Anda di halaman 1dari 6

I.

KASUS POSISI (Case Position)


Adapun kronologis singkat dan fakta hukum tentang kasus tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Bahwa pada hari Senin, Tanggal 4 Juni 2018, Bupati Purbalingga Tasdi
terjerat operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK atas korupsi
pembangunan Islamic Center.
2. Bahwa Bupati Purbalingga nonaktif Tasdi terjerat Pasal 12 huruf a dan
Pasal 12 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dan
diganti menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Korupsii, dan oleh karena itu, Tasdi dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara
dan denda sebesar 300 juta rupiah karena terbukti menerima gratifikasi.
3. Bahwa Tasdi dikenal sebagai Bupati yang berprestasi dengan pencapaian
yaitu berhasil membawa Purbalingga mendapat Opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) selama dua tahun berturut-turut, yaitu 2017-2018.

II. ISU HUKUM


Adapun yang menjadi permasalahan hukum dalam kasus tersebut yaitu:
1. Bagaimanakah relevansi antara opini wajar tanpa pengecualian (wtp) dan
kasus gratifikas dan korupsi suatu daerah berdasarkan kasus korupsi
Bupati Purbalingga tersebut?

III. DASAR HUKUM


Dengan melihat permasalahan hukum diatas,maka dasar hukum yang akan
digunakan dalam pembuatan Legal Opinion ini adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara;
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Negara;
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2017 Tentang
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

IV. ANALISIS
1. Bahwa Opini WTP sesungguhnya adalah bagian tak terpisahkan dari
laporan hasil pemeriksaan suatu daerah.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara telah
memberikan wewenang kepada BPK untuk mengaudit atau memeriksa
laporan keuangan suatu daerah. Hal ini tersurat dalam penjelasan umum
angka 9 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara,
yaitu:
“laporan pertanggung-jawaban pelaksanaan APBN/APBD disampaikan
berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya terdiri dari laporan realisasi
anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang
disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Laporan keuangan
pemerintah pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan
harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah
berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan, demikian pula laporan
keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan harus disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam)
bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.”
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan
Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menentukan bahwa
suatu laporan hasil pemeriksaan suatu daerah memuat beberapa elemen,
yaitu diantaranya laporan keuangan memuat opini, laporan hasil
pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi,
dan laporan hasil pemeriksaan atas kinerja dengan tujuan tertentu memuat
kesimpulan.
Dalam kasus ini, diberitakan bahwa laporan keuangan Purbalingga selama
Tasdi menjabat mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian. Berdasarkan
Penjelasan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, yang
dimaksud dengan opini adalah:
Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran
informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang
didasarkan pada kriteria (i) kesesuaian dengan standar akuntansi
pemerintahan, (ii) kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), (iii)
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan (iv) efektivitas
sistem pengendalian intern. Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat
diberikan oleh pemeriksa, yakni (i) opini wajar tanpa pengecualian
(unqualified opinion), (ii) opini wajar dengan pengecualian (qualified
opinion), (iii) opini tidak wajar (adversed opinion), dan (iv) pernyataan
menolak memberikan opini (disclaimer of opinion).
Maka dapat disimpulkan bahwa mendapatkan opini yang baik tidak
menutup kemungkinan memperoleh laporan hasil pemeriksaan atas kinerja
yang baik. Memperoleh opini WTP pada laporan keuangan suatu daerah
mencerminkan bahwa laporan keuangan daerah tersebut telah tepat sesuai
standar Akuntansi Pemerintahan dan pengendalian intern yang memadai
untuk menyusun laporan keuangan yang bebas dari kesalahan penyajian
material, baik yang disebabkan oleh kecurangan maupun kesalahan.

2. Bahwa Tindak Pidana Korupsi mencakup Tindakan yang tidak dapat


dituangkan dalam laporan keuangan semata
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 terdapat 7 jenis Tindakan
yang dikategorikan sebagai korupsi, yaitu perbuatan merugikan negara,
suap, menyalahgunakan jabatan, pemrasa, korupsi yang berhubungan
dengan kecurangan, gratifikasi, dan korupsi yang berhubungan dngan
pengadaan. Dalam kasus korupsi Bupati Purbalingga diatas misalnya, Tasdi
terjerat Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999,
sebagaimana diubah dan diganti menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Korupsi, yaitu:
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya
kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

3. Bahwa Opini WTP pada hasil audit laporan keuangan suatu daerah adalah
bukan merupakan jaminan bahwa suatu daerah bersih dari tindak pidana
korupsi, namun terdapat keyakinan bahwa laporan hasil pemeriksaan yang
baik adalah indikasi daerah yang bebas korupsi
Perlu dipahami bahwa dalam korupsi adalah merupakan tindak pidana, dan
dalam pembuktian tindak pidana akan selalu mengejar kebenaran materiil.
Yahya Harahap dalam bukunya menjelaskan bahwa ini sesuai dengan
kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan dalam perkara pidana.
Kebenaran yang harus ditemukan dan diwujudkan dalam pemeriksaan
perkara pidana adalah “kebenaran sejati” atau materiil waarheid atau
ultimate truth atau disebut juga absolute truth, yang mana berarti hakim
harus aktif mencari tau jawaban atau kebenaran atas sebuah tindak pidana.
Sementara Laporan Hasil Pemeriksaan yang dibuat oleh Badan Pemeriksa
Keuangan adalah termasuk alat bukti surat yang mengandung kebenaran
formal.Mengenai kebenaran dari data yang terdapat di dalam sebuah
laporan keuangan itu haruslah diselidiki lebih lanjut sebelum dapat
dinyatakan sebagai kebenaran yang sebenar-benarnya.
Tentu saja mendapatkan opini wjar tanpa pengecualian adalah suatu
pencapaian akan penerapan birokrasi yang sesuai standar akuntansi
pemerintahan yang bagus, baik itu dari segi formal maupun materiil, namun
harus disadari bahwa standar tersebut dibuat berdasarkan ketentuan
Akuntansi pemerintahan yang tentu tidak dapat menjadi tolok ukur korupsi
suatu daerah.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat pemikiran bahwa
mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian adalah indikator suatu daerah
bebas dari korupsi. Padahal belum tentu demikian, dan celakanya lagi,
adanya opini public yang demikian dapat menyebabkan daerah di Indonesia
berlomba-lomba untuk mengejar opini wajar tanpa pengecualian demi
mendapatkan citra public sebagai daerah bebas korupsi.

V. KESIMPULAN
1. Opini wajar tanpa pengecualian adalah opini yang diberikan pada laporan
keuangan suatu daerah oleh pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan
kepada daerah yang mengirimkan laporan keuangan yang sesuai dengan
Standar Akuntansi Pemerintahan dan pengendalian intern yang memadai
untuk menyusun laporan keuangan yang bebas dari kesalahan penyajian
material, baik yang disebabkan oleh kecurangan maupun kesalahan.
2. Tindak Pidana Korupsi mencakup 7 jenis Tindakan yang tidak dapat
dicerminkan berdasarkan laporan keuangan semata.
3. Tidak ada relevansi diantara opini yang diperoleh suatu daerah karena
laporan hasil pemeriksaan keuangan BPK dan korupsi yang terjadi di
daerah tersebut.
4. Penulis menyarankan agar BPK meningkatkan edukasi pada masyarakat
terkait laporan hasil pemeriksaan, karena adanya opini publik mengenai
relevansi wajar tanpa pengecualian dan tingkat korupsi suatu daerah dapat
meningkatkan celah terjadinya kecurangan demi mendapatkan predikat
opini wtp tersebut di kalangan pemerintah daerah.

Anda mungkin juga menyukai