, sequestrum pada
permukaan mata mulai berkurang.Terapi antiviral ini dilanjutkan selama 21 hari
dengan hasil terakhir yaitu konjungtivits dan sequestrum pada permukaan kornea
mata sudah tidak terlihat. Perkembangan kesehatan mata sebagai pengaruh pemberian
famcyclovir dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Perkembangan kesehatan mata sebagai pengaruh pemberian obat, (a) sebelum
diberikan famcyclovir, (b) selama pemberian, (c) hasil akhir setelah 8 hari
pemberian famcyclovir. Foto (c) menunjukkan bahwa fokal sequestrum telah
tidak terlihat.
6

Penulisan Resep Selama Pengobatan Infeksi FHV-1

Penulisan resep dan pemilihan obat yang dilakukan dokter hewan dari awal
hingga akhir terapi diberikan berdasarkan ilustrasi kasus oleh Malik et al. (2009).
Pemberian obat dibagi ke dalam 2 fase. Fase 1 yaitu ketika kucing belum diberikan
famcyclovir dan fase 2 yaitu ketika dokter sudah memberikan famcyclovir. Tata
laksana dan penulisan resep dapat dilihat pada Tabel 1 hingga 6 di bawah ini.

Tabel 1 Tata laksana terapi fase 1


Tata laksana terapi
Anti dermatopathy : Cylosporin tab 20 mg per ekor, s24j, PO, selama 7 hari
atau radang kulit

Suplemen : Asam lemak omega 3 tab per ekor, s24j, PO, selama 7 hari

: L-lysine tab 500 mg per ekor, s12j, PO

Pilihan obat pada Tabel 1 digunakan untuk total pemakaian selama 7 hari.
Penulisan resep obat tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2 Penulisan resep fase 1


KLINIK HEWAN
Dokter Hewan : Richard Malik, DVM
Alamat/ No.Hp : Sydney, Australia/ 085764889986
Jam praktik : Sabtu-Minggu (08.00-11.00 WIB)
No. SIP : 001/SIP/002
Sidney, 30 Maret 2018

R/ Cyclosoprin tab 20 mg
m.f.pulv.dtd. da in caps.No. VII
s.1.d.d.1 cap.p.c
R/ Asam lemak omega 3 1 tab No VII Paraf
s.1.d.d. 1 tab. p.c

R/ L-lysine tab 500 mg Paraf


m.f.pulv.dtd. da in caps.No. XIV
s.p.r.n.2.d.d.1 cap.p.c
Paraf

Nama Pasien : Kucing (5 tahun), Pussy


Nama Pemilik : Laura
Alamat : Sydney, Australia
7

Tabel 3 Tata laksana terapi dan penulisan resep fase 2


Tata laksana terapi
Anti-viral : Famcyclovir 125mg ½ tab per ekor, s24j, PO, selama 7 hari

Tabel 4 Tata laksana terapi dan Penulisan resep fase 2 lanjutan


Tata Laksana Terapi
Anti-viral : Famcyclovir 125 mg ½ tab per ekor, s12j, PO, selama 21 hari

Pilihan obat pada Tabel 3 digunakan untuk pemakaian 1 kali sehari selama 7
hari. Famcyclovir kemudian dilanjutkan sebanyak 2 kali sehari selama 21 hari (Tabel
4) dengan total lama terapi yang diberikan yaitu 35 hari. Penulisan resep fase 2 dapat
dilihat pada Tabel 5 dan 6 di bawah ini.

Tabel 5 Penulisan resep fase 2


KLINIK HEWAN
Dokter Hewan : Richard Malik, DVM
Alamat/ No.Hp : Sydney, Australia/ 085764889986
Jam praktik : Sabtu-Minggu (08.00-11.00 WIB)
No. SIP : 001/SIP/002
Sidney, 30 Mei 2018

R/ Famcyclovir 125 mg ½ tab


m.f.pulv.dtd. da in caps.No.VII
s.1.d.d.1 cap.p.c
Paraf

Nama Pasien : Kucing (5 tahun), Pussy


Nama Pemilik : Laura
Alamat : Sydney, Australia
8

Tabel 6 Penulisan resep fase 2 lanjutan


KLINIK HEWAN
Dokter Hewan : Richard Malik, DVM
Alamat/ No.Hp : Sydney, Australia/ 085764889986
Jam praktik : Sabtu-Minggu (08.00-11.00 WIB)
No. SIP : 001/SIP/002
Sidney, 30 Mei 2018

R/ Famcyclovir 125 mg ½ tab


m.f.pulv.dtd. da in caps.No.XXI
s.2.d.d.1 cap.p.c
Paraf

Nama Pasien : Kucing (5 tahun), Pussy


Nama Pemilik : Laura
Alamat : Sydney, Australia

Cyclosporin (Sanndimune®)
Obat ini biasanya digunakan untuk terapi imunosupresi dan semakin tinggi
pemanfaatannya di dunia kedokteran hewan terutama untuk mengobati infeksi pada
anjing dan kucing (Palmeiro 2013). Cyclosoprin merupakan polipeptida siklik yang
berfungsi sebagai antiinflamasi dan antipruritus dengan menghambat kerja limfosit T
(Robson 2003). Farmakodinamik cyclosporin yaitu sebagai penghambat spesifik dan
reversible limfosit imunokompeten pada fase G0 dan G1 siklus tersebut, sehingga
kerja limfosit T dihambat. Target utama kerja cyclosporine adalah sel T1 helper.
Selain itu juga dapat menghambat sel T1 supressor, serta produksi dan pelepasan
limfokin termasuk interleukin-2 (Drug Bank 2005). Cyclosporin terbukti berkhasiat
mengatasi infeksi kulit pada kucing (Robert et al. 2013).

Asam lemak omega 3


Asam lemak omega 3 merupakan suplemen yang memiliki peran penting
dalam proses fisiologis dan sering digunakan untuk terapi neurogeneratif dan
peradangan (Avramovic et al. 2012). Efek protektif asam lemak omega-3
kemungkinan melalui penurunan produksi prostaglandin dan penurunan tekanan
kapiler glomerulus. Rentang dosis asam lemak omega-3 yang dianjurkan adalah 10-
200 mg/kg PO /24 hari (Brown et al. 2000). Asam lemak Omega 3 juga dibutuhkan
9

untuk membentuk sel-sel membran pada semua organ, seperti retina dan sistem syaraf
pusat (Almatsier 2006).

Famcyclovir (Famvir®)
Antiviral ini mengalami biotransformasi yang cepat menjadi senyawa aktif
pencyclovir. Pencyclovir adalah obat antiviral yang mampu menghambat sintesis dan
replikasi DNA virus herpes. Sel yang terinfeksi virus herpes mefosforilisasi
pencyclovir ke bentuk monofosfat yang kemudian menjadi pencyclovir trifosfat oleh
enzim kinase seluler. Studi in vitro menunjukkan bahwa pencyclovir trifosfat
menghambat polymerase virus herpes sehingga elongasi rantai DNA tidak terjadi.
Famcyclovir memiliki bioavaibilitas yang lebih baik serta efek samping yang sangat
kecil dibandingkan pencyclovir (Drug Bank 2005; Malik et al. 2009).

Lisin
Lisin merupakan asam amino esensial yang berkhasiat dalam penanggulangan
infeksi FHV-1 pada kucing. Beberapa shelter kucing menggunakan lisin sebagai
suplemen untuk mencegah penyakit saluran pernapasan atas yang disebabkan oleh
FHV-1 (Ress dan Lubinski 2008). Magg et al. (2000) menduga lisin mampu
menghambat replikasi virus FHV-1 karena adanya kompetisi antara kerja lisin dengan
arginin. Arginin merupakan asam amino yang dibutuhkan untuk replikasi virus.
Meskipun demikian, terdapat pula hasil penelitian lain yang menjelaskan bahwa lisin
tidak mampu mencegah infeksi saluran pernapasan atas tersebut (Ress dan Lubinski
2008). Dugaan Magg et al (2000) terhadap kemampuan lisin dalam menghabat
replikasi virus FHV-1 dilakukan dengan melakukan uji klinis terhadap suatu
kelompok kucing. Uji klinis yang dilakukan ini dapat dilihat pada kasus 2 dibawah
ini.

Kasus 2 (Magg et al. 2000)


Suatu populasi kucing sebanyak 14 ekor digunakan dalam uji coba klinis
terhadap kemampuan lisin dalam mencegah infeksi FHV-1. Populasi tersebut
kemudian dibagi menjadi 2, yaitu perlakuan yaitu 7 ekor kucing diberikan pakan
dengan tambahan lisin 400 mg per hari, sedangkan 7 ekor lainnya sebagai kontrol.
Sekitar 5 bulan sebelum uji klinis ini dimulai, peneliti telah menginokulasikan FHV-1
pada semua kucing dan kemudian melakukan uji klinis selama 30 hari.
Selama pengamatan pada 15 hari pertama, tidak terdapat kucing yang
menunjukkan gejala klinis. Peneliti kemudian memberikan kortikosteroid dengan
tujuan mengaktifkan kembali virus FHV-1. Hasilnya yaitu kadar lisin meningkat 2
kali lipat pada kelompok perlakuan. Akan tetapi, kenaikan tersebut hanya
berlangsung 2-3 jam. Berdasarkan observasi DNA FHV-1 terhadap banyaknya cairan
mata dan kelopak mata per hari diketahui bahwa tingkat shedding antara kelompok
kontrol dan perlakuan tidak berbeda nyata. Selain itu, selama 15 hari terakhir kedua
kelompok penelitian tersebut juga menunjukkan gejala konjungtivitis sebagai gejala
klinis infeksi FHV-1.
10

Penulisan resep dan pemilihan obat kasus 2


Penulisan resep dan pemilihan obat yang diberikan berdasarkan ilustrasi kasus
oleh Magg et al. (2000). Tata laksana dan penulisan resep dapat dilihat pada Tabel 7
dan 8 di bawah ini.

Tabel 7 Tata laksana terapi kasus 2


Tata laksana terapi
Suplemen : Lisin tab 400 mg per ekor, s24j, PO

Pilihan obat pada Tabel 7 digunakan untuk total pemakaian selama 30 hari.
Penulisan resep obat tersebut dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini.

Tabel 8 Penulisan resep kasus 2


KLINIK HEWAN
Dokter Hewan : Magg DVM
Alamat/ No.Hp : Sydney, Australia/ 085764889986
Jam praktik : Sabtu-Minggu (08.00-11.00 WIB)
No. SIP : 001/SIP/002
Sidney, 30 Maret 2018

R/ Lisin tab 400 mg


m.f.pulv.dtd. da in caps.No. XXX
s.1.d.d.1 cap.d.c
Paraf

Nama Pasien : Kucing perlakuan


Nama Pemilik : Laura
Alamat : Sydney, Australia

Signa pada penulisan resep kasus 2 menggunakan tanda durante coenam (d.c)
yang berarti lisin diberikan hanya saat kucing sedang makan atau sebagai tambahan
pakan. Melalui studi kasus 2 dapat diketahui tidak adanya pengaruh yang signifikan
11

antara kelompok kucing kontrol dan perlakuan (Maag et al. 2007). Hal tersebut
disebabkan karena lisin tidak bekerja sebagai antagonis arginin (Fascetti et al. 2004).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kucing yang terinfeksi FHV-1 dapat menunjukkan gejala klinis antara lain
seperti bersin, rhinitis, dan keratitis kronis ulseratif, ulser kornea, pneumonia, serta
dapat menyebabkan kematian. Virus ini ditularkan melalui kontak langsung dengan
kucing yang sakit atau alat, tempat pakan dan pakan yang sudah terkontaminasi, serta
lewat udara. Cyclosporin, asam lemak omega 3, lisin dapat digunakan untuk
mengontrol gejala simptomatik, sedangkan famcyclovir dapat digunakan sebagai
sediaan terapi kausatik terhadap infeksi FHV-1. Penyakit ini dapat dicegah dengan
melakukan vaksinasi.

Saran

Pemeriksaan penunjang infeksi FHV-1 seperti uji PCR, elisa, ataupun


biokimia darah diperlukan untuk memperkuat peneguhan diagnosa sehingga dapat
segera menentukan pengobatan yang tepat terhadap kucing yang terinfeksi.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID). Gramedia.


August JR, Bahr A. 2006. Chronic Upper Respiratory Disease: Principles of
Diagnosis and Management. Di dalam: August JR, editor. Consultations in
Feline Internal Medicine.Volume 5. Philadelphia (US): Elsevier.
Avramovic N, Dragutinovic V, Krstic D, Colovic MB, Trbovic A, Luka SD,
Milovanovic, Popovic T. 2012. The effects of omega 3 fatty acid
supplementation on brain tissue oxidative status in aged wistar rats.
Quarterly Medical Journal. 16(3): 241-245.
Bol S and Bunnik EM. 2015. Lisin supplementation is not effective for the prevention
or treatment of feline herpesvirus 1 infetion in cats: a systematic review.
BMC Veterinary Research. 11(284): 2-12.
Brown SA, Brown CA, Crowell WA, Barsanti JA, Kang CW, Allen T, Cowell C,
Finco DR. 2000. Effects of dietary polyunsaturated fatty acid
supplementation in early renal insufficiency in dogs. Journal of Laboratory
and Clinical Medicine. 135 : 275-286.
Dallas S. 2006. Animal Biology and Care. Edisi 2. Oxford (UK): Blackwell
Publishing.
12

Darling T. 2012. Infectious Viral Disease: Canine and Feline Herpesvirus. Di dalam:
Garcia J, Hall M, Merrill L, editor. Small Animal Internal Medicine for
Veterinary Technicians and Nurses. Iowa (US): John Wiley & Sons.
Davies the Veterinary Specialists. Feline Herpes Virus (FHV-1). [Internet]. (Diakses
pada 4 April 2018). Tersedia pada:
http://vetspecialists.co.uk/factsheets/Ophthalmology_Facts/Feline_Herpes_Viru
s.
Drug Bank. 2005. Cyclosporine [Internet]. (Diakses pada 30 Maret 2018). Tersedia
pada: https://www.drugbank.ca.
Drug Bank. 2005. Famcyclovir [Internet]. (Diakses pada 30 Maret 2018). Tersedia
pada: https://www.drugbank.ca.
Drug Bank. 2005. Trifluridine [Internet]. (Diakses pada 04 April 2018). Tersedia
pada: https://www.drugbank.ca.
Fascetti AJ, Maggs DJ, Kanchuk ML, Clarke HE, Rogers QR. 2004. Excess dietary
lysine does not cause lysine-arginine antagonism in adult cats. Journal of
Nutrition. 1342042Se2045S.
Fenner FJ, Gibbs EPJ, Murphy FA, Rott R, Studdert MJ, White DO. 1993. Virologi
Veteriner. Edisi 2. Harya P, penerjemah. Semarang (ID): IKIP Semarang Pr.
Gaskell R, Sawson S, Radford A, Thiry E. 2007. Feline herpes virus. Veterinary
Research. 38:337-354.
Helps C, Reeves N, Egan k, Howard P, Harbour D. 2003. Detection of Chlamdophila
felis and filine herpes virus by Multiplex Real-Time PCR analysis. Journal
Clinical Microbiol and Infection. 4(6) : 2734-2736.
Juliani. 2015. Feline Viral Rhinotracheitis. Vitapet Animal Clinic Artikel (005).
Legendre AM, Kuritz T, Heidi RE, Baylor VM. 2017. Polyprenyl immunostimulant
in feline rhinotracheitis: randomized placebo-controlled experimental and
field safety studies. Frontiers in Veterinary Science. 4: 2-9.
Malik M, Lessels NS, Webb S, Meek M, Graham PG, Vitale C, Norris JM, Power H.
2009. Treatment of feline herpesvirus-1 associated disease in cats with
famcyclovir and related drugs. Journal of Feline Medicine and Surgery. 11:
40-48.
Magg DJ, Collins BK, Thorne JG, Nassise MP. 2000. Effects of L-lisin and L-
arginine on in vitro replication of feline herpesvirus type-1. American
Journal of Veterinary Research. 61: 1474-1478.
Maes R. 2012. Feline herpesvirus type 1 infection in cats: a natural host model for
alphaherpesvirus pathogenesis. Veterinary Science. 12.
Palmeiro BS. 2013. Cyclosporine in Veterinary Dermatology. America (USA). The
Veterinary Clinics of North America. Small Animal Practice. 43:153–171.
Pellet PE, Roizman B. 2007. The family Herpesviridae: a brief introduction. Fields
Virology. Philladeplhia (US): Lippincott Williams & Wilkins. 2479-2499.
Pet Health. 2014. Feline herpesvirus. [Internet]. (Diakses pada 30 Maret 2018).
Tersedia pada: http://www.healthcommunities.com.
Povey. 1979. A review of feline viral rhinotracheitis (feline herpesvirus-1 infection).
Comp Immun, M biol and Inf Dis. 2-3(2): 373-387.
13

Rahmawati SR. 2015. Studi kasus: patomorfologi trakeobronkhitis supurativa pada


kucing (Felis catus) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ress TN, Lubinski JL. 2008. Short communication: oral supplementation with L-lisin
did not prevent upper respiratory infection in a shelter population of cats.
Journal of Feline Medicine and Surgery. 10: 510-513.
Roberts ES, Vanlare KA, Strehlau G, Peyrou M, Roycroft LM, King S. 2013. Safety,
Tolarability, Pharmacokinetics of 6-month daily dosing of an oral
formulation of cyclosporine (ATOPICA for cats) in cat. Veterinary
Pharmacology and Therapeutic. 37: 161-168.
Robson D. 2003. Review of the properties and mechanisms of action of cyclosporine
with an emphasis on dermatological therapy in dogs, cats and people.
Veterinary Record. 152: 768–772.
Roizman B, Knipe DM, Whitley RJ. 2007. Herpes simplex viruses. Fields Virology.
Philladeplhia (US): Lippincott Williams & Wilkins. 2502–2601.
Sajuthi TP. 2013. Cat flu. PDHB Vet [Internet]. (Diakses pada 2 April 2018).
Tersedia pada: http://pdhbvet.com/cat-flu/.
Saputra D, Lestari U, Sutanta E. 2015. Sitem pakar untuk diagnosa penyakit berbasis
web menggunakan frameworkcodeigniter web based expert system for
diagnosing cat disease using codeigniter framework. Journal Script 3(1): 36-
37.
Sykes JE, Anderson GA, Studdert VP, Browning GF. 1999. Prevalence of feline
Chlamydia psittaci and feline herpes virus 1 in cats with upper respiratory
tract disease. Journal Veterinary International Medicine. 13: 153-162.

Anda mungkin juga menyukai