Anda di halaman 1dari 28

KEGAWATDARURATAN MATA

Peralalatan Kegawatdaruratan dan Evaluasi Umum

Secara ideal, pasien yang datang ke IGD harus dievaluasi pada klinik mata dan ruang
pemeriksaan yang dilengkap dengan Snellen chart, slit lamp (lampu celah), dan oftalmoskop
indirek. Hal ini memang tidak selalu memungkinkan, akan tetapi beberapa peralatan portabel
harus tersedia untuk melakukan evaluasi pada pasien-pasien kegawatdaruratan. Untuk
memenuhi kebutuhan ini, sebaiknya perlu untuk menyiapkan kantong yang berisi peralatan
dan perlengkapan penting, termasuk berikut ini:
 Sumber cahaya, seperti senter kecil
 Oftalmoskop direk
 Kartu Jaeger (untuk pemeriksaan visus jarak dekat)
 Pinhole
 Lensa +2,5 D dan +20 D
 Mainan Kecil Atau Sasaran Fiksasi Anak Lainnya
 Kertas Fluorescein
 Penarik kelopak mata (eyelid retractor)
 Penggaris kecil dalam ukuran millimeter
 Obat-obatan tertentu, seperti proparacaine (Opthaine), Timolol maleate (Timoptic)
0.5%, pilokarpin 2%, tropicamide 1%.

Selain itu, peralatan yang kurang portabel, seperti ophthalmoscope indirek dan slit lamp
dengan tonometer Goldmann, biasanya tersedia di ruang pemeriksaan, apabila dilengkapi
dengan tonometer Schiotz atau Tonopen dalam emergency bag merupakan ide yang bagus.

Evaluasi pasien dengan cedera atau kelainan mata dimulai dengan anamnesis. Selalu
tanyakan tentang penglihatan pasien sebelum cedera atau gangguan tersebut. Mengetahui
bahwa seorang pasien yang mengalami trauma tumpul dan visus 20/200 juga memiliki
riwayat ambliopia yang secara drastis mengubah gambaran klinis. Namun, jangan pernah
menunda pengobatan terhadap kegawatdaruratan mata, seperti luka bakar kimia, oklusi arteri
retina sentral, atau glaukoma akut sudut tertutup, untuk mengetahui riwayat pasien. Dalam
semua kasus kegawatdaruratan, riwayat pasien harus sesuai dengan sifat gangguan. Jika
intervensi bedah adalah suatu kemungkinan, tanyakan mengenai terapi oral terakhir pasien
dan pertahankan terapi oral lanjutan sampai dengan keputusan terapeutik dibuat. Selain itu,
tanyakan juga mengenai booster tetanus terakhir dalam semua kasus trauma tembus atau
perforasi.

Sama halnya dengan anamnesis, pemeriksaan mata dipersingkat untuk mengakomodasi


pasien kegawatdaruratan. Sebagai langkah pertama, ketajaman visual harus ditentukan
sesegera mungkin setelah pasien datang, evaluasi perlu dilakukan mengenai (kejernihan
kornea, hifema, pembengkakan palpebra) yang memungkinkan dapat menghalangi
pengukuran. Untuk menilai visus dalam kegawatdaruratan, penting untuk memiliki alat
pinhole untuk membantu mempertimbangkan adanya gangguan refraksi, lensa +2,5 D untuk
membantu diagnosis presbiopia, dan kartu Jaeger. Jika penglihatan pasien sangat terganggu,
penglihatan warna menggunakan tutup botol merah dan hijau cerah serta pemeriksaan
proyeksi cahaya untuk semua kuadran harus dilakukan. Kemudian dilakukan pemeriksaan
fisik mata secara berurutan: Pemeriksaan aspek eksternal (alis, palpebra, bulu mata), otot
ekstraokular, konfrontasi visual, reflex pupil, dan pemeriksaan segmen anterior, tonometri,
dan pemeriksaan segmen posterior dengan menggunakan oftalmoskop. Jika ada trauma
kepala yang signifikan, tunda pelebaran pupil untuk mempertahankan reaksi pupil untuk
melakukan evaluasi neurologis berkala. Selain itu, manuver-manuver yang memberikan
tekanan pada bola mata, seperti penekanan pada sklera dan tonometer Schiotz, tidak boleh
dilakukan pada pasien dengan bola mata yang berpotensi ruptur atau hifema.

Evaluasi Pediatri

Teknik-teknik khusus diperlukan untuk melakukan evaluasi pada anak dalam situasi darurat.
Kesabaran, kebijaksanaan, dan kepekaan terhadap kekhawatiran orang tua merupakan hal
penting. Untuk mengatasi pasien anak yang rewel, cobalah untuk mengumpulkan informasi
sebanyak mungkin dengan pengamatan yang cermat tanpa menyentuh anak. Hindari sikap
dan gerak tubuh yang mengancam anak, dan pertahankan sikap tenang selama pemeriksaan,
jika mungkin, bergeraklah dengan perlahan dan hati-hati. Mainan dan target fiksasi yang
menarik dapat menyederhanakan pemeriksaan pediatrik, dan bayi mungkin lebih mudah
untuk mengevaluasi jika diberi dot atau botol untuk menenangkan mereka. Namun, asupan
oral harus ditunda apabila mempertimbangan tindakan bedah.
Gunakan papan papoose untuk menahan anak yang tidak kooperatif selama pemeriksaan.
Namun, apabila bola mata terbuka, papan papoose tidak boleh digunakan; dapat memicu
tekanan dan peningkatan tekanan intraokular, yang dapat menyebabkan ekstrusi isi mata.
Sebagai alternatif, tutupi anak kecil atau bayi dengan erat, atau minta perawat atau orang tua
pasien untuk membantu menahan pasien anak yang tidak kooperatif. Anggap sedasi hanya
sebagai pilihan terakhir. Jika perlu, sedasi anak dalam kondisi terkendali, dengan pemantauan
ketat dan ketersediaan peralatan darurat dan tenaga kesehatan yang terlatih untuk melakukan
bantuan hidup lanjut pada pediatri untuk menghindari komplikasi. Anda mungkin perlu
berkonsultasi dengan ahli anestesi. Jika pasien merupakan kandidat untuk dilakukan
pembedahan, beberapa evaluasi yang sulit dilakukan dapat ditunda sampai pasien dilakukan
anestesi.

Pemeriksaan segmen anterior dan fundus dapat difasilitasi dengan menggunakan spekulum
palpebra untuk pediatrik dan, untuk anak-anak kecil dan bayi yang tidak dapat ditempatkan
slit lamp atau portable slit lamp.

Trauma Okular pada Instalasi Gawat Darurat


Pasien IGD dengan trauma ocular mungkin memiliki trauma non ocular lain. Penanganan
kondisi yang mengancam jiwa merupakan prioritas, dan komunikasi yang baik antara
berbagai tenaga kesehatan yang terlibat dapat membantu menangani cedera multiple secara
terstruktur. Eye shield protektif harus dipasang pada tempatnya sampai pasien stabil.
Perhatian kemudian dapat dialihkan ke trauma okular. Berikut merupakan trauma okular yang
paling umum beserta penanganannya:

1. Aberasi Kornea

Abrasi kornea adalah defek epitel akibat trauma, seperti goresan kuku jari, pemakaian
lensa kontak yang terlalu lama, atau luka bakar akibat sinar ultraviolet akibat pengelasan.
Abrasi kornea umumnya disertai dengan rasa sakit yang signifikan, sensasi benda asing,
sobek, blefarospasme, dan kadang-kadang penurunan visus. Singkirkan kemungkinan
keratitis virus herpes simpleks, yang dapat menyebabkan abrasi. Erosi kornea merupakan
defek epitel spontan yang sering berulang dan dapat terjadi di lokasi cedera kornea
sebelumnya atau berhubungan dengan distrofi kornea.
Evaluasi dapat lebih mudah dengan mengaplikasikan setetes anestesi topikal, respons
yang ditimbulkan sering kali signifikan. Jika dicurigai herpes simpleks keratitis, periksa
sensasi kornea sebelum mengaplikasikan anestesi topikal; instruksi untuk melakukannya
terdapat di Clinical Protocol 9.1, "Melakukan Pemeriksaan Saraf Sensoris pada Kepala
dan Wajah." Penglihatan kemudian dapat dinilai secara lebih akurat dan mata lebih teliti
diperiksa pada slit lamp. Diagnosis difasilitasi oleh pewarnaan fluorescein, yang
mewarnai bagian kornea tanpa epitel.

Sangat penting untuk membedakan antara abrasi kornea yang tipikal dan ulkus kornea.
Ulkus kornea menandakan adanya infeksi kornea yang berhubungan dengan defek epitel,
umumnya muncul sebagai kekeruhan putih di kornea, seringkali disertai dengan hipopion.
Pada pasien dengan abrasi kornea vertikal, singkirkan benda asing yang tertanam di
konjungtiva tarsal dari palpebra superior atau inferior dengan mengeversi palpebra
menggunakan biomikroskop dan menyapu forniks dengan kapas yang telah dibasahi.
Instruksi lengkap untuk eversi palpebra disajikan dalam Protokol Klinis 9.6; instruksi
untuk menyapu kantung konjungtiva dan disajikan dalam Protokol Klinis 11.1. Benda
asing konjungtiva tarsal akan menyebabkan abrasi kornea dengan pola linier vertical yang
ditimbulkan saat benda asing itu menggosok ke atas dan ke bawah epitel kornea pada saat
berkedip.

Tatalaksana
Penatalaksanaan abrasi kornea tipikal adalah sebagai berikut:
1. Berikan setetes anestesi topikal ke dalam mata yang terkena.
2. Singkirkan benda asing di mata yang sakit. Periksa forniks.
3. Berikan setetes zat sikloplegik (seperti homatropin 5%) untuk meredakan
ketidaknyamanan yang disebabkan oleh spasme otot siliaris.
4. Oleskan tambalan di atas kelopak mata tertutup untuk mengurangi ketidaknyamanan
yang disebabkan oleh palpebra yang bergerak berlawanan arah dengan kornea. Teknik ini
dijelaskan dalam Protokol Klinis 14.1, "Menerapkan Tambalan dan Perisai."
a. Biarkan patch tersebut sampai pemeriksaan ulang. Tidak perlu untuk memasang
patch pada pasien dengan abrasi yang diameternya lebih kecil dari 3-4 mm.
b. Jangan pernah memasang patch pada mata jika ada infeksi bakteri atau jamur
(misalnya, konjungti vitis atau blepharitis).
c. Karena kemungkinan infeksi, pasien dengan abrasi yang berhubungan dengan
penggunaan lensa kontak tidak boleh dipasang patch.
5. Cara lainnya, aplikasikan bandage soft contact lens. Hal ini sangat baik untuk pasien
dengan abrasi bilateral.
6. Lepas patch dan periksa kembali dalam waktu 24 jam. Jika pasien mengalami gejala
yang memburuk saat dipasang patch, ia dapat melepas patch sebelum dilakukan evaluasi
ulang. Hentikan penggunaan patch jika sebagian besar abrasi sudah sembuh. Kebutuhan
akan tetes antibiotik atau salep pada saat ini masih kontroversial.
Untuk abrasi yang berkaitan dengan pemakaian lensa kontak, lepaskan lensa kontak dan
periksa lensa kontak dan defek kornea dengan slit lamp. Jika pasien mengenakan lensa
keras, perbaiki abrasi seperti dijelaskan di atas untuk abrasi tipikal. Jika pasien memakai
lensa lunak, Anda mungkin perlu menyingkirkan keratitis mikroba potensial (misalnya,
pseudomonas) dengan kultur kornea dan wadah lensa kontak jika keadaan klinis
memungkinkan. Jika Anda sangat mencurigai adanya keratitis mikroba, pasien harus
diberikan antibiotik yang sesuai sampai hasil biakan tersedia.
 
2. Benda Asing pada Kornea
Benda asing (logam, kotoran, serpihan kayu, bahan makanan, kaca, atau bahkan ulat
bulu) yang mengenai kornea dapat terjadi saat mengasah logam atau batu, bahan tersebut

tertiup ke mata oleh angin. Mengetahui sifat benda asing sangatlah penting karena benda
asing logam yang tertanam dalam kornea dapat meninggalkan cincin karat, dan benda
asing seperti kayu menimbulkan risiko keratitis mikroba yang lebih besar (Gambar 14.1).
Cobalah untuk menentukan sumber benda asing selama melakukan anamnesis dan
pertimbangkan kemungkinan benda asing pada intraokular pada pasien dengan benda
asing kornea. Bagian atas dan bawah
Gambar 14.1. Benda asing kornea berupa logam yang dikelilingi dengan cincin karat
dan edema kornea yang keabu-abuan.

Palpebra superior dan inferior harus dieversikan untuk menyingkirkan kemungkinan


benda asing pada konjungtiva tarsal atau forniks. Jika terdapat kecurigaan yang terkait
dengan keratitis microbial, kornea hendaknya dilakukan pengikisan, pengecatan, dan
dilakukan kultur untuk ulkus kornea.

Tatalaksana
Penatalaksanaan tergantung pada sifat, lokasi, dan kedalaman benda asing kornea. Benda
asing superfisial yang menembus tidak lebih dalam dari stroma superfisial dapat diambil
di klinik atau ruang gawat darurat, seperti dijelaskan dalam Protokol Klinis 14.2. Apabila
benda asing sangat dalam atau jika diduga terdapat perforasi kornea, rawat pasien dalam
ruang steril pada ruang operasi yang dilengkapi fasilitas untuk menangani perforasi
kornea. Pasien harus mengenakan perisai aluminium kaku (Fox) sampai dilakukan
operasi (lihat Protokol Klinis 14.1).

3. Laserasi Bola Mata


Karena beberapa laserasi bola mata tampak relatif normal, Anda harus mencurigai pasien
yang memiliki riwayat sugestif. Gejala dan tanda perforasi okular meliputi penurunan
penglihatan yang signifikan; hipotoni; bilik mata depan dangkal atau datar; ukuran,
bentuk, atau posisi pupil yang berubah; pola yang dibentuk dapat yang terlihat melalui
lensa Crystalline atau vitreous, atau dengan menelusuri pola yang dibentuk benda asing;
dan ditandai dengan kemosis konjungtiva (cairan bening di bawah konjungtiva) atau
perdarahan subkonjungtiva. Tanda lain dari laserasi bola mata adalah hifema total (atau
besar) dengan tekanan intraokular rendah atau normal; hifema total dalam bola utuh
hampir selalu dikaitkan dengan tekanan intraocular yang tinggi.

Tes Seidel dapat mendeteksi adanya perforasi okular atau kebocoran luka. Pada tes
sederhana ini, strip fluorescein yang telah dibasahi diaplikasikan langsung di atas lokasi
yang dicurigai mengalami perforasi, sementara pemeriksa mengamati lokasi tersebut
melalui biomikroskop yang menggunakan cahaya biru kobalt. Jika terdapat kebocoran,
pewarna akan diencerkan oleh aqueous humor dan akan muncul sebagai aliran hijau
dalam pewarna terkonsentrasi yang berwarna oranye gelap.

Penting untuk mengenali keberadaan vitreous atau jaringan uveal pada permukaan mata.
Jangan salah mengira vitreous humor sebagai lendir sehingga membersihkannya dengan
kuat; jika ragu, tundalah tindakan sampai pasien berada di ruang operasi atau serahkan
pasien kepada yang lebih berpengalaman.

Hindari tindakan berikut selama evaluasi pasien dengan bola mata yang berpotensi
ruptur:
 Melakukan tekanan pada bola mata selama pemeriksaan (misalnya, melakukan
pemeriksan tonometri, depresi skleral, gonioskopi) atau dengan menambal.
 Mengaplikasikan salep atau obat tetes (misal: Miotik atau sikloplegik) di bola
mata.
 Melakukan MRI pada pasien dengan benda asing intraokular yang berupa logam.
Computed tomography (CT) adalah modalitas pencitraan yang tepat dalam kasus
ini. Pelindung aluminium Fox shield harus dibiarkan terpasang di atas bola mata
selama dilakukan CT scan.

Langkah pertama yang harus dilakukan ialah mengukur ketajaman visus, kemudian
lakukan pemeriksaan seperti dijelaskan sebelumnya dalam bab ini. Lakukan kultur dari
situs cul-de-sac atau luka jika diperlukan. Simpan perisai kaku di atas bola mata saat
tidak sedang diperiksa.

Dokter harus selalu mempertimbangkan kemungkinan adanya benda asing pada setiap
pasien dengan laserasi bola mata, bahkan jika anamnesis tidak mengarah kepada hal
tersebut. Pemeriksaan radiologis yang tepat harus dilakukan kepada pasien yang
dicurigai terdapat bend asing. MRI merupakan kontraindikasi apabila benda asing berupa
logam yang memiliki sifat magnetik, dalam hal ini CT scan lebih tepat digunakan.
Ultrasonografi juga dapat membantu.

Tatalaksana
Dalam kasus gawat darurat, pertimbangkan pemberian antiemetik untuk menekan mual
dan muntah. Berikanlah obat-obatan sedatif dan analgesik secara bijak. Bila perlu,
berikanlah profilaksis tetanus. Pelindung yang kaku harus ditempatkan di atas mata.
Penggunaan light patch sebagai pelindung adalah opsional, tergantung pada kondisinya,
bahkan mungkin tidak disarankan (untuk menghindari tekanan yang tidak semestinya
pada bola mata). Berikan antibiotik parenteral profilaksis yang sesuai. Perbaikan definitif
kemudian dilakukan di ruang operasi. Dalam kasus cedera besar yang mengganggu bola
mata, penting untuk melakukan informed consent dan memberikan konseling kepada
keluarga pasien mengenai kemungkinan enukleasi primer.

4. Laserasi Palpebra
Semua pasien dengan laserasi kelopak mata harus dievaluasi dengan cermat untuk
menilai kemungkinan cedera berulang, seperti laserasi kanalikuli, trauma samar pada
bola mata, fraktur dinding orbital, laserasi otot ekstraokular, dan laserasi benda asing.
Tanyakan mengenai objek yang menyebabkan laserasi, waktu dan tingkat keparahan
cedera, dan segala gejala dan tanda yang terkait.
Tatalaksana
Setiap kondisi okular yang terkait dengan laserasi kelopak mata (misalnya, benda asing
yang melekat) harus ditatalaksana sesuai kebutuhan. Laserasi palpebra tidak perlu segera
diperbaiki dan paling baik dilakukan oleh dokter yang berpengalaman dalam tindakan
tersebut. Perbaikan mungkin ditunda selama 12-24 jam, terutama jika luka
terkontaminasi atau akibat gigitan. Karena banyaknya suplai vaskular palpebra, infeksi
jarang terjadi dan debridemen harus minimal, jika diperlukan.

5. Trauma Tumpul Mata


Trauma tumpul mata terjadi akibat adanya trauma langsung ke mata oleh benda tumpul.
Termasuk perdarahan subconjunctival, hyphema (lihat di bawah), dislokasi lensa, globe
pecah, fraktur dinding orbital (lihat di bawah), iridodialisis, resesi sudut dan glaukoma,
ruptur sphincter iris, iritis traumatik, perubahan segmen posterior, dan neuropati optik
traumatis.

Dua pertanyaan pertama yang harus dijawab ketika mengevaluasi pasien dengan trauma
tumpul adalah
1. Apakah bola mata ruptur?
2. Apakah ada hifema?

Krepitasi saat palpasi mendukung diagnosis dinding orbital atau fraktur dinding orbital.
Tarik kembali kelopak mata secara manual atau dengan retraktor kelopak mata untuk
mengekspos bola mata. Ukur ketajaman visual, jika memungkinkan. Periksa permukaan
okular untuk melihat tanda-tanda perforasi. Periksa pupil untuk mengevaluasi adanay
midriasis traumatis dengan ruptur sfingter, miosis yang berhubungan dengan iritis
traumatis, iridosiklitis, dan defek pupil aferen yang mengindikasikan neuropati optik
traumatis. Mengevaluasi segmen anterior dengan slit lamp, mencari hifema, iridocyclitis
traumatis, dan subluksasi lensa. Meskipun pembengkakan akut pada kelopak mata
mungkin menghalanginya, gonioskopi harus dilakukan pada waktu yang tepat untuk
mengesampingkan resesi sudut, yang menempatkan pasien pada risiko glaukoma
selanjutnya. Lakukan pemeriksaan motilitas. Defisit elevasi terisolasi mengisyaratkan
adanya Blowout fracture pada orbital inferior; pembatasan gerakan mata umum ringan
sampai sedang dapat menyertai edema orbital atau hematoma.

Tonometri aplanasi sulit jika terjadi pembengkakan orbita dan palpebra tertutup rapat
(Gambar 14.2), dan tekanan intraokular dapat meningkat secara artifisial dari pembukaan
paksa kelopak mata pada saat pengukuran. Tekanan rendah atau kurang dari 10 mm Hg
dalam kondisi trauma okuler tumpul menunjukkan kemungkinan bola mata ruptur.
Diperlukan pemeriksaan fundus menyeluruh, tetapi depresi skleral harus ditunda pada
pasien dengan hifema atau diduga skleral ruptur. Gangguan segmen posterior khas yang
terkait dengan trauma tumpul okuler termasuk komosio retina, perdarahan retina, ruptur
koroid, perdarahan vitreous, dan ablasio retina traumatic.

Tatalaksana
Perawatan trauma tumpul mata tergantung pada sifat temuan, sebagaimana dirinci di
seluruh bab ini.

Gambar 14-2. Pembengkakan orbital pasca trauma tumpul dapat membuat pemeriksaan
sulit atau tidak memungkinkan

Dokter dapat melakukan langkah-langkah suportif melakukan kompres mata selama 1-2
hari pertama (jika bola mata intak), elevasi kepala, dan manajemen nyeri dengan obat.
Pasien harus menghindari antikoagulan dan aspirin.

6. Hifema Traumatik
Hifema merupakan perdarahan di bilik mata depan (Gambar 14.3). Pendarahan dapat
terjadi secara spontan (misalnya pada pasien dengan neovaskularisasi iris atau
xanthogranuloma juvenil), pasca operasi intraokular (misalnya, operasi katarak,
lensektomi, dan vitrektomi), atau pasca cedera traumatis, terutama trauma tumpul.
Hifema traumatis bervariasi dalam manifestasi klinis dan komplikasinya. Mulai dari
ukuran mikroskopis hingga hifema komplit, hifema mungkin mereda secara spontan atau
dengan manajemen medis, atau memerlukan evakuasi bedah. Hifema dapat dinilai
dengan ketinggian lapisan darah (dalam mm). Hifema sering dikaitkan dengan tanda-
tanda lain dari trauma tumpul okuler, termasuk abrasi kornea, iritis traumatis, resesi
sudut, ruptur sfingter pupil, dan kelainan segmen posterior.

Tekanan intraokular kemungkinan besar akan meningkat pada hifema yang besar, diikuti
dengan perdarahan berulang, atau pada pasien dengan penyakit sickle cell. Oleh karena
itu, tekanan intraokular harus dipantau secara ketat pada pasien dengan hifema. Jika ada
riwayat gangguan perdarahan, lakukan pemeriksaan laboratorium yang mencakup CBC,
studi pembekuan darah, jumlah trombosit, dan tes fungsi hati. Pada pasien dengan sickle
cell, elektroforesis hemoglobin harus diperoleh pada pasien kulit hitam. Nitrogen urea
darah dan kreatinin harus diperoleh jika asam aminocaproat (Amicar) akan digunakan
untuk pengobatan, untuk memantau potensi toksisitas obat.

Perdarahan berulang adalah masalah utama setelah hyphema traumatis yang menunjukan
prognosis visual yang buruk. Perdarahan ini cenderung lebih parah dibandingkan
perdarahan semula dan lebih mungkin dikaitkan dengan peningkatan tekanan intraokular.
Pasien yang mengalami perdarahan ulang mungkin perlu dirawat di rumah sakit.
Perdarahan berulang biasanya terjadi 2-5 hari setelah trauma awal. Oleh karena itu,
pasien dengan hifema harus diperiksa setiap hari setidaknya selama 5 hari pertama sejak
onset dan, jika dikelola sebagai pasien rawat jalan, harus diinstruksikan untuk segera
kembali untuk evaluasi ulang jika terjadi penurunan visus yang mendadak atauterjadi
peningkatan rasa sakit. Pasien dapat mengalami peningkatan TIO dengan potensi
kerusakan saraf optik. Pewarnaan darah kornea dapat dilakukan, terutama jika terdapat
disfungsi endotel dan peningkatan TIO secara bersamaan.

Tatalaksana
Penatalaksanaan hifema traumatis masih kontroversial. Pedoman yang berkenaan dengan
apakah perlu dirawat di rumah sakit atau tidak atau meresepkan obat-obatan siklopegik,
bedrest, atau melakukan sedasi tidak dapat ditentukan secara pasti. Umumnya,
penggunaan pelindung mata, pembatasan aktivitas fisik sedang, dan elevasi kepala pada
bed selama 5 hari pertama sejak onset adalah rekomendasi baik.

Pasien dengan hifema harus diperiksa setiap hari setidaknya selama 5 hari pertama. Jika
tekanan intraokular meningkat, langkah-langkah untuk menurunkannya harus dilakukan.
Obat-obatan seperti beta blocker (misalnya, timolol maleat) dan inhibitor karbonat
anhidrida, baik dalam bentuk topikal (misalnya, dorzolamide) atau dalam bentuk
sistemik (misalnya, acetazolamide, metazolamide), dapat menurunkan tekanan
intraokuler pada beberapa pasien. Methazolamide lebih disukai daripada acetazolamide
pada pasien dengan penyakit sickle cell yang mungkin atau terbukti untuk menghindari
efek samping asidosis metabolik, yang dapat memicu sickle cell pada eritrosit dan
memperburuk hipertensi intraokular dengan menghalangi trabecular meshwork. Drainase
bedah diindikasikan pada kasus-kasus tertentu, termasuk yang dengan peningkatan
tekanan intraokular yang berkepanjangan atau kasus yang gagal ditangani dengan
manajemen medis.

Upaya terapeutik untuk mengurangi kemungkinan perdarahan termasuk kortikosteroid


oral (prednison) dan asam aminocaproic oral (Amicar); pasien tidak boleh menerima
aspirin atau obat antiinflamasi nonsteroid lainnya. Pasien yang menerima Amicar harus
diedukasi mengenai kemungkinan hipotensi postural, yang mungkin sangat mengganggu
selama hari pertama perawatan.

7. Fraktur Orbita
Trauma tumpul kepala sering dikaitkan dengan fraktur di daerah orbital dan periorbital.
Fraktur blowout merupakan fraktur yang paling umum yang mengenai dinding orbital,
akan tetapi masih menyisakan rima orbita (margin tulang paling anterior dari orbit).
Dinding medial tipis orbitnya, lamina papyracea, adalah struktur kedua yang paling
sering fraktur. Diperlukan kekuatan yang jauh lebih besar untuk mematahkan tepi orbital
daripada dinding tipis orbit. Fraktur blowout disebabkan oleh benda-benda yang lebih
besar dari diameter lubang orbital, seperti tinju, dasbor, atau bisbol, yang menyerang
orbit anterior. Benda yang lebih kecil cenderung memmembuat ruptur bola mata.
Gejala dan tanda-tanda fraktur blowout dinding orbital meliputi ekimosis dan edema
palpebra dan zygomaticus, epistaksis, emfisema orbital dan palpebra, keterbatasan
pandangan ke atas atau ke bawah (terkait dengan diplopia), endophthalmos atau
exophthalmos, dan kehilangan sensasi dalam distribusi Nervus orbitalis inferior (bagian
ipsilateral zygomaticus dan labium superior). Gerakan mata yang terbatas dapat terjadi
akibat strabismus restriktif yang disebabkan oleh jebakan otot ekstraokular pada pasien
dengan fraktur dinding orbital (paling umum), dari edema umum dan cedera jaringan
lunak, dari kerusakan pada trochlea, atau dari kerusakan pada saraf motorik mata.
Kehilangan penglihatan dapat disebabkan oleh kerusakan Nervus opticus atau cedera
pada bola mata.

Evaluasi menyeluruh sangat membantu. Harus dilakukan pengukuran ukuran


exophthalmometry awal (lihat Protokol Klinis 9.3). Gambaran CT scan dari orbit dan
otak harus diperoleh, terutama jika perbaikan bedah direnungkan.

Tatalaksana
Dokter harus mempertimbangkan untuk meresepkan dekongestan nasal selama 1-2
minggu dan edukasi pasien untuk melakukan kompres dingin intermiten untuk satu atau
dua hari pertama. Anjurkan pasien untuk tidak meniup hidung dengan kuat, untuk
menghindari terjadinya emfisema orbital. Pertimbangkan profilaksis antibiotik spektrum
luas, terutama jika infeksi sinus terjadi bersamaan. Indikasi untuk perbaikan bedah pada
fraktur blowout masih kontroversial. Indikasi umum termasuk diplopia pada posisi
primer atau posisi membaca, endophthalmos yang signifikan, atau fraktur besar. Waktu
perbaikan juga kontroversial, akan tetapi perbaikan tidak dianggap sebagai darurat bedah
dan biasanya dapat dengan aman ditunda selama beberapa hari.

INFEKSI GAWAT DARURAT PADA MATA

Infeksi okular yang ditemukan di ruang gawat darurat berkisar dari yang umumnya tidak
berbahaya, seperti infeksi bakteri ringan yang mengakibatkan konjungtiva atau
hordeolum, hingga infeksi yang mengancam penglihatan, seperti infeksi yang
menghasilkan ulkus kornea dan endophthalmitis. Bagian ini membahas infeksi mata akut
tertentu yang biasanya ditemui dalam pengaturan darurat.

1. Opthalmia pada Neonatus


Istilah ophthalmia neonatorum menggambarkan suatu bentuk konjungtivitis yang terjadi
pada bulan pertama kehidupan (Gambar 14.4). Penyebab umum termasuk Chlamydia
trachomatis, Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Neisseria gonorrhoeae,
dan virus herpes simplex. Bayi yang terkena menunjukkan keluarnya cairan purulen
(gonokokus) atau mukopurulen, injeksi konjungtiva, edema palpebra, dan kemosis. Ibu
harus ditanyakan mengenai riwayat penyakit menular seksual. Kerokan konjungtiva
harus diperoleh untuk pewarnaan Gram, Giemsa, dan uji antibodi imunofluoresen
terhadap klamidia. Kultur harus diperoleh dalam agar darah dan agar coklat. Kultur virus
atau tes antibodi fluoresen dapat dilakukan sesuai indikasi.

Tatalaksana
Pengobatan awal ophthalmia neonatorum bertumpu pada kesan klinis dan hasil
pewarnaan Gram dan Giemsa. Konsultasi pediatrik kadang-kadang harus diperoleh. Pada
neonatus dengan konjungtivitis yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis, terapi
eritromisin sistemik direkomendasikan, karena dapat terjadi koinfesi berupa pneumonitis
dan otitis media. Dosis oral yang dianjurkan adalah 50 mg / kg / hari selama 3 minggu
(dibagi menjadi empat dosis harian dan dicampur dengan susu formula bayi),
dikombinasikan dengan erit romycin atau salep sulfacetamide empat kali sehari. Ibu bayi
dan pasangan seksualnya juga harus dirawat. Pelecehan seksual terhadap seorang anak
dapat diduga dengan infeksi tertentu dan otoritas yang sesuai harus disiagakan.
2. Konjungtivitis Akut
Pasien dengan konjungtivitis akut biasanya datang ke dokter ruang gawat darurat dengan
keluhan mata merah, keluarnya sekret, dan iritasi mata. Tanda-tanda klinis spesifik dan
gejala gangguan individu dibahas pada Bab 11. Secara umum, konjungtivitis bakteri akut
ditandai dengan injeksi konjungtiva dan sekret mukopurulen. Konjungtivitis virus
menunjukkan keluarnya sekret serous atau mukoid dan, tidak seperti konjungtivitis
bakteri, mungkin berhubungan dengan limfadenopati preauricular ipsilateral.

Tatalaksana
Konjungtivitis bakteri merespons pengobatan antibiotik topikal. Kecuali konjungtivitis
gonokokal, yang memerlukan antibiotik sistemik (misalnya, untuk neonatus, ceftriaxone
25-50 mg / kg / hari IV selama 7 hari) ditambah dengan tetes topikal. Seperti
konjungtivitis neonatal klamidia, ibu dari bayi dengan konjungtivitis gonokokal dan
pasangan seksualnya juga harus dirawat.

Pasien dengan konjungtivitis virus harus dianggap menular selama 10 hari pertama
setelah onset dan diberikan instruksi yang tepat untuk menghindari penyebaran virus.
Secara umum, konjungtivitis virus hanya membutuhkan pengobatan suportif dengan
kompres dingin, air mata buatan, atau vasokonstriktor topikal untuk meringankan gejala.

3. Endoftalmitis
Endophthalmitis menunjukkan infeksi di dalam mata yang memisahkan sklera.
Panophthalmitis merupakan infeksi yang melibatkan semua lapisan mata. Infeksi serius
ini dapat bersifat spontan (misalnya, dari sumber endogen pada pasien yang lemah),
pasca operasi (misalnya, setelah operasi katarak), atau pasca trauma. Dokter mata harus
dapat mengenali gangguan-gangguan ini karena mereka memerlukan perawatan segera
untuk menyelamatkan mata. Pasien dengan endophthalmitis biasanya datang dengan
nyeri mata, penurunan penglihatan, hipopion, vitritis, dan injeksi konjungtiva.

Diagnosis didasarkan pada dasar klinis dan dikonfirmasi dengan kultur periokular, bilik
mata depan, dan biopsi vitreous dengan kultur dan pewarnaan yang tepat.

Tatalaksana
Dapatkan konsultasi dengan subspesialisasi yang sesuai (seperti operasi retinal).
Vitrektomi diagnostik dan terapeutik sering diperlukan, serta pemberian antibiotik
intravitreal, topikal, dan intravena.

4. Selulitis Preseptal dan Orbital


Selulitis preseptal adalah infeksi yang melibatkan jaringan lunak kelopak mata tetapi
tidak melibatkan struktur orbital (Gambar 14.5). Selulitis preseptal hanya mempengaruhi
kelopak mata dan jaringan periorbital anterior ke septum orbital, sawar fibrosa yang
memisahkan bagian anterior palpebra dan jaringan wajah dari orbit itu sendiri. Pasien
datang dengan eritema, pembengkakan, dan nyeri palpebra dan daerah periorbital
sekitarnya. Selulitis preseptal biasanya tidak memerlukan pemeriksaan diagnostik.

Adanya proptosis, ophthalmoplegia (motilitas okular terbatas), penurunan penglihatan,


nyeri yang signifikan pada pergerakan mata, atau refleks pupil abnormal menunjukkan
selulitis orbital, infeksi yang jauh lebih serius yang melibatkan perluasan infeksi
posterior ke septum orbital dan ke dalam orbit (Gambar 14.6) ). Hal ini paling sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari struktur yang berdekatan, seperti gigi, sinus
paranasal, atau saccus lacrimalis. Pada anak-anak, ini paling sering muncul karena
penyebaran dari sinus ethmoid. Gejala dan tanda tambahan termasuk mata merah,
demam, lesu, edem palpebra, kongesti konjungtiva, kemosis, dan diplopia.
Pemeriksaan diagnostik selulitis orbital meliputi kultur darah dan, jika ada luka kelopak
mata, kultur luka dan pewarnaan Gram. CT scan orbit diindikasikan untuk
mengecualikan benda asing yang tertahan, abses subperiosteal, keterlibatan intrakranial,
dan penyakit sinus yang berdekatan.

Tatalaksana
Pasien dengan selulitis preseptal ringan dapat diobati menggunakan antibiotik oral
dengan rawat jalan. Antibiotik dipilih untuk mengeradikasi organisme yang paling
mungkin, termasuk Staphylococcus aureus, S. epidermidis, dan Streptococcus
pyogenes. Pada anak kecil, seseorang juga harus mempertimbangkan Haemophilus
influenzae.

Pengobatan selulitis preseptal yang parah atau selulitis orbital harus dilakukan segera,
karena pasien berisiko mengalami thrombosis sinus kavernosa, meningitis, dan abses
otak. Pasien harus dirawat, dan antibiotik intravena spektrum luas yang mencakup
organisme Gram-positif, Gram-negatif, dan anaerob harus diberikan sampai agen infeksi
yang tepat diidentifikasi. Salep antibiotik topikal dapat ditambahkan.

Karena drainase sinus dapat diperlukan pada kasus yang parah, evaluasi otolaringologis
diperlukan pada pasien dengan mucoceles atau sinusitis. Jika pasien dengan selulitis
orbital menderita diabetes mellitus, terutama dengan ketoasidosis, atau keadaan
imunokompromais, mukormikosis, infeksi jamur yang mengancam jiwa, harus
dipertimbangkan secara serius, karena tindakan bedah debridement yang segera dan
terapi antijamur diperlukan untuk menyelamatkan hidup pasien. Pasien yang terkena
dampak dapat menunjukkan eschar hitam di hidung atau di atap mulut.
KEGAWATDARURATAN OKULAR SEJATI
Keadaan darurat mata dapat dibagi menjadi dua kategori. Kegawatdaruratan okular sejati
membutuhkan perawatan dalam beberapa menit (luka bakar kimia, oklusi arteri retina
sentral, glaukoma sudut tertutup akut). Kondisi mendesak membutuhkan perawatan
dalam beberapa jam (berbagai bentuk trauma okular atau infeksi). Bagian ini
menjelaskan tiga kondisi darurat yang paling sering terlihat di ruang gawat darurat.

1. Luka Bakar Kimia pada Mata


Luka bakar kimia pada mata adalah beberapa dari beberapa keadaan darurat okuler yang
sebenarnya. Mulailah irigasi mata segera, bahkan sebelum menyelesaikan anamnesis
atau memeriksa visus.

Luka bakar asam menyebabkan denaturasi protein jaringan, yang kemudian bertindak
sebagai barrier untuk mencegah difusi asam lebih lanjut. Untuk alasan ini, luka bakar
akibat asam umumnya kurang menghancurkan daripada luka bakar alkali, tetapi masih
bisa sangat parah. Luka bakar alkali tidak menyebabkan denaturasi protein. Oleh karena
itu, bahan kimia alkali kaustik cenderung menembus lebih dalam daripada luka bakar
asam dan umumnya cenderung lebih merusak jaringan mata. Mereka dapat menyebabkan
pencairan kornea, memucatnya konjungtiva, membuat scar yang parah pada kornea dan
konjungtiva, dan komplikasi intraokular seperti uveitis dan glaukoma sekunder (Gambar
14.7).

Temuan klinis pada luka bakar ringan dari kedua jenis termasuk hiperemia konjungtiva,
kemosis, dan erosi epitel kornea dan kekaburan ringan. Edema stroma ringan dan reaksi
bilik mata depan juga dapat ditemukan. Kasus yang lebih parah menunjukkan adanya
kekeruhan kornea dan iskemia limbal.
2. Oklusi Arteri Retina Sentral
Pasien dengan oklusi arteri retina sentral mengalami kehilangan penglihatan yang berat,
unilateral, akut, tidak nyeri. Hal ini dapat terjadi akibat episode embolik pada pasien
dengan penyakit karotid atau jantung, atau dapat dikaitkan dengan arteriolosklerosis,
giant cell arteritis (temporal), penyakit pembuluh darah kolagen, gangguan
hiperkoagulasi, emboli talk dengan penyalahgunaan obat intravena, atau trauma.

Pasien yang terkena menunjukkan defek pupil aferen. Pemeriksaan funduskopi


menunjukkan penyempitan arteri retina dan segmentasi pembuluh darah. Retina
berwarna putih atau abu-abu kecuali untuk red-cherry-spot pada fovea, yang diperfusi
oleh koroid, dan kecuali untuk area yang dipasok oleh arteri cilioretinal (Gambar 14.8).
Carilah plak Hollenhorst atau jenis emboli lainnya. Seiring dengan waktu, pasien akan
mengalami atrofi retina dalam dan atrofi optik. Prognosis oklusi arteri retina sentral
umumnya buruk.

Tatalaksana
Pengobatan untuk oklusi arteri retina sentral harus segera dilakukan. Kerusakan retina
yang ireversibel dikatakan terjadi setelah 90 menit, tetapi pengobatan harus
dipertimbangkan pada pasien yang datang dalam 24 jam setelah onset. Tujuan dari
pengobatan adalah untuk mengembalikan aliran darah retina dan untuk memindahkan
embolus retina yang potensial secara distal. Perawatan darurat dimulai sebagai berikut:

1. Turunkan tekanan intraokular untuk meningkatkan perfusi retina dalam satu atau lebih
cara berikut:
a. Pijat bola mata baik dengan jari atau dengan lensa kontak fundus. Selain menurunkan
tekanan intraokular, ini mungkin juga menghilangkan plak emboli.
b. Berikan acetazolamide (500 mg IV) dan / atau berikan timolol topikal 0,5%.
c. Pertimbangkan untuk melakukan paracentesis pada bilik mata depan (Clinical
Protocol 14.4).
2. Cobalah untuk mendilatasikan arteri dengan meminta pasien menghirup kombinasi
dari oksigen 95% dan karbon dioksida 5% (karbogen) atau menghirup ke dalam kantong
kertas.
3. Semua pasien dengan oklusi arteri retina sentral harus menjalani evaluasi medis
setelah perawatan darurat. Pada pasien yang lebih tua dari 55 tahun, laju sedimentasi
eritrosit harus diukur pada saat kasus teridentifikasi untuk menyingkirkan giant-cell
arteritis. Jika angka laju sedimentasi pasien menunjukkan arteritis temporal, berikan
kortikosteroid dosis tinggi.

3. Glaukoma Akut Sudur Tertutup


Aqueous humor biasanya mengalir dari bilik mata belakang melalui pupil, dan kemudian
mengalir melalui trabecular meshwork di sudut bilik anterior. Glaukoma sudut tertutup
terjadi ketika posisi iris mendekati trabecular meshwork, sehingga menghalangi drainase
aqueous humor (Gambar 14.9).

Blokade pupil adalah penyebab paling umum dari glaukoma sudut tertutup akut. Dalam
kondisi ini, aliran aqueous humor melalui pupil terhambat. Akibatnya, aqueous humor
menumpuk di belakang iris dan menyebabkan iris terdorong ke depan melawan
trabecular meshwork. Beberapa pasien dengan predisposisi anatomis cenderung
mengalami blokade pupil. Faktor predisposisi seperti mata kecil, hiperopik dan sudut
bilik mata depan yang sempit. Blokade pupil lebih sering terjadi ketika pupil mengalami
mid dilatasi. Oleh karena itu, serangan dapat dipicu oleh midriatik topikal, anti
kolinergik sistemik, stres, eksitasi (pelepasan simpatik), atau penerangan redup.

Karena adanya peningkatan TIO akut, pasien dapat mengalami sakit kepala, sakit mata
parah, mual, dan muntah. Pada injeksi okular, kornea berkabut karena adanya edema
epitel (Gambar 14.10). Hali ini membuat adanya persepsi lingkaran cahaya berwarna
pelangi di sekitar cahaya dan pandangan kabur atau berkabut pada pasien.
Pada pemeriksaan, pasien menunjukkan TIO yang tinggi dan ciliary flush (warna
violaceous yang mengelilingi limbus). Pupil mid dilatasi dan refleksnya cenderung
lamban. Bilik mata depan dangkal, berair dapat ditemukan adanya aqueous flare and
cells. Sudut pada bilik mata depan (Camera Oculi Anterior) ditutup pada gonioskopi, dan
mata hampir selalu memiliki sudut yang sempit. Edema epitel kornea dapat menghalangi
pandangan bilik mata depan dan menghalangi gonioskopi atau terapi dengan laser
iridotomi. Jika hal ini terjadi, terapi medis untuk menurunkan TIO dan gliserin topikal
untuk mengurangi edema epitel mungkin diperlukan untuk memungkinkan pemeriksaan
bilik mata depan secara detail. Edema kornea sekunder hingga TIO tinggi adalah tipikal
pada manifestasi edema epitel difus tanpa penebalan stroma, karena adanya tekanan
tinggi menekan stroma, tidak seperti edema yang yang terjadi karena disfungsi sel
endotel (yaitu, distrofi Fuchs).

Tatalaksana
Perawatan medis awalnya digunakan untuk mematahkan mengobati akut, membuka jalan
untuk dilakukan perawatan bedah definitif. Perawatan medis bertahap terdiri dari:
1. Cobalah untuk menghentikan serangan dengan menekan kornea sentral dengan
pengait otot atau Zeis gonioprism. Ini mungkin membantu dalam kasus-kasus awal
baru-baru ini.
2. Teteskan beta blocker topikal (misal 1 tetes timolol 0,5%).
3. Pada pasien phakic, berikan pilocarpine 1% —2% q l 5 menit x3; hanya dalam blok
pupil pseudophakic atau aphakic, berikan mydriatic topical dan tetes sikloplegik
(misalnya, fenilefrin 2,5% atau tropikamid 1%) q 15 menit x3.
4. Berikan tetes kortikosteroid topikal (prednisolon asetat 1%).
5. Berikan inhibitor karbonat anhidrase sistemik (mis., Acetazolamida 250 mg po x 2
atau IV).
6. Berikan agen osmotik sistemik (mis. Isosorbide 50-100 mg pada es yang
dihancurkan, untuk diminum perlahan; atau manitol intravena). Hindari ini obat
pada pasien dengan gagal jantung kongestif atau gagal ginjal.
7. Berikan analgesik sistemik (misalnya, asetaminofen).
8. Oleskan gliserin topikal, yang dapat mengurangi edema kornea dan pembengkakan
untuk sementara waktu, hal ini memungkinkan pandangan yang memadai untuk
pemeriksaan dan iridomi laser. Gliserin yang dioleskan secara topikal menyakitkan
karena sifatnya yang hipertonis, jadi anestesi topikal harus diberikan terlebih
dahulu.

Perawatan definitif, dilakukan ketika serangan akut pecah, terdiri dari iridotomi laser
atau, jika tidak mungkin atau tidak tersedia, lakukan operasi iridectomy. Mata
sebalahnya harus diberikan terapi profilaksis dalam waktu dekat karena berisiko tinggi
untuk terjadi glaukoma sudut tertutup akut juga.

HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN


 Berikan tindak lanjut yang sesuai setelah mengevaluasi pasien di ruang gawat
darurat.
 Membuat rekam medis dengan pertimbangan yang memadai untuk alas an
medikolegal dan asuransi (lihat Bab 3, “Anamnesis”).
 Puasakan pasien yang akan dilakukan pembedahan.
 Jangan gunakan relaksan otot terdepolarisasi (mis., Suksinilkolin) pada pasien
dengan bola mata yang ruptur.
 Terkadang benda asingyang tersembunyi atau tertanam dapat terlihat. Pada
trauma perforasi, CT scan harus dilakukan jika ada kecurigaan terhadap benda
asing.
 MRI dikontraindikasikan pada pasien dengan benda asing logam (magnetik).
 Jika ada trauma kepala yang signifikan, hindari penggunakan midriatik untuk
pemeriksaan oftalmoskopi sampai evaluasi neurologik lengkap. Ketika Anda
melakukan dilatasi, pastikan untuk memberi tahu petugas layanan kesehatan
lainnya dan perhatikan dilatasi pada bagan.
 Hifema traumatic pada anak sering kali berhubungan dengan letargi atau
somnolen; tidak perlu membingungkan gejala tersebut dengan gangguan
neurologik, begitu pula sebaliknya.
 Jangan berikan tekanan (mis. Palpasi okular, depresi skleral) kepada bola mata
yang mungkin ruptur atau mata yang mengalami hifema.
 Jangan gunakan papan papoose untuk menenangkan anak yang berpotensi
mengalami rupture bola mata.
 Prioritaskan terapi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dibandingkan
perawatan trauma okular.
 Jangan meresepkan pasien obat tetes mata anestesi, jauhkan obat mata dari
jangkauan.
 Pilokarpin dan atropine yang dikonsumsi secara peroral dapat berakibat fatal.
 Jangan berikan acetazolamide pada individu dengan penyakit sickle-cell atau
pasien dengan alergi sulfonamide.
 Yang pertama, jangan menyakiti pasien. Ketahuilah keterbatasan Anda dan
jangan tunda untuk meminta pertolongan apabila Anda membutuhkan.

REFERENSI

Bacterial Keratitis [Preferred Practice Pattern]. San Francisco: American Academy of


Ophthalmology; 2000.

Catalano RA, Belin M, eds. Ocular Emergencies. Philadelphia: WB Saunders; 1992.


Conjunctivitis [Preferred Practice Pattern]. San Francisco: American Academy of

Ophthalmology; 2003.
DeutschТА,FellerDB,eds.PatonandGoldberg’sManagementofOcularInjuries. 2nded.

Philadelphia: WB Saunders; 1985.


KunimotoDY,KanitkorKD,MakarM,etal. HoeWillsEyeManual:OfficeandEmergency
Room Diagnosis and Treatment o f Eye Disease. 4th ed. Philadelphia: Lippincott,
Williams & Wilkins; 2004.

Primary Angle-Closure [Preferred Practice Pattern]. San Francisco: American


Academy of Ophthalmology; 2000.

PROTOKOL KLINIS 14.1

Memakaikan Patch dan Pelindung pada mata

1. Pasang dua bantalan mata steril dan pita operas adesif. Sobek selotip
sepanjang 5 hingga 6 inci.
2. Instruksikan pasien untuk menutup kedua mata.
3. Bersihkan dahi dan zygoma dengan alas alkohol untuk menghilangkan minyak
kulit. Ini membantu selotip menempel pada kulit.
4. Lipat satu pad menjadi dua, letakkan di atas mata tertutup, dan pegang di
tempatnya dengan satu tangan.
5. Oleskan bantalan mata yang tidak dilipat di atas yang dilipat.
6. Rekatkan bantalan yang tidak dilipat dengan kuat ke dahi dan zygoma
(Gambar 1). Untuk mencegah pasien berkedip, pendarahan lebih lanjut, atau
pembengkakan, patch harus memberikan sedikit tekanan pada kelopak mata.
Pasien seharusnya tidak dapat membuka kelopak mata di bawah patch. Perekat
tidak boleh meluas ke mandibula atau dekat sudut mulut karena gerakan
rahang dapat melonggarkan patch.
7. Jika pasien mengalami kontusioatau robekan pada bola mata atau struktur
adneksa, aplikasikan dan rekatkan perisai aluminium fenestrasi (Fox), daripada
meberikan patch, di seluruh permukaan bola mata, untuk melindungi jaringan
ini dari kerusakan lebih lanjut sampai terjadi penyembuhan atau perbaikan
definitif dilakukan. Letakkan pelindung pada tulang orbital superior dan
zygoma (Gambar 2). Jangan pasang patch terlalu kencang.
PROTOKOL KLINIS 14.2

Ekstraksi Benda Asing pada Kornea

1. Berikan tetes larutan anestesi topikal ke mata yang sakit.


2. Sambil memegang tutup atas dan bawah pasien dengan ibu jari dan jari
telunjuk pasien, lepaskan benda asing yang longgar dan tidak melekat yang
sesuai dalam salah satu dari dua cara berikut:
a. Usap permukaan kornea secara lembut dengan kapas yang dibasahi
dengan larutan saline atau tetes mata oftalmik yang lembut.
b. Lakukan bilas saline, periksa kornea secara berkala, sampai benda
asing tidak lagi terlihat (lihat Protokol Klinis 14.3, “Irigasi
Permukaan Mata”).
3. Lepaskan benda asing yang tertanam dengan kuat dengan ekstraksi hati-
hati dengan jarum 27-gauge pada gagang atau jarum suntik tuberkulin di
bawah magnifikasi slit lamp. Gunakan gerakan menjentik dengan jarum
dan hindari mendorong benda asing lebih dalam ke kornea atau
memasukkan jarum lebih dalam ke dalam kornea (Gambar 1).
4. Jika masih terdapat cincin karat, Anda dapat mencoba untuk menglakukan
kuretase dengan jarum atau menggunakan gerinda cincin karat yang
tersedia. Tidak perlu melepas seluruh cincin karat. Lebih baik
meninggalkan cincin karat kecil di sumbu visual daripada mengambil
risiko membuat bekas luka pada stroma yang padat setelah pengangkatan.
5. Terapi abrasi karena benda asing seperti melakukan terapi untuk abrasi
kornea yang tipikal.

PROTOKOL KLINIS 14.3

Irigasi Permukaan Mata


1. Dengan posisi pasien terlentang, berikan larutan anestesi topikal ke
dalam cul-de-sac.
2. Biarkan kelopak mata tetap terbuka baik secara manual atau dengan
retraktor Desmarres atau spekulum palpebra.
a. Hindari tekanan pada bola mata atau pembukaan kelopak
mata yang kuat jika Anda mencurigai bola mata yang
ruptur.
b. Menjaga mata tetap terbuka dengan spekulum palpebra
dan pemberian analgesik dan anestesi topikal
memungkinkan irigasi yang efektif dengan sedikit
ketidaknyamanan bagi pasien.
c. Inspeksi permukaan okular dan cul-de-sac konjungtiva
dengan cepat untuk zat kimia tertentu. Singkirkan partikel
kecil dengan menggulung aplikator kapas yang dibasahi
di seluruh konjungtiva; singkirkan partikel yang besar
dengan forsep
3. Mulailah mengirigasi mata dengan berlebihan dengan larutan salin
normal atau larutan isotonik serupa lainnya.
a. jika tersedia, Anda dapat menggunakan botol pemeras
atau cairan salin normal dengan pipa plastik.
b. Minta pasien untuk mengalihkan pandangan secara
berkala sehingga seluruh cul-de-sac terlihat memerah.
4. Setelah melakukan irigasi setidaknya selama 15 atau 20 menit, dengan
menggunakan cairan minimal 1 liter, periksa kembali mata, terutama
fornices, untuk melihat partikel tertentu. Anda mungkin perlu
membuka palpebra superior untuk melakukan irigasi atau secara
manual menghilangkan partikel yang menempel.
5. Jika partikel ditemukan, irigasi lebih lanjut setelah mengeluarkan
partikel. Lanjutkan irigasi sampai pH pada saccus konjungtiva menjadi
netral (yaitu, 7.4). Strip pH urin dapat digunakan untuk pengukuran
ini.

PROTOKOL KLINIS 14.4

Melakukan Paracentesis pada Camera Oculi Anterior

1. Posisikan pasien terlentang.


2. Berikan larutan anestesi topikal (mis., Proparacaine) ke mata, dan pegang
aplikator dengan ujung diberi pilinan kapas yang telah dibasahi dengan
anestesi (mis., Proparacaine, tetracaine, atau lidocaine) dengan
menginsersikan pada M. Rectus Medialis
3. Pasangkan spekulum palpebra.
4. Di bawah mikroskop operasi, fiksasi mata dengan memegang tendon M.
Rectus Medialis yang telah dilakukan anestesi.
5. Masukkan jarum pendek ukuran 30 Gauge pada tuberculin syringe ke
camera oculi anterior (bilik mata depan) pada limbus temporal dengan
bevel jarum mengarah ke atas dan dengan jarum sejajar dengan bidang
iris. Pastikan ujung jarum tetap berada di atas midperifer iris mata, dan
jangan sampai menyentuh lensa selama prosedur.
6. Tarik cairan dari bilik mata depan sampai Anda dapat mengamati bilik
mata depan sedikit lebih dangkal (0,1-0,2 cc cairan aqueous).
7. Tarik jarumnya.

Anda mungkin juga menyukai